Anda di halaman 1dari 5

ASPEKFILSAFAT DALAM TRADISI NYADRAN DI SIDOARJO

2. Manusia membutuhkan manusia lain agar bisa tetap exsis dalam menjalani kehidupan
ini. Itu sebabnya,esensi manusia sebagai makhluk sosial ialah adanya kesadaran manusia
tentang status dan posisi dirinya dalam kehidupan bersama dan bagaimana
tanggung jawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan itu. Adanya kesadaran
interdependensi dan saling membutuhkan serta dorongan-dorongan untuk mengabdi
sesamanya. Dalam konteks sosial, nyadran menjadi rangkaian budaya dari mendoakan
arwah pendahulu hingga melakukan larung tumpeng ke laut yang dalam pelaksanannya
berhubungan dengan manusia. Nyadran merupakan fenomena sosial yang dapat ditemui
dalam masyarakat nelayan sidoarjo setiap bulan Maulid, Para nelayan, khususnya ibu-ibu
menyiapkan tumpeng untuk dilarung di beberapa tempat penting di sepanjang sungai.
Sebagian tumpeng dibawa ke kompleks makam Dewi Serdadu. dimana setelah
pengajian, makanan pun dinikmati bersama. Sehingga dapat ditemukan beberapa nilai –
nilai yang terkandung dalam tradisi nyadran ini. Pertama, nilai gotong royong. Kedua,
nilai persatuan dan kesatuan. Ketiga, nilai musyawarah. Keempat, nilai pengendalian
sosial. Kelima, nilai kearifan lokal yang ditunjukkan pada saat memberikan makanan
yang dibawa untuk diberikan kepada warga yang datang nyadran. Selain itu, nilai sosial
ini merupakan nilai kemasyarakatan yang dirasakan paling mendalam seperti nilai
kebersamaan, ketetanggan dan kerukunan antar warga, sekaligus menimbulkan suatu
perasaan kuat bahwa semua warga sama derajatnya satu sama lain. Bentuk solidaritas ini
terlihat begitu kental saat pelaksanaan ritual nyadran. Belum lagi pada ritual nyadran
terdapat kebersamaan, di dalamnya terdapat perkumpulan warga, termasuk anak-anak,
mereka sangat senang penuh persaudaraan melaksanakannya. Antara satu orang dengan
yang lainnya saling memberi, saling berbagi, saling meluangkan waktu untuk menjalin
keakraban bersama. Pola sosial seperti ini menghasilkan kehidupan yang tanpa disadari
telah mendarahdaging dalam kehidupan masyarakat Jawa terutama di Sidoarjo yang erat
kaitannya dengan tradisi, budaya, dan keinginan masyarakat dengan pendekatan kearifan
lokal. Manusia sebagai makhluk sosial bisa eksis, karena masyarakat dibekali dengan
ilmu pengetahuan yang sangat dengan tradisinya. dengan memberikan sedekah laut.
Manusia sebagai makhluk budaya yakni memiliki adat kebiasaan masyarakat yang
turun temurun dari nenek moyang ini hingga sekarang masih dilakukan oleh masyarakat
dimana adat istiadat atau tradisi adalah aturan (perbuatan) yang lazim dituruti atau
dilakukan oleh masyarakat sejak dahulu kala. Tradisi juga berarti tata kelakuan yang
kekal dan turun temurun dari generasi satu ke generasi yang lain sebagai warisan
sehingga kuat integritasnya dengan pola perilaku masyarakat atau tatanan transcendental
yang dikaji sebagai dasar orientasi untuk pengabsahan tindakan manusia. Salah satu
kebudayaan Jawa yang menjadi pusat perhatian masyarakat Indonesia adalah
kebudayaan Jawa pesisir dimana terdapat konsep sedekah laut yang merupakan ajaran
etika lingkungan tentang laut bagi masyarakat Jawa, Rene Char mengatakan,
“kebudayaan adalah warisan kita yang diturunkan tanpa surat wasiat” . lewat kutipan itu,
dapat dikemukakan bahwa pada awalnya kebudayaan adalah nasib, kemudian baru kita
memanggulnya sebagai tugas. Pada mulanya kita adalah penerima yang bukan saja
menghayati tetapi juga menjadi penderita yang menanggung beban kebudayaan itu.
Sebelum kita bangkit dalam kesadaran untuk turut membentuk dan mengubahnya. Oleh
karena itu sebagian masyarkat meyakini jika tidak melaksanakan upacara aupun trasidi
yang merupakan adat akan ada bahaya maupun bencana yang terjadi di masyarakat
tersebut, biasanya masyarakat tersebut menyebutnya sebagai mitos. Hal ini karena
masyarakat memilii sistem budaya tersendiri yang sudah begitu mengakar kuat. Aktifitas
upacara ini merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah
(manusia) dengan dunia atas (makhlus halus atau Tuhannya).
3. Ritual bagi masyarakat Muslim Jawa sebagai wujud pengabdian dan ketulusan
penyembahan kepada Allah, diwujudkan dalam bentuk simbol simbol ritual yang
memiliki kandungan mendalam bagi masyarakat Jawa. Simbol-simbol ritual ini
merupakan ekspresi atau pengejawantahan dari penghayatan dan pemahaman akan
realitas yang teak terjangkau sehingga menjadi sangat dekat. Dengan simbol-simbol
ritual tersebut, terasa bahwa Allah selalu hadir dan selalu terlibat “ menyatu dalam
dirinya”. Simbol-simbol ritual tersebut diantaranya adalah dalam bentuk makanan yang
disajikan dalam ritual sebagai rasa syukur terhadap Allah yang telah melimpahkan
karunia dan rizkinya kepada masyarakat Jawa. Harus diakui bahwa sebagian dari simbol-
simbol ritual dan simbol spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa
mengandung pengaruh asimilasi antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang
menyatu dalam wacana kultural mistik. Bentuk-bentuk persembahan yang masih sering
dilakukan oleh sebagian besar dari kelompok masyarakat, antara lain menyediakan
sajian-sajian yang berupa hasil bumi, binatang ternak dan berbagai macam bunga.
ritualitas sebagai wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian
diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual yang memiliki kandungan makna
mendalam. Simbol-simbol ritual merupakan ekspresi atau pengejewantahan dari
penghayatan dan pemahaman akan realitas yang tak terjangkau sehingga menjadi sangat
dekat. Hal itu merupakan aktualisasi dari pikiran, dan perasaan pelaku untuk lebih
mendekatkan diri kepada Tuhan.
4. Dalam psikologi agama dijelaskan bahwa manusia memiliki insting atau naluri untuk
percaya kekuatan di luar drinya, sehingga beragama atau melakukan ritual Nyadran pun
bagian dari bentuk ekspresi penghargaan kepada kekuatan di luar dirinya yang disebut
tuhan. Melihat praktiknya, nyadran tak hanya berdimensi sosial dengan manusia, dan
alam, namun juga dengan spiritual karena erat kaitannya dengan leluhur dan Tuhan.
Dimana orang Jawa sangat identik dengan budaya religiositas yang dibalut dengan
kearifan lokal. Menurut Geertz, dikalangan masyarakat Jawa terdapat kepercayaan
adanya hubungan yang sangat baik antara manusia dan makhluk gaib dimana inilah yang
dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk transeden dan religius. Knsepsi dasar Jawa
mengenai dunia gaib (dunia yang tak nampak) didasarkan pada gagasan bahwa semua
perwujudan dalam kehiduppan disebabkan oleh makhluk berfikir yang berkepribadian
memiliki kehendak sendiri. Gagasan animis ini dapat dirumuskan demikian: segala
sesuatu dalam alam, di dunia hewan dan tetumbuhan, apakah besar atau kecil,
mempunyau nyawanya sendiri. Kuatnya tradisi Jawa membuat Islam mau tak mau harus
berakulturasi, akhirnya wujud akulturasi tersebut menjadi ajaran khas Jawa, yang dikenal
dengan nama Islam Kejawen. Ritual yang dilakukan kaum muslimin dalam upacara
nyadran adalah mengadakan ziarah ke pekuburan orang tua dan orang-orang yang
dihormati (leluhur) yang telah wafat. Dalam ritual tersebut terdapat bacaan-bacaan suci
(kalimah Thoyyibah) untuk mensucikan, memuji, mengagungkan nama Allah. Di
samping itu juga terdapat sebagian bacaan ayat-ayat suci al-Qur‟an, permohonan doa
untuk dipanjatkan kepadaNya. Di sinilah letak, betapa dalam tradisi nyadran penuh
dengan nuansa kebaktian hamba kepada Tuhan Yang Maha Esa. Aspek salehnya amalan-
amalan yang terdapat dalam ritual nyadran, Mereka berdo’a dan menggelar pengajian di
kompleks makam dewi sekardadu  yang tak lain ibunda Sunan Giri, salah satu wali
penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Tujuan utama dari fenomena sosial ini adalah
sebagai rasa syukur dan terimakasih kepada tuhan yang maha esa atas hasil tangkapan
ikan yang berlimpah. Mereka percaya dengan adanya sedekah laut, kehidupan mereka
sebagai nelayan akan terjaga dan kesejahteraan mereka pun meningkat. Sehingga sebagai
wujud syukur mereka, yang selama ini mengambil hasil alam berupa ikan untuk
kesejahtaraan keluarga. Mereka percaya bahwa, mereka harus memberikan persembahan
agar kesejahteraan itu tetap terjaga dengan melakukan larung sesaji atau nyadran. Proses
upacara selanjutnya dilanjutkan ke tengah laut, dekat Selat Madura dengan
mempersembahkan tumpeng utama. Begitulah Nyadran alias sedekah laut yang selalu
menjadi hajatan bagi keluarga besar nelayan Sidoarjo sebagai rasa syukur kepada Allah
SWT. Sedekah dalam pengertian Jawa sebetulnya hampir sama dengan pengertian
sedekah melalui bahasa Arab, istilah yang dipakai dalam ungkapan Jawa yakni sedekah,
sebagaimana yang telah dikemukakan dari istilah Arab (Shadāqah). Pengertian yang
dipahami oleh orang Jawa masih mengacu pada bentuk-bentuk pemberian. Hanya saja
dalam konteks sedekah pada beberapa upacara tradisi Jawa, motivasi atau tujuan serta
cakupan dari sasaran pemberiannya menjadi berubah atau mengalami transformasi.
Motivasi atau tujuan bukan lagi sebagai bentuk bantuan, tetapi lebih cenderung
merupakan persembahan. Tujuan pemberian sedekah tidak lagi tertuju kepada orang-
orang yang dalam keadaan menderita, kesusahan secara ekonomis, tetapi kepada sesuatu
dzat yang dipercaya sebagai penjaga dusun, penjaga sawah, penjaga laut yang tidak kasat
mata. Sesungguhnya upaya mendekatkan diri melalui ritual adalah bentuk akumulasi
budaya yang bersifat abstrak. Hal itu dimaksudkan sebagai upaya negosiasi spiritual
sehingga hal ghaib yang diyakini berada diatas manusia tidak akan menyentuh secara
negatif. Memang harus diakui bahwa sebagian dari simbol-simbol ritual dan simbol
spiritual yang diaktualisasikan oleh masyarakat Jawa mengandung pengaruh asimilasi
antara Hindu-Jawa, Budha-Jawa, dan Islam-Jawa yang menyatu padu dalam wacana
kultural religius mistik.

5. Sedemikian tak terpisahkannya hubungan antara manusia dengan kebudayaan, sampai


disebut dengan makhluk budaya. Dimana merupakan suatu cipta, karsa dan karya
manusia yang dilestarikan sebagai ekspresi dari rasa terimakasih kepada tuhan. Nyadran
merupakan salah satu bentuk ritual sosial keagamaan masyarakat (khususnya) Jawa atau
dapat diartikan sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis namun terpola
dalam sistem ide atau gagasan bersama oleh setiap anggota masyarakat. Sehingga,
nyadran adalah adat atau kebiasaan yang diciptakan oleh masyarakat dimana bagian dari
manusia mengekspresikan kehendaknya sebagai sesuatu yang percaya akan kekuatan di
luar dirinya yang mereka percaya sebagai pemberi rejeki lewat kekeayaan alam atau laut
dimana juga merupakan eksistensi manusia itu sendiri dengan bersumber dari sistem
religi yang dipegang bersama. Dalam nyadran, ada beberapa landasan Selain tradisi
berbagi, gotong-royong, peduli sosial, yakni nyadran menjadi wujud syukur kepada
Tuhan lewat alam yang diberikannya.  Dalam berbudaya, beragama, dan
bersosial, nyadran memang bukan segalanya. Namun, segalanya bisa berawal dari sana.
Nyadran membangun masyarakat menjadi seimbang dan sesuai ruh Islam.
Lewat nyadran, masyarakat mampu menciptakan “kemesraan rohani” antara manusia,
alam dan Tuhan. Nyadran tak hanya urusan religi, namun erat kaitannya dengan budaya,
nasionalisme, bahkan pariwisata. Pemahaman nyadranharus komprehensif dan berbasis
masa depan. Lewat nyadran bangsa ini menjadi besar karena memegang teguh identitas,
kearifan lokal, dan nasionalisme. Nyadran memiliki nilai adhiluhung karena wujud relasi
antara manusia, leluhur, alam, dan Tuhan 

Anda mungkin juga menyukai