Anda di halaman 1dari 15

Industri Kereta dan Trem dalam Penyerapan Tenaga Kerja dan

Peningkatan Ekonomi di Surabaya Tahun 1900–1930

Muhammad Rizky Pradana


121911433080
Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
Jl. Dharmawangsa Dalam, Gubeng, Surabaya 60286

ABSTRAK

Industri kereta dan trem menjamur di Hindia Belanda seiring dengan meningkatnya kebutuhan
akan pengangkutan komoditas perkebunan dari wilayah pedalaman menuju pesisir. Surabaya salah
satu titik simpang jalur perkeretaapian di Jawa Timur memiliki andil yang besar dalam menopang
ekonomi. Semua komoditas ekspor dan impor ke seluruh pelosok Jawa Timur pastilah melewati
Surabaya. Sehingga peran pentingnya dalam menopang ekonomi ini dapat dilihat dengan adanya
industri transportasi, yaitu kereta dan trem yang berbisnis di Surabaya. Untuk melihat seberapa
jauh pengaruh hadirnya industri perkeretaapian terhadap penyerapan tenaga kerja juga peningkatan
ekonomi di Surabaya tahun 1900–1930. Perlu adanya analisis terhadap keuntungan perusahaan
dan upah para buruh yang terkait dengan industri tersebut. Didapatkan fakta bahwa industri kereta
dan trem berpengaruh signifikan dalam peningkatan ekonomi di Surabaya, namun kepada negara,
pemegang saham, dan elit perusahaan. Sedangkan buruh-buruh khususnya dari kalangan
bumiputra kurang merasakan dampak dari keuntungan besar yang diperoleh perusahaan-
perusahaan tadi. Industri ini juga berhasil menyerap banyak tenaga kerja baik tetap maupun
sirkuler. Meskipun dengan upah yang terbilang kecil.
Kata kunci: pelabuhan, pelayaran, perdagangan.

LATAR BELAKANG

Industri perkeretaapian hadir di Hindia Belanda untuk menjawab masalah


pengangkutan komoditas di pedalaman yang sebagian besar merupakan hasil
perkebunan. Industri layanan perkeretaapian baik kereta jarak jauh atau trem yang
berjarak pendek kemudian kian menjamur di Hindia Belanda, terutama di Jawa.
Jalur-jalur ini kemudian juga digunakan sebagai andalan utama dalam
mengangkut komoditas yang ramai dalam pasar ekspor: gula. Sehingga diperlukan
juga akses dari jalur-jalur kereta dan trem menuju pabrik gula. Baik secara

1
langsung menggunakan rel-rel atau yang tidak langsung menggunakan alat
pengangkutan lain, semisal cikar atau dokar, atau bahkan dipanggul dari pabrik
gula ke halte atau stasiun terdekat.

Surabaya merupakan pintu gerbang menuju dunia luar. Komoditas impor


dan ekspor masuk melalui pelabuhan di Surabaya. Surabaya yang menjadi jujukan
komoditas dari dan ke seluruh daerah di Jawa Timur memiliki peran yang sangat
penting dalam menopang ekonomi negara.Tentu saja industri perkeretaapian yang
ada di Surabaya akan memberikan andil terhadap peningkatan ekonomi di
Surabaya. Namun sampai sejauh mana? Benarkah hal demikian dapat
meningkatkan ekonomi Surabaya? Industri ini juga melibatkan banyak orang
untuk bergerak dan bekerja di dalamnya. Lalu seberapa banyak tenaga kerja yang
diserap oleh industri ini?

Tulisan ini membatasi pada dua permasalahan utama, yaitu peningkatan


ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Untuk batasan tematiknya adalah pengaruh
industri kereta dan trem terhadap dua masalah yang telah disebutkan di atas.
Batasan spasial yang dipilih adalah Surabaya, karena titik simpang jalur kereta
dan trem terbesar setelah Semarang. Surabaya juga muara dari pabrik gula yang
tersebar di Jawa Timur, yang mana Jawa Timur memiliki jumlah pabrik gula
paling banyak. Sedangkan batasan temporal adalah tahun 1900 sebagai temporal
awal ketika jalur pertama NIS di resmikan dan menuju awal abad yang baru—
abad XX, serta temporal akhir di tahun 1930 ketika dampak depresi ekonomi
mulai terasa di Hindia Belanda.

Surabaya sebelum tahun 1906 masih berstatus sebagai afdeeling atau


setara dengan kota/kabupaten. Baru kemudian pada tanggal 1 April 1906 berganti
status menjadi gemeente atau kota otonom/kotapraja. Pergantian status tersebut
merupakan tindak lanjut dari disahkannya Undang-Undang Desentralisasi Tahun
1903 atau Decentralisatie Wet 1903.1

Sistem perkeretaapian yang modern telah menggeser cukup signifikan


penggunaan transportasi air dan darat biasa. Penggunaan transportasi air di
Surabaya sangat bergantung kepada keberadaan Sungai Brantas dan Kalimas.
1
Widi Sudarmawan, Gemeente Surabaya 1906-1942 (Surabaya: Pustaka Indis, 2021), hlm. 52.

2
Penggunaan jalan darat bertumpu kepada jalan-jalan pada umumnya dan jalan
pos.2 Meski transportasi air di Sungai Brantas dan Kalimas mungkin tidak sepadat
sebelum adanya jaringan kereta menuju pelabuhan. Sekitar 80% dari ekspor gula
di Jawa berasal dari Surabaya. Harga gula pun sempat melonjak pasca Perang
Dunia 1 di tahun 1919 dan 1920 berkisar hingga 69 sen per kilogram.3

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa penelitian yang dijadikan tinjauan pustaka, antara lain sebagai


berikut. Pertama, buku yang merupakan hasil skripsi dari Rachmad Ersan Satrio
yang berjudul Sejarah Kereta Api di Sidoarjo 1875–1942. Buku merupakan alih
karya tulis dari sebelumnya yang berbentuk skripsi. Namun, strukturnya tidak
diubah sedemikian jauh dari asalnya. Buku ini membahas jalur kereta milik SS di
Regentschaap Sidoarjo yang dibatasi oleh temporal dari tahun 1875 hingga tahun
1942. Adapun jalur yang dibahas dalam buku ini antara lain ruas Wonokromo–
Tarik, Wonokromo–Porong, dan Sidoarjo–Tarik. Dijelaskan juga tahap
pembangunan, pengelolaan, dan dampak secara ekonomi, sosial, dan spasial.4

Kedua, tulisan dari Purnawan Basundoro yang berjudul Arkeologi


Transportasi: Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Keresidenan Banyumas
1830–1940an. Buku tersebut mengkaji tentang dinamika jaringan jalan dan rel di
Keresidenan Banyumas dari masa tanam paksa hingga masa liberal. Terdapat
salah satu bab khusus yang membahas Serajoedal Stoomtram Maatschappij
(SDS)—sebuah perusahaan trem swasta di sekitaran Lembah Serayu.5

2
Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, “Kebijakan Perekonomian Gemeente Surabaya Tahun 1906-
1942” (Surabaya: Universitas Airlangga, 2016), hlm. 35.
3
Nasution, “Economic Development of Colonial Surabaya and Its Impact on Natives, 1830-1930,”
Historia: International Journal of History Education 12, no. 1 (2011): hlm. 72,
doi:10.17509/historia.v12i1.12118.
4
Rachmad Ersan Satrio, Sejarah Kereta Api Di Sidoarjo 1875-1942, ed. Diki Febrianto (Surabaya:
Pustaka Indis, 2021).
5
Purnawan Basundoro, Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi Dan Kewilayahan
Keresidenan Banyumas 1830-1940an (Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Universitas
Airlangga, 2019).

3
KERANGKA KONSEPTUAL

Pengertian ekonomi, dalam definisi dan pengembangannya menjadi sangat


banyak bercabang dan variatif. Secara bahasa, ekonomi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu berasal dari kata oikos dan nomos yang berarti pengaturan rumah
tangga.6 Pengertian ekonomi secara klasik menurut Lionel Robbins adalah sebuah
studi tentang penggunaan sumber daya langka yang mempunyai kegunaan
alternatif.7

Dalam jasa perkeretaapian, hal-hal yang berkaitan erat dengan aktivitas


ekonomi adalah tenaga kerja, upah, dan tiket. Tenaga kerja adalah sumber daya
manusia yang menjadi bagian dari faktor produksi dan berperan menjalankan
kegiatan produksi baik dalam sektor barang ataupun jasa. Upah adalah imbalan
atau balas jasa dari para produsen baik dari sektor barang ataupun jasa terhadap
tenaga kerja atas kerjanya dalam kegiatan produksi.8

Pembuatan barang membutuhkan beberapa hal antara lain, tenaga manusia,


sasaran atau tujuan mengenai barang yang akan diproduksi, dan alat-alat kerja.9
Jasa juga demikian, sehingga industri kereta dan trem membutuhkan hal-hal di
atas untuk memberikan pelayanan dan menarik keuntungan dari pelayanan jasa
industri perkeretaapian.

SEKILAS INDUSTRI KERETA DAN TREM DI SURABAYA

Jalur kereta pertama di Surabaya diresmikan pada 16 Mei 1878.


Pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan peraturan mengenai
pembangunan jalur kereta dari Surabaya hingga Pasuruan melewati Sidoarjo pada

6
Muhammad Dinar and Muhammad Hasan, Pengantar Ekonomi: Teori Dan Aplikasi, CV. Nur
Lina (CV Nur Lina, 2018), hlm. 1-2.
7
Thomas Sowell, Basic Economics: A Common Sense Guide to the Economy, 5th ed. (New York:
Basic Books, 2015), hlm. 2.
8
Dinar and Hasan, op. cit., hlm. 41-43.
9
Semaun, Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin, ed. Rukardi (Semarang: Sinar
Hidup, 2020).

4
10
5 April 1875. Jalur tersebut di kelola oleh perusahaan milik negara,
Staatsspoorwegen (SS) serta menjadi bagian dari daerah eksploitasi timur atau
jalur timur (Oosterlijnen).

Jalur yang dimiliki SS di Surabaya mengarah ke Jember dan Banyuwangi


via Pasuruan, menuju arah Solo melewati Kertosono serta jalur kantong dari
Bangil, Malang, Blitar, Kediri, dan Kertosono. SS juga menguasai jalur-jalur
pelabuhan di Surabaya. Seperti Stasiun Kalimas dan Benteng (Prins Hendrik)
yang dekat dengan pelabuhan.

Kemudian Oost-Java Stoomtram Maatschappij (OJS) mengikuti jejak dari


SS dengan meresmikan jalur trem dalam kota dari Wonokromo hingga Ujung
pada rentang tahun 1889–1916 dan dari Wonokromo hingga Krian pada rentang
tahun 1890–1898.11 OJS mengelola jalur trem dalam kota, baik jalur trem uap atau
jalur yang telah dielektrifikasi.

Nederlandsch-Indisch Spoorweg Maatschappij (NIS) meresmikan jalur


trem dari Lamongan hingga Surabaya pada tahun 1900. Jalur keseluruhan dari
Gundih hingga Surabaya selesai pada tahun 1903.12 NIS menjadi jujukan utama
para calon penumpang yang hendak berpergian ke Gundih atau Semarang. Juga
daerah-daerah di antara Gundih dan Surabaya seperti Gresik, Lamongan, Babat,
Bojonegoro, Blora, Cepu, dan Grobogan.

Adanya ketiga perusahaan yang bergerak dalam industri perkeretaapian


baik milik negara maupun swasta. Telah membuat Surabaya menjadi titik
simpang jalur perkeretaapian besar setelah Semarang. Dalam lampiran buku
kenang-kenangan perusahaan Semarang-Joana Stoomtram Maatschappij (SJS)
disebutkan bahwa SS Oosterlijnen menguasai akses ke 62 pabrik gula yang
tersebar di Jawa Timur, OJS memililki akses ke 5 pabrik gula di jalur Mojokerto–
Ngoro–Dinoyo, sedangkan NIS hanya mengusai 2 pabrik gula di sepanjang jalur
Gundih–Surabaya.

10
Satrio, op. cit., hlm. 67-72.
11
S. A. Reitsma, Korte Geschiedenis Der Nederlandsch-Indische Spoor- En Tramwegen
(Weltevreden: G. Kolff & Co., 1928); Andrik Sulistyawan, “Jaringan Transportasi Dan
Operasionalisasi Trem OJS Di Karesidenan Surabaya 1889-1930an” (Universitas Airlangga, 2012),
hlm. 53-54.
12
Reitsma, op. cit., hlm. 119.

5
PENINGKATAN EKONOMI DI SURABAYA

Peningkatan ekonomi di Surabaya bisa dilihat melalui beberapa faktor.


Apabila ingin melihat secara makro, maka bisa dengan melihat pendapatan
perusahan yang bergerak pada industri perkeretaapian. Terutama keterkaitan
dengan negara atau yang dikenai hak pajak oleh negara. Sehingga negara bisa
menyalurkan kembali ke masyarakat. Kemudian secara mikro, dengan melihat
kesejahteraan orang-orang yang memiliki hubungan atau keterkaitan dengan
industri ini.

Pengeluaran dari seorang keluarga petani yang terdiri atas bapak, ibu, 2
anak laki-laki, dan 1 anak perempuan secara kasar berkisar ƒ 120. Dari jumlah
total tersebut hampir separuhnya merupakan bagian dari makanan pokok (nasi)
dan makanan lain sebesar ƒ 58. 13 Hal ini tentu akan membengkak untuk
masyarakat yang tinggal di perkotaan. Terutama di masa-masa krisis ekonomi
pasca Perang Dunia I juga Depresi Besar di tahun 1930an.

Tidak disebutkan hitungan tersebut untuk per bulan atau tahun. Namun
kemungkinan besar adalah per tahun. Karena jumlah ƒ 58 bagian untuk makanan
pokok dan lainnya adalah jumlah yang besar.

Jumlah Penduduk Bumiputra yang Dikenai Pajak Penghasilan Tahun 1900–1909


Pendapatan di atas ƒ Pendapatan hingga
Tahun Total
2.500 atau sama ƒ 2.500
1900 688 1.055.694 1.056.382
1901 672 1.053.305 1.053.977
1902 730 1.014.570 1.015.300

13
Onderzoek Naar de Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En Madoera: IXB
Overzicht van de Uitkomsten Der Gewestelijke Onderzoekingen Naar de Economie van de Desa in
Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen Deel II: Slotsbeschouwingen (Batavia: G. Kolff & Co., 1912),
hlm. 53.

6
1903 612 977.988 978.600
1904 655 977.904 978.559
1905 706 1.045.578 1.046.284
1906 798 1.186.043 1.186.841
1907 697 865.318 866.015
1908 906 909.210 9.3.116
1909 897 929.387 930.284
Sumber: Onderzoek naar de Mindere Welvaart der Inlandsche Bevolking op Java
en Madoera: IXB Overzicht van de Uitkomsten der Gewestelijke Onderzoekingen
naar de Economie van de Desa in Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen Deel II:
Slotsbeschouwingen.14

Laporan mengenai kesejahteraan bumiputra di Jawa dan Madura pada


tahun 1911 melaporkan cukup rinci mengenai pengupahan dan alokasi jam kerja
untuk bumiputra. Berkisar 20–40 sen untuk laki-laki; 10–20 sen untuk
perempuan; dan 10–20 sen untuk anak-anak. Dengan jam kerja selama 10–11 jam,
dengan rincian masuk kerja antara pukul 6 dan 7 pagi dan pulang kerja pukul 5
petang serta jam istirahat antara setengah hingga satu jam.15

Jumlah Pendapatan, Pengeluaran, dan Keuntungan Jalur Gundih–Surabaya NIS


Tahun 1913–1930
Tahun Pendapatan Pengeluaran Keuntungan
1913 2.152.476,93 1.060.399,68 1.092.077,25
1914 2.293.747,36 1.159.338,25 1.134.409,11
1915 2.480.700,27 1.404.962,16 1.075.738,11
1916 2.819.397,38 1.423.293,71 1.396.103,67
1917 3.126.344,81 1.687,630,34 1.438.714,47
1918 3.407.051,54 1.948.717,50 1.458.334,04

14
Ibid., hlm. 157.
15
Onderzoek Naar de Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En Madoera: IXC
Overzicht van de Uitkomsten Der Gewestelijke Onderzoekingen Naar de Economie van de Desa in
Daaruit Gemaakte Gevolgtrekkingen Deel III: Bijlagen (Batavia: G. Kolff & Co., 1911), hlm. 98-
99.

7
1919 3.900.538,36 2.316.472,08 1.584.066,28
1920 5.040.096,92 2.870.382,73 2.169.714,19
1921 - - -
1922 4.726.059,24 3.350.254,24 1.375.805,00
1923 4.895.099,57 3.321.153,37 1.573.946,20
1924 4.810.597,23 3.175.245,70 1.635.351,53
1925 4.864.628,98 3.150.157,85 1.714.471,13
1926 4.752.163,17 3.163.491,47 1.588.671,70
1927 - - -
1928 - - -
1929 7.023.268,62 3.672.167,72 3.351.100,90
1930 5.680.689,45 3.607.981,17 2.072.708,28
Sumber: Verslag van den Raad van Beheer der Nederlandsch-Indische Spoorweg-
Maatschappij over het Jaar 1913-1930.16

Angka-angka di atas sangat fantastis. Karena keuntungan yang berkisar


hampir selalu di atas jutaan gulden tersebut. Nilai fantastis itu hanya dirasakan
oleh pemegang saham (andeelhouders), elit perusahaan, eksekutif perusahaan,
dan negara (apabila berurusan dengan pajak atau perusahaan milik negara).

Jumlah Rasio Hasil Bersih terhadap Modal dalam Jalur Kereta dan Trem di Jawa
Tahun 1900–1905
Tahun SS Jalur Timur NIS GS OJS
1900 5,9 0,9 5,5
1901 5,9 0,8 4,6
1902 5,3 1,5 4,1
1903 5,1 2,8 4,3
1904 5,5 3,5 6,1
1905 6,4 3,7 7,2

16
Verslag van Den Raad van Beheer Der Nederlandsch-Indische Spoorweg-Maatschappij over
Het Jaar 1913-1930 (’S-Gravenhage, n.d.).

8
Sumber: De Tramwegen op Java: Gedenkboek Samengesteld ter
Gelenheid van het Vijf en Twintig-Jarig Bestaan der Samarang-Joana Stoomtram
Maatschappij.17

Dari tabel rasio di atas. Dapat terlihat perubahan yang signifikan untuk
jalur Gundih–Surabaya milik NIS yang bertambah secara signifikan. OJS
mengalami penurunan kemudian bertambah dengan hasil yang lumayan bagus.
Sedangkan SS hampir mirip dengan OJS, sempat menurun kemudian menanjak
lagi.18

PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA INDUSTRI KERETA DAN


TREM DI SURABAYA

Sekitar 3.684 buruh diperkerjakan dalam industri perkeretaapian pada


tahun 1915.19 Di tahun 1929, SS memperkerjakan 43.341 buruh, baik bumiputra
maupun etnis Tionghoa dan hanya 6.335 di antaranya yang menjadi buruh tetap.
Selebihnya sekitar 26.923 adalah buruh musiman dan lebih rinci 10.033 adalah
buruh harian. 20 Tahun 1930, perusahaan-perusahaan kereta api memperkerjakan
sekitar 60.000 buruh dan hanya sekitar 9.600 di antaranya adalah buruh terampil.
Hal tersebut terjadi pada perusahaan milik negara dan swasta.21

17
M. M. Couveé, De Tramwegen Op Java: Gedenkboek Samengesteld Ter Gelenheid van Het Vijf
En Twintig-Jarig Bestaan Der Samarang-Joana Stoomtram Maatschappij (’S-Gravenhage: F.J.
Belinfante v.h. A.D. Schinkel, 1907), hlm. bijlage vii.
18
Hal yang perlu diketahui terkait data di atas adalah pencantuman data milik SS dan OJS adalah
data total dari keseluruhan jalur dan cabang yang dimilikinya. SS Jalur Timur atau oosterlijnen
mencangkup wilayah sebagian Jawa Tengah dan seluruh Jawa Timur. Sedangkan jalur milik OJS
mencangkup dari Surabaya hingga Krian dan Mojokerto hingga Ngoro dan Dinoyo. Sedangkan
data dari NIS spesifik pada jalur Gundih–Surabaya saja.
19
John Ingleson, Tangan Dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja Dan Perkotaan Masa
Kolonial, ed. Iskandar P. Nugraha (Jakarta: Komunitas Bambu, 2004), hlm. 188.
20
John Ingleson, Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s (Leiden: Brill,
2014), hlm. 6-7, doi:10.1080/00074918.2015.1023416.
21
Ingleson, op. cit., 2004, hlm. 190.

9
Meskipun industri kereta dan trem menyerap begitu banyak buruh.
Mayoritas buruh tersebut merupakan penduduk sirkuler dan akan pulang ke desa
asal di waktu perayaan hari besar semisal lebaran.

Rentang Upah Harian Kuli dalam Perusahaan Kereta dan Trem di Jawa Tahun
1909–1912 (dalam satuan sen)
Tahun Upah
1903 27–37
1904 24–38
1905 23–35
1906 23–37
1907 25–38
1908 24–40
1909 23–40
1910 23–40
1911 25–30
1912 23–36
Sumber: Sejarah Kereta Api di Sidoarjo 1875–1942.22

Apabila mengambil titik tengah atau median dari data tersebut. Kemudian
dirata-ratakan dalam rentang tahun 1903–1912 atau selama 10 tahun. Maka akan
diperoleh upah rata-rata sebesar 30,55 sen tiap harinya. Apabila dikali dengan 30
hari, maka akan didapat 916,5 sen atau setara dengan ƒ 9,165 per bulan. Dan
apabila dikalikan dengan 365 hari, maka didapatkan 11.150,75 sen atau setara
dengan ƒ 111,5075.

Angka ƒ 9,165 lebih kecil daripada rata-rata upah buruh tetap yang
berkisar di bawah ƒ 50 dan ƒ 20. Upah tersebut kemungkinan merupakan jumlah
upah untuk bumiputra, buruh kasar sejumlah atau kurang dari ƒ 20, dan buruh
terampil sejumlah atau kurang dari ƒ 50.

22
Satrio, op. cit., hlm. 95.

10
CABANG SERIKAT BURUH KERETA DAN TREM DI SURABAYA

Buruh dalam industri kereta dan trem memiliki wadah sendiri dalam
berkumpul, berserikat, serta mendukung mereka dalam usaha untuk memperbaiki
kesejahteraan. Staatsspoor Bond (SS Bond) didirikan oleh para buruh terampil
yang bekerja dalam SS pada tahun 1905. SS Bond mayoritas beranggotakan
pekerja dari Eropa dan hanya sedikit dari kalangan bumiputra. Kalangan
berjumlah sedikit itu pula, tidak memiliki hak yang setara dengan pekerja dari
Eropa, salah satunya tidak memiliki hak pengambilan suara.

Vereeniging Spoor- en Tramweg Personeel (VSTP) didirikan pada 14


November 1908 di Semarang. VSTP berdiri sebagai salah satu perserikatan buruh
tertua di Hindia Belanda.23 VSTP awalnya mayoritas beranggotakan orang Eropa
kemudian secara perlahan tergantikan oleh mayoritas dari bumiputra. Pemogokan
yang paling terkenal dan berdampak besar adalah yang pecah pada tahun 1923.
Namun sayangnya VSTP harus ikut kena sapu pemerintah kolonial antara tahun
1926 akhir dan 1927 awal. Karena keterkaitannya dengan Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang melakukan pemberontakan pada tahun 1926.

Perhimpunan Beambte Klas II Spoor dan Tram (PBST) muncul di


Bandung pada tahun 1926. PBST ini juga merupakan usaha untuk tetap
meneruskan gerakan serikat buruh setelah sebelumnya VSTP kena sikat
pemerintah.24

Serikat Kerja Buruh Indonesia (SKBI) hanya memiliki 200 anggota di


tahun 1928 yang mana tersebar di sekitar 10 jenis grup industri, salah satunya
adalah industri perkeretaapian.25 Perkembangannya begitu cepat, pada Maret 1929
terdapat sekitar 450 anggota yang telah tergabung ke dalamnya, 175 di antaranya
bekerja dalam industri perkeretaapian. Estimasi oleh pemerintah, meningkat lagi

23
John Ingleson, “‘Bound Hand and Foot’: Railway Workers and the 1923 Strike in Java,”
Indonesia 31 (1981): 53–87.
24
Ingleson, op. cit., 2004, hlm. 273.
25
Ingleson, op. cit., 2014, hlm. 110.

11
dalam waktu singkat, pada bulan Mei sekitar 570 anggota dan akhir Juli sekitar
617 anggota.26

Pada Agustus 1929 OJS Bond Indonesia (OJS BI) dibentuk dengan PNI
dan Studi Klub Indonesia menjadi penggerak di belakangnya. OJS BI adalah
tempat bernaung untuk buruh yang bekerja pada perusahaan swasta OJS. 27
Kemudian berganti nama menjadi Persatuan Pegawai Partikelir Tramlijnen
Indonesia (PPPT) pada Agustus 1930.28

PEMOGOKAN BURUH UNTUK PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

Pemogokan di antara para buruh yang bekerja pada industri perkeretaapian


telah banyak dilakukan. Aksi pemogokan tersebut pun bermacam-macam, ada
yang berpangkal dari bawah, juga ada yang bersumber dari atas. Mayoritas yang
menjadi masalah pokok pemogokan adalah upah dan jam kerja.

Upah yang terpotong-potong karena berbagai faktor, mulai dari kenaikan


tunjangan hingga sewa rumah tinggal bagi buruh. Seperti contoh di tahun 1923,
SS menurunkan gaji buruh yang berpenghasilan rendah atau di bawah ƒ 20 per
bulan sebanyak 21%. Kondisi di perusahaan swasta pun juga mengenaskan,
terdapat pemotongan gaji hingga sebesar 13,5%.29

Pemogokan pada industri perkeretaapian paling besar terjadi pada 9 Mei


1923.

KESIMPULAN

26
Ibid., hlm. 112-113.
27
Ibid., hlm. 132.
28
Ibid., hlm. 177.
29
Ingleson, op. cit., 2004, hlm. 56.

12
Dengan melihat keuntungan yang besar di perusahaan kereta dan trem
swasta, memberikan gambaran betapa makmurnya para pemilik modal dan elit-
elit perusahaan.30 Hal tersebut berbanding terbalik dengan apa yang diterima oleh
buruh yang bekerja dalam industri tersebut. Utama buruh bumiputra, baik yang
terampil maupun tidak.

Salah satu masalah utama dalam sistem upah yang tidak seimbang ini
adalah masalah rasial. Permasalahan yang klise dan umum namun sangat sulit
untuk diatasi. Buruh-buruh bumiputra mendapatkan upah yang kecil, lebih kecil
dari etnis Tionghoa bahkan orang Eropa. Meskipun memiliki tugas dan
kedudukan yang sama, upah yang didapatkan buruh bumiputra tetap rendah.

Masalah upah ini pula menjalar menjadi permasalahan yang lain, utang.
Banyak buruh yang terlilit utang, karena pendapatan mereka yang lebih kecil dari
kebutuhan pengeluaran mereka.

Sehingga hadirnya industri kereta dan trem ini berpengaruh sangat


signifikan dalam membantu perekonomian Surabaya dalam skala makro.
Angkutan-angkutan komoditas dari pedalaman pun harus melewati Pelabuhan
Surabaya. Layanan kereta dan trem menjadi jawaban dari solusi pengangkutan.
Pemegang saham pun mendapatkan untung dari industri ini.

Namun menilik masyarakat menengah ke bawah, yang mayoritas adalah


bumiputra. Utamanya mereka yang bekerja dalam industri perkeretaapian ini.
Tidaklah mendapatkan dampaknya secara langsung. Malah tidak ada peningkatan
ekonomi yang mereka rasakan. Terlebih mayoritas buruh bumiputra merupakan
buruh kurang terampil yang diupah sangat rendah. Sehingga peningkatan ekonomi
tersebut hanya dirasakan negara melalui SS, pemegang saham dan elit perusahaan
melalui perusahaan kereta dan swasta, serta buruh-buruh terutama dari orang
Eropa dan yang memiliki keterampilan khusus.

Penyerapan tenaga kerja oleh industri perkeretaapian juga sangat tinggi.


Terutama buruh tidak tetap dan buruh harian.

30
Setidaknya melalui laporan-laporan berkala milik OJS dan NIS. Tidak ditemukan data pada
laporan berkala milik SS karena masalah keterbatasan akses.

13
DAFTAR REFERENSI

Anwari, Ikhsan Rosyid Mujahidul. “Kebijakan Perekonomian Gemeente Surabaya


Tahun 1906-1942.” Surabaya: Universitas Airlangga, 2016.

Basundoro, Purnawan. Arkeologi Transportasi: Perspektif Ekonomi Dan


Kewilayahan Keresidenan Banyumas 1830-1940an. Surabaya: Pusat
Penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga, 2019.

Couveé, M. M. De Tramwegen Op Java: Gedenkboek Samengesteld Ter


Gelenheid van Het Vijf En Twintig-Jarig Bestaan Der Samarang-Joana
Stoomtram Maatschappij. ’S-Gravenhage: F.J. Belinfante v.h. A.D. Schinkel,
1907.

Dinar, Muhammad, and Muhammad Hasan. Pengantar Ekonomi: Teori Dan


Aplikasi. CV. Nur Lina. CV Nur Lina, 2018.

Ingleson, John. “‘Bound Hand and Foot’: Railway Workers and the 1923 Strike in
Java.” Indonesia 31 (1981): 53–87.

———. Tangan Dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja Dan
Perkotaan Masa Kolonial. Edited by Iskandar P. Nugraha. Jakarta:
Komunitas Bambu, 2004.

———. Workers, Unions and Politics: Indonesia in the 1920s and 1930s. Leiden:
Brill, 2014. doi:10.1080/00074918.2015.1023416.

Nasution. “Economic Development of Colonial Surabaya and Its Impact on


Natives, 1830-1930.” Historia: International Journal of History Education
12, no. 1 (2011). doi:10.17509/historia.v12i1.12118.

Onderzoek Naar de Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En


Madoera: IXB Overzicht van de Uitkomsten Der Gewestelijke
Onderzoekingen Naar de Economie van de Desa in Daaruit Gemaakte
Gevolgtrekkingen Deel II: Slotsbeschouwingen. Batavia: G. Kolff & Co.,

14
1912.

Onderzoek Naar de Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En


Madoera: IXC Overzicht van de Uitkomsten Der Gewestelijke
Onderzoekingen Naar de Economie van de Desa in Daaruit Gemaakte
Gevolgtrekkingen Deel III: Bijlagen. Batavia: G. Kolff & Co., 1911.

Reitsma, S. A. Korte Geschiedenis Der Nederlandsch-Indische Spoor- En


Tramwegen. Weltevreden: G. Kolff & Co., 1928.

Satrio, Rachmad Ersan. Sejarah Kereta Api Di Sidoarjo 1875-1942. Edited by


Diki Febrianto. Surabaya: Pustaka Indis, 2021.

Semaun. Tenaga Manusia: Postulat Teori Ekonomi Terpimpin. Edited by Rukardi.


Semarang: Sinar Hidup, 2020.

Sowell, Thomas. Basic Economics: A Common Sense Guide to the Economy. 5th
ed. New York: Basic Books, 2015.

Sudarmawan, Widi. Gemeente Surabaya 1906-1942. Surabaya: Pustaka Indis,


2021.

Sulistyawan, Andrik. “Jaringan Transportasi Dan Operasionalisasi Trem OJS Di


Karesidenan Surabaya 1889-1930an.” Universitas Airlangga, 2012.

Verslag van Den Raad van Beheer Der Nederlandsch-Indische Spoorweg-


Maatschappij over Het Jaar 1913-1930. ’S-Gravenhage, n.d.

15

Anda mungkin juga menyukai