Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dea Novi Mahfiro

NIM : 121911433018

Prodi : Ilmu Sejarah

Arkeologi Transportasi
Judul Buku : Arkeologi Transportasi; Prespektif Ekonomi
dan Kewilayahan Keresidenan Banyumas 1830-
1940an

Pengarang : Dr. Purnawan Basundoro, S.S, M.Hum

Penerbit : Airlangga University Press

Halaman : xvi+240 halaman

Tahun Terbit : 2019

Cetakan : ke-1

ISBN : 978-602-473-019-8

Arkeologi Transportasi; Prespektif Ekonomi dan Kewilayahan Keresidenan


Banyumas 1830-1940an merupakan sebuah buku yang ditulis oleh bapak Purnawan
Basundoro mengenai perkembangan transportasi khususnya di wilayah keresidenan
Banyumas pada tahun 1830-1940an. Dalam buku ini menyajikan perkembangan alat
transportasi yang digunakan manusia untuk sarana mobilisasi mereka dan membawa
barang dalam jumlah banyak. Buku ini diharapkan agar para pembaca dapat memiliki
gambaran mengenai perkembangan transportasi di Indonesia khususnya Banyumas pada
rentang tahun 1830-1940an. Buku ini tersaji dalam beberapa BAB. Berikut merupakan
paparan dari garis besar beberapa BAB tersebut :

BAB 1 : Transportasi Sebagai Pembuka Isolasi

Transportasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam sektor


perekonomian karena kegiatan pengangkutan biasanya menjadi bagian tidak terpisahkan
dari aktivitas ekonomi. Melalui sistem transportasi, integrasi tidak semata-mata antara
konsumen dan produsen, tetapi juga meliputi integrasi ekonomi dalam lingkar
geografis. Pada awal abad ke-20, Banyumas merupakan tipologi daerah pedalaman
selatan Jawa bagian tengah yang sudah memiliki jaringan transportasi yang cukup
lengkap, mulai dari jaringan jalan darat, sungai, jaringan kereta api lokal dan regional,
serta memiliki pelabuhan samudra yang besar.
BAB 2 : Kondisi Geografis Dan Politik Banyumas Awal Abad Ke-19

Secara geografis, Banyumas merupakan wilayah yang secara umum bergunung-


gunung dan dibelah oleh banyak sungai. Kondisi geografis seperti tersebut
menunjukkan bahwa Banyumas pada awal abad ke-19 masih sulit untuk mengadakan
hubungan dengan daerah luar, apalagi sistem transportasi juga menjadi salah satu
kendala pada waktu itu. Politik Banyumas pada awal abad ke-19 secara resmi berada
dalam kekuasaan kolonial Belanda dikarenakan kekalahan yang dialami oleh Pangeran
Diponegoro saat perang melawan kolonial Belanda.

BAB 3 : Jaringan Transportasi Di Banyumas Awal Abad Ke-19

Sebelum akhir abad ke-19, seluruh alat transportasi manual atau tradisional yang
tidak menggunakan tenaga mesin, melainkan menggunakan tenaga hewan atau manusia
untuk menjalankannya.

BAB 4 : Kebijakan Tanam Paksa Di Banyumas

Indikator keberhasilan sistem tanam paksa di Banyumas dapat dilihat dari


jumlah panenan yang terus bertambah dari waktu ke waktu. Karena sasaran sistem
tanam paksa adalah pengumpulan hasil perkebunan, maka diperlukan pula sarana
pengangkutan yang memadai yang diperlukan untuk mengangkut hasi-hasil perkebunan
itu dari perkebunan ke pelabuhan.

BAB 5 : Sarana Transportasi Selama Masa Tanam Paksa

Ada beberapa cara mengangkut hasil perkebunan di Banyumas agar sampai ke


pelabuhan Cilacap yang selanjutnya akan dikapalkan ke Eropa. Cara yang pertama
melalui jalur darat dengan memanfaatkan jalan-jalan darat yang telah tersedia (gerobak
sapi/kerbau). Kedua, melalui jalur air dengan memanfaatkan sungai-sungai yang ada
(perahu) dan ketiga, kombinasi antara keduanya.

BAB 6 : Era Ekonomi Liberal

Keterlibatan swasta dalam pengangkutan hasil bumi produk dari sistem tanam
paksa di Banyumas sudah berlangsung lama. Peran tersebut sudah ada sebelum
pemerintah kolonial Belanda secara resmi memberlakukan sistem ekonomi liberal.
Ketika pihak swasta mulai terlibat aktif dalam pengangkutan produk-produk
milik pemerintah di Banyumas, perbaikan serta pengembangan infrastruktur transportasi
mulai dilakukan. Memasuki abad ke-20, hampir seluruh ruas jalan yang terdapat di
Keresidenan Banyumas yang menghubungkan kota-kota kabupaten dengan distrik dan
onderdistrik sudah dalam keadaan baik.

BAB 7 : Modernisasi Transportasi

Kereta api adalah alat yang paling modern yang ditemukan oleh manusia pada
awal abad ke-19. Beberapan tahun setelah transportasi kereta api dikembangkan di
Eropa, mulai muncul usulan agar jaringan kereta api juga dibangun di Hindia Belanda.
Wilayah Banyumas mulai menjadi bagian dari sistem jaringan kereta api ketika jaringan
kereta api negara Staatsspoorwegen (SS) yang mehubungkan Yogyakarta dan Cilacap
mulai terpasang.

BAB 8 : Perkembangan Wilayah Dan Pemukiman

Pernyataan bahwa transportasi merupakan unsur utama dalam perkembangan


sebuah wilayah perlu dikaji kebenarannya untuk kasus di Keresidenan Banyumas. Kota
Banyumas perlahan-lahan mengalami kemunduran sejak kereta api beroperasi di
wilayah Keresidenan Banyumas.

BAB 9 : Mobilitas Orang Dan Barang

Selama ratusan tahun masyarakat Banyumas hanya mengandalkan alam untuk


memperlancar pemindahan orang maupun barang. Kehadiran kereta api di wilayah
Banyumas telah mengubah mobilitas masyarakat setempat.

BAB 10 : Penutup; Eks Keresidenan Banyumas Periode Kontemporer

Jaringan transportasi beserta seluruh sistem yang menyertai telah berperan


membuka keterpencilan atau dengan kata lain telah membuka isolasi wilayah
Keresidenan Banyumas. Pengoperasian kereta api di sepanjang Lembah Serayu telah
“menyeret” alat angkut lain untuk ikut menyesuaikan diri dengan kebutuhan. Memasuki
tahun 1970-an, kebijakan pemerintah dan perusahaan kereta api atas pengelolaan
infrastruktur transportasi mengalami perubahan.
Pada periode ini, jalan-jalan darat mulai diperbaiki dan diaspal dengan baik.
Sejak saat itu, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan kereta api Lembah Serayu lambat
laun berhenti.

Kelebihan dari buku ini adalah pembahasan rinci yang sangat baik untuk
mahasiswa atau orang dewasa yang ingin mengetahui lebih lanjut tentang
perkembangan transportasi di Indonesia khususnya Banyumas pada abad ke-19.gambar-
gambar dan tabel yang disajikan pun membuat para pembaca semakin paham dengan
maksud yang diutarakan oleh penulis. Bahasanya yang digunakan baku tetapi terdapat
istilah-istilah berbahasa Belanda yang kurang bisa dipahami oleh para pembaca.

Kekurangan dari buku ini adalah terdapat pada sampulnya yang tidak bertekstur
(timbul) sehingga hal tersebut dapat membingungkan pembeli buku mengenai keaslian
buku tersebut. Tapi para pembaca yang ingin memiliki buku ini tidak perlu khawatir
karena tentunya dapat dibedakan mana yang buku asli dengan buku yang palsu melalui
gambar-gambar yang ada di dalam buku tersebut memiliki warna atau tidak. Jika
berwarna, maka buku tersebut dijamin keasliannya.

Buku ini bagus karena sangat rinci dalam penyampaian, karena didalamnya
memuat ilmu pengetahuan tentang sejarah perkembangan transportasi di Banyumas
pada awal abad ke-19. Tetapi buku ini memiliki sedikit cela pada penggunaan istilah-
istilah berbahasa Belanda yang kurang dimengerti para pembaca. Buku ini cocok
digunakan bagi mahasiswa yang kuliah dijurusan sejarah sehingga dapat dijadikan
referensi kita akan meneliti alat transportasi yang ada di Indonesia. Buku ini juga dapat
dijadikan para dosen sebagai bahan ajar mereka saat di kelas.

Anda mungkin juga menyukai