Anda di halaman 1dari 182

i

ii
SEJARAH JALUR KERETA API
BANJAR-PANGANDARAN-CIJULANG
1916-2018

PENULIS

Gurnito Rakhmat Wijokangko


Intrias Ovjantiono Herlistiarto
Adhitya Hatmawan

DIREKTORAT SEJARAH
DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2019

iii
SEJARAH JALUR KERETA API
BANJAR-PANGANDARAN-CIJULANG
1916-2018

Penulis :
Gurnito Rakhmat Wijokangko
Intrias Ovjantiono Herlistiarto
Adhitya Hatmawan

Penyunting :
Aditya Dwi Laksana

Tata Letak :
Fadliansyah

Perancang Sampul :
Fadliansyah

Penerbit :
Direktorat Sejarah
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Kompleks Kemdikbud, Gedung E, Lantai 9,
Jl. Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta 10270,
Telp: 0215725540
Cetakan Tahun 2019
ISBN :

Katalog Dalam Terbitan


Sejarah Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran-Cijulang 1916-2018
Gurnito Rakhmat W, dkk
Jakarta: Direktorat Sejarah
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
(xxvii + 147 Hlm; 17 X 26 cm)

Hak Cipta pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan


Dilindungi Undang-Undang

MILIK NEGARA
TIDAK DIPERDAGANGKAN

iv
KATA PENGANTAR

Kecintaan dan kepedulian pada warisan bersejarah perkeretaapian Indonesia.


Hal inilah yang mendorong kami untuk menyusun buku mengenai sejarah
perkeretaapian Indonesia, khususnya tentang riwayat Jalur Kereta Api Nonaktif
Banjar-Pangandaran-Cijulang. Kehadiran perkeretaapian di Indonesia telah
melewati perjalanan yang panjang. Sejarah perkeretaapian telah menjadi bagian
dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia, dan bahkan perkeretaapian
sudah hadir di Indonesia jauh sebelum bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya.

Perkeretaapian di Indonesia dari awal perjalanannya di masa pemerintah


kolonial Hindia Belanda hingga sekarang mengalami berbagai masa pasang
surut. Sempat mengalami masa keemasan, dan bahkan termasuk yang termaju
pada zamannya untuk kawasan Asia, dengan jaringan KA yang bertumbuh
pesat. Namun, seiring dinamika perkembangan zaman, saat ini ribuan
kilometer jalur Kereta Api (KA) di Indonesia sudah tidak beroperasi lagi dan
menjadi jalur mati. Jalur KA nonaktif ini meninggalkan warisan kesejarahan
yang amat berharga bagi bangsa ini berupa tinggalan-tinggalan aset bersejarah
perkeretaapian yang dapat dimanfaatkan agar memiliki nilai edukasi
dan ekonomi.

Buku “Sejarah Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran-Cijulang


1916-2018” ini lahir dari keinginan untuk turut berkontribusi, tidak hanya
dalam hal berbagi wawasan mengenai sejarah perkeretaapian, namun turut
pula mendorong upaya pelestarian aset perkeretaapian yang bernilai sejarah,
khususnya yang terletak jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang.
Buku ini melukiskan riwayat, profil, tinggalan-tinggalan bersejarah dan
upaya pelestarian serta juga mengupas potensi pemanfaatan aset bersejarah
dan potensi reaktivasi perkeretaapian untuk mengembangkan perekonomian
wilayah setempat, terutama ekonomi berbasis wisata.

Semoga kehadiran buku ini dapat memberikan manfaat dalam memperkaya


khasanah pustaka sejarah perkeretaapian di Indonesia.

Bandung, 10 November 2019

Kereta Anak Bangsa

v
vi
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Gurnito Rakhmat Wijokangko


KTP : 3172053005900004
Tahun Terbit : 2019

dengan ini menyatakan bahwa judul buku “Sejarah


Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran-Cijulang
1916-2018 ”, benar bebas dari plagiat, dan apabila
pernyataan ini terbukti tidak benar maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai ketentuan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat untuk


dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bandung, 01 Desember 2019


Yang membuat pernyataan,

Gurnito Rakhmat Wijokangko

vii
viii
LEMBAR PENGESAHAN PENDAMPING

Menyatakan bahwa judul buku

“Sejarah Jalur Kereta Api


Banjar-Pangandaran-Cijulang
1916-2018”

telah disetujui oleh

Pembimbing

Dr. Iwan Hermawan, M.Pd


1972070119980210006

ix
x
Buku
“Sejarah Jalur Kereta Api
Banjar-Pangandaran-Cijulang
1916-2018”

mendapat dukungan penuh oleh

xi
xii
SAMBUTAN DIREKTUR SEJARAH
KEMENTERIAN PENDIDIKAN
DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA

Perkeretaapian Indonesia memiliki sejarah perjalanan panjang, yang


diawali sejak kehadirannya pada masa kolonial Belanda, terus berlanjut
pada masa pendudukan Jepang, masa perjuangan kemerdekaan dan masa
pasca kemerdekaan, hingga masa pembangunan saat ini. Perjalanan panjang
pengabdian sang kuda besi ini tidak hanya memberikan kemanfaatan bagi
masyarakat tetapi juga meninggalkan banyak warisan dengan nilai kesejarahan
tinggi. Tetapi sangat disayangkan, belum semua tinggalan-tinggalan
perkeretaapian yang bernilai sejarah tinggi dapat diselamatkan dan dilestarikan.
Banyak aset-aset bersejarah perkeretaapian yang kondisinya memprihatinkan
dan bahkan tak lagi berbekas terutama yang berada pada jalur KA yang sudah
tidak lagi beroperasi.

Aset-aset bersejarah perkeretaapian tersebut, khususnya yang berada di jalur


KA nonaktif, cenderung terlupakan dan terabaikan pelestariannya. Belum
banyak tulisan maupun pustaka sejarah yang secara khusus mengulas riwayat
jalur KA nonaktif di Indonesia beserta tinggalan-tinggalan perkeretaapian
yang ada, yang mungkin menyimpan kisah yang menarik serta memiliki nilai
kesejarahan tinggi.

Oleh karenanya, kami sangat menyambut baik kehadiran Buku “Sejarah Jalur
Kereta Api Banjar-Pangandaran-Cijulang 1916-2018”, karena tidak hanya
menyajikan mengenai riwayat dari salah satu jalur KA yang sudah tidak lagi
beroperasi, namun juga mengulik tinggalan-tinggalan bersejarah yang masih
dapat dijumpai pada jalur tersebut. Keberadaan buku ini juga mendorong
upaya pelestarian tinggalan-tinggalan yang ada agar dapat memberikan
kemanfaatan yang lebih, baik untuk tujuan edukasi kesejarahan maupun untuk
mendukung pengembangan perekonomian wilayah setempat. Pengembangan
perekonomian wilayah tersebut tidak saja dapat diwujudkan melalui pelestarian
tinggalan-tinggalan yang dapat dikemas menjadi destinasi wisata sejarah
perkeretaapian, tetapi juga dari potensi reaktivasi jalur KA dimaksud.

Kepedulian untuk melestarikan warisan budaya dan nilai kesejarahan


Indonesia, termasuk pula nilai kesejarahan dan tinggalan bersejarah
perkeretaapian Indonesia yang ditunjukkan oleh para penulis buku ini sangat
patut untuk didukung dan difasilitasi oleh para pemangku kepentingan,
termasuk oleh pemerintah.

Jakarta, Desember 2019


Direktur Sejarah,

ttd
Dra. Triana Wulandari, M.Si

xiii
xiv
ABSTRAK

Perkeretaapian di Indonesia pada masa silam pernah mengalami masa


keemasan dan bahkan termasuk yang termaju pada zamannya untuk kawasan
Asia. Indonesia adalah negara kedua di Asia, setelah India, yang membangun
sistem perkeretaapian. Masa itu adalah saat Indonesia masih bernama Hindia
Belanda, dan berada di bawah kekuasaan kolonial Kerajaan Belanda. Berawal
dari sepenggal jalur sepanjang 25 km di wilayah Semarang, jaringan KA
kemudian meluas secara masif terutama di Pulau Jawa pada dua dekade
akhir abad 19 dan tiga dekade di awal abad 20. Jaringan dan operasional
perkeretaapian terbentang luas tidak hanya di Pulau Jawa tetapi juga di
sebagian wilayah Pulau Sumatera serta sedikit ruas di pulau-pulau lainnya.

Seiring dinamika perkembangan zaman, saat ini ribuan kilometer jalur Kereta
Api (KA) di Indonesia sudah tidak beroperasi lagi dan menjadi jalur mati.
Penyebab matinya banyak jalur KA di Indonesia terutama karena keterbatasan
kondisi sarana dan prasarana, tingginya biaya operasional dan sulit bersaing
dengan angkutan jalan raya. Sebagian besar jalur KA nonaktif ini dalam
kondisi yang menyedihkan karena tidak terpelihara, dan banyak yang telah
beralih fungsi dan sirna tanpa bekas. Padahal, jalur-jalur KA nonaktif ini
meninggalkan warisan kesejarahan yang amat berharga bagi bangsa ini berupa
tinggalan-tinggalan aset bersejarah perkeretaapian serta potensi pemanfaatan
lainnya.

Jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang di wilayah Provinsi Jawa


Barat adalah salah satu jalur KA nonaktif yang memiliki kisah yang menarik
untuk diulas. Jalur KA lintas cabang ini selama 60 tahun maa operasinya
menjadi moda transportasi andalan yang menghubungkan Kota Banjar dengan
kawasan Pangandaran di tepian Samudera Hindia, yang dikenal sebagai
destinasi wisata pantai, hingga daerah Cijulang. Namun kini, sudah lebih dari
35 tahun jalur sepanjang 82 km ini tak lagi beroperasi.

Kondisi tinggalan aset perkeretaapian di jalur ini sangat memprihatinkan dan


tidak terawat, bahkan banyak diantaranya sudah raib tak berbekas. Namun
demikian, jalur ini masih menyisakan bangunan-bangunan perkeretaapian
yang monumental yang bisa menggambarkan kemajuan teknologi konstruksi
pada zamannya serta sarat nilai kesejarahan. Hal yang tidak kalah menariknya,
jalur yang dilewati pun memiliki pemandangan yang menawan.

Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang yang tidak lagi beroperasi ini


sesungguhnya masih menyimpan suatu potensi. Potensi tersebut berupa nilai
kesejarahan dari tinggalan aset-aset perkeretaapian yang bila dilestarikan
dapat memberikan nilai tambah untuk tujuan edukasi dan ekonomi. Selain
itu, juga berwujud potensi kemanfaatan sebagai jaringan transportasi untuk
meningkatkan aksesibilitas wilayah dan mobilitas masyarakat, bila dilakukan
pengaktifan kembali atau reaktivasi jalur tersebut.

xv
xvi
DAFTAR ISI

BAB I : MEMBEDAH KISAH, MENGGALI POTENSI


Latar Belakang
Kajian dan Sumber
Tentang Buku Ini

BAB II : PRIANGAN, SENTRA PERKEBUNAN HINDIA BELANDA


Geografi dan Pemerintahan
Kondisi Sosial Ekonomi
Priangan Tenggara dan Pangandaran

BAB III : HADIRNYA SANG KUDA BESI


Era Tanam Paksa dan Liberalisasi Ekonomi
Berawal dari Samarang - Tangoeng
Jaringan Kereta Api di Priangan

BAB IV : CERITA KERETA PRIANGAN TENGGARA


Riwayat Jalur Kereta Banjar-Cijulang
Profil Jalur dan Perjalanan
Konstruksi Prasarana
Penghentian Operasi

BAB V : MENGULIK JEJAK JALAN BAJA


Stasiun Banjar
Petak Banjar-Banjarsari
Bekas Stasiun Banjarsari
Petak Banjarsari-Kalipucang
Bekas Stasiun Kalipucang
Petak Kalipucang-Pangandaran
Bekas Stasiun Pangandaran
Petak Pangandaran – Cijulang
Bekas Stasiun Cijulang

BAB VI : MENANTI PRESERVASI DAN REAKTIVASI


Fakta dan Kisah Menarik
Preservasi Aset dan Cagar Budaya
Destinasi Wisata Sejarah Perkeretaapian
Potensi Reaktivasi dan Ekonomi Berbasis Wisata

xvii
xviii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Suasana di Priangan pada tahun 1920.


Gambar 2. Rumah Kediaman Residen Priangan pada tahun 1933, yang
kini menjadi
Gambar 3. Gedung Kantor Residen Priangan pada tahun 1933.
Gambar 4. Suasana perkebunan kopi di Priangan pada tahun 1880.
Gambar 5. Suasana perkebunan kopi di Priangan pada tahun 1920.
Gambar 6. Ilustrasi Jalan Raya Pos yang melintas di daerah
Sindanglaya, Cianjur tahun 1883.
Gambar 7. Suasana Jalan Raya Pos di Bandung pada tahun 1905.
Gambar 8. Suasana Jalan Raya Pos di Bandung pada tahun 1935.
Gambar 9. Kantor Bupati Pangandaran yang terletak di Parigi (2019).
Gambar 10. Kelapa dan transportasi perahu menjadi andalan di daerah
Banjar - Pangandaran.
Gambar 11. Suasana Pelabuhan Cilacap pada tahun 1905.
Gambar 12. Suasana Jalan di daerah Ciamis pada tahun 1900.
Gambar 13. Alat kendaraan perahu digunakan untuk pengangkutan
pada masa lalu.
Gambar 14. Moda angkutan pedati menjadi sarana transportasi
pengangkutan.
Gambar 15. Lori yang berjalan di atas rel menggunakan tenaga hewan.
Gambar 16. Stasiun Samarang NIS.
Gambar 17. Stasiun Tangoeng NIS tahun 1867.
Gambar 18. Stasiun Soerabaja Kota tahun 1881 (foto kiri) dan Stasiun
Malang SS tahun 1879 (foto kanan).
Gambar 19. Pembangunan jaringan KA di Pulau Jawa semakin
meluas.
Gambar 20. Stasiun Tanjung Priuk yang dibuka pada tahun 1925.
Gambar 21. Elektrifikasi jalur KA menjadi salah satu kejayaan
perkeretaapian pada masa itu.
Gambar 22. Stasiun Bandung pada tahun 1910.
Gambar 23. Suasana jalur kereta api wilayah Priangan yang melintasi

xix
pegunungan.
Gambar 24. Stasiun Banjar tahun 1970, terlihat kereta penumpang
menuju Cijulang di sebelah kanan (lingkaran merah).
Gambar 25. Stasiun Pangandaran di tahun 1921-an.
Gambar 26. Terowongan Hendrik (foto kiri) saat beroperasi di masa
Hindia Belanda. Terowongan Juliana (foto kanan) saat
beroperasi di masa Hindia Belanda.
Gambar 27 : Terowongan Wilhelmina saat beroperasi di masa Hindia
Belanda.
Gambar 28 : Jembatan Cipamotan/Cikacepit saat beroperasi di masa
Hindia Belanda.
Gambar 29 : Metode pemasangan jembatan besar di jalur Bandjar
- Parigi der Staatspoorwegen di Jawa dengan bantuan
derek depan sepanjang 80 M.
Gambar 30 : Pembangunan Jembatan Cikacepit (Cipamotan) pada
tahun 1917 dengan menggunakan teknologi derek yang
diletakkan di rel.
Gambar 31. Jembatan selesai dilihat dari samping. Rekaman dari 5
September 1916.
Gambar 32. Daftar Stasiun lintas Banjar-Cijulang
Gambar 33. Infografis, stasiun dan perhentian di jalur Banjar-Cijulang.
Gambar 34. Tabel perjalanan KA Banjar-Cijulang pp tahun 1931
Gambar 35. Bangunan Stasiun Pangandaran semasa beroperasi.
Gambar 36. Bangunan Stasiun Pangandaran setelah tahun 1949, saat
sudah tidak lagi beropeasi.
Gambar 37. Stasiun Banjar tahun 2016.
Gambar 38. Bekas Dipo Lokomotif dan menara air Stasiun Banjar
tahun 2016
Gambar 39. Menara air Stasiun Banjar serupa dengan menara air di
Balai Yasa Manggarai
Gambar 40. Bekas alat pemutar lokomotif Stasiun Banjar tahun 2016.
Gambar 41. Bekas rumah sinyal Stasiun Banjar di sisi timur tahun
2016.
Gambar 42. Stasiun Banjar tahun 1970, terlihat kereta penumpang
menuju Cijulang di sebelah kanan.

xx
Gambar 43. Kondisi Stasiun Banjar tahun 2016 (foto kanan) Bekas
jalur menuju Cijulang ditandai dengan garis terputus
warna merah.
Gambar 44. Stasiun Banjar tahun 2016. Bekas jalur percabangan ke
Banjar ditandai dengan garis terputus warna merah
Gambar 45. Bekas tiang sinyal keluar menuju Cijulang di Stasiun
Banjar tahun 2016.
Gambar 46. Bekas rumah sinyal di sisi barat Stasiun Banjar tahun
2016.
Gambar 47. Bekas rel selepas Stasiun Banjar menuju Cijulang tahun
2016.
Gambar 48. Bekas terowongan KA Philip tahun 2018.
Gambar 49. Bekas jalan rel menuju terowongan KA Philip tahun
2016.
Gambar 50. Bekas jembatan KA Ciseel tahun 2016.
Gambar 51. Bekas pondasi jembatan KA Ciseel tahun 2016.
Gambar 52. Bekas rel KA memotong Jalan Raya Banjar-Pangandaran
tahun 2016.
Gambar 53. Bekas tubuh jalan rel di lintas Banjar-Banjarsari.
Gambar 54. Bekas jembatan KA di atas Jalan Raya Banjar-
Pangandaran tahun 2016.
Gambar 55. Bekas Stasiun Banjarsari tahun 2019.
Gambar 56. Bekas papan nama Stasiun Banjarsari tahun 2016 yang
sudah tidak ada.
Gambar 57. Bekas gudang Stasiun Banjarsari tahun 2019.
Gambar 58. Bekas sumur air Stasiun Banjarsari (foto kanan) tahun
2019.
Gambar 59. Bekas jembatan KA di atas jalan desa.
Gambar 60. Bekas jembatan KA Cikawasen tahun 2016.
Gambar 61. Bekas jembatan KA Ciganjeng tahun 2016.
Gambar 62. Bekas jembatan KA Cikawasen tahun 2016.
Gambar 63. Bekas stasiun Kalipucang tahun 2019.
Gambar 64. Bekas stasiun Kalipucang tahun 2019.
Gambar 65. Bekas sisa emplasemen stasiun Kalipucang tahun 2016.
Gambar 66. Bekas menara air stasiun Kalipucang tahun 2019.

xxi
Gambar 67. Bekas jembatan KA melintasi anak Sungai Citanduy pada
tahun 2016.
Gambar 68. Bekas jembatan KA melintasi jalan desa pada tahun 2018.
Gambar 68. Bekas jembatan KA melintasi jalan desa pada tahun 2018.
Gambar 69. Bekas Bekas terowongan KA Hendrik pada tahun 2019.
Gambar 70. Bekas terowongan KA Hendrik digunakan sebagai akses
pejalan kaki maupun kendaraan bermotor.
Gambar 71. Bekas jembatan KA Cikacepit tahun 2016.
Gambar 72. Bekas jembatan KA Cikacepit tahun 2019.
Gambar 73. Bekas jembatan KA Cikacepit dari kejauhan. Tampak
di latar belakang adalah Segara Anakan, Cilacap. Foto
diambil pada tahun 2009.
Gambar 74. Bekas terowongan KA Juliana tahun 2016.
Gambar 75. Bagian dalam bekas terowongan KA Juliana tahun 2016.
Gambar 76. bekas terowongan KA Wilhelmina tahun 2018.
Gambar 77. Konstruksi dinding terowongan KA Wilhelmina tahun
2016.
Gambar 78. Sleko terowongan KA Wilhelmina, tempat perlindungan
pejalan kaki dalam terowongan tahun 2016.
Gambar 79. Bekas pondasi jembatan KA Cipambokongan tahun 2010.
Gambar 80. Bekas pondasi jembatan KA Cipambokongan tahun 2013.
Gambar 81. Bekas pondasi jembatan KA Cikabuyutan tahun 2010.
Gambar 82. Bekas pondasi jembatan KA Cikabuyutan tahun 2013.
Gambar 83. Bekas pondasi jembatan KA Cikacampa tahun 2010.
Gambar 84. Bekas pondasi jembatan KA Cikacampa tahun 2013.
Gambar 85. Bekas pondasi jembatan KA Cipanerekean beton tahun
2012.
Gambar 86. Bekas jembatan KA Cipanerekean baja tahun 2009.
Gambar 87. Bekas pondasi jembatan KA Cipanerekean baja tahun
2012, rangka baja telah habis dijarah.
Gambar 88. Bekas rel KA menjelang bekas jembatan KA
Ciputrapinggan tahun 2016.
Gambar 89. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan tahun 2016 dilihat
dari jalan raya Pangandaran.
Gambar 90. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan tahun 2016.

xxii
Gambar 91. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan menjadi jembatan
darurat akses kendaraan roda dua.
Gambar 92. Stasiun Pangandaran di tahun 1921-an.
Gambar 93. Bekas Stasiun Pangandaran tahun 2019.
Gambar 94. Tulisan “Pangandaran” masih ada di dinding stasiun.
Gambar 95. Bekas rel KA masih terlihat di area Stasiun Pangandaran
Gambar 96. Bekas rel sebelum melintasi bekas jembatan KA
Cikembulan di tahun 2016.
Gambar 97. Bekas Jembatan KA Cikembulan tahun 2016.
Gambar 98. Bekas area Halte Pargi tahun 2016 (foto kiri) dan bekas
rel di area Halte Parigi (foto kanan).
Gambar 99. Bekas Jembatan KA Cijalu Hilir tahun 2016
Gambar 100. Bekas Stasiun Cijulang tahun 2019.
Gambar 101. Papan aset di area bekas Stasiun Cijulang tahun 2018.
Gambar 102. Bekas gudang Stasiun Cijulang tahun 2016.
Gambar 103. Bekas brankas Stasiun Cijulang masih dijumpai pada
tahun 2009.
Gambar 104. Infografis Jejak Peninggalan Jalur KA Banjar-Cijulang.
Kereta Anak Bangsa
Gambar 105. Terowongan yang berada di lintas Banjar-Cijulang.
Gambar 106. Bekas jembatan KA Cipanerekean tahun 2018.
Gambar 107. Metode pemasangan jembatan besar di jalur Bandjar -
Parigi
Gambar 108. Bekas menara penampungan air di Stasiun Banjar.
Gambar 109. Bekas peninggalan jalur KA Saketi-Bayah yang berada
di tepi Samudera Hindia.
Gambar 110. Jembatan KA tepi Samudera Hindia lintas Banjar-Parigi-
Cijulang.
Gambar 111. Jalur KA Banjar-Cijulang menyusuri tepi Samudera saat
masih aktif.
Gambar 112. Jalur KA Banjar-Cijulang menyusuri tepi Samudera
kondisi tahun 2018.
Gambar 113. Pemasangan media informasi edukatif pada tinggalan
Perkeretaapian (2018).
Gambar 114. Upaya pelestarian dengan menggandeng komunitas di

xxiii
tahun 2018.
Gambar 115. Kegiatan napak tilas peninggalan perkeretaapian.
Gambar 116. Mengunjungi tinggalan perkeretaapian.
Gambar 117. Potensi destinasi wisata Pangandaran.
Gambar 118. Penataan pantai Pangandaran di tahun 2019.
Gambar 119. Bandara Nusawiru dapat meningkatkan akses dan
mobilitas.

xxiv
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Produksi Tanaman Ekspor (Per pikul) dalam Metrik.


Tabel 2. Jalur KA beserta jarak dan tanggal pembukaan lintas Banjar-
Cijulang.

xxv
xxvi
DAFTAR PETA

Peta 1. Peta Priangan pada tahun 1890.


Peta 2. Peta Priangan pada tahun 1895.
Peta 3. Peta jaringan NIS di Semarang pada tahun 1868.
Peta 4. Peta jaringan NIS (berwarna merah) pada tahun 1903.
Peta 5. Peta Jaringan Perkeretaapian di Priangan pada tahun 1922.
Peta 6. Peta ilustrasi usulan jalur KA Banjar-Cilacap.
Peta 7. Peta ilustrasi usulan jalur KA Kalipucang-Kawunganten.
Peta 8. Peta jalur KA Banjar-Cijulang tahun 1931.
Peta 9. Peta jalur KA Banjar-Cijulang.
Peta 10. Peta jalur KA Jawa Barat tahun 1930.

xxvii
xxviii
BAB I
PENDAHULUAN

MEMBEDAH KISAH, MENGGALI POTENSI

1.1 LATAR BELAKANG

Tidaklah berlebihan bila dikatakan Kereta Api (KA) saat ini


menjadi salah satu moda transportasi yang sangat diminati
oleh masyarakat karena kualitas pelayanannya serta fasilitas
sarana dan prasarananya yang semakin membaik. Jaringan
operasional serta frekuensi perjalanan KA juga terus bertambah
melalui pembangunan infrastruktur dan pengoperasian KA
yang masif dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Boleh dibilang, era saat ini adalah era kebangkitan kembali
perkeretaapian di Indonesia, setelah sekian lama dalam kondisi
yang cukup memprihatinkan. Namun tahukah kita semua bahwa
perkeretaapian di Indonesia di masa silam pernah mengalami
zaman keemasan atau berada pada masa kejayaannya? Ya benar,
pada masa lampau perkeretaapian Indonesia pernah termasuk
yang termaju pada zamannya untuk kawasan Asia. Indonesia
adalah negara kedua di Asia, setelah India, yang membangun
sistem perkeretaapian. Masa itu adalah masa ketika Indonesia
masih bernama Hindia Belanda dan berada di bawah kekuasaan
kolonial Belanda.

Kehadiran perkeretaapian di Indonesia pada masa itu tidak bisa


dipisahkan dengan aktivitas perekonomian dan pertahanan/

1 1
kemiliteran di masa Pemerintahan Hindia Belanda.
Pesatnya pertumbuhan perkebunan yang membutuhkan
sarana pengangkutan serta potensi terjadinya perang yang
memerlukan mobilitas pasukan yang tinggi menjadi pendorong
kebutuhan terhadap suatu alat transportasi yang dianggap efektif
dan massal.

Perang berlarut di wilayah raja-raja di Jawa (Vorstenlanden), yang


dikenal dengan Perang Diponegoro menjadi penyebab utama
defisitnya anggaran Pemerintah Kolonial. Untuk memulihkan
defisit tersebut, Pemerintah menerapkan Sistem Tanam Paksa
(cultuurstelsel) di Hindia Belanda pada tahun 1830. Diprakarsai
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch, sistem ini
mengharuskan setiap pemilik tanah untuk menanami 20% (dua
puluh persen) lahannya dengan tanaman wajib yang laku di
pasaran dunia, dan melakukan pemeliharaan, pemetikan, dan
penyerahan hasilnya kepada pemerintah.

Penerapan eksploitasi agraris ini selama beberapa dekade ternyata


memberikan hasil perkebunan yang melimpah serta pendapatan
penjualan yang positif, sehingga mampu untuk menutupi hutang
negara maupun untuk memberikan saldo keuntungan bagi
Pemerintah Hindia Belanda dan Kerajaan Belanda di Eropa,
meski di sisi yang lain menimbulkan kesengsaraan bagi warga
pribumi. Produksi beberapa hasil perkebunan ekspor seperti
kopi, gula tebu, dan nila mengalami peningkatan signifikan, yang
tercermin pula dari peningkatan luasan lahan yang ditanami dan
jumlah tenaga kerja di sektor perkebunan.

2
Berlimpahnya hasil produksi perkebunan ini memberikan
kesulitan-kesulitan teknis karena keterbatasan fasilitas
transportasi baik secara kualitas maupun kuantitas. Timbul
permasalahan bagaimana mengangkut hasil produksi dari daerah
sentra produksi perkebunan di pedalaman menuju ke pelabuhan-
pelabuhan di daerah pesisir untuk kemudian diangkut
menggunakan kapal laut. Sarana transportasi yang ada saat
itu masih sangat sederhana, yaitu menggunakan pedati atau
gerobak yang ditarik hewan, atau diangkut menggunakan perahu
melalui sungai. Hal ini menyebabkan waktu pengangkutan yang
panjang dan juga hasil perkebunan yang diangkut menjadi turun
kualitasnya.

Setelah melalui proses panjang nan berliku selama puluhan tahun


sejak tahun 1840 yang diwarnai adu argumentasi antara pihak yang
setuju dan yang menentang kehadiran kereta api, serta perdebatan
alot mengenai siapa yang harus membangun dan mengoperasikan
perkeretaapian, apakah pemerintah ataukah swasta, akhirnya
pada tahun 1864, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Baron Sloet
van den Beele melakukan pencangkulan pertama pembangunan
jalur KA di Semarang. Jalur KA pertama yang dibangun adalah
jalur yang menghubungkan Samarang (Semarang) hingga
Vorstenlanden (wilayah Surakarta dan Yogyakarta), yang
merupakan daerah penghasil komoditas perkebunan seperti tebu
dan tembakau. Kebutuhan untuk mengangkut hasil kehutanan
dan perkebunan menuju Pelabuhan Semarang untuk diekspor
menjadi latar belakang pembangunan jalur KA tersebut oleh

3
Nederlandsch - Indische Spoorweg-Maatschappij (NISM),
perusahaan KA swasta Hindia Belanda saat itu. Karena
menghadapi berbagai kendala, dalam waktu 3 tahun jalur KA
tersebut baru mencapai Tangoeng (Tanggung) sejauh 25 kilometer.
Ruas Semarang-Tanggung ini dioperasikan untuk umum pada
tanggal 10 Agustus 1867 yang sekaligus menandai beroperasinya
pertama kali KA di bumi pertiwi.

Enam tahun kemudian, pada tahun 1873, jalur KA Semarang-


Surakarta-Yogyakarta, dengan percabangan jalur dari
Kedungjati ke Ambarawa untuk kebutuhan mobilitas militer,
dioperasikan sepenuhnya NISM. Pada tahun yang sama NISM
juga mengoperasikan jalur KA yang menghubungkan Batavia
(Jakarta), ibu kota pemerintahan Hindia Belanda, dengan
Buitenzorg (Bogor) sepanjang 55 kilometer.

Berakhirnya era tanam paksa pada tahun 1870, yang ditandai


dengan penerbitan Undang-Undang Agraria yang memberikan
kesempatan besar kepada pihak swasta untuk berusaha di sektor
perkebunan, semakin memperbesar kapasitas produksi hasil
perkebunan yang juga memerlukan dukungan sarana transportasi
yang memadai. Hal inilah yang kemudian semakin mendorong
perkembangan pembangunan jaringan KA di Hindia Belanda.

Keuntungan yang menggembirakan yang diperoleh dari


pengoperasian KA milik NISM mendorong Pemerintah Hindia
Belanda untuk membangun dan mengoperasikan KA melalui
perusahaan KA milik pemerintah. Pada tahun 1875, Pemerintah

4
mendirikan perusahaan KA, Staatsspoorwegen (SS), yang
kemudian membangun dan mengoperasikan jalur KA pertama
mereka di wilayah timur Pulau Jawa pada tahun 1879. Jalur yang
dibangun dan dioperasikan adalah jalur KA yang menghubungkan
Surabaya, kota dagang dan pelabuhan di timur Jawa, dengan
Pasuruan sampai Malang, yang sekaligus menjadi jalur KA
pertama yang dioperasikan perusahaan KA milik Pemerintah.

Jaringan KA di Hindia Belanda kemudian makin berkembang


meluas di Pulau Jawa, sehingga antara Jakarta dan Surabaya,
dua kota utama di Jawa pun terhubungkan dengan jalur KA.
Selain di Jawa, pembangunan KA kemudian juga dilakukan di
Pulau Sumatera, Madura, dan Sulawesi, baik oleh perusahaan KA
milik negara maupun berbagai perusahaan KA milik swasta yang
diberikan izin konsesi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Jaringan KA di Priangan mulai dibangun sejak tahun 1881 oleh


SS. Dari Buitenzorg (Bogor), yang menjadi titik akhir jalur NISM,
SS membangun jalur KA menuju ke Preanger (Priangan), suatu
daerah yang didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan yang
tanahnya sangat subur dengan hasil perkebunan yang melimpah,
dan menjadi sentra perkebunan kopi, karet, kina dan teh. Daerah
Priangan membentang dari Cianjur, Purwakarta, Bandung,
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis hingga Pangandaran.

Enam tahun kemudian, pada tahun 1873, jalur KA Semarang-


Surakarta-Yogyakarta, dengan percabangan jalur dari
Kedungjati ke Ambarawa untuk kebutuhan mobilitas militer,

5
dioperasikan sepenuhnya NISM. Pada tahun yang sama NISM
juga mengoperasikan jalur KA yang menghubungkan Batavia
(Jakarta), ibu kota pemerintahan Hindia Belanda, dengan
Buitenzorg (Bogor) sepanjang 55 kilometer.

Berakhirnya era tanam paksa pada tahun 1870, yang ditandai


dengan penerbitan Undang-Undang Agraria yang memberikan
kesempatan besar kepada pihak swasta untuk berusaha di sektor
perkebunan, semakin memperbesar kapasitas produksi hasil
perkebunan yang juga memerlukan dukungan sarana transportasi
yang memadai. Hal inilah yang kemudian semakin mendorong
perkembangan pembangunan jaringan KA di Hindia Belanda.

Keuntungan yang menggembirakan yang diperoleh dari


pengoperasian KA milik NISM mendorong Pemerintah Hindia
Belanda untuk membangun dan mengoperasikan KA melalui
perusahaan KA milik pemerintah. Pada tahun 1875, Pemerintah
mendirikan perusahaan KA, Staatsspoorwegen (SS), yang
kemudian membangun dan mengoperasikan jalur KA pertama
mereka di wilayah timur Pulau Jawa pada tahun 1879. Jalur yang
dibangun dan dioperasikan adalah jalur KA yang menghubungkan
Surabaya, kota dagang dan pelabuhan di timur Jawa, dengan
Pasuruan sampai Malang, yang sekaligus menjadi jalur KA
pertama yang dioperasikan perusahaan KA milik Pemerintah.

Jaringan KA di Hindia Belanda kemudian makin berkembang


meluas di Pulau Jawa, sehingga antara Jakarta dan Surabaya,
dua kota utama di Jawa pun terhubungkan dengan jalur KA.

6
Selain di Jawa, pembangunan KA kemudian juga dilakukan di
Pulau Sumatera, Madura, dan Sulawesi, baik oleh perusahaan KA
milik negara maupun berbagai perusahaan KA milik swasta yang
diberikan izin konsesi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Jaringan KA di Priangan mulai dibangun sejak tahun 1881 oleh


SS. Dari Buitenzorg (Bogor), yang menjadi titik akhir jalur NISM,
SS membangun jalur KA menuju ke Preanger (Priangan), suatu
daerah yang didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan yang
tanahnya sangat subur dengan hasil perkebunan yang melimpah,
dan menjadi sentra perkebunan kopi, karet, kina dan teh. Daerah
Priangan membentang dari Cianjur, Purwakarta, Bandung,
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis hingga Pangandaran.

Wilayah Banjar hingga Pangandaran dikenal dengan hasil


pertanian seperti padi, kelapa, dan kopra. Sebelum adanya
jalur KA, masyarakat setempat mengalami kesulitan untuk
memasarkan hasil pertanian mereka. Sebagai akibatnya, para
petani harus menjual hasil buminya dengan harga yang murah
atau bahkan menyimpan hasil pertanian seperti padi hingga
bertahun-tahun. Demikian pula para pengusaha perkebunan karet
dan coklat di daerah sekitar Banjar dan Kalipucang tidak memiliki
sarana transportasi yang handal untuk pengangkutan komoditas
perkebunan tersebut. Untuk membawa komoditas ke Pelabuhan
Cilacap, misalnya, alternatif pengangkutan hanyalah melalui
sungai, yaitu dari Kalipucang menyusuri Sungai Citanduy menuju
Pelabuhan Cilacap melewati Segara Anakan dengan menghadapi
kesulitan karena adanya pengendapan lumpur ataupun

7
pasang air laut.

Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang 82 km


dioperasikan secara bertahap pada tahun 1916 dan 1921. Jalur
di ruas Banjar-Kalipucang merupakan jalur yang berada di
daerah datar, sedangkan Kalipucang-Cijulang, terutama di
ruas Kalipucang-Pangandaran merupakan daerah pegunungan
sehingga konstruksi jalur harus menghadapi kondisi medan
yang cukup sulit. Sedemikian beratnya medan yang dihadapi
sehingga di jalur Banjar-Cijulang dibangun 4 terowongan untuk
menembus pegunungan dan perbukitan serta tidak kurang dari
6 jembatan panjang melintasi ngarai. Jalur ini juga menyusuri
tepian Samudera Hindia atau pantai selatan Jawa.

Selain angkutan barang, SS juga mengoperasikan kereta angkutan


penumpang, yaitu rangkaian kereta penumpang kelas 2 dan
kelas 3. Setelah Indonesia merdeka, pengelolaan KA beralih ke
Djawatan Kereta Api Republik Indonesia, (DKARI) sampai ke
Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). KA masih beroperasi
di lintas Banjar-Pangandaran-Cijulang hingga tahun 1982 saat
secara resmi dihentikan operasinya oleh PJKA. Perlu diketahui,
tahun 1970-an hingga 1980-an adalah masa penutupan banyak
jalur-jalur KA cabang di Indonesia, terutama karena keterbatasan
kondisi sarana dan prasarana, tingginya biaya operasional dan
sulit bersaing dengan angkutan jalan raya.

Setelah tidak lagi beroperasi selama puluhan tahun, kondisi


bekas jalur KA ini amat memprihatinkan. Betapa tidak? Hampir

8
semua rel telah raib, entah dipindah kemana, entah dicuri. Setali
tiga uang dengan rangka baja bekas jembatan. Sebagian besar
sudah lenyap tak berbekas. Kondisi bangunan stasiun banyak
yang sudah beralih fungsi, hancur, rusak berat, dan bahkan tidak
bersisa sama sekali. Bekas badan jalan rel menjelma menjadi area
pemukiman atau berbagai bangunan lainnya.

Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang yang sudah tidak aktif


beroperasi lagi ini sesungguhnya masih menyimpan suatu
potensi. Potensi tersebut berupa nilai kesejarahan dari tinggalan
aset-aset perkeretaapian yang bila dilestarikan dapat memberikan
nilai tambah untuk tujuan edukasi dan ekonomi. Selain itu, juga
berwujud potensi kemanfaatan sebagai jaringan transportasi untuk
meningkatkan aksesibilitas wilayah dan mobilitas masyarakat,
bila dilakukan pengaktifan kembali atau reaktivasi jalur tersebut.

Aset perkeretaapian yang ada di jalur KA nonaktif Banjar-


Pangandaran-Cijulang adalah peninggalan dari masa kolonial
Hindia Belanda dan era pergerakan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan, yang bisa menggambarkan peradaban pada masa itu,
terutama yang terkait dengan transportasi perkeretaapian. Bekas
bangunan terowongan, jembatan, stasiun, menara penampungan
air, dan peralatan perkeretaapian lainnya, bisa menjadi suatu
cagar budaya, suatu warisan budaya yang bisa berkisah mengenai
kejayaan perkeretaapian Indonesia di masa silam.

Arsitektur dan bangunan yang menjadi tinggalan perkeretaapian


di jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang memiliki

9
kisah yang menarik dan bahkan dapat dikatakan mempunyai
dimensi bangunan yang unik serta monumental. Terowongan
dan jebatan KA terpanjang di Indonesia terletak di jalur ini.
Terowongan berbentuk lengkung tajam atau bengkok, perpaduan
bekas jembatan beton dan baja di tepian Samudera Hindia dengan
pemandangan yang menawan, bekas menara penampungan air
berkapasitas besar, bisa ditemui pula di jalur ini. Tinggalan-
tinggalan tersebut, bila dilestarikan, juga dapat memiliki potensi
ekonomi, atau dengan kata lain, dapat dikemas menjadi suatu
destinasi wisata sejarah, khususnya sejarah perkeretaapian
Indonesia, yang bukan tidak mungkin dapat menggerakkan
perekonomian kewilayahan setempat.

Kemudian, bila dikaitkan dengan potensi perekonomian wilayah


Kabupaten Pangandaran yang terutama berbasis sektor pariwisata,
maka ketersediaan aksesibilitas yang baik menjadi salah satu
fokus utama. Pangandaran, yang juga dikenal sebagai destinasi
wisata, juga diproyeksikan untuk menjadi Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) wisata, dan tentunya hal ini mengharuskan
adanya fasilitas, sarana, dan prasarana pendukung yang memadai,
termasuk dalam hal transportasi. Di sinilah potensi reaktivasi jalur
KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang dapat menjadi aktual
kembali. Jalur KA ini, bila diaktifkan lagi, dapat menjadi stimulus
percepatan gerak perekonomian Kabupaten Pangandaran, dan
bahkan Provinsi Jawa Barat. Tidak bisa diingkari bahwa selama
ini para pemangku kebijakan telah abai dan minim kepedulian
terhadap upaya untuk menjaga kelestarian dan pengamanan aset
yang berada di jalan baja yang sudah tidak aktif lagi. Ketika jalur

10
KA tidak dioperasikan lagi, karena dianggap tidak lagi memiliki
nilai keekonomian, maka sudah seharusnyalah aset di jalur
nonaktif tersebut tetap terpelihara dan terawat, tidak hanya karena
aset tersebut dapat memiliki nilai kesejarahan yang tinggi, namun
juga karena potensi pengaktifan kembali jalur tersebut pada
masa mendatang masih dimungkinkan sesuai dengan dinamika
kebutuhan dan perkembangan zaman.

George Santayana (1863-1952), seorang penulis berkebangsaan


Spanyol pernah berujar: “Those who cannot remember the
past, are condemned to repeat it.”, yang kurang lebihnya bila
diterjemahkan, “barangsiapa tidak dapat mengingat (belajar dari)
masa lalu, akan ditakdirkan untuk mengulanginya lagi”. Ujaran
tersebut menjadi relevan dalam konteks untuk menghindarkan
suatu kejadian di masa silam, yang tidak membawa kemaslahatan
atau justru menimbulkan kerugian, untuk terulang kembali di
masa depan hanya karena ketidakpedulian kita. Sudah saatnya
Pemerintah dan para pemangku kebijakan tidak mengulangi
kesalahan yang sama dengan cara menaruh kepedulian dan
menunjukkan upaya nyata untuk mengamankan dan melestarikan
jalur KA nonaktif, karena merupakan aset yang berharga dan
harus terjaga dengan baik demi kemanfaatan di masa depan.

11
1.2 KAJIAN DAN SUMBER

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, terdapat


beberapa hal yang akan dikaji dalam penulisan buku ini yaitu:
1. Bagaimana kondisi geografis Priangan sebelum
pembangunan jalur kereta api?
2. Bagaimana kondisi sosial ekonomi Priangan sebelum
pembangunan jalur kereta api?
3. Bagaimana riwayat pembangunan jalur kereta api Banjar-
Pangandaran-Cijulang?
4. Bagaimana dampak ditutupnya jalur kereta api Banjar-
Pangandaran-Cijulang?
5. Apa saja jejak peninggalan jalur kereta api Banjar-
Pangandaran-Cijulang?
6. Bagaimanakah upaya pemanfaatan atas jalur KA nonaktif
Banjar-Pangandaran-Cijulang beserta tinggalannya?

Lingkup dalam penulisan ini mencakup lingkup wilayah dan


lingkup waktu sebagai berikut :

1. Lingkup wilayah yang menjadi penelitian ini adalah jalur


kereta api Nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang
2. Lingkup waktu yang akan ditekankan dalam penulisan
ini adalah dari tahun 1916 sebagai awal pembukaan jalur
kereta api Banjar-Kalipucang yang merupakan bagian
dari jalur kereta api Banjar-Pangandaran-Cijulang hingga
kondisi terakhir tahun 2019 setelah jalur kereta api tidak
lagi beroperasi di sekitar tahun 1982.

12
Penulisan buku ini bertujuan untuk:

1. Mendapatkan data sejarah yang sistematis tentang apa yang


sudah terjadi berdasarkan waktu kejadian, dan berasal dari
sumber-sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah tentang peristiwa-peristiwa penting yang
terjadi pada jalur jalur kereta api Banjar-Pangandaran-
Cijulang, sehingga hasil penelitian ini dapat disusun
menjadi sebuah buku sejarah.
2. Penyusunan dokumentasi visual tinggalan-tinggalan sarana
prasarana perkeretaapian yang bersejarah sepanjang jalur
rel yang menghubungkan Banjar-Pangandaran-Cijulang
dalam bentuk visual, berupa peta dengan lokasi yang
terdigitasi, serta dokumentasi foto dan video.

Sedangkan manfaat yang diharapkan dari hasil penulisan buku ini


adalah sebagai berikut :

1. Menambah khasanah kesejarahan Indonesia tentang sejarah


perkeretaapian di Indonesia.
2. Melengkapi data sejarah dan informasi aset perkeretaapian
milik Direktorat Jenderal Perkeretaapian yang dikelola
PT KAI (Persero), khususnya dalam membuat pertimbangan
pengembangan jalur kereta api dengan memperhatikan
pelestarian aset-aset bersejarah.
3. Melengkapi sumber data sejarah dan aset bagi pemerintah
daerah Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran,
Kota Banjar, dan Provinsi Jawa Barat dalam penyusunan
kebijakan pengembangan bidang transportasi jalur rel, dan
pertimbangan penataan lingkungan, dan kepariwisataan,

13
untuk dilestarikan, diberdayakan, dalam mendukung
program KAI pada khususnya, dan perkeretaapian
Indonesia secara luas.
4. Menambah khasanah sejarah lokal bagi masyarakat di
wilayah yang menjadi obyek penelitian, sehingga turut
peduli untuk menjaga dan melestarikan serta menjadi
bahan rujukan dalam penelitian ilmiah di bidang sejarah,
arsitektur, maupun ilmu lain.

Secara keseluruhan, penulisan ini merupakan kajian pustaka


(library research). Metode yang digunakan dalam adalah metode
sejarah, metode sejarah adalah proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau dimulai dari
pengumpulan data hingga penulisan.

Untuk penulisan buku ini, sumber-sumber penulisan yang akan


dicoba untuk digali terdiri dari :
1. Buku - buku, skripsi, yang terkait dengan sejarah jalur KA
Banjar-Pangandaran-Cijulang.
2. Arsip tentang sejarah jalur KA Banjar-Pangandaran-
Cijulang dari kabupaten atau daerah.
3. Sejarah lisan atau tradisi lisan yang tentunya melibatkan
para pelaku–pelaku sejarah yang terkait dengan masalah
penelitian dari kalangan pimpinan dan juga masyarakat.
4. Teknik wawancara pada penelitian ini dilakukan dengan
metode variasi dan menyesuaikan dengan kepribadian
mereka (informan). Pilihan metodenya obrolan ramah,
sopan dan informal atau obrolan formal dengan pertanyaan
yang lebih teratur dan jelas.

14
Sejauh ini belum dijumpai hasil penelitian ataupun referensi
pustaka yang secara khusus membahas mengenai jalur KA
nonaktif di Indonesia, terutama mengulas tentang tinggalan-
tinggalan bersejarah yang berada di jalur KA nonaktif tersebut
serta membahas potensi pemanfaatannya, baik terkait dengan
pemanfaatan untuk tujuan edukasi kesejarahan maupun reaktivasi
kembali.

Beberapa referensi pustaka mengulas mengenai sejarah


perkeretaapian di Indonesia, seperti karya Tim Telaga Bakti
Nusantara, “Sejarah Perkeretaapian Indonesia, tahun 1997, dan
tulisan Iman Subarkah dalam “Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita,
1867-1992, tahun 1992. Pustaka lain adalah “Selayang Pandang
Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014 yang disusun
oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero). Pustaka tersebut lebih
membahas riwayat perkeretaapian Indonesia secara umum dan
kronologis, namun tidak secara khusus mengulas suatu jaringan
atau jalur KA secara detil dan spesifik.

Kemudian secara lebih spesifik, beberapa referensi pustaka


memaparkan hasil penelitian terkait dengan kesejarahan
transportasi KA khususnya jaringan dan jalur KA diantaranya
adalah karya Agus Mulyana, “Sejarah Kereta Api di Priangan”
tahun 2017, yang mengulas mengenai riwayat dan sejarah jaringan
KA baik aktif maupun nonaktif di wilayah Priangan, kemudian
juga karya Marihandono, Juwono, Budi dan Iswari “Dari Konsesi
ke Nasionalisasi – Sejarah Kereta Api Cirebon-Semarang”
yang bertutur mengenai riwayat perusahaan dan jaringan KA

15
Semarang-Cirebon serta jalur lainnya yang dioperasikan oleh
Semarang-Cheribon Stoomtram-Maatschappij (SCS). Ada pula
tulisan pustaka tentang pengusahaan dan jaringan kereta api
milik NISM di Jawa bagian tengah, sebagaimana ditulis oleh
Djoko Marihandono dkk, “Nalika Tanah Jawa Sinabukan Ril”.
Serta juga tulisan karya Henk Hovinga “The Sumatra Railroad,
Final Destination Pakanbaroe 1943-1945”, yang mengisahkan
pembangunan jalur KA Muaro-Pekanbaru di Sumatera Barat-
Riau, suatu jalur KA yang dibangun di masa pendudukan militer
Jepang yang tidak pernah beroperasi secara penuh dan langsung
menjadi jalur nonaktif.

Tulisan, referensi pustaka, dan hasil penelitian tersebut di atas,


tidak secara spesifik menggambarkan atau membahas mengenai
riwayat jalur KA nonaktif dan tinggalannya serta usulan
pemanfaatannya, seperti yang diuraikan pada buku ini. Namun
demikian, pustaka dan hasil penelitian di atas turut pula menjadi
referensi penulisan buku ini.

Tulisan-tulisan lepas tentang jalur KA nonaktif dapat ditemukan


pada tulisan-tulisan yang disusun oleh Kereta Anak Bangsa,
diantaranya adalah Jalur Kereta Api Cikini-Salemba-Pabrik
Opium di tahun 2015, “Kisah Kereta Api Banten” dan “Susur
Jejak Kereta Api Cirebonan”, keduanya di tahun 2016, yang
masing-masing mengupas tentang jalur KA nonaktif di daerah
Cikini, Banten, dan Cirebon dan sekitarnya.

16
Pustaka yang secara khusus mengulas tentang riwayat jalur KA
nonaktif dan tinggalan-tinggalannya, adalah buku yang disusun
oleh Yayasan Kereta Anak Bangsa dan PT Kereta Api Indonesia
(Persero) di tahun 2019, yaitu “Menjaga Jalan Baja – Jawa Barat
dan Banten” tentang riwayat, profil, dan tinggalan perkeretaapian
di jalur KA nonaktif di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Namun demikian buku tersebut belum berkisah secara rinci karena
lebih merupakan ikhtisar dan gambaran singkat (highlight).
Baik tulisan maupun pustaka tentang jalur KA nonaktif seperti
disebutkan di atas akan turut memperkaya isi buku ini.

Buku “Banjar-Pangandaran-Cijulang, Kisah Jalan Baja di Priangan


Tenggara” ini akan berupaya mengulas dan menguraikan tidak
hanya dari sisi penuturan sejarah dan riwayat, melainkan juga
mengupas profil dan fakta menarik serta mendokumentasikan dan
mendiskripsikan tinggalan-tinggalan perkeretaapian yang masih
bisa dijumpai dan menyajikan diskursus tentang pelestarian,
potensi pemanfaatan dari tinggalan-tinggalan tersebut.

Sumber-sumber penulisan buku ini, selain pustaka dan referensi


di atas adalah berbagai sumber pustaka, tulisan dan artikel,
serta sumber foto dan video lainnya yang berkaitan dengan
perkembangan wilayah Priangan dan Pangandaran, riwayat
atau perkembangan perkeretaapian, termasuk pula sumber atau
referensi keterkaitan dengan prasarana transportasi lainnya seperti
Pelabuhan Cilacap, dan juga sumber referensi dalam jaringan
(on-line) yang telah dapat dibuktikan validitas dan akurasinya.

17
1.3 TENTANG BUKU INI

Buku “Sejarah Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran-


Cijulang 1916-2018” ini berkisah tentang riwayat, profil, dan
tinggalan-tinggalan bersejarah dari Jalur KA Nonaktif Banjar-
Pangandaran-Cijulang, serta potensi pemanfaatan tinggalan
bersejarah tersebut dan potensi reaktivasi jalur KA nonaktif ini.
Kesemuanya dituangkan dalam 4 bab, yang didahului dengan
Prolog serta kemudian diakhiri dengan Epilog sebagai simpulan
di penghujung kisah. Prolog “Membedah Kisah, Menggali
Potensi”, menjadi pengantar, latar belakang, sekaligus penegasan
tentang pentingnya kepedulian dan upaya nyata untuk pelestarian
dan pengamanan aset pada jalur-jalur KA nonaktif mengingat
potensi yang tersimpan dari prasarana ini, yang sekaligus sebagai
faktor pendorong untuk menwujudkan tulisan ini.

Kisah tentang Jalan Baja di Priangan Tenggara ini dimulai oleh


bab “Tatar Priangan Nan Menawan”, yang melukiskan tentang
gambaran umum wilayah Priangan, yaitu wilayah bagian dari
Provinsi Jawa Barat saat ini, yang juga merupakan wilayah tempat
Jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang berada. Secara
singkat digambarkan tentang aspek geografi dan pemerintahan
serta kondisi sosial ekonomi dari wilayah Priangan sebagai
gambaran awal. Bab ini juga mengulas tentang kondisi wilayah
Priangan Tenggara dan Pangandaran ketika transportasi KA belum
merambah ke wilayah ini serta dampaknya bagi masyarakat serta
kondisi Kabupatan Pangandaran saat ini yang perekonomiannya
mengandalkan basis pariwisata.

18
Selanjutnya pada “Hadirnya Sang Kuda Besi”, dikisahkan
tentang awal mula dan perkembangan singkat kehadiran Kereta
Api di Indonesia, yang ketika itu masih bernama Hindia Belanda.
Diceritakan pula latar belakang yang mendorong kehadiran KA,
perkembangan jaringan perkeretaapian pada dua dekade terakhir
abad 19 hingga akhirnya KA beroperasi di wilayah Priangan,
serta dampak yang ditimbulkan dari keberadaan KA tersebut.

Kemudian “Dari Banjar Hingga Cijulang”, menguraikan


riwayat dan profil dari jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang,
sejak masih berupa usulan hingga tarik ulur dan kendala dalam
proses pembangunannya, konstruksi prasarananya, jumlah
stasiun, halte, dan perhentian KA, fakta-fakta menarik serta ulasan
ketika jalur ini masih aktif dan saat dihentikan operasionalnya.

Pada bab berikutnya, “Mengulik Jejak Jalan Baja”, diuraikan


jejak dan tinggalan-tinggalan yang masih bisa dijumpai dari lintas
cabang nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang. Mulai dari titik
awal di Stasiun aktif Banjar, yang masih menyisakan tinggalan-
tinggalan yang menarik yang tidak lagi berfungsi, bangunan-
bangunan bekas stasiun, terowongan, rangka atau pondasi
jembatan, potongan-potongan rel, dan peralatan perkeretaapian
lainnya hingga titik akhir di Stasiun Cijulang, disertai dengan
infografis jejak tinggalan tersebut yang disajikan dalam ilustrasi
peta jalur KA.

Sebagai pamungkas tulisan ini, adalah Epilog “Menanti


Preservasi dan Reaktivasi” yang mengulas mengenai upaya

19
pelestarian serta potensi pemanfaatan tinggalan-tinggalan
bersejarah di jalur ini sebagai kawasan cagar budaya perkeretaapian
yang selanjutnya dapat dikemas menjadi destinasi wisata sejarah
perkeretaapian. Selain itu secara singkat juga disajikan gambaran
tentang potensi kemanfaatan bila dilakukan reaktivasi atas jalur
tersebut untuk peningkatan aksesibilitas dan mobilitas terutama
dalam menunjang ekonomi wilayah berbasis wisata.

==============================================

20
BAB II

PRIANGAN, SENTRA PERKEBUNAN


HINDIA BELANDA

Wilayah Priangan lekat dengan gambaran daerah pegunungan di bagian barat


Pulau Jawa yang tanahnya subur dan sekaligus menjadi sentra hasil pertanian
dan perkebunan khas dataran tinggi. Pada masa kolonial Hindia Belanda,
Priangan menjadi sentra produk ekspor perkebunan unggulan di pasaran
internasional, sehingga diperlukan kehadiran Kereta Api sebagai moda
transportasi andalan untuk mengangkut hasil perkebunan dari pedalaman ke
pelabuhan laut. Kebutuhan sarana transportasi KA juga dirasakan oleh wilayah
Pangandaran di bagian tenggara Priangan. Hasil pertanian dan perkebunan
di wilayah ini semula sedemikian bergantung kepada transportasi jalan
dan sungai yang tidak dapat diandalkan. Namun kini, ketika KA tidak lagi
beroperasi di Pangandaran, kebutuhan aksesibilitas untuk menunjang industri
pariwisata di wilayah ini kembali mengemuka.

2.1 Geografi dan Pemerintahan

Aspek geografis

Preanger (Priangan) yang kini merupakan bagian wilayah dari


Provinsi Jawa Barat, suatu daerah yang didominasi oleh dataran
tinggi dan pegunungan yang tanahnya sangat subur dengan hasil
perkebunan yang melimpah, dan menjadi sentra perkebunan kopi,
karet, kina dan teh.

Kesuburan tanah di Priangan tidak terlepas dari keberadaan


pegunungan di wilayah itu yang menghasilkan tanah vulkanik.
Gunung Gede, Gunug Pangrango, Gunung Galunggung, Gunung
Cikuray, Gunung Tangkubanparahu adalah beberapa diantara
gunung yang terletak di dataran Priangan. Wilayah yang terletak

21 21
di bagian barat Pulau Jawa ini membentang dari barat ke timur,
yaitu dari Cianjur, Purwakarta, Bandung, Sumedang, Garut,
Tasikmalaya, Ciamis hingga Pangandaran.

Gambar 1. Suasana di Priangan pada tahun 1920.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Wilayah Priangan dapat dibagi dalam tiga wilayah, yaitu


Priangan Barat, Priangan Tengah, dan Priangan Timur. Kabupaten
Sukabumi dan Cianjur masuk wilayah Priangan Barat; Bandung
dan Sumedang masuk ke dalam Priangan Tengah; sedangkan
Tasikmalaya, Ciamis, hingga Pangandaran masuk wilayah
Priangan Timur. Ditilik dari batas-batas wilayah saat ini,
di sisi barat Priangan berbatasan dengan wilayah Banten, di
utara berbatasan dengan wilayah Bogor, Karawang, Purwakarta,
Subang, dan Cirebon, sementara di sisi timur berbatasan dengan
Jawa Tengah, dan sisi selatan dengan Samudera Hindia.

22
Peta 1. Peta Priangan pada tahun 1890.
http://maps.library.leiden.edu

Perkembangan pemerintahan

Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, wilayah


Priangan dikenal sebagai wilayah Keresidenan. Pembentukan
Keresidenan Priangan ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 1815
dengan ibukota pada awalnya di Cianjur (di kemudian hari
ibukota Priangan pindah ke Bandung) (Katam, Sudarsono, Kereta
Api di Priangan Tempo Doeloe, Pustaka Jaya, 2014). Daerah
Keresidenan Priangan saat itu memiliki luas 21.524 km2, sekitar
seperenam belas Pulau Jawa (Mulyana, Agus, Sejarah Kereta Api
di Priangan, Penerbit Ombak, 2017). Perlu dicatat bahwa saat
itu, wilayah Ciamis (termasuk Pangandaran), masih termasuk
wilayah Keresidenan Cirebon. Ciamis (sebelumnya bernama
Galuh) bergabung dalam wilayah Keresidenan Priangan sejak
tahun 1915.

23
Jauh sebelum terbentuknya Keresidenan, keberadaan Priangan
sudah muncul sebelum keberadaan kolonial. Dimulai dari
runtuhnya Kerajaan Sunda Pajajaran pada tahun 1579/1580
akibat serangan Banten, yang berakibat terpecah-pecahnya
wilayah kerajaan tersebut menjadi wilayah, Benten, Cirebon,
Sumedanglarang, dan Galuh. Selanjutnya sekitar tahun 1620,
Sumedanglarang menyatakan tunduk pada Kerajaan Mataram,
dan kemudian daerah kekuasaan Sumedanglarang diberi nama
Priangan, yang berarti anugerah yang timbul dari ketulusan hati
(Mulyana, 2017).

Kekuasaan Kerajaan Mataram atas Priangan berakhir


dengan adanya perjanjian tanggal 19-20 Oktober 1677 dan
5 Oktober 1705 yang menjadikan Priangan berada di bawah
kekuasaan Vereenigde Oost Indische Compagnie/VOC
(Persekutuan Dagang Hindia Timur) (Katam, 2014). Penyerahan
Priangan oleh Mataram kepada VOC ini sebagai bentuk
imbalan Mataram kepada VOC yang telah membantu Mataram
menghadapi pemberontokan dari dalam. Selanjutnya pada
tahun 1799, VOC menyerahkan Priangan kepada pemerintahan
Republik Bataafsche Belanda, yang kemudian berlanjut dengan
pembentukan Keresidenan Priangan pada tahun 1815 yan
bernama Preangerlanden dan pada tahun 1818 berubah menjadi
Preanger-Regentschappen.

Pada tahun 1925 sistem administrasi Pemerintahan Hindia


Belanda mengalami perubahan dengan diberlakukannya sistem
desentralisasi dengan membentuk provinsi-provinsi yang

24
terbagi atas daerah otonom kabupaten dan kotapraja. Pulau
Jawa kemudian dibagi dalam tiga provinsi, yang salah satunya
adalah Provinsi Jawa Barat yang diresmikan pada tahun 1926
dengan ibukota di Batavia (Jakarta) (Katam, 2014). Keresidenan
Priangan kemudian menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat
saat itu. Pada masa pemerintahan Republik Indonesia, sistem
pemerintahan keresidenan dihapuskan dan wilayah Priangan
tetap termasuk bagian dari Provinsi Jawa Barat, namun masing-
masing kabupaten dan kota di wilayah Priangan di kemudian hari
berstatus otonom. Provinsi Jawa Barat sendiri sudah tidak lagi
termasuk wilayah Banten dan Batavia seperti saat pembentukan
awalnya pada tahun 1926.

Gambar 2. Rumah Kediaman Residen Priangan pada tahun 1933, yang kini menjadi
Gedung Pakuan. https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Gambar 3. Gedung Kantor Residen Priangan pada tahun 1933.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

25
2.2 Kondisi Sosial Ekonomi

Pertanian dan perkebunan

Penduduk asli Priangan yang dikenal dengan nama orang


Sunda, umumnya memiliki mata pencaharian dengan bertani,
yang awalnya dimulai dengan sistem pertanian berladang (yang
berpindah-pindah) dan kemudian bersawah (menetap). Selain
bertani, ada pula yang beternak dan mengusahakan perikanan
serta membuat kerajinan seperti tenunan kain, tembikar, genting
dan batubata, anyam-anyaman, dan lainnya.

Namun setelah kedatangan VOC, organisasi dagang yang


memadukan urusan dagang dengan politik, di Priangan mulai
tumbuh perkebunan. Hal ini ditunjang dengan kondisi geografis
Priangan yang cocok untuk perkebunan. VOC memiliki tujuan
untuk melakukan eksploitasi secara ekonomi untuk mendapatkan
keuntungan dari perdagangan. Dan VOC kemudian menjadikan
daerah Priangan sebagai wilayah perkebunan kopi. Kopi
merupakan jenis tanaman ekspor yang dapat tumbuh dengan
baik di Priangan, dan pada akhir abad ke-17, terjadi peningkatan
permintaan kopi di pasaran Eropa (Mulyana, 2017).

Gambar 4. Suasana perkebunan kopi di Priangan pada tahun 1880.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

26
Pada tahun 1707, VOC mulai memobilisasi rakyat Priangan untuk
menanam kopi dengan memberikan bibit tanaman kepada para
bupati di Priangan. Rakyat diwajibkan untuk memenuhi perintah
bupati untuk melakukan penanaman kopi. Cara penanaman
wajib ini dikenal dengan sebutan Preanger Stelsel, yaitu rakyat
diwajibkan menanam kopi yang hasilnya disetorkan kepada
bupati, yang selanjutnya akan menyetorkan ke VOC. Penanaman
kopi di wilayah Priangan dilakukan dengan pembukaan tanah baru
yang tadinya merupakan hutan belantara. Penanaman wajib ini
ternyata mampu menghasilkan produksi kopi yang sangat tinggi,
sehingga di pasaran dunia, kopi Priangan berhasil menggeser
kopi Yaman yang semula merupakan produk ekspor terbesar ke
pasaran Eropa.

Penanaman kopi semakin diperluas ketika dilaksanakan Sistem


Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) oleh Pemerintah Hindia Belanda
(ketika VOC telah bangkrut). Sistem Tanam Paksa adalah suatu
sistem yang hakekatnya tidak jauh berbeda dengan Preanger
Stelsel, yaitu kewajiban untuk setiap pemilik tanah untuk
menanami 20% (dua puluh persen) lahannya dengan tanaman
wajib yang laku di pasaran dunia, dan melakukan pemeliharaan,
pemetikan, dan penyerahan hasilnya kepada pemerintah. Pada
hakekatnya keberhasilan Preanger Stelsel inilah yang menjadi
acuan untuk menerapkan Cultuur Stelsel. Lebih jauh perihal
Sistem Tanam Paksa ini diuraikan pada Bab II. Pada tahun 1870,
ekspor kopi mencapai 30% dari total ekspor hasil perkebunan
Hindia Belanda. Selain kopi, produk tanaman ekspor lain yang

27
terpenting di Priangan adalah teh dan kina, yang pada masa tanam
paksa, juga diharuskan untuk ditanam.

Perluasan perkebunan di Priangan semakin meningkat sejak


dihapuskannya Sistem Tanam Paksa dan berlakunya Undang-
Undang (UU) Agraria tahun 1870. UU ini memberikan kesempatan
kepada pihak swasta untuk menanamkan modaknya di sektor
perkebunan. Sepuluh tahun setelah berlakunya UU Agraria
tersebut, jumlah perkebunan di Priangan meningkat sangat pesat
dengan jenis tanaman antara lain kopi, teh, kina, dan tembakau.

Gambar 5. Suasana perkebunan kopi di Priangan pada tahun 1920.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Transportasi dan lalu lintas perdagangan

Sebelum KA beroperasi di Priangan, lalu lintas perdagangan dan


angkutan hasil bumi dan perkebunan sangat bergantung pada
angkutan sungai dan jalan. Angkutan sungai menjadi urat nadi
transportasi ketika belum tersedia prasarana jalan yang memadai.
Aliran Sungai Citarum, Cimanuk, dan Citanduy menjadi andalan
bagi sistem pengangkutan. Sungai Citarum, misalnya digunakan

28
untuk pengangkutan kopi dari Bandung ke Batavia. Dari Bandung,
kopi dibawa melalui jalan darat menuju Cikao di Purwakarta,
yang kemudian diangkut melalui Sungai Citarum ke Karawang
dan Tanjungpura untuk selanjutnya dibawa ke Batavia. Sungai
Citanduy yang bermuara di pantai selatan Jawa dekat Pelabuhan
Cilacap, digunakan sebagai prasarana angkutan melalui perahu
oleh masyarakat Priangan Tenggara (Banjar-Kalipucang hingga
Pangandaran) menuju Pelabuhan Cilacap.

Prasarana jalan yang lebih memadai baru hadir di Priangan ketika


dibangun Jalan Raya Pos (Grote Postweg) pada masa Gubernur
Jenderal Herman William Dandels. Jalan raya yang membentang
dari Anyer hingga Panarukan ini melewati Cianjur, Bandung, dan
Sumedang di Priangan, yang kemudian dibuat jalan simpangan-
simpangan dari jalan raya tersebut. Jalan raya pos Bandung-
Cianjur siap digunakan pada tahun 1816 untuk dilewati kuda, dan
pada tahun 1820 untuk dilewati kereta kuda (Mulyana, 2017).

Gambar 6. Ilustrasi Jalan Raya Pos yang melintas di daerah Sindanglaya, Cianjur tahun 1883.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

29
Keberadaan jaringan transportasi jalan memiliki arti penting bagi
tumbuhnya sektor perdagangan, tidak terkecuali di Priangan.
Jaringan jalan menumbuhkan sentra-sentra ekonomi. Perdagangan
beras misalnya menjadi berkembang di Bandung, Sukabumi,
Tasikmalaya, dan Cianjur. Cianjur adalah pusat perdagangan
beras yang besar dan produk beras Cianjur amat dikenal hingga
saat ini. Sementara di Tasikmalaya berkembang indusri batik.

Di kemudian hari dengan hadirnya perkeretaapian di Priangan,


makin menumbuhkan dan mengembangkan kota-kota yang ada
di Priangan seperti Bandung dan Tasikmalaya.

Gambar 7. Suasana Jalan Raya Pos di Bandung pada tahun 1905.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Gambar 8. Suasana Jalan Raya Pos di Bandung pada tahun 1935.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

30
2.3 Priangan Tenggara dan Pangandaran

Pangandaran, magnet ekonomi wisata

Pangandaran. Daerah yang terletak di Provinsi Jawa Barat ini


dikenal luas sebagai destinasi wisata pantai. Industri wisata
menjadi penggerak utama perekonomian di Pangandaran.
Mengutip situs web Pemerintah Kabupaten Pangandaran, potensi
terbesar yang dimiliki Kabupaten Pangandaran adalah pariwisata
baik objek wisata pantai maupun sungai. Terdapat banyak objek
wisata favorit yang diminati baik oleh turis mancanegara maupun
domestik. Objek wisata yang terdapat di Kabupaten Pangandaran
antara lain Pantai Pangandaran, Taman Wisata Alam (cagar alam)
Pananjung, Pantai Batu Hiu, Pantai Batu Karas, Pantai Madasari,
Pantai Karapyak, dan Wisata Sungai yaitu Cukang Taneuh
(Green Canyon), Citumang, dan Santirah.

Perkembangan dari perekonomian Pangandaran menjadikan


dasar pemekaran wilayah dengan penetapan Pangandaran
menjadi daerah otonom sebagai kabupaten baru pada tahun 2012.
Sebelumnya, Pangandaran masih menjadi bagian dari Kabupaten
Ciamis. Selain itu, Pangadaran juga sedang diproyeksikan untuk
ditetapkan menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata
dan Ekonomi.

31
Gambar 9. Kantor Bupati Pangandaran yang terletak di Parigi (2019).
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Kesulitan aksesibilitas dan pengangkutan

Dilihat dari aspek geografis, wilayah Pangandaran terletak di


sisi tenggara dari wilayah Priangan, oleh karena itu bersama-
sama dengan daerah Banjar, Kalipucang, Parigi, dan Cijulang,
Pangandaran disebut sebagai sub wilayah Priangan Tenggara.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, sebelum jalur KA dibangun,
daerah selatan dan tenggara Priangan merupakan daerah yang dapat
dikatakan terisolasi dan tidak berkembang. Hal ini dikarenakan
masih sulitnya aksesibilitas menuju wilayah selatan dan tenggara
Priangan. Sulitnya aksesibilitas itu juga menyebabkan sulitnya
melakukan pengangkutan hasil bumi dan perkebunan dari daerah
Priangan tenggara untuk dibawa ke pelabuhan atau daerah lainnya.

Pada masa itu, wilayah Banjar hingga Pangandaran dikenal


dengan hasil pertanian seperti padi, kelapa, dan kopra. Daerah
Banjar-Kalipucang dan Purbapingang-Cijulang disebut masih
sedikit penduduknya, akan tetapi kehidupan masyarakat di
daerah tersebut sejahtera, karena merupakan daerah pertanian

32
yang tanahnya kaya dan sangat subur. Kebutuhan hidup
mereka dapat terpenuhi dari kesuburan tanahnya. Produktivitas
pertanian penduduk lebih banyak ditujukan untuk kebutuhan
konsumsi sendiri.

Gambar 10. Kelapa dan transportasi perahu menjadi andalan di daerah Banjar - Pangandaran.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Gambar 11. Suasana Pelabuhan Cilacap pada tahun 1905.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

33
Sebelum adanya jalur KA, masyarakat setempat mengalami
kesulitan untuk memasarkan hasil pertanian mereka. Sebagai
akibatnya, para petani harus menjual hasil buminya dengan harga
yang murah atau bahkan menyimpan hasil pertanian seperti padi
hingga bertahun-tahun. Demikian pula para pengusaha perkebunan
karet dan coklat di daerah sekitar Banjar dan Kalipucang tidak
memiliki sarana transportasi yang handal untuk pengangkutan
komoditas perkebunan tersebut.

Untuk membawa komoditas ke Pelabuhan Cilacap, misalnya,


alternatif pengangkutan hanyalah melalui sungai, yaitu dari
Banjar dan Kalipucang menyusuri Sungai Citanduy menuju
Pelabuhan Cilacap melewati Segara Anakan dengan menghadapi
kesulitan karena adanya pengendapan lumpur ataupun pasang
air laut (Mulyana, 2017). Wilayah Priangan Timur (dan juga
Tenggara) secara geografis dekat dengan Cilacap. Sungai
Citanduy adalah yang mendekatkan Priangan Timur dengan
Cilacap. Sungai ini dapat dilayari jauh ke pedalaman. Sebelum
ada KA, Sungai Citanduy menjadi sarana angkutan di wilayah
Priangan Timur. Perahu mengangkut kopi dari Banjar, menyusuri
Sungai Citanduy sepanjang 75 km untuk dibawa ke muara
dan kemudian menyeberangi Segara Anakan dan diteruskan
ke Pelabuhan Cilacap. Sebaliknya, perahu yang mengangkut
garam dari Cilacap disebarkan ke daerah pedalaman di Priangan
Timur (Zuhdi, Susanto, Cilacap (1830 – 1942) Bangkit dan
Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa, Penerbit Ombak, 2016).

34
Pada masa itu disebutkan bahwa kopi merupakan jenis barang
utama yang diekspor melalui Pelabuhan Cilacap, yang juga berasal
dari daerah Priangan Timur. Hal yang serupa juga dilakukan untuk
produksi kopi di daerah selatan Keresidenan Cirebon. Kendala
geografis membuat wilayah selatan Keresidenan Cirebon lebih
mudah berkomunikasi dengan Pelabuhan Cilacap daripada
dengan Pelabuhan Cirebon sendiri. Sehingga kopi dibawa
dengan gerobak atau tenaga kuli menyusuri jalan darat sampai
di Banjar, kemudian diangkut dengan perahu-perahu melalui
Sungai Citanduy ke Pelabuhan Cilacap.

Jalan darat di Priangan Tenggara ketika itu masih berupa jalan


setapak yang hanya bisa dilalui oleh kuda. Jalan dari Bandung
ada yang menuju ke Cirebon dan ke Priangan Timur. Arah jalan
yang dilalui adalah dari Bandung melalui Ujungberung menuju
Parakanmuncang. Dari Parakanmuncang, jalan bercabang ke
Sumedang dan Priangan Timur. Jalan ke Priangan Timur menuju
ke Limbangan hingga ke Tasikmalaya. Dari Tasikmalaya terdapat
jalan ke Ciseel menuju Citanduy di Priangan Tenggara. Setelah
pembangunan Jalan Raya Pos dan simpangan-simpangannya
di Priangan, terdapat jaringan jalan di Priangan Tenggara dari
Bandung menuju Banjar yang dapat dilewati oleh kereta kuda.
Bila menilik dari rencana pembangunan jalur KA Banjar-
Kalipucang-Parigi dikatakan mengikuti lajur jalan raya yang telah
ada (Mulyana, 2017), maka dapat disimpulkan bahwa sudah ada
jalan di Priangan Tenggara dari Banjar ke arah selatan, walaupun
kemungkinan besar dengan kondisi yang tidak memadai.

35
Gambar 12. Suasana Jalan di daerah Ciamis pada tahun 1900.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Berbagai kondisi dan keterbatasan tersebut, mendorong


Pemerintah Hindia Belanda melalui perusahaan KA milik negara,
Staatsspoorwegen (SS), untuk membangun dan mengoperasikan
jaringan KA di wilayah Priangan, dengan lintas utama
membentang dari Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut,
Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, hingga menuju ke Pelabuhan
Cilacap serta membuka pula lintas-lintas cabang dari lintas
utama ke sentra-sentra perkebunan di pedalaman Priangan serta
membuka keterpencilan daerah Priangan Selatan dan Tenggara.

Peta 2. Peta Priangan pada tahun 1895.


http://maps.library.leiden.edu

36
BAB III

HADIRNYA SANG KUDA BESI

Sistem Perkeretaapian telah beroperasi di Indonesia jauh sebelum bangsa


Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Kehadiran perkeretaapian
saat Indonesia masih berada di masa kekuasaan kolonial Hindia Belanda itu
terutama didorong adanya kebutuhan untuk mendukung perekonomian dan
kemiliteran. Pada masanya, perekeretaapian di Hindia Belanda termasuk
yang termaju di kawasan Asia. Indonesia adalah negara kedua di Asia, setelah
India, yang membangun sistem perkeretaapian. Berawal dari sepenggal jalur
sepanjang 25 km di wilayah Semarang, jaringan KA kemudian meluas secara
masif terutama di Pulau Jawa pada dua dekade akhir abad 19 dan tiga dekade
di awal abad 20.

3.1 Era Tanam Paksa dan Liberalisasi Ekonomi

Sistem tanam paksa

Berbagai perlawanan yang dilakukan oleh kaum pribumi kepada


penguasa kolonial Belanda termasuk pula perang berkepanjangan
di Vorstenlanden (daerah para raja di Yogyakarta-Surakarta), yang
dikenal sebagai Perang Diponegoro (1825-1830) mengakibatkan
kesulitan keuangan dialami oleh Pemerintah Hindia Belanda
(Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia
Jilid 1: Penerbit Angkasa, 1997). Dalam upaya untuk mengatasi
kesulitan keuangan tersebut, Raja Belanda mengangkat J.C.van
den Bosch sebagai Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal
yang baru ini telah memiliki rancangan usulan guna mengatasi
kesulitan keuangan tersebut, yaitu melalui suatu sistem yang
disebut Cultuur Stelsel atau Sistem Tanam Paksa.

37 37
Sistem Tanam Paksa yang diterapkan sejak tahun 1830 ini
mengharuskan setiap pemilik tanah untuk menanami 20% (dua
puluh persen) lahannya dengan tanaman wajib yang laku di
pasaran dunia, dan melakukan pemeliharaan, pemetikan, dan
penyerahan hasilnya kepada pemerintah itu (Tim Telaga Bakti
Nusantara, 1997).

Tanaman wajib tersebut adalah tanaman keras seperti kopi,


teh, tembakau, dan indigo untuk pasaran Eropa. Setiap desa
yang separuh luas tanahnya ditanami salah satu jenis tanaman
itu dibebaskan dari pajak bumi. Penduduk pribumi yang
tidak memiliki tanah diwajibkan bekerja selama dua bulan
dalam setahun di perkebunan-perkebunan yang ditunjuk
(Subarkah, Ir. Iman, Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita 1867-
1992, Yayasan Pusaka, 1992).

Sistem Tanam Paksa merupakan salah satu proyek besar yang


dilaksanakan di Hindia Belanda (Mulyana, Agus, Sejarah Kereta
Api di Priangan, Penerbit Ombak, 2017). Penerapan eksploitasi
agraris ini selama beberapa dekade ternyata memberikan hasil
perkebunan yang melimpah serta pendapatan penjualan yang
positif, sehingga mampu untuk menutupi hutang negara maupun
untuk memberikan saldo keuntungan bagi Pemerintah Hindia
Belanda dan Kerajaan Belanda di Eropa (Marihandono, D.,
Juwono, H., Budi, L.S., Iswari, D., Dari Konsesi ke Nasionalisasi
– Sejarah Kereta Api Cirebon-Semarang, Penerbit PT Kereta Api
Indonesia (Persero), 2016). Sebaliknya, cara paksa ini membawa
penderitaan bagi penduduk pribumi (Subarkah, 1992).

38
Produksi beberapa hasil perkebunan ekspor seperti kopi, gula
tebu, dan nila mengalami peningkatan signifikan, yang tercermin
pula dari peningkatan luasan lahan yang ditanami dan jumlah
tenaga kerja di sektor perkebunan. Jumlah produksi tanaman
ekspor per pikul (1 pikul = 62,5 kg) juga mengalami peningkatan
bila dibandingkan antara produksi tahun 1830 dengan tahun 1840.
Gambaran peningkatan produksi tersebut dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.

Tabel 1. Jumlah Produksi Tanaman Ekspor (Per pikul) dalam Metrik.


Sumber : Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997

Antara tahun 1832 sampai dengan 1867, pemerintah kolonial


memperoleh saldo keuntungan sebesar £ 967.000.000,00 dan
sepuluh tahun berikutnya mendapat keuntungan berjumlah
£ 287.000.000,00. Sistem Tanam Paksa ini juga berdampak
pada munculnya para pengusaha swasta di negeri Belanda yang
menjadi kaum liberal (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997).
Pada dua dasawarsa pertama pelaksanaan Tanam Paksa terjadi
peningkatan ekspor yang begitu pesat (Mulyana, 2017).

Namun, pertumbuhan perkebunan yang pesat ini menimbulkan


kesulitan-kesulitan karena terbatasnya fasilitas transportasi
baik secara kualitas maupun kuantitas. Timbul permasalahan
bagaimana mengangkut hasil produksi dari daerah sentra produksi
perkebunan di pedalaman menuju ke pelabuhan-pelabuhan di
daerah pesisir untuk kemudian diangkut menggunakan kapal

39
laut. Sebaliknya, barang produk industri dari negeri Belanda
perlu dibawa dari kota pelabuhan ke wilayah lain di pedalaman.
Sedangkan prasarana transportasi yang ada masih sangat
tradisional, yaitu menggunakan pedati atau gerobak yang ditarik
hewan atau diangkut dengan perahu melalui sungai.

Kendala penggunaan alat angkut tradisional tersebut sangat


lambat dan daya angkut terbatas. Untuk pengangkutan melalui
perahu, muncul hambatan berupa pasang air laut yang masuk
ke sungai. Selain itu, banyak hewan mati karena beratnya beban
atau karena sakit. Keterbatasan kapasitas angkut dan kecepatan
ini tidak dapat mengimbangi tingginya permintaan pengangkutan
hasil produksi perkebunan. Pengangkutan tradisional bergerak
sangat lambat dibandingkan kecepatan transportasi kapal laut
yang melayani angkutan ekspor keluar Hindia Belanda, sehingga
kapal-kapal laut harus menunggu lama di pelabuhan. Hal ini
menyebabkan tingginya biaya sewa kapal (Marihandono dkk.,
2016). Selain itu, waktu pengangkutan dan penyimpanan yang
panjang juga menyebabkan produk perkebunan ini menjadi
menurun kualitasnya dan membusuk.

Gambar 13. Alat kendaraan perahu digunakan untuk pengangkutan pada masa lalu.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

40
Kebutuhan sarana transportasi

Oleh Menteri Urusan Jajahan J.C. Baud, masalah transportasi di


Hindia Belanda ini dicoba dipecahkan melalui penggunaan kereta
yang ditarik dengan hewan. Dia mendatangkan 40 ekor unta dari
Afrika Barat, dan sejumlah keledai ke Jawa sebagai penarik
kereta. Selain hewan, didatangkan juga kereta dengan roda
bergigi sebanyak 20 buah lengkap dengan jalan relnya ke Hindia
Belanda. Program J.C Baud ini ternyata tidak dapat terlaksana
karena hewan yang dibawa dari luar itu mati (Mulyana, 2017).

Gambar 14. Moda angkutan pedati menjadi sarana transportasi pengangkutan.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

41
Gambar 15. Lori yang berjalan di atas rel menggunakan tenaga hewan.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Berbagai permasalahan tersebut akhirnya bermuara pada kebutuhan


atas moda transportasi yang memiliki daya angkut besar dan dapat
bergerak cepat agar dapat secara efektif dan efisien mengangkut
hasil perkebunan dan produk industri. Tidak hanya untuk
kebutuhan pengangkutan komoditas, transportasi yang efektif dan
efisien juga diperlukan untuk kepentingan militer. Perang dengan
kaum pribumi masih meninggalkan berbagai perlawanan dan
belum seluruhnya terpadamkan. Pemerintah Hindia Belanda juga
berkepentingan untuk memindahkan tentaranya dengan cepat
bagi penegakan garis pertahanannya. Pemerintah Hindia Belanda
membangun markas-markas pertahanan antara lain di Semarang,
Ungaran, Ambarawa, Salatiga, Magelang, Purworejo, Gombong,
dan Banyumas yang memerlukan pengangkutan untuk mobilitas
pasukan mereka (Subarkah, 1992).

Pemerintah Hindia Belanda memprediksi serangan musuh


kemungkinan besar akan datang dari daerah pelabuhan.
Hubungan pelabuhan sebagai daerah yang terbuka dan pedalaman

42
yang terisolasi merupakan garis pertahanan yang strategis, yang
membutuhkan sarana angkutan yang dapat memberikan gerak
yang cepat apabila terjadi serangan musuh (Mulyana, 2017).

Jalan berliku menghadirkan sang kuda besi

Richard Trevithick, seorang insinyur pertambangan Inggris


pada tahun 1808 membangun jalan rel melingkar di London
beserta rangkaian KA nya yang ditarik lokomotif uap yang dapat
mengangkut penumpang, suatu peristiwa yang menjadi dasar
permulaan bagi pengoperasian KA penumpang dan menimbulkan
sensasi besar bagi masyarakat (Subarkah, 1992). Selanjutnya
sang kuda besi alias kereta api makin dikembangkan ketika
pada tanggal 27 September 1825 dioperasikan KA penumpang
pertama di Inggris yang menghubungkan Stockton dengan
Darlington oleh George Stephenson, yang dilanjutkan pembukaan
jalan rel baru dari Liverpool ke Manchester pada tanggal
15 September 1830.

Di negeri Belanda sendiri, perkeretaapian mulai hadir di tahun


1839 dengan dibukanya jalur KA Amsterdam - Haarlem pada
tanggal 20 September 1839, yang menjadikannya jalur kereta
api Belanda yang pertama. Selanjutnya, jaringan jalan rel di
negara Belanda terus berkembang dan dibangun dari keuntungan
Cultuur Stelsel (Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997).

Sementara itu di Benua Asia, Inggris membangun dan membuka


jalur KA di India, salah satu negara yang didudukinya di benua
ini. Jalur KA di India yang dioperasikan adalah dari Bori Bundar

43
ke Thana sejauh 34 km pada tanggal 16 April 1853. Pembukaan
jalur ini sekaligus menjadi penanda pertama kalinya KA beroperasi
di Asia. Dari pengamatan Pemerintah Belanda, pembangunan
jalan rel di India ini membawa dampak terhadap kelancaran
angkutan berbagai komoditi ekspor dan berpengaruh baik
terhadap rakyat India. Hal ini juga salah satu yang mendorong
Pemerintah Belanda mengoperasikan KA di Hindia Belanda.

Namun demikian, ternyata tidaklah mudah menghadirkan KA di


Hindia Belanda. Penuh jalan panjang nang berliku. Pada tanggal
15 Agustus 1840, Kolonel Jhr. Van Der Wick, seorang militer
mengusulkan agar di Pulau Jawa dibangun alat transportasi baru,
yaitu kereta api, dengan usulan jalan rel terbentang dari Surabaya
ke Jakarta melalui Surakarta, Yogyakarta, dan Bandung beserta
simpangan-simpangannya. Menurut pandangannya, di negeri
Belanda yang telah dibangun jaringan rel membuktikan hasil yang
cukup baik sebagai sarana pengangkutan, dan pemasangan jalan
rel di Jawa akan mendatangkan keuntungan bagi kepentingan
pertahanan.

Timbul perbedaan pandangan atas usulan tersebut. Ada yang


mendukung, ada yang menentang. Pihak yang menentang
beralasan pembangunan jalan rel akan membuka kesempatan bagi
masuknya modal asing, sedangkan negeri Belanda sendiri akan
dibebani hutang dan terancam kehilangan daerah jajahan. Namun
usulan tersebut dipandang baik oleh pihak Pemerintah, sehingga
Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan susat keputusan
(Koninklijk Besluit) nomor 270 tertanggal 28 Mei 1842 yang

44
menetapkan bahwa pemerintah akan membangun jalan rel dari
Semarang ke Kedu dan Yogyakarta/Surakarta. Keputusan ini
tidak pernah diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan.

Perdebatan berikunya menyangkut pihak manakah yang


membangun jalur KA, apakah Pemerintah ataukah pihak swasta.
Gubernur Jenderal Hindia Belanda J.J. Rochussen, misalnya,
mengusulkan kepada pemerintah kereajaan di negeri induknya
agar menolak permohonan konsesi dari pihak swasta karena
berpendapat bahwa pengadaan alat transportasi hendaknya
dilakukan oleh pemerintah karena banyak produk pemerintah
yang harus ditarik oleh KA. Bila pengangkutan produk
pemerintah dilakukan oleh KA pemerintah, maka tarifnya akan
murah, sebaliknya jika diangkut oleh swasta tarifnya akan tinggi
(Mulyana, 2017). Namun Gubernur Jenderal penggantinya,
A.J. Duymaer Van Twist justru mengajukan usul agar pemerintah
kerajaan di Belanda mempertimbangkan usulan konsesi pihak
swasta. Perbedaan pandangan ini berakhir ketika Pemerintah
Kerajaan Belanda mengeluarkan surat keputusan No.H22,
Ind. Stbl. 1853 No. 4 yang menetapkan pemberian kemudahan
bagi kalangan pengusaha swasta untuk mendapatkan konsesi
pembukaan jalan rel dan usaha alat transportasi (Tim Telaga Bakti
Nusantara, 1997).

Selain diperlukan modal yang sangat besar untuk membuka


dan mengusahakan jalur KA, juga timbul perdebatan berkisar
dasar legalitas usaha perkeretaapian ini (Marihandono dkk,
2016). Berbeda dengan perkebunan yang bertumpu pada

45
persewaan tanah dalam jangka waktu tertentu dengan hak
sewa pengolahannya, pembangunan jalur KA dan infrastruktur
pendukungnya memerlukan lahan yang luas dan panjang. Usaha
perkeretaapian memerlukan lahan yang tidak bisa dilokalisir
seperti area perkebunan, dan bahkan tidak bisa dibatasi dengan
batas-batas administratif.

Sebagai solusinya, negara akan memberikan hak konsesi


(concessie recht), yaitu hak untuk penyewaan tanah dengan
pemgambilalihan hak atas tanah dari pemegang hak semula.
Dalam hal ini, negara akan membebaskan lahan yang dibutuhkan,
dan investor memberikan modal jaminan ke negara yang akan
dikembalikan saat konsesi berakhir. Saat konsesi berakhir,
semua benda tidak bergerak diambil alih dan menjadi milik
negara, sementara benda tidak bergerak, investor berhak untuk
memilikinya.

Swasta yang memulai

Suatu konsorsium yang terdiri dari para ahli, yakni W. Poolman, A.


Fraser, dan E.H. Kol, mengajukan usulan konsesi pembangunan
jalan KA dari Semarang melalui Solo dan terus ke Yogyakarta.
Daerah Surakarta dan Yogyakarta waktu itu disebut Vorstenlanden,
yaitu daerah yang dikuasai oleh raja-raja. Dasar pertimbangan
usulan pembangunan jalan rel tersebut, karena daerah Semarang
selatan, Surakarta, dan Yogyakarta merupakan daerah penghasil
barang ekspor yang kaya, seperti kayu, tembakau, dan gula tebu.
Barang-barang tersebut perlu diangkut ke Pelabuhan Semarang
(Tim Telaga Bakti Nusantara, 1997).

46
Permohonan konsesi tersebut disertai permohonan jaminan bunga
5% dari modal yang dipinjam. Gubernur Jenderal Mr. L.A.J.W.
Baron Sloet van den Beele akhirnya menyetujui permohonan
konsesi tersebut melalui surat keputusan Gubernur Jenderal
No. 1 tanggal 28 Agustus 1862, dengan syarat jalur rel tersebut
diperluas dengan lintas cabang dari Kedungjati ke Ambarawa
untuk kepentingan militer (di Ambarawa terletak benteng
Willem I) dan lebar sepur disesuaikan dengan norma standar
Eropa, yakni 1.435 m. Jaminan bunga modal sebesar 4,5% akan
diberikan pemerintah.

Selanjutnya para pemohon konsesi tersebut mendirikan perusahaan


KA swasta yang bernama Naamlooze Venootschap Nederlandsch-
Indische Spoorweg-Maatschappij (NV NSIM) pada tahun 1963.
NV NISM ini dipimpin oleh Ir. J.P de Bordes (Tim Telaga Bakti
Nusantara, 1997). NISM ini menjadi perusahaan KA pertama
di Hindia Belanda, dan artinya pihak swasta lah yang memulai
pembanguan jalan KA di Hindia Belanda.

Gambar 16. Stasiun Samarang NIS.


Sumber: Spoorwegstations op Java_M.V.B de Jong

47
3.2 Berawal dari Samarang – Tangoeng
Hari bersejarah

Jumat, tanggal 7 Juni 1864 di Samarang (Semarang) menjadi hari


yang bersejarah bagi dunia perkeretaapian di Indonesia. Pada
hari itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda L.A.J. Baron Sloet
van den Beele melakukan pencangkulan tanah yang pertama
yang menandai dimulainya pembangunan jalur KA pertama
di Hindia Belanda.

Jalur KA pertama yang dibangun adalah jalur yang menghubungkan


Samarang (Semarang) hingga Vorstenlanden (wilayah Surakarta
dan Yogyakarta), yang merupakan daerah penghasil komoditas
perkebunan seperti tebu dan tembakau. Kebutuhan untuk
mengangkut hasil kehutanan dan perkebunan menuju Pelabuhan
Semarang untuk diekspor menjadi latar belakang pembangunan
jalur KA tersebut oleh NISM. Karena menghadapi berbagai
kendala, dalam waktu 3 tahun jalur KA tersebut baru mencapai
Tangoeng (Tanggung) sejauh 25 kilometer. Ruas Semarang-
Tanggung ini dioperasikan untuk umum pada tanggal 10 Agustus
1867 yang sekaligus menandai beroperasinya pertama kali KA
di bumi pertiwi.

Gambar 17. Stasiun Tangoeng NIS tahun 1867.


Sumber: Spoorwegstations op Java_M.V.B de Jong

48
Dalam pembangunan jalur KA ini, NISM menghadapi kesulitan
keuangan yang parah karena salah merancang sejak awal, sehingga
biaya pengeluaran sangat besar melebihi anggaran. Bahkan
pembangunan sempat terhenti pada tahun 1868, dan NISM
meminta bantuan pemerintah. Pemerintah memberikan bantuan
pinjaman modal tanpa bunga kepada NISM sehingga dapat
melanjutkan pembangunan sampai Surakarta. Ternyata kemudian
NISM kembali mengalami kesulitan keuangan yang mengancam
terhentinyapembangunan jalan rel. Kali ini para pengusaha
yang mengontrak tanah perkebunan dan sangat memerlukan
jasa angkutan KA, dengan serta merta bersedia membayar uang
muka kepada NISM untuk muatan yang akan diangkut NISM.
Dan akhirnya, segala bantuan tersebut memungkinkan jalur rel
Semarang-Surakarta-Yogyakarta diselesaikan dan dioperasikan
oleh NISM pada tahun 1873, dengan tambahan lintas cabang dari
Kedungjati ke Ambarawa untuk kepentingan militer (Tim Telaga
Bakti Nusantara, 1997).

Peta 3. Peta jaringan NIS di Semarang pada tahun 1868.


http://maps.library.leiden.edu

49
Peta 4. Peta jaringan NIS (berwarna merah) pada tahun 1903.
http://maps.library.leiden.edu

Selain jalur KA Semarang-Surakarta-Yogyakarta, pada tahun 1873


juga, NISM menyelesaikan dan mengoperasikan jalur KA yang
menghubungkan Batavia (Jakarta), ibu kota pemerintahan Hindia
Belanda, dengan Buitenzorg (Bogor) sepanjang 55 kilometer.
Konsesi pembangunan jalur KA Jakarta-Bogor ini diberikan oleh
pemerintah kepada NISM karena jalur ini memiliki nilai ekonomi
yang cukup tinggi untuk pengangkutan hasil produksi tanaman
ekspor dari daerah Priangan, seperti kopi, teh, dan kina. Selain itu,
jalur ini juga penting ditinjau dari sudut politik dan pemerintahan
karena Bogor merupakan tempat kedudukan Gubernur Jenderal
dan pusat administrasi pemerintahan (Istana Bogor sekarang).

Pada awal pengoperasiannya, NISM masih mengalami


kerugian, namun pada tahun-tahun berikutnya NISM mengalami
keuntungan dan bahkan makin lama keuntungan itu makin
besar. Kedua jalur KA, Semarang-Yogyakarta dan Jakarta-
Bogor benar-benar dapat memenuhi kebutuhan transportasi yang

50
sudah mendesak, dan hasilnya memang menggemberikan untuk
NISM. Sehingga pada tahun 1894, NISM telah mampu melunasi
pinjaman ke Pemerintah dan perusahaan KA swasta ini pun dapat
mengembangkan usahanya.

Pemerintah pun mengoperasikan KA

Kesulitan keuangan yang dialami NISM saat membangun jalur KA


yang mengakibatkan para investor mempertimbangkan kembali
untuk mengajukan permohonan konsesi pembangunan jalur KA
mendorong Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun dan
mengoperasikan KA melalui perusahaan KA milik pemerintah.
Pada tahun 1875, Pemerintah mendirikan perusahaan KA,
Staatsspoorwegen (SS), yang kemudian membangun dan
mengoperasikan jalur KA pertama mereka di wilayah timur Pulau
Jawa pada tahun 1879. Jalur yang dibangun dan dioperasikan
adalah jalur KA yang menghubungkan Surabaya, kota dagang
dan pelabuhan di timur Jawa, dengan Pasuruan sampai Malang,
yang sekaligus menjadi jalur KA pertama yang dioperasikan
perusahaan KA milik Pemerintah.

Gambar 18. Stasiun Soerabaja Kota tahun 1881 (foto kiri) dan Stasiun Malang SS tahun 1879
(foto kanan). Sumber: Spoorwegstations op Java_M.V.B de Jong

51
Keuntungan yang menggembirakan yang diperolah NISM dan
SS saat pengoperasian jalur KA mereka memberi gambaran
dan harapan baru kepada para pengusaha swasta. Mereka mulai
tertarik membuka perusahaan jasa angkutan KA, dan mengejukan
konsesinya kepada Pemerintah.

Berakhirnya era tanam paksa pada tahun 1870, yang ditandai


dengan penerbitan Undang-Undang Agraria yang memberikan
kesempatan besar kepada pihak swasta untuk berusaha di sektor
perkebunan, semakin memperbesar kapasitas produksi hasil
perkebunan yang juga memerlukan dukungan sarana transportasi
yang memadai. Hal inilah yang kemudian semakin mendorong
perkembangan pembangunan jaringan KA di Hindia Belanda.

Jaringan KA di Hindia Belanda kemudian makin berkembang


meluas di Pulau Jawa, sehingga antara Jakarta dan Surabaya,
dua kota utama di Jawa pun terhubungkan dengan jalur KA.
Selain di Jawa, pembangunan KA kemudian juga dilakukan di
Pulau Sumatera, Madura, dan Sulawesi, baik oleh perusahaan KA
milik negara maupun berbagai perusahaan KA milik swasta yang
diberikan izin konsesi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Gambar 19. Pembangunan jaringan KA di Pulau Jawa semakin meluas.


https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

52
Masa kejayaan

Perkeretaapian di Hindia Belanda kala itu termasuk yang


termaju pada zamannya untuk kawasan Asia. Indonesia adalah
negara kedua di Asia, setelah India, yang membangun sistem
perkeretaapian. Kejayaan perkeretaapian pada masa silam
ditandai dengan dominasi KA dalam angkutan barang dari sentra
produksi hasil bumi dan tambang ke pelabuhan, dan sebaliknya.
Transportasi massal perkotaan berbasis rel juga dibangun,
diantaranya adalah jaringan trem uap dan trem listrik di Kota
Jakarta, Surabaya, dan Semarang.

Terpadunya KA dengan pelabuhan laut, seperti di Jakarta


(Tanjung Priok), Medan (Belawan), Padang (Teluk Bayur),
Cirebon, Semarang (Tanjung Mas), Pekalongan, Tegal, Surabaya
(Tanjung Perak), Cilacap, Pasuruan, Probolinggo, Panarukan,
dan Banyuwangi memudahkan proses bongkar muat barang, dan
bahkan sistem penyeberangan antarpulau saat itu telah dibuat
terpadu dengan KA, seperti di pelabuhan penyeberangan Ujung-
Kamal yang menghubungkan Pulau Jawa dan Madura, serta
Merak-Panjang antara Pulau Jawa dan Sumatera. Pembangunan
Stasiun Tanjung Priuk yang megah di Jakarta, yang memudahkan
kelancaran perpindahan penumpang dari kapal ke KA, dan
sebaliknya, juga menandai zaman keemasan KA di Indonesia.
Masa itu, tentu saja, adalah masa ketika perjalanan luar negeri
sebagian besar dilakukan dengan kapal laut. Pembukaan
stasiun tersebut pada tahun 1925 ditandai pula dengan
pengoperasian elektrifikasi jalur KA sekaligus perjalanan perdana

53
Gambar 20. Stasiun Tanjung Priuk yang dibuka pada tahun 1925.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

Kereta Rel Listrik di ruas Tanjung Priuk-Jatinegara, suatu hal yang


tergolong maju pada masa itu (Kereta Anak Bangsa, Menjaga
Jalan Baja – Jawa Barat dan Banten, 2019).

Banyak jalur KA dibangun, termasuk sejumlah jalur cabang


hingga ke pedalaman dan pesisir, sehingga membuka daerah yang
semula terisolasi dan mendorong perkembangan daerah baru.
Di dalam Kota Jakarta dan Surabaya, serta di ruas-ruas tertentu
seperti Jakarta-Cikampek, Surabaya-Porong, dan Surabaya-Tarik,
jalur ganda telah dibangun untuk mengantisipasi peningkatan
lalu lintas KA, meskipun kedua jalur yang terakhir telah kembali
dijadikan jalur tunggal.

Perkembangan pesat dunia perkeretaapian di Hindia Belada


saat itu ditandai pula dengan pengoperasian KA oleh berbagai

54
Gambar 21. Elektrifikasi jalur KA menjadi salah satu kejayaan perkeretaapian pada masa itu.
https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

perusahaan: satu perusahaan KA milik negara dan tidak kurang


dari delapan belas perusahaan KA milik swasta. Sementara itu,
banyak industri hasil bumi dan pertambangan, seperti tebu, kayu
jati, timah, dan lainnya juga membangun dan mengoperasikan
sistem perkeretaapian khusus mereka sendiri (Kereta Anak
Bangsa, The Beauty of Indonesian Railways, 2012).

55
3.3 Jaringan Kereta Api Priangan

Dari Bogor hingga Tasikmalaya menuju Cilacap

Jaringan KA di Priangan mulai dibangun sejak tahun 1881


oleh SS. Dari Buitenzorg (Bogor), yang menjadi titik akhir
jalur NISM, SS [kelak menjadi Staatsspoor-en Tramwegen
in Nederlandsch-Indie (SS en T)], di wilayah Westerlijnen (lintas
barat) membangun jalur KA menuju ke Preanger (Priangan), suatu
daerah yang didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan yang
tanahnya sangat subur dengan hasil perkebunan yang melimpah,
dan menjadi sentra perkebunan kopi, karet, kina dan teh. Daerah
Priangan membentang dari Cianjur, Purwakarta, Bandung,
Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis hingga Pangandaran.

Jalur ini dibangun melintasi Sukabumi, Cianjur hingga Bandung


dan kemudian dilanjutkan menuju ke Cicalengka (sekitar 27 km
timur Kota Bandung). Keberadaan jalur KA yang dibuka pada
tahun 1884 ini, berdampak kepada tumbuh berkembangnya
Kota Bandung, yang juga mendapat sebutan sebagai “Parijs
van Java”. Stasiun Bandung sendiri telah dibuka pada tanggal
17 Mei 1884.

Gambar 22. Stasiun Bandung pada tahun 1910.


http://media-kitlv.nl

56
Dari Cicalengka, pembangunan jalur diteruskan hingga Cibatu
dan Garut yang dibuka pada tahun 1889, tepatnya pada tanggal
14 Agustus 1889. Kemudian dari Warungbandrek, dilanjutkan
menuju Tasikmalaya yang dioperasikan pada tahun 1893. Setahun
kemudian pada tahun 1894, jalur KA dari Tasikmalaya dilanjutkan
pembangunannya hingga ke Kesugihan, Jawa Tengah, untuk
bersambung dengan jalur SS yang telah dibangun sebelumnya
dari Yogyakarta menuju Pelabuhan Cilacap (Mulyana, 2017).

Kontur tanah yang berbukit dan berlembah membuat moda


transportasi KA menjadi angkutan yang efisien untuk membawa
penumpang, hasil bumi dan perkebunan, terutama di zaman yang
belum banyak terdapat kendaraan bermotor lainnya. Karakteristik
lainnya jalur KA di Priangan adalah karena lintasannya banyak
melewati sungai dan lereng gunung maka dibutuhkan banyak
pembangunan karya teknik yang luar biasa seperti jembatan tinggi,
pondasi kuat, dan terowongan panjang (Raap, Olivier Johannes,
Sepoer Oeap Djawa Tempo Doeloe, Penerbit Kepustakaan Populer
Gramedia, 2017). Untuk sarana perkeretaapian, lokomotif ringan
dan kuat didesain khusus agar dapat melalui tanjakan-tanjakan
berat dan belokan tajam di daerah pegunungan.

Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang dijalankan oleh


Pemerintah Hindia Belanda menjadi latar belakang kebutuhan
suatu sarana transportasi untuk pengangkutan hasil perkebunan.
Priangan, atau disebut juga Parahyangan, adalah daerah
di Provinsi Jawa Barat yang menjadi sentra hasil perkebunan kopi,
karet, kina dan teh. Daerah Priangan membentang dari Cianjur,

57
Purwakarta, Bandung, Sumedang, Garut, Tasikmalaya, Ciamis
hingga Pangandaran. Pada masa sebelum era tanam paksa pun,
di Priangan sudah dikenal eksploitasi ekonomi berupa kewajiban
penduduk untuk menanam kopi melalui kerja wajib yang disebut
Preanger Stelsel (Mulyana, 2017).
Transportasi KA dibutuhkan terutama untuk mengangkut hasil
perkebunan dari daerah sentra perkebunan di pedalaman Priangan
menuju ke pelabuhan laut untuk kemudian diangkut dengan
kapal untuk diekspor keluar Hindia Belanda, terutama ke Eropa.
Pada tahun 1884, Bandung telah terhubungkan Jalur KA dengan
Jakarta, sehingga hasil perkebunan Priangan dapat dibawa melalui
pelabuhan di Jakarta.

Sementara pada tahun 1894, jalur KA menuju ke arah timur telah


terhubungkan dengan Pelabuhan Cilacap dengan melewati kota-
kota Tasikmalaya, Ciamis dan Banjar. Dengan dibukanya jalur
KA Jakarta-Cikampek-Purwakarta-Padalarang pada tahun 1906,
perjalanan KA lebih dipersingkat lagi waktu tempuhnya menuju
Pelabuhan Tanjung Priok. Pengoperasian jalur KA Cikampek-
Cirebon pada tahun 1912, memberikan keterhubungan antara
daerah Priangan dengan Pelabuhan Cirebon.

Pembangunan KA di Priangan seluruhnya dilakukan oleh SS


sebagai perusahaan KA negara. Ada tiga alasan pembangunan
jalan KA dilakukan oleh Pemerintah, yaitu dari aspek tujuan,
medan yang dihadapi, dan anggaran yang dibutuhkan (Mulyana,
2017). Selain tujuan ekonomi, pembangunan jalur di Priangan
juga memiliki tujuan pertahanan militer. Daerah pegunungan

58
seperti Priangan dapat dijadikan benteng pertahanan dan pusat
penempatan pasukan, dan jalur KA dapat menjadi sarana
mempercepat gerak pasukan dalam menghadapi musuh.
Kemudian, dengan topografi pegunungan, maka diperlukan
pembangunan jalur KA yang lebih memerlukan teknologi
tinggi dengan membuat banyak belokan serta perlu membangun
jembatan dan terowongan untuk melintasi ngarai dan menembus
pegunungan, yang tentunya memerlukan biaya tinggi sehinggu
perlu anggaran yang besar yang hanya dapat disediakan oleh
Pemerintah.

Gambar 23. Suasana jalur kereta api wilayah Priangan yang melintasi pegunungan.
http://media-kitlv.nl

59
Lintas Cabang Priangan

Untuk lebih mendekatkan akses KA dengan sentra perkebunan di


pedalaman Priangan, maka SS juga membangun jalur-jalur KA
yang disebut juga lintas-lintas cabang. Lintas cabang yang dibuka
beserta tahun pembukaannya adalah Cikudapateuh-Ciwidey
(1921 dan 1924), Dayeuhkolot-Majalaya (1922), Rancaekek-
Tanjungsari (1921), Cibatu-Garut-Cikajang (1899 dan 1930),
Tasikmalaya-Singaparna (1911), dan Banjar-Pangandaran-
Cijulang (1916 dan 1921). (Oegema, J.J.G., De Stoomtractie op
Java en Sumatra: Kluwer Technise Boeken Netherlands, 1982).

Lintas cabang ini sebagian besar terletak di sisi selatan lintas utama
Bandung-Banjar, dan hanya lintas cabang Rancaekek-Tanjungsari
yang berada di sisi utara lintas utama. Hal ini juga karena lintas
cabang Rancaekek-Tanjungsari direncanakan untuk diperpanjang
melalui Sumedang dan terhubungkan dengan lintas cabang trem
uap Cirebon-Kadipaten. Sedangkan lintas cabang Cibatu-Garut
semula merupakan bagian dari jalur utama KA Bandung-Garut,
sebelum pembangunan jalur utama KA diteruskan dari Cibatu
menuju Tasikmalaya. Lintas cabang Garut-Cikajang dibuka pada
tahun 1930, yang sekaligus merupakan pembukaan terakhir jalur
KA baru di Pulau Jawa di masa kolonial Belanda.

60
Peta Jaringan Perkeretaapian di Priangan pada tahun 1922
digambarkan sebagai berikut:

Peta 5. Peta Jaringan Perkeretaapian di Priangan pada tahun 1922.


http://maps.library.leiden.edu

==============================================

61
62
BAB IV

CERITA KERETA PRIANGAN TENGGARA

Setelah melalui proses yang berliku serta berbagai hambatan,


Kereta Api akhirnya melaju di wilayah Priangan Tenggara dimulai
dari ruas Banjar-Kalipucang pada tahun 1916. Berawal dari kebutuhan
untuk membuka dan mengembangkan wilayah Priangan Timur dan
Tenggara serta mengangkut hasil bumi dan komoditas perkebunan, KA
kemudian juga menjadi andalan mobilitas masyarakat Pangandaran.
Oleh Pemerintah Hindia Belanda, Jalur KA Banjar-Pangandaran-
Cijulang kemudian direncanakan untuk dilanjutkan pembangunannya
agar dapat terhubung dengan lintas-lintas cabang lainnya membentuk
konektivitas jaringan KA di wilayah Priangan selatan, sesuatu yang
belum terwujud hingga saat ini.

4.1 Riwayat Jalur Kereta


Banjar-Pangandaran- Cijulang

Jalur Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang 82 km merupakan


salah satu diantara beberapa jalur KA lintas cabang di Priangan
yang telah nonaktif puluhan tahun. Awalnya, SS membangun jalur
KA lintas utama Tasikmalaya-Banjar-Kasugihan sejauh 118 km
yang dibuka pada tahun 1894 dan bersambung dengan pelabuhan
Cilacap melalui jalur Yogyakarta-Cilacap yang telah dioperasikan
oleh SS pada tahun 1887. (Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah
Perkeretaapian Indonesia Jilid 1: Penerbit Angkasa, 1997).

Dari Stasiun Banjar, SS membangun jalur dari Banjar menuju


Kalipucang dan dibuka pada tahun 1916. Kemudian, SS
melanjutkan pembangunan jalan rel dari Kalipucang ke arah

63 63
selatan hingga Parigi dan Cijulang sepanjang 39 km dan
mengoperasikannya pada tahun 1921. Pada tahun 1982, setelah
beroperasi sekitar 60 tahun, KA di jalur ini secara resmi dihentikan
operasinya dan jalur KA ini menjadi nonaktif hingga sekarang.

Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang dibangun oleh SS terutama


untuk 2 (dua) tujuan, yaitu untuk membuka dan mengembangkan
wilayah Priangan bagian timur dan tenggara serta kebutuhan
pengangkutan hasil bumi dan perkebunan. Kedua tujuan tersebut
mewakili kepentingan baik dari pihak pemerintah maupun pihak
swasta, terutama para pemilik perkebunan.

Merujuk pada Agus Mulyana, Sejarah Kereta Api di Priangan,


Penerbit Ombak, 2017, pada awalnya, usulan pembangunan jalur
KA wilayah Banjar diinisiasi oleh pihak swasta.

Pihak swasta yang mengajukan konsesi pembangunan dan


pengoperasian KA tersebut antara lain, Eekhout yang pada tahun
1904 mengajukan konsesi kepada pemerintah untuk membangun
jalur trem dari Banjar menuju Pameungpeuk (Garut) melalui
Kalipucang dan Parigi. Sebelumnya, H.J. Stroband pada tahun
1898, mengajukan permohonan konsesi membangun trem uap
dari Banjar sampai Cijulang melalui Banjarsari, Kalipucang,
Cikembulan dan Parigi. Pada tahun yang sama, F.J. Nellensteyn
mengajukan konsesi membangun jalan trem dari Pameungpeuk,
Rancaherang, Klapagenep, Cijulang, Parigi, Cikembulan,
Kalipucang, Padaherang kemudian ke Banjar. Demikian pula pada
tahun 1904, Lawick van Pabst mengajukan konsesi pembangunan

64
jalur trem dari Banjar melalui Kalipucang dan Parigi menuju
Pameungpeuk. Pemerintah Hindia Belanda menolak pengajuan
konsesi dari Stroband, dan menyetujui pemberian konsesi
untuk Eekhout, Nellensteyn dan van Pabst. Meski demikian,
pembangunan jalur trem dimaksud tidak kunjung direalisasikan
oleh pihak swasta para pemilik konsesi tersebut, sehingga
pemerintah mencabut kembali konsesi yang telah diberikan.

Dari pihak pemerintah, usulan pembangunan jalur KA Banjar-


Kalipucang-Parigi datang dari Residen Priangan melalui surat
kepada pemerintah pusat yang disertai nota dari Asisten Residen
Sukapura dan Kontroleur Manonjaya. Usulan ini dimaksudkan
untuk mengembangkan wilayah Priangan Tenggara dan Timur
serta pertimbangan perlunya pengangkutan hasil pertanian yang
lebih mudah dan murah dari lembah Priangan Timur dan Parigi ke
Pelabuhan Cilacap. Pengangkutan hasil pertanian pada masa itu
dilakukan dengan menggunakan perahu dari Kalipucang melalui
sungai menuju Pelabuhan Cilacap melewati Segara Anakan,
dengan risiko terjadinya pengendapan lumpur di Sagara Anakan
akibat pasang air laut.

Bahkan disebutkan masyarakat sampai menyimpan hasil bumi


seperti padi hingga bertahun-tahun karena sulitnya pengangkutan.
Bila terbangun jalur KA Banjar-Kalipucang-Parigi, maka
dari Kalipucang dan Parigi, pengangkutan dapat dilakukan
menggunakan KA menuju Banjar hingga pelabuhan Cilacap.

65
Selain itu, sejak tahun 1903, telah terdapat perkebunan-
perkebunan milik orang Eropa di ruas Banjar-Kalipucang,
diantaranya di daerah Batulawang, Bantardawa, Cikaso dan
Banjarsari. Perkebunan tersebut terutama adalah perkebunan
karet, kopi dan teh. Pembukaan jalur KA, akan mempermudah
pengangkutan hasil-hasil perkebunan dengan lebih murah serta
memudahkan mendapatkan tenaga kerja di perkebunan karena
tersedianya akses transportasi.

Surat usulan Residen Priangan tersebut kemudian menjadi


pertimbangan Pemerintah, yang akhirnya memutuskan untuk
membangun jalur KA dari Banjar menuju Parigi melewati
Kalipucang berdasarkan Undang-Undang tanggal 18 Juli 1911
(Staatsblad 1911 No. 457). Pembangunan dan pengoperasian
jalur tersebut dilakukan oleh SS.

Gambar 24. Stasiun Banjar tahun 1970, terlihat kereta penumpang menuju Cijulang di sebelah
kanan (lingkaran merah). Sumber: Lokomotif Uap_A.E. Durant

66
Meski telah diterbitkan pengesahan dari Pemerintah Hindia
Belanda, pembangunan jalur ini mengalami beberapa penundaan
dan ketersendatan. Penundaan terjadi karena adanya kritik
dari Lambert de Ram, anggota Majelis Rendah Parlemen yang
menyatakan bahwa biaya pembangunan jalur tersebut terlalu
mahal, yaitu sebesar f. 4.846.000,00 untuk jarak sepanjang 82,5
km, dibandingkan dengan biaya pembangunan jalur-jalur trem di
daerah lainnya. Pembangunan jalur KA ini juga dipandang tidak
menciptakan keterhubungan baru karena mengikuti jalan raya yang
telah ada. Pengembangan jalur ke lembah Parigi juga dianggap
kurang strategis secara ekonomis, karena produk pertanian hanya
berupa beras, padi, kelapa dan kopra yang merupakan komoditas
bertarif rendah. Oleh karenanya, Lambert de Ram mengusulkan
pembangunan jalur KA dari Banjar langsung menuju pelabuhan
Cilacap melalui daerah Dayeuh Luhur.

Peta 6. Peta ilustrasi usulan jalur KA Banjar-Cilacap. Infografis Kereta Anak Bangsa

67
Usulan ini akhirnya sulit untuk dilaksanakan karena daerah
Dayeuh Luhur merupakan daerah rawa-rawa serta menjadi sarang
nyamuk sumber penyakit malaria. Selain itu pembangunan jalur
KA di daerah ini akan menghadapi kesulitan berupa pengeringan
air rawa, ketersediaan bahan bangunan, dan pencarian tenaga
kerja. Selain itu sebab utama tingginya biaya pembangunan jalur
KA Banjar-Kalipucang-Parigi adalah karena ruas Kalipucang-
Parigi merupakan daerah pegunungan sehingga dibutuhkan
pembangunan banyak jembatan dan terowongan KA.

Akhirnya masih pada tahun 1911, pembangunan jalur KA Banjar-


Kalipucang-Parigi mulai dilaksanakan. Namun, setelah sekitar satu
tahun berjalan, pembangunan dihentikan karena adanya usulan
dari pejabat SS, Radersma, untuk membangun jalur langsung dari
Kalipucang ke Kawunganten. Kawunganten merupakan daerah
timur Kalipucang yang telah memiliki jaringan KA milik SS di
ruas Banjar-Maos-Cilacap. Dengan jalur langsung tersebut, maka
jarak dari Kalipucang menuju Cilacap dapat diperpendek, tanpa
harus melewati Banjar. Oleh karenanya kemudian diputuskan
melakukan pengukuran untuk pembangunan jalur Kalipucang-
Kawunganteng dengan lebar rel kecil 600 mm (60 cm), yang
merupakan jalur trem. Demikian pula untuk jalur Banjar-
Kalipucang yang telah diukur menggunakan lebar rel 1.067 mm
dilakukan pengukuran ulang menggunakan lebar rel 600 mm.

68
Peta 7. Peta ilustrasi usulan jalur KA Kalipucang-Kawunganten.
Infografis Kereta Anak Bangsa

Pengukuran ulang ini ternyata menimbulkan permasalahan


karena medan jalur sebelumnya dengan lebar 1.067 mm tidak
dapat digunakan untuk jalur lebar rel 600 mm, sehingga harus
membuat jalur yang baru dan tentunya dapat mengakibatkan
pengulangan pekerjaan penggalian dengan biaya besar. Selain
itu, dijumpai pula kesulitan-kesulitan untuk membangun jalur
Kalipucang-Kawunganten, antara lain karena bagian daerah yang
dilalui merupakan lereng gunung dan daerah perbukitan dengan
batu andesit keras serta juga terdapat daerah rawa-rawa yang
merupakan sarang nyamuk penyakit malaria, sehingga tentunya
memerlukan biaya yang tinggi dari sisi teknis pembangunan dan
biaya tenaga kerja.

Kritik terhadap usulan pembangunan jalur KA Kalipucang-


Kawunganten yang menjadi penyebab tertundanya pembangunan

69
jalur KA Banjar-Kalipucang-Parigi datang baik dari pihak
pemerintah lokal dan maupun pengusaha perkebunan.
Menurut Asisten Residen Sukapura, penundaan pembangunan
memberikan beban bagi masyarakat setempat. Dengan adanya
rencana pembangunan jalur KA, masyarakat melakukan aktivitas
menggarap lahan, menanam tembakau, membuka lahan sawah dan
perkebunan kelapa, dengan harapan hasil pertanian tersebut dapat
segera diangkut menggunakan KA. Peningkatan aktivitas juga
dilakukan pengusaha perkebunan dengan menanamkan modalnya
memperluas lahan perkebunan. Penundaan pembangunan jalur
KA Banjar-Kalipucang-Parigi merugikan pengusaha perkebunan
dan masyarakat setempat karena hasil pertanian dan perkebunan
menjadi sulit dipasarkan karena KA tidak kunjung dioperasikan.

Selain itu para pengusaha perkebunan yang berasal dari Inggris


yang kebanyakan merupakan perkebunan karet dan juga kopi dan
coklat juga melakukan protes atas penundaan pembangunan jalur
KA Banjar-Kalipucang-Parigi. Selain karena para pengusaha telah
menanamkan modalnya untuk memperluas areal perkebunannya,
mereka juga telah mengorbankan sebagian lahan perkebunannya
yang direncanakan menjadi area jalur KA, dan yang kemudian,
menjadi tidak produktif dan kurang terpelihara, sementara jalur
KA tidak kunjung terbangun.

Dengan berbagai kritik dan protes tersebut, akhirnya rencana


pembangunan jalur KA Kalipucang-Kawunganten dibatalkan dan
pembangunan jalur KA Banjar-Kalipucang-Parigi dilanjutkan
kembali pada bulan tahun 1913.

70
Merujuk pada “Ikhtisar Perkembangan Perkeretaapian
di Indonesia Sebelum Perang Dunia II” yang bersumber dari
Subarkah, Ir. Iman, Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita 1867-1992,
Yayasan Pusaka, 1992, pembukaan jalur KA Banjar-Kalipucang-
Pangandaran-Cijulang dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama
adalah pengoperasian ruas Banjar-Kalipucang sepanjang 43 km
pada tanggal 15 Desember 1916. Sedangkan tahap kedua adalah
pembukaan ruas Kalipucang-Cijulang sejauh 39 km pada tanggal
1 Januari 1921.

Tabel jalur KA beserta jarak dan tanggal pembukaan tersebut


adalah sebagai berikut:

Tabel 2. Jalur KA beserta jarak dan tanggal pembukaan lintas Banjar-Cijulang.


Sumber : Sekilas 125 tahun Kereta Api Kita 1867 -1992

Bila mengacu pada Mulyana, Agus, Ekonomi dan Pengembangan


Wilayah, Latar Belakang Pembangunan Jalan Kereta Api pada
Lajur Banjar-Kalipucang-Parigi (1911-1921), tahun 2008,
yang merujuk pada Dienst der Staatsspoor en Tramwegen
Mededelingen Adminstrative Dienst General Kantoor
no. 1 Indische Spoorweg Politiek, deel VIIIe: S.A. Reitsma, 1925,
tahap kedua pembukaan adalah untuk ruas Kalipucang-Parigi,
karena memang semula Parigi yang ditetapkan sebagai titik ujung
jalur KA ini. Namun kemudian, Cijulang, suatu daerah lembah
sejauh 5 km arah barat Parigi dianggap sebagai tempat yang
lebih baik untuk titik perhentian akhir jalur ini untuk kemudian

71
nantinya pembangunan dapat dilanjutkan menuju ke Tasikmalaya
atau Pameungpeuk, Garut. Pembukaan jalur hingga Cijulang
dilakukan pada tanggal 1 Juni 1921. Krisis ekonomi dunia pada
tahun 1930 turut menjadi penyebab tidak berlanjutnya rencana
Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun jaringan KA
di Priangan selatan yang saling terhubungkan satu dengan
yang lain.

Gambar 25. Stasiun Pangandaran di tahun 1921-an.


Sumber: Spoorwegstations op Java_M.V.B de Jong

4.2 Konstruksi Prasarana

Jalur di ruas Banjar-Kalipucang merupakan jalur yang berada


di daerah datar, sedangkan Kalipucang-Cijulang, terutama di
ruas Kalipucang-Pangandaran merupakan daerah pegunungan
sehingga konstruksi jalur harus menghadapi kondisi medan yang
cukup sulit. Dari Kalipucang hingga Pangandaran, jalur KA harus
melalui Gunung Kendeng. Gunung ini merupakan rangkaian
dataran tinggi Garut yang menurun terjal ke arah laut.

72
Sedemikian beratnya medan yang dihadapi sehingga di jalur
Banjar-Cijulang dibangun 4 terowongan untuk menembus
pegunungan dan perbukitan serta tidak kurang dari 6 jembatan
panjang melintasi ngarai. Tiga terowongan dibangun di ruas
Kalipucang-Pangandaran, sementara satu terowongan dibangun
di daerah perbukitan selatan Kota Banjar.

Keempat terowongan tersebut adalah Terowongan Batulawang


atau dikenal juga sebagai Terowongan Philip sepanjang 281 m,
dan Terowongan Hendrik (masyarakat setempat menyebutnya
Terowongan Warungbungur) sepanjang 105 m, Terowongan
Juliana (disebut juga Terowongan Bengkok) sepanjang 147 m
dan Terowongan Wilhelmina atau Sumber sepanjang 1.116 m
(Katam, Sudarsono, Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe,
Pustaka Jaya, 2014). Terowongan Philip terletak di selatan
Kota Banjar, sementara ketiga terowongan berikutnya terletak di
ruas antara Kalipucang-Pangandaran.

Gambar 26. Terowongan Hendrik (foto kiri) saat beroperasi di masa Hindia Belanda.
Sumber : Het Indische Spoor in oorlogstijd: Jan de Bruin.
Terowongan Juliana (foto kanan) saat beroperasi di masa Hindia Belanda.
Sumber : Cuplikan film De Nederlandsch Indische Staatsspoor- en Tramwegen: IdFilm

73
Terowongan Wilhelmina dengan panjang 1.116 m merupakan
terowongan KA terpanjang di Indonesia. Terowongan ini
dibangun selama 3 tahun sejak tahun 1913 hingga 1916 dengan
pembangunan dari kedua sisi terowongan.

Gambar 27 : Terowongan Wilhelmina saat beroperasi di masa Hindia Belanda.


Sumber: Cuplikan film De Nederlandsch Indische Staatsspoor- en Tramwegen: IdFilm

Sementara jembatan-jembatan yang membentang panjang di


atas lembah antara lain, Jembatan Cikacepit atau Cipamotan
(310 m), dengan kedalaman maksimum 38 m, Cipembokongan
(299 m), dengan kedalaman maksimum 40 m, dan Cikabuyutan
(176 m), dengan kedalaman 34 m (dikutip dari Indisch Tijdschrift
Voor Spoor-en Tramwegwezen, Jaargang V No. 3, Maart 1917).
Jembatan lainnya adalah Cikacampa, dan Cipanerekean.

Jembatan Cikacepit atau Cipamotan sepanjang 310 m juga


merupakan salah satu jembatan KA terpanjang di Indonesia.
Pembangunan Jembatan Cipamotan dan jembatan rangka baja
bentang panjang lainnya, bahan material rangka baja didatangkan

74
Gambar 28 : Jembatan Cipamotan/Cikacepit saat beroperasi di masa Hindia Belanda.
Sumber: http://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM

dari negeri Belanda melalui Pelabuhan Cilacap. Dari pelabuhan ini,


material jembatan diangkut dengan kapal melalui Segara Anakan,
dan menyusuri Sungai Citanduy hingga mencapai Kalipucang.
Dari Kalipucang, barulah dibawa ke lokasi pembangunan jembatan
melalui rel yang sudah terbangun. Tercatat tidak kurang dari
689 ton, 644 ton, dan 310 ton rangka baja diangkut masing-masing
untuk Jembatan Cipamotan, Cipembokongan dan Cikabuyutan
(Mulyana, 2014).

Jembatan bentang panjang yang lain adalah Jembatan Cikacampa


(160 m) dan Cipanerekean. Konstruksi Jembatan Cipanerekan
yang terletak di tepian Samudera Hindia terbilang menarik
karena merupakan perpaduan dua jenis bangunan jembatan, yaitu
jembatan beton lengkung (95 m) dan jembatan rangka baja dengan
pilar beton (150 m). Selain itu pemandangan dari jembatan ini
ke arah pantai sangatlah mempesona.

75
Merujuk pada Indisch Tijdschrift Voor Spoor-en Tramwegwezen,
Maart 1917, pembangunan jembatan KA di lintas Kalipucang-
Cijulang saat itu juga telah menerapkan teknologi derek
(crane) yang dijalankan di atas rel, suatu teknologi baru yang
dijalankan pada masa itu. Panjang derek tersebut adalah 80 m.
Sebelumnya, kontruksi pembangunan jembatan menggunakan
sistem penyangga bawah dari kayu dan bagian jembatan dipasang
menggunakan derek yang dipasang dari bagian bawah jembatan.

Gambar 29 : Metode pemasangan jembatan besar di jalur Bandjar - Parigi der Staatspoorwegen
di Jawa dengan bantuan derek depan sepanjang 80 M.
Sumber: Indisch Tijdschrift Voor Spoor-en Tramwegwezen, Jaargang V No. 3, Maart 1917

Gambar 30 : Pembangunan Jembatan Cikacepit (Cipamotan) pada tahun 1917 dengan


menggunakan teknologi derek yang diletakkan di rel.
Sumber: Selayang Pandang Sejarah Perkeretaapian Indonesia 1867-2014

76
Gambar 31. Jembatan selesai dilihat dari samping. Rekaman dari 5 September 1916.
Sumber: Indisch Tijdschrift Voor Spoor-en Tramwegwezen, Jaargang V No. 3, Maart 1917

Kondisi beratnya medan yang dihadapi tersebut saat


pembangunan jalur Banjar-Cijulang sehingga diperlukan
pembangunan konstruksi terowongan dan jembatan menjadi satu
hal yang mengakibatkan pembengkakan biaya pembangunan
yang sangat besar. Biaya pembangunan yang semula ditetapkan
sebesar f. 4.846.000 membengkak menjadi sebesar f. 9.583.421.
Selain karena hal itu, pembengkakan biaya ini juga disebabkan
oleh perhitungan awal yang terlalu rendah, yang tidak melihat
kondisi di lapangan terutama untuk harga bahan bangunan; dan
akibat penundaan pembangunan sehingga banyak memerlukan
pengulangan penggalian, serta biaya tenaga kerja yang tinggi
akibat medan yang berat dan rawan penyakit.

77
4.3 Konstruksi Prasarana
Geografi dan topografi

Merujuk pada peta yang bersumber dari http://maps.library.


leiden.edu, peta jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang disajikan
sebagai berikut:

Peta 8. Peta jalur KA Banjar-Cijulang tahun 1931.


Sumber : http://maps.library.leiden.edu

78
Infografis Peta Jalur KA Banjar-Cijulang disajikan sebagai
berikut:

Peta 9. Peta jalur KA Banjar-Cijulang.


Infografis Kereta Anak Bangsa

Dari infografis peta tersebut di atas tergambarkan jalur KA Banjar-


Pangandaran-Cijulang membentang dari arah utara dari hingga
selatan, dari Banjar sampai Kalipucang. Setelah Kalipucang, jalur
membelok ke arah barat hingga Pangandaran sampai Cijulang.

Secara topografi juga tergambarkan bahwa jalur dari Banjar


hingga Kalipucang relatif berada pada tanah yang datar. Dari
Kalipucang, KA melewati daerah pegunungan hingga tepian
Samudera Hindia. Di ruas inilah dibangun beberapa terowongan
dan jembatan sekaligus untuk menembus pegungungan.
Kemudian dari tepi pantai, jalur KA kembali menjauhi tepi pantai
ke arah Pangandaran hingga Cijulang.

79
Stasiun dan perhentian

Merujuk pada Daftar Lintas yang disusun oleh Perusahaan Jawatan


Kereta Api (PJKA), terdapat 22 stasiun dan perhentian KA di lintas
cabang Banjar-Pangandaran Cijulang, yaitu Banjar, Batulawang,
Gunungcupu, Cikotok, Sukajadi, Banjarsari, Banjarsaripasar,
Cangkring, Cicapar, Kedungwuluh, Padaherang, Ciganjeng,
Tunggilis, Kalipucang, Sumber, Ciputrapinggan, Pangandaran,
Cikembulan, Cikalong, Cibenda, Parigi, dan Cijulang.

Dari 22 stasiun dan perhentian tersebut, 7 diantaranya


berklasifikasi stasiun, yaitu Banjar, Banjarsari, Padaherang,
Kalipucang, Pangandaran, Parigi, dan Cijulang. Sementara yang
lainnya hanya merupakan Perhentian (P) dan Perhentian yang
dilayani petugas yang berdiam di situ (Pl).

Merujuk pada Raap, Olivier Johannes, Sepoer Oeap Djawa


Tempo Doeloe, Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia,
2017, sejak 1950-an Indonesia menggunakan sistem klasifikasi
stasiun, dengan enam kelas stasiun dan dua kelas tempat
perhentian. Sementara pada zaman kolonial, terdapat tiga jenis
utama klasifikasi, yaitu Stasiun, Halte, dan Stopplaats. Pangkat
stasiun diberikan pada tempat pemberhentian di awal dan ujung
jalur, serta kota besar di sepanjang jalur dan memiliki bangunan
lebih besar dan fasilitas lebih lengkap. Sedangkan sebutan halte
digunakan untuk menandai tempat perhentian di antara dua stasiun
dan biasanya terletak di tempat yang kecil, dengan fasilitas yang
sederhana. Baik stasiun maupun halte melayani jasa pengiriman

80
barang dan mempunyai kantor surat kawat. Sementara stopplaats
tidak memiliki fasilitas tersebut di atas dan hanya menjadi tempat
naik turun penumpang.

Stasiun dan perhentian yang ada di sepanjang jalur Banjar-


Cijulang beserta jaraknya dalam kilometer dimulai dari titik nol
km Banjar merujuk pada Daftar Lintas (PJKA) disajikan sebagai
berikut:

Gambar 32. Daftar Stasiun lintas Banjar-Cijulang


Sumber: Daftar Lintas Jalur Rel Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA)

Dari daftar tersebut, terlihat jarak rinci Jalur Banjar-Cijulang


adalah 82,16 km. Tergambarkan juga titik dan panjang 4
terowongan yang ada dalam satuan meter. Selain Terowongan

81
Batulawang (281m), Ketiga terowongan yang lain berada
di daerah Sumber, dan dari panjang terowongannya, bisa
disimpulkan bahwa terowongan tersebut berturut-turut adalah
Terowongan Hendrik (105m), Terowongan Juliana (147m), dan
Terowoongan Wilhelmina (1.116m). Dalam bentuk infografis,
stasiun dan perhentian di jalur Banjar-Cijulang disajikan
sebagai berikut

Gambar 33. Infografis, stasiun dan perhentian di jalur Banjar-Cijulang.


Infografis Kereta Anak Bangsa

Kelas kereta dan tabel perjalanan

Berdasarkan pada tabel Jadwal Perjalanan KA tahun 1931, yang


diambil dari Officieele Reisgids der Spoor en Tramwegen en
Aansluitende Automobieldiensten op Java en Madoera, tampak
bahwa kereta penumpang yang digunakan untuk jalur Banjar-
Cijulang adalah rangkaian kereta penumpang kelas 2 dan kelas 3.

82
Dari tabel itu juga tergambarkan bahwa dalam satu hari terdapat
3 kali perjalanan Banjar-Cijulang dan 4 kali perjalanan untuk rute
sebaliknya, Cijulang-Banjar. Waktu tempuh rata-rata perjalanan
sekitar 4 jam.

Terdapat pula perjalanan sebagian ruas, misalnya Banjar-


Banjarsari, Banjar-Kalipucang dan Kalipucang-Cijulang.

Gambar 34. Tabel perjalanan KA Banjar-Cijulang pp tahun 1931


Sumber : Officieele Reisgids der Spoor en Tramwegen en Aansluitende Automobieldiensten op
Java en Madoera

83
Menurut penuturan warga yang tinggal di area bekas Stasiun
Cijulang, sepanjang ingatannya, jadwal keberangkatan KA cari
Cijulang empat kali dalam sehari, yaitu pada pukul 05.00, pukul
08.00, pukul 12.00, dan pukul 16.00 (Susur Rel KA, Cijulang
Tinggal Kenangan: Kompas, 15 April 2014).

Warga yang tinggal di daerah Pamotan, Kalipucang menuturkan,


untuk tarif KA, pada tahun 1970-an, ongkos KA dari Kalipucang
ke Pangandaran hanya 50 rupiah, sementara jika sampai Banjar,
bertarif 125 rupiah. Sementara seorang warga Bandung yang
pernah menggunakan KA dari Banjar menuju Pangandaran pada
tahun 1978 mengatakan tarif KA untuk orang dewasa 125 rupiah,
sementara untuk anak-anak 100 rupiah (Napak Tilas Jalur Kereta
Api Banjar-Pangandaran: Radar Tasikmalaya, 27 Oktober 2016
& 4 November 2016).

4.4 Penghentian Operasi

Pertumbuhan masif angkutan jalan raya yang dimulai pada akhir


tahun 1970-an, perlahan tapi pasti mengurangi signifikansi peran
transportasi KA, terutama di lintas-lintas cabang dan perkotaan.
Kerusakan sarana angkut banyak terjadi akibat faktor usia dan
keterbatasan dana pemeliharaan. Keterbatasan kondisi sarana dan
prasarana, tingginya biaya operasional, dan semakin sulitnya KA
bersaing dengan angkutan jalan raya membuat periode akhir tahun
1970-an hingga awal 1980-an menjadi masa penutupan banyak
jalur-jalur KA cabang di Indonesia. Jalur-jalur KA yang ditutup
tidak hanya jalur-jalur cabang menuju kota-kota di wilayah
pedalaman, namun juga jalur menuju pelabuhan-pelabuhan,

84
pabrik/industri, area pertambangan dan bahkan juga jalur-jalur
trem perkotaan di kota-kota besar (Kereta Anak Bangsa, 2019).

Lintas-lintas cabang di Priangan adalah termasuk jalur KA yang


dihentikan pengoperasiannya. Seluruh lintas cabang di Priangan
ditutup dan tidak lagi beroperasi, termasuk juga lintas cabang
Banjar-Pangandaran-Cijulang. KA masih beroperasi di lintas
Banjar-Pangandaran-Cijulang hingga tahun 1980-an. Sumber
tertulis PJKA menyebutkan bahwa pada tahun 1982, tepatnya
tanggal 1 Februari 1982, jalur ini resmi dihentikan operasinya
oleh PJKA.

Gambar 35. Bangunan Stasiun Pangandaran semasa beroperasi.

85
Gambar 36. Bangunan Stasiun Pangandaran setelah tahun 1949, saat sudah tidak lagi beropeasi.
Sumber: Spoorwegstations op Java_M.V.B de Jong

Namun sumber lain serta masyarakat di jalur tersebut


menyebutkan, penutupan jalur ini dilakukan secara bertahap,
yakni Cijulang-Pangandaran pada tahun 1984 karena kondisi
rel kurang memadai dan okupansi penumpang rendah, dan
Pangandaran-Banjar pada tahun 1986 karena adanya longsoran
di salah satu Terowongan Batulawang dan korosi parah Jembatan
Ciputrapinggan (Cipanerekean) (Wibisono, Ario, Jelajah Jalur
KA Banjar-Pangandaran-Cijulang dan Wisata Pantai Batukaras
Cijulang, Indonesian Railway Preservation Society, 2009).

Perlu diketahui, tahun 1970-an hingga 1980-an adalah masa


penutupan banyak jalur-jalur KA cabang di Indonesia, yang
terutama karena keterbatasan kondisi sarana dan prasarana,
tingginya biaya operasional dan sulit bersaing dengan angkutan
jalan raya.

==============================================

86
BAB V

MENGULIK JEJAK JALAN BAJA

Sudah lebih dari 35 tahun Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang sepanjang


82 km tak lagi beroperasi. Kondisi tinggalan aset perkeretaapian di jalur ini
sangat memprihatinkan dan tidak terawat, bahkan banyak diantaranya sudah
raib tak berbekas. Namun demikian, jalur ini masih menyisakan bangunan-
bangunan perkeretaapian yang monumental yang bisa menggambarkan
kemajuan teknologi konstruksi pada zamannya. Hal yang tidak kalah
menariknya, jalur yang dilalui pun sarat dengan pemandangan yang menawan.

Jalur KA nonaktif Banjar-Kalipucang-Cijulang sepanjang


82 km masih cukup banyak menyisakan peninggalan masa
silam, baik berupa potongan rel, menara penampungan air,
bekas-bekas rangka atau pondasi jembatan, terowongan maupun
stasiun. Meskipun sangat disayangkan, batang-batang rel sudah
hampir tidak bersisa, rangka jembatan baja sudah banyak yang
raib dijarah, dan kondisi bangunan stasiun sangat menyedihkan.
Jauh dari kata terpelihara, dan bahkan beberapa bangunan stasiun
sudah tiada berbekas lagi.

Uraian tentang tinggalan perkeretaapian di jalur ini disajikan


secara urutan geografis dari arah Stasiun Banjar menuju bekas
Stasiun Cijulang.

87 87
5.1 Stasiun Banjar

Stasiun Banjar merupakan stasiun yang aktif beroperasi sejak


tahun 1894 sebagai bagian dari lintas selatan Jawa, tepatnya
lintas Bandung-Yogyakarta. Namun demikian bangunan stasiun
mengalami kerusakan parah saat masa perang mempertahankan
kemerdekaan, sehingga dipugar kembali. Atap peron stasiun
dibuat setelah tahun 1949.

Gambar 37. Stasiun Banjar tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Meskipun merupakan stasiun aktif, stasiun ini memiliki beberapa


peninggalan masa lampau yang tidak lagi digunakan, antara
lain bekas dipo lokomotif uap, bekas pemutar lokomotif, bekas
menara air, dan bekas rumah sinyal mekanik.

Gambar 38. Bekas Dipo Lokomotif dan menara air Stasiun Banjar tahun 2016
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

88
Bangunan bekas menara penampungan air di Stasiun Banjar
adalah termasuk bangunan menara air yang tertinggi dan terbesar
di Indonesia, serupa dengan bangunan menara air yang berada di
Balai Yasa Manggarai.

Gambar 39. Menara air Stasiun Banjar serupa dengan menara air di Balai Yasa Manggarai
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Alat pemutar lokomotif ini kini tidak lagi digunakan karena


Stasiun Banjar hanya melayani KA yang transit dan tidak ada
pemberangkatan KA yang berawal dan berakhir di stasiun ini,
sehingga tidak diperlukan aktivitas pemutaran lokomotif.

Gambar 40. Bekas alat pemutar lokomotif Stasiun Banjar tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

89
Sejak sistem persinyalan di Stasiun Banjar berubah dari sistem
sinyal mekanik menjadi sinyal elektrik, maka rumah sinyal
mekanik di stasiun ini tidak lagi digunakan.

Gambar 41. Bekas rumah sinyal Stasiun Banjar di sisi timur tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Stasiun ini merupakan titik awal (km 0) lintas cabang KA Banjar-


Pangandaran-Cijulang.

Gambar 42. Stasiun Banjar tahun 1970, terlihat kereta penumpang menuju Cijulang di sebelah
kanan. Sumber: Lokomotif Uap_A.E. Durant.

90
Gambar 43. Kondisi Stasiun Banjar tahun 2016 (foto kanan) Bekas jalur menuju Cijulang
ditandai dengan garis terputus warna merah. Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Jalur cabang menuju Pangandaran-Cijulang letaknya unik karena


melewati halaman depan stasiun Banjar dari arah selatan dipo
lokomotif dan menuju ke emplasemen barat stasiun. Sehingga
bangunan stasiun diapit oleh jalur rel.

Gambar 44. Stasiun Banjar tahun 2016. Bekas jalur percabangan ke Banjar ditandai dengan garis
terputus warna merah Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

91
Percabangan menuju Cijulang berada di sebelah barat Stasiun
Banjar. Bekas jalur rel bercabang ke arah barat stasiun untuk
selanjutnya berbelok ke selatan menuju Cijulang. Peninggalan
yang dapat dijumpai di sisi barat stasiun diantaranya beberapa
potongan rel jalur menuju pangandaran, bekas sinyal mekanik
yang kini tersisa tiang sinyalnya saja dan bekas rumah sinyal
di barat Stasiun Banjar.

Gambar 45. Bekas tiang sinyal keluar menuju Cijulang di Stasiun


Banjar tahun 2016. Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

92
Gambar 46. Bekas rumah sinyal di sisi barat Stasiun Banjar tahun
2016. Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 47. Bekas rel selepas Stasiun Banjar menuju Cijulang tahun 2016.
Foto: dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

93
5.2 Banjar-Banjarsari

Selepas Stasiun Banjar, peninggalan berikutnya yaitu sebuah


terowongan kereta api. Terowongan ini terletak di daerah
Batulawang dan jauh dari akses jalan raya. Masyarakat sekitar
mengenalnya sebagai terowongan Batulawang, meski disebut
juga sebagai Terowongan Philip. Panjang terowongan ini adalah
283 meter. Di mulut terowongan masih tertera tulisan angka tahun
pembuatannya, yaitu tahun 1914.

Gambar 48. Bekas terowongan KA Philip tahun 2018.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Gambar 49. Bekas jalan rel menuju terowongan KA Philip tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

94
Peninggalan selanjutnya adalah bekas jembatan KA rangka baja
yang menyeberangi Sungai Ciseel. Jembatan Ciseel masih terlihat
rangkanya dan rel di tengah rangka jembatan.

Gambar 50. Bekas jembatan KA Ciseel tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

95
Bekas pondasi Jembatan KA Ciseel pun masih terlihat kokoh.

Gambar 51. Bekas pondasi jembatan KA Ciseel tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selepas jembatan, bekas jalur ka akan memotong Jalan Raya


Banjar-Pangandaran. Bekas rel KA masih dapat dilihat.

Gambar 52. Bekas rel KA memotong Jalan Raya Banjar-Pangandaran tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

96
Di lintas Banjar-Banjarsari bekas badan jalan rel (railbed) masih
bisa dilihat.

Gambar 53. Bekas tubuh jalan rel di lintas Banjar-Banjarsari.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selanjutnya di daerah Cikotok rel akan melewati jembatan di atas


Jalan Raya Banjar-Pangandaran.

Gambar 54. Bekas jembatan KA di atas Jalan Raya Banjar-Pangandaran tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

97
5.3 Stasiun Banjarsari

Peninggalan berikutnya adalah bekas bangunan Stasiun


Banjarsari. Bekas bangunan stasiun saat ini sudah sulit terlihat dari
jalan raya karena di sekitarnya sudah dipenuhi banyak bangunan.
Di sini, bangunan gudang stasiun turut menyatu dengan bangunan
stasiun. Tidak jauh dari area emplasemen, terdapat bekas
sumur air.

Gambar 55. Bekas Stasiun Banjarsari tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 56. Bekas papan nama Stasiun Banjarsari tahun 2016 yang sudah tidak ada.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

98
Gambar 57. Bekas gudang Stasiun Banjarsari tahun 2019.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 58. Bekas sumur air Stasiun Banjarsari (foto kanan) tahun 2019.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

99
5.4 Banjarsari-Kalipucang

Selepas Stasiun Banjarsari, peninggalan yang dapat dijumpai


adalah jembatan KA yang melintasi jalan desa.

Gambar 59. Bekas jembatan KA di atas jalan desa.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selanjutnya jalan rel melewati Sungai Cikawasen. Bekas


Jembatan KA Cikawasen masih terlihat kokoh. Memiliki bentuk
yang unik dengan rangka baja berbentuk parabola.

Gambar 60. Bekas jembatan KA Cikawasen tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

100
Sedangkan di daerah Ciganjeng masih ada jejak peninggalan
berupa bekas jembatan KA yang melintsi Sungai Ciganjeng.
Bekas jembatan ini digunakan untuk akses pejalan kaki dan
kendaraan roda dua.

Gambar 61. Bekas jembatan KA Ciganjeng tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Masih di daerah Ciganjeng, dijumpai jejak peninggalan berupa


jembatan lengkung beton yang melintasi saluran irigasi.

Gambar 62. Bekas jembatan KA Cikawasen tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

101
5.5 Stasiun Kalipucang

Di daerah Kalipucang, jejak peninggalan yang dapat dijumpai


yaitu bekas Stasiun Kalipucang, namun sayang kondisinya sudah
tersisa dindingnya saja. Bagian atap telah terbakar. Selain itu
tidak jauh dari area stasiun juga terdapat menara air.

Gambar 63. Bekas stasiun Kalipucang tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 64. Bekas stasiun Kalipucang tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

102
Gambar 65. Bekas sisa emplasemen stasiun Kalipucang tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 66. Bekas menara air stasiun Kalipucang tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

103
5.6 Kalipucang-Pangandaran
Selepas Stasiun Kalipucang, bekas jalur rel melewati sebuah
jembatan di atas anak Sungai Citanduy dan menyeberang di atas
jalan desa.

Gambar 67. Bekas jembatan KA melintasi anak Sungai Citanduy pada tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 68. Bekas jembatan KA melintasi jalan desa pada tahun 2018.
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

104
Jejak peninggalan berikutnya yaitu bekas terowongan KA.
Terowongan yang dikenal dengan nama Terowongan Hendrik,
atau juga disebut Terowongan Cipamotan atau Warungbungur
ini memiliki panjang 105 meter, termasuk salah satu terowongan
KA terpendek di Indonesia. Bekas rel di dalam terowongan sudah
tidak ditemukan, kecuali singkapan sepenggal batang rel di mulut
terowongan. Terowongan ini sering dilalui oleh warga bahkan
kendaraan bermotor baik roda dua atau roda empat.

Gambar 69. Bekas Bekas terowongan KA Hendrik pada tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 70. Bekas terowongan KA Hendrik digunakan sebagai akses pejalan kaki maupun
kendaraan bermotor. Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

105
Tidak jauh dari Terowongan Hendrik, sebuah jejak peninggalan
yang cukup monumental dan menawan masih terdapat di lintas
ini. Peninggalan tersebut berupa bekas jembatan KA Cikacepit
atau Cipamotan. Bekas jembatan baja tersebut masih kokoh
berdiri meskipun ada beberapa bagian baja yang perlahan sudah
mulai hilang. Jembatan Cikacepit ini merupakan salah satu
jembatan KA terpanjang di Indonesia dengan panjang 310 m dan
kedalaman 38 m.

Gambar 71. Bekas jembatan KA Cikacepit tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 72. Bekas jembatan KA Cikacepit tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

106
Gambar 73. Bekas jembatan KA Cikacepit dari kejauhan. Tampak di latar belakang adalah
Segara Anakan, Cilacap. Foto diambil pada tahun 2009.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selepas jembatan Cikacepit sebenarnya masih terdapat bekas


jembatan kecil yang dinamakan Jembatan Cikacepit Kecil.
Bekas jalur rel kemudian memasuki terowongan kembali,
yaitu Terowongan Juliana yang memiliki panjang 147 meter.
Bekas terowongan ini juga dalam kondisi tidak terawat, dengan
konturnya yang membelok tajam, sehingga disebut pula
Terowongan Bengkok. Terwongan ini memiliki satu buah sleko
untuk perlindungan pejalan kaki. Tidak dijumpai lagi bekas rel.

Gambar 74. Bekas terowongan KA Juliana tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

107
Gambar 75. Bagian dalam bekas terowongan KA Juliana tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Jejak peninggalan selanjutnya yaitu bekas terowongan KA


Wilhelmina. Merupakan terowongan KA terpanjang di Indonesia
dengan panjang 1.116 meter. Memiliki 21 buah sleko sebagai
tempat berlindung pejalan kaki. Bekas rel pun sudah lenyap.

Gambar 76. bekas terowongan KA Wilhelmina tahun 2018.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

108
Gambar 77. Konstruksi dinding terowongan KA Wilhelmina tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 78. Sleko terowongan KA Wilhelmina, tempat perlindungan pejalan kaki dalam
terowongan tahun 2016. Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

109
Selanjutnya bekas jalur KA menuju arah Pangandaran melintasi
lembah-lembah dengan bangunan jembatan-jembatan panjang.
Namun sayangnya kondisi jembatan tersebut pada tahun 2016
hanya tersisa pondasi jembatannya saja karena rangka bajanya
sudah habis dijarah. Beberapa jembatan tersebut antara lain:
Bekas Jembatan Cipambokongan, Cikabuyutan, Cikacampa, dan
Cipanerekean.

Gambar 79. Bekas pondasi jembatan KA Cipambokongan tahun 2010.


Dokumentasi Intrias Herlistiarto

Gambar 80. Bekas pondasi jembatan KA Cipambokongan tahun 2013.


Dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

110
Gambar 81. Bekas pondasi jembatan KA Cikabuyutan tahun 2010.
Dokumentasi Intrias Herlistiarto

Gambar 82. Bekas pondasi jembatan KA Cikabuyutan tahun 2013.


Dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

111
Gambar 83. Bekas pondasi jembatan KA Cikacampa tahun 2010.
Dokumentasi Intrias Herlistiarto

Gambar 84. Bekas pondasi jembatan KA Cikacampa tahun 2013.


Dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

112
Gambar 85. Bekas pondasi jembatan KA Cipanerekean beton tahun 2012.
Foto: dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

Gambar 86. Bekas jembatan KA Cipanerekean baja tahun 2009.


Dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

Gambar 87. Bekas pondasi jembatan KA Cipanerekean baja tahun 2012, rangka baja telah habis
dijarah. Dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

113
Selepas Jembatan Cipanerekean, bekas rel masih ditemukan
menjelang bekas jembatan KA yang melintasi sungai
Ciputrapinggan. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan masih
terlihat kokoh berdiri.

Gambar 88. Bekas rel KA menjelang bekas jembatan KA Ciputrapinggan tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 89. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan tahun 2016 dilihat dari jalan raya Pangandaran.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

114
Gambar 90. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Pada saat jembatan jalan raya di Ciputrapinggan amblas karena


musibah banjir bandang, sehingga akses jalan raya Kalipucang-
Pangandaran terputus, maka bekas Jembatan KA Ciputrapinggan
digunakan sebagai jembatan darurat untuk kendaraan roda dua.

Gambar 91. Bekas jembatan KA Ciputrapinggan menjadi jembatan darurat akses


kendaraan roda dua. Foto: Dokumentasi PT. Kereta Api Indonesia (Persero)

115
5.7 Stasiun Pangandaran

Jejak peninggalan selanjutnya adalah bekas Stasiun Pangandaran.


Stasiun ini merupakan bangunan stasiun buatan sekitar
tahun 1949 menggantikan bangunan sebelumnya yang dibangun
pada tahun 1921.

Gambar 92. Stasiun Pangandaran di tahun 1921-an.


Sumber: Spoorwegstations op Java_M.V.B de Jong

Gambar 93. Bekas Stasiun Pangandaran tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

116
Kondisi bekas Stasiun Pangandaran masih cukup baik. Di
dalamnya digunakan sebagai bangunan toko dan warung. Nama
tulisan stasiun “Pangandaran” masih dapat dijumpai di dinding
bangunan stasiun.

Gambar 94. Tulisan “Pangandaran” masih ada di dinding stasiun.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selain itu bekas rel masih terlihat di area Stasiun Pangandaran.

Gambar 95. Bekas rel KA masih terlihat di area Stasiun Pangandaran


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

117
5.8 Pangandaran-Cijulang

Selepas Stasiun Pangandaran, bekas rel terlihat sebelum melintasi


Sungai Cikembulan.

Gambar 96. Bekas rel sebelum melintasi bekas jembatan KA Cikembulan di tahun 2016.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selanjutnya bekas jalur KA melintasi Sungai Cikembulan. Bekas


Jembatan KA Cikembulan masih terlihat kokoh, namun bekas rel
di atas jembatan sudah tidak ada.

Gambar 97. Bekas Jembatan KA Cikembulan tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

118
Selanjutnya bekas Halte Parigi kini berdiri sebuah bangunan
baru, dan masih tersisa beberapa potong rel. Pada dokumentasi
di tahun 2013, bekas Halte Parigi masih tersisa bangunan dinding
dan bekas tiang wesel.

Gambar 98. Bekas area Halte Pargi tahun 2016 (foto kiri) dan bekas rel di area Halte Parigi
(foto kanan). Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Selepas Halte Parigi jejak peninggalan yang dapat dijumpai


adalah bekas jembatan KA yang melintasi Sungai Cijalu Hilir.
Bekas Jembatan KA Cijalu Hilir masih terlihat kokoh namun
sayang bekas rel yang berada di atas jembatan sudah tidak ada.

Gambar 99. Bekas Jembatan KA Cijalu Hilir tahun 2016


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

119
5.9 Stasiun Cijulang

Jejak peninggalan selanjutnya adalah bekas Stasiun Cijulang.


Kondisi Stasiun Cijulang sangat memperihatinkan. Sebagian
dinding telah hancur. Bekas emplasemen kini beralih menjadi
lapangan olahraga voli. Sebagian atap telah hancur.

Gambar 100. Bekas Stasiun Cijulang tahun 2019.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Gambar 101. Papan aset di area bekas Stasiun Cijulang tahun 2018.
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

120
Di Stasiun Cijulang terdapat gudang yang menyatu dengan
bangunan stasiun.

Gambar 102. Bekas gudang Stasiun Cijulang tahun 2016.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

Pada tahun 2009 masih dijumpai bekas brankas stasiun, namun


pada tahun 2016 sudah tidak bersisa lagi.

Gambar 103. Bekas brankas Stasiun Cijulang masih dijumpai pada tahun 2009.
Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

121
Ilustrasi peta jalur KA nonaktif di Banjar-Kalipucang-Cijulang
disertai dengan gambar peninggalan yang masih dapat dijumpai
dirangkum pada infografis di bawah ini.

Gambar 104. Infografis Jejak Peninggalan Jalur KA Banjar-Cijulang. Kereta Anak Bangsa

==============================================

122
BAB VI
PENUTUP

MENANTI PRESERVASI DAN REAKTIVASI

Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang yang tidak lagi aktif beroperasi ini


sesungguhnya masih menyimpan suatu potensi. Potensi tersebut berupa nilai
kesejarahan dari tinggalan aset-aset perkeretaapian yang bila dilestarikan
dapat memberikan nilai tambah untuk tujuan edukasi dan ekonomi. Selain
itu, juga berwujud potensi kemanfaatan sebagai jaringan transportasi untuk
meningkatkan aksesibilitas wilayah dan mobilitas masyarakat, bila dilakukan
pengaktifan kembali atau reaktivasi jalur tersebut.

Riwayat dan fakta menarik yang tersurat, beserta peninggalan


bersejarah yang monumental, yang berpadu dengan pemandangan
alam yang menawan dan potensi pengembangan ekonomi berbasis
wisata, menjadikan jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-
Cijulang sungguh menarik untuk tidak sekadar diulas, tetapi juga
potensial untuk dikembangkan menjadi bagian dari penggerak
ekonomi kewilayahan yang mengedepankan kelestarian nilai
kesejarahan.

6.1 Fakta dan Kisah Menarik

Jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang masih


menyimpan potensi besar karena berbagai fakta dan kisah menarik
dari jalur ini. Fakta dan kisah menarik inilah yang menjadikan
jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang memancarkan eksotisme
tersendiri. Tidaklah berlebihan bila dikatakan eksotisme jalur KA
di Priangan Tenggara ini tidak ditemukan pada jalur-jalur KA
nonaktif lainnya.

123 123
Dari bahasan yang telah disampaikan sebelumnya, berbagai
fakta dan kisah menarik dari jalur ini dapat diintisarikan
sebagai berikut:

Kaya bangunan infrastruktur perkeretaapian

Topografi yang menembus daerah pegunungan serta melintasi


ngarai membuat jalur KA ini kaya dengan konstruksi bangunan
perkeretaapian seperti terowongan dan jembatan. Tidak kurang
dari 4 terowongan dan 6 jembatan bentang panjang bisa dijumpai
di jalur ini.

Terowongan-terowongan tersebut adalah Terowongan Batulawang


(Philip) sepanjang 281 m, Terowongan Warungbungur atau
Cipamotan (Hendrik) sepanjang 105 m, Terowongan Bengkok
(Juliana) sepanjang 147 m, dan Terowongan Sumber (Wilhelmina)
sepanjang 1.116 m.

Gambar 105. Terowongan yang berada di lintas Banjar-Cijulang.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

124
Terowongan-terowongan tersebut selain memiliki penamaan lokal
sesuai yang dikenal oleh penduduk setempat, oleh Pemerintah
Hindia Belanda juga diberikan nama-nama anggota keluarga, dan
bahkan nama Ratu Kerajaan Belanda.

Kemudian, dijumpai setidaknya 6 jembatan KA bentang panjang,


yaitu Jembatan Cipamotan/Cikacepit (310 m), Cipembokongan
(299 m), Cikabuyutan (176 m), Cikacampa (160 m), Cipanerekean
baja (150 m) dan Cipanerekean beton (95 m).

Konstruksi Jembatan Cipanerekean yang terletak di tepi


Samudera Hindia sungguh menarik karena merupakan perpaduan
2 jenis konstruksi jembatan, yaitu jembatan beton lengkung dan
jembatan rangka baja.

Gambar 106. Bekas jembatan KA Cipanerekean tahun 2018.


Dokumentasi Gurnito – Kereta Anak Bangsa

125
Penerapan teknologi konstruksi baru

Pada ruas antara Kalipucang-Pangadaran, untuk pertama kalinya


SS menerapkan teknologi baru dalam pembangunan jembatan
bentang panjang, yaitu dengan menggunakan teknologi derek
(crane) yang berjalan di atas rel, dan membangun konstruksi pilar
jembatan dari sisi atas jembatan. Tidak lagi menggunakan sistem
derek yang dipasang di atas permukaan tanah.

Gambar 107 : Metode pemasangan jembatan besar di jalur Bandjar - Parigi


Sumber: Indisch Tijdschrift Voor Spoor-en Tramwegwezen, Jaargang V No. 3, Maart 1917

126
Jalur kereta api ter…

Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang mendapat julukan


Jalur KA Ter… atau paling… karena bangunan-bangunan
perkeretaapian yang monumental di Indonesia bisa dijumpai di
jalur ini.

Mulai dari terowongan KA terpanjang di Indonesia, yaitu


Terowongan Sumber atau Wilhelmina dengan panjang 1.116 m
atau lebih dari 1 kilometer, kemudian Jembatan Cipamotan atau
Cikacepit sepanjang 310 m, yang menjadi salah satu jembatan KA
terpanjang di Indonesia. Juga bangunan menara penampungan air
di Stasiun Banjar, adalah tergolong bangunan menara air terbesar
dan tertinggi di Indonesia.

Gambar 108. Bekas menara penampungan air di Stasiun Banjar.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Bekas terowongan KA yang lainnya tidak kalah unik pula.


Terowongan Juliana, meski tidak terlalu panjang hanya sekitar

127
147 m, namun ujung terowongan tidak bisa terlihat karena
bentuk terowongan yang berbelok cukup tajam, sehingga
disebut Terowongan Bengkok. Demikian pula Terowongan
Hendrik memiliki fakta menarik karena dengan panjang 105 m,
yang termasuk kategori salah satu terowongan KA pendek di
Indonesia, terowongan ini juga masih bisa dimanfaatkan sebagai
jalan penghubung antardesa yang bisa dilalui baik kendaraan roda
dua maupun roda empat.

Menyusuri tepian Samudera Hindia

Tidaklah banyak jalur KA yang mencapai atau bahkan menyusuri


tepian pantai selatan Jawa atau Samudera Hindia. Di ruas antara
Kalipucang-Pangandaran tepatnya di dearah Putrapinggan, jalur
KA Banjar-Pangandaran-Cijulang menyusuri tepian Samudera
Hindia. Pemandangan muara Sungai Ciputrapinggan dengan
tepian laut selatan serta tinggalan Jembatan KA Cipanerekan
beton dan baja dapat menjadi daya tarik wisata tersendiri.

Jalur KA lainnya yang mencapai atau menyusuri Samudera


Hindia adalah bekas Jalur KA Saketi-Bayah di Banten, yaitu
di ruas Sukahujan-Bayah, dan jalur KA ke Pelabuhan Cilacap,
Jawa Tengah.

Gambar 109. Bekas peninggalan jalur KA Saketi-Bayah yang berada di tepi Samudera Hindia.
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

128
Gambar 110. Jembatan KA tepi Samudera Hindia lintas Banjar-Parigi-Cijulang.
Sumber : Het Indische Spoor in oorlogstijd_Jan de Bruin.

Gambar 111. Jalur KA Banjar-Cijulang menyusuri tepi Samudera saat masih aktif.
Sumber : Cuplikan film De Nederlandsch Indische Staatsspoor- en Tramwegen: IdFilm

Gambar 112. Jalur KA Banjar-Cijulang menyusuri tepi Samudera kondisi tahun 2018.
Dokumentasi Asep Suherman – Kereta Anak Bangsa

129
6.2 Preservasi Aset dan Cagar Budaya

Sedemikian banyak tinggalan bersejarah yang sarat dengan


riwayat menarik yang bisa dijumpai di Jalur KA Nonaktif
Banjar-Pangandaran-Cijulang. Dari bangunan perkeretaapian
seperti terowongan, jembatan, hingga bekas stasiun dan
peralatan pendukung lainnya. Keberadaan bekas terowongan
KA Wilhelmina yang merupakan terowongan KA terpanjang di
Indonesia (1.116 m), terowongan bengkok Juliana, terowongan
Hendrik, terowongan Philip, bekas Jembatan KA Cipamotan,
yang juga salah satu bentang jembatan terpanjang di Indonesia
(310 m), serta bekas Jembatan Cipanerekan besi dan beton
lengkung di tepi Samudera Hindia, bekas bangunan Stasiun
Pangandaran, Cijulang, Kalipucang, Banjarsari, serta berbagai
peralatan dan prasarana yang sudah tidak aktif di Stasiun Banjar
merupakan tinggalan-tinggalan perkeretaapian yang memiliki
nilai kesejarahan tinggi dan kisah yang menarik.

Aset perkeretaapian yang ada di jalur KA nonaktif ini adalah


peninggalan dari masa-masa kolonial Hindia Belanda atau masa
setelahnya, yang bisa menggambarkan peradaban pada masa itu.
Tinggalan-tinggalan perkeretaapian itu bisa menjadi suatu cagar
budaya, suatu warisan budaya yang bisa berkisah mengenai
kejayaan perkeretaapian Indonesia di masa silam.

Melihat potensi tinggalan perkeretaapian di jalur ini, kiranya


tidaklah berlebihan bila para pemangku kepentingan didorong
untuk mulai tergerak dan peduli memulai suatu program

130
pelestarian tinggalan bersejarah perkeretaapian Indonesia yang
juga terkait dengan peran penting perkeretaapian di masa silam.

Upaya-upaya pelestarian yang bisa dilakukan terhadap tinggalan


perkeretaapian di jalur ini antara lain mencakup (Indonesian
Railway Preservation Sociaety, Presentasi Sejarah Perkeretaapian
Indonesia, 2018) :

1. Mengabadikan aset bersejarah dalam bentuk monumen


baik statis maupun dinamis, baik dalam bentuk individual
atau pun kesatuan.
2. Merawat dan melakukan pemugaran aset bersejarah yang
terancam rusak/hilang/hancur.
3. Mempertahankan dan merawat keaslian bangunan
bersejarah yang tetap berfungsi hingga kini.
4. Menyajikan informasi edukatif pada kawasan perkeretaapian
yang bersejarah.
5. Mendirikan dan mengelola kawasan cagar budaya
perkeretaapian sebagai media pelestarian, edukasi
dan wisata.
6. Memperingati dan memaknai peristiwa bersejarah.
7. Melakukan digitalisasi dokumen dan data bersejarah.
8. Mengadakan kegiatan edukasi dan wisata sejarah
perkeretaapian Indonesia.

Pelestarian tinggalan bersejarah tersebut dapat dikembangkan


menjadi bernilai edukasi dan ekonomi. Bernilai edukasi sebagai
media untuk menggambarkan kisah kesejarahan perkeretaapian

131
Indonesia dan menjadi penanda peradaban transportasi
perkeretaapian di masa silam. Sedangkan bernilai ekonomi
artinya, tinggalan bersejarah tersebut dapat dikembangkan
menjadi suatu destinasi wisata sejarah, yang dapat dipadukan
dengan ragam wisata lainnya seperti wisata budaya, wisata
alam, dan wisata minat khusus yang selanjutnya dapat menjadi
penggerak perekonomian berbasis wisata di wilayah setempat.

Gambar 113. Pemasangan media informasi edukatif pada tinggalan Perkeretaapian (2018).
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Sinergi berbagai pihak sangat dibutuhkan. Baik dari pihak


pengelola aset, dalam hal ini adalah PT Kereta Api Indonesia
(Persero) dengan para pemangku kepentingan lainnya, seperti
Pemerintah Daerah, Kementerian Perhubungan, Kementerian
Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan serta lembaga dalam bidang sejarah dan cagar
budaya seperti Direktorat Sejarah, Balai Cagar Budaya, dan
Balai Arkeologi, komunitas sejarah dan pelestari budaya, tokoh

132
masyarakat wilayah, media massa serta pihak-pihak lainnya
(Kereta Anak Bangsa, 2019).

Upaya pelestarian yang dilakukan dapat dengan cara menggandeng


komunitas kesejarahan perkeretaapian maupun komunitas
kesejarahan wilayah Priangan dan Pangandaran. Selama ini,
berbagai komunitas tersebut telah banyak memberikan kontribusi
bagi upaya pelestarian aset perkeretaapian bersejarah di jalur KA
nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang.

Gambar 114. Upaya pelestarian dengan menggandeng komunitas di tahun 2018.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

133
6.3 Destinasi Wisata Sejarah Perkeretaapian
Jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang memiliki potensi
tinggi untuk didayagunakan menjadi destinasi wisata sejarah
perkeretaapian yang dapat dipadukan dengan wisata alam pantai
di kawasan Pangandaran. Tentu sebelumnya kawasan wisata
sejarah ini dapat dibuat sebagai semacam kawasan konservasi
cagar budaya perkeretaapian.

Setelah upaya pelestarian dilakukan terhadap tinggalan aset


perkeretaapian berejarah yang ada di jalur ini, maka selanjutnya
dapat dilakukan upaya untuk menyajikan berbagai tinggalan
ini menjadi destinasi wisata sejarah perkeretaapian Indonesia,
baik secara individual, maupun kesatuan aset perkeretaapian
bersejarah yang ada di jalur ini.

Secara individual, tinggalan perkeretaapian di Stasiun Banjar


dan sekitarnya, bangunan jembatan dan terowongan KA
terpanjang di Indonesia (Wilhelmina dan Cipamotan), jembatan
di tepi Samudera Hindia (Cipanerekean) dapat menjadi destinasi
wisata sejarah yang menarik di jalur ini. Namun dapat juga,
destinasi wisata sejarah dikemas dalam bentuk kesatuan
peninggalan bersejarah dari titik km nol di Stasiun Banjar hingga
Stasiun Cijulang.

Demikian pula di ruas Kalipucang-Pangandaran, secara khusus


dengan adanya beberapa terowongan dan jembatan KA sekaligus,
yaitu Terowongan Hendrik (Warungbungur) dan Jembatan

134
Gambar 115. Kegiatan napak tilas peninggalan perkeretaapian.
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Gambar 116. Mengunjungi tinggalan perkeretaapian.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Cipamotan (Cikacepit), serta Terowongan Juliana (Terowongan


Bengkok) dan Wilhelmina (Sumber), serta Jembatan
Cipanerekean beton dan bekas rangka baja di tepi Samudera
Hindia, maka kawasan Kalipucang-Pangadaran dapat dikemas
menjadi kawasan cagar budaya perkeretaapian Indonesia. Lebih
lanjut lagi, karena perpaduan konten kesejarahan dan keindahan
alam perbukitan dan pantai wilayah Pangandaran, maka kawasan
tersebut juga amat layak untuk dikembangkan menjadi kawasan
destinasi wisata alam berbasis sejarah perkeretaapian Indonesia.

135
6.4 Potensi Reaktivasi dan
Ekonomi Berbasis Wisata

Jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran-Cijulang berpotensi besar


untuk menjadi stimulus percepatan perekonomian di wilayah Jawa
Barat bagian selatan. Potensi besar yang dapat dikembangkan
adalah potensi ekonomi berbasis wisata.

Kawasan wisata Pangandaran yang berbasis wisata alam pantai


dengan berbagai destinasi wisata seperti Pantai Pangandaran,
Pantai Batukaras, Pantai Batu Hiu, Cagar Alam Pananjung, Cukang
Taneuh, dan lainnya menjadi potensi besar dalam hal kebutuhan
atas transportasi publik yang dapat meningkatkan aksesibilitas
masyarakat untuk mencapai destinasi wisata tersebut. Dan
tentunya, reaktivasi jalur KA nonaktif Banjar-Pangandaran dapat
menjadi salah satu solusinya. Mudahnya aksesibilitas menuju
destinasi wisata tersebut tentu akan menjadikan kawasan wisata
tersebut makin berkembang dan berdampak pada peningkatan
pertumbuhan ekonomi wilayah.

Gambar 117. Potensi destinasi wisata Pangandaran.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

136
Gambar 118. Penataan pantai Pangandaran di tahun 2019.
Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

Saat ini kawasan wisata di Kabupaten Pangandaran telah dapat


dicapai dengan menggunakan angkutan jalan raya dengan waktu
tempuh relatif lama karena kepadatan arus lalu lintas di titik-titik
tertentu maupun pesawat udara melalui Bandar Udara Nusawiru
di Cijulang, meski dengan frekuensi yang terbatas. Dengan adanya
jalur KA yang telah aktif lagi, maka akan semakin memberikan
pilihan kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan akses dan
mobilitas karena ketersediaan alternatif moda transportasi yang
berkualitas. Apalagi Pangandaran direncanakan akan ditetapkan
menjadi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dan
Kemaritiman, yang sudah barang tentu memerlukan ketersediaan
sarana transportasi yang mampu memberikan aksesibilitas yang
berkelas prima.

Gambar 119. Bandara Nusawiru dapat meningkatkan akses dan mobilitas.


Dokumentasi Kereta Anak Bangsa

137
Selain itu, reaktivasi jalur KA nonaktif di Priangan juga akan
meningkatkan pertumbuhan perekonomian di wilayah Jawa
Barat bagian selatan yang relatif tertinggal bila dibandingkan
dengan wilayah lainnya di provinsi ini karena keterbatasan
akses transportasinya. Reaktivasi jalur KA nonaktif di wilayah
Priangan dapat menjadi awal untuk pembangunan jalur-jalur KA
baru di wilayah Priangan selatan untuk membuka aksesibilitas
dan menggerakkan perekonomian di Jawa Barat bagian selatan
(Kereta Anak Bangsa, 2019).

Pada masa lampau, SS membangun beberapa jalur KA cabang di


wilayah selatan Jawa Barat selain untuk tujuan pengangkutan hasil
perkebunan dan kehutanan, juga untuk membuka aksesibilitas ke
daerah bagian selatan Jawa Barat. Pemerintah Hindia Belanda
tampaknya berniat untuk membuat konektivitas antara jalur-
jalur cabang sebagai bagian dari jaringan KA di Jawa Barat
bagian selatan, yang sayangnya belum sempat diwujudkan akibat
terjadinya resesi ekonomi dunia di tahun 1930.

Peta 10. Peta jalur KA Jawa Barat tahun 1930.


Infografis Kereta Anak Bangsa. Sumber peta : http://maps.library.leiden.edu

138
Reaktivasi jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang dapat
menjadi bagian penting dari pembangunan keterhubungan jalan
baja selatan Pulau Jawa baik berupa reaktivasi jalur-jalur KA
nonaktif lainnya di Jawa Barat bagian selatan seperti Bandung-
Ciwidey, Dayeuhkolot-Majalaya, Tasikmalaya-Singaparna dan
Cibatu-Garut-Cikajang maupun pembangunan jalur penghubung
baru di lintas selatan Jawa Barat. Keberadaan jalur KA poros
selatan ini bermakna penting untuk membuka aksesibilitas dan
menggerakkan perekonomian di Jawa Barat bagian selatan.

Selanjutnya bila ditilik dari Peta Rencana Jaringan KA di Pulau


Jawa yang bersumber dari Rencana Induk Perkeretaapian Nasional
(RIPNAS) 2030, terlihat bahwa Pemerintah merencanakan
untuk membangun jalur baru KA di wilayah selatan Jawa Barat
yang terhubung dengan jalur KA lintas-lintas cabang yang telah
direaktivasi setelah tahun 2030. Sehingga tidaklah berlebihan jika
masyarakat menanti-nantikan kehadiran suatu keterhubungan
jaringan jalan baja di wilayah selatan Jawa Barat yang akan
membuat mobilitas mereka lebih efektif dan efisien.

Peta 11. Peta rencana jaringan KA di Pulau Jawa bagian barat.


Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNAS) 2030

139
140
DAFTAR PUSTAKA

Bruin, Jan de, Het Indische Spoor In Oorlogstijd: de spoor- en


tramwegmaatschappijen in Nederlands-Indië in de vuurlinie, 1873-1949.
Uitgeverij Uquilar. Nederlands, 2003

De Jong, M.V.B, Spoorwegstations Op Java. De Bataafsche Leeuw.


Amsterdam: 1993

Katam, Sudarsono, Kereta Api di Priangan Tempo Doeloe, Pustaka Jaya, 2014

Kereta Anak Bangsa, Menjaga Jalan Baja – Jawa Barat dan Banten, 2019

Kompas, Ekspedisi Anjer-Panaroekan, Laporan Jurnalistik Kompas 200 Tahun


Anjer-Panaroekan, Jalan (untuk) Perubahan, PT Kompas Media Nusantara.
Jakarta, 2008

Marihandono, D., Juwono, H., Budi, L.S., Iswari, D., Dari Konsesi ke
Nasionalisasi – Sejarah Kereta Api Cirebon-Semarang, Penerbit PT Kereta Api
Indonesia (Persero), 2016

Mulyana, Agus. Ekonomi dan Pengembangan Wilayah; latar Belakang


Pembangunan Jalan Kereta Api Pada Lajur Banjar-Kalipucang-Parigi (1911-
1921).

Mulyana, Agus. Sejarah Kereta Api di Priangan, Penerbit Ombak, 2017

Oegema, J.J.G., De Stoomtractie Op Java en Sumatra. Kluwer Technische


Boeken. Netherlands: 1982

Officieele Reisgids der Spoor en Tramwegen en Aansluitende


Automobieldiensten op Java en Madoera, 1931

Perusahaan Jawatan Kereta Api, Daftar Lintas, (tanpa tahun)

Raap, Olivier Johannes, Sepoer Oeap Djawa Tempo Doeloe, Penerbit


Kepustakaan Populer Gramedia, 2017

141
Subarkah, Iman, Sekilas 125 Tahun Kereta Api Kita, 1867-1992, Yayasan
Pusaka, 1992

Suryana, Nana. “Napak Tilas Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran (Bagian


1): Menjadi Jalur Eksplorasi Pemerintah Kolonial di Wilayah Priangan”. 2016.
Radar Tasikmalaya, 27 Oktober 2016

Suryana, Nana. “Napak Tilas Jalur Kereta Api Banjar-Pangandaran (Bagian


4): Menyisakan Kisah Romantisme dan Harapan Direaktivasi”. 2016. Radar
Tasikmalaya, 4 November 2016

Tim Telaga Bakti Nusantara, Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1, Penerbit


Angkasa, 1997

Tunggal, Nawa dan Try Harijono. “Susur Rel KA: Cijulang Tinggal Kenangan”.
2014. KOMPAS, 15 April 2014

Wibisono, Ario. Jelajah Jalur KA Banjar-Pangandaran-Cijulang dan Wisata


Pantai Batukaras Cijulang. Indonesian Railway Preservation Society. Bandung:
2009

Zuhdi, Susanto, Cilacap (1830 – 1942) Bangkit dan Runtuhnya Suatu


Pelabuhan di Jawa, Penerbit Ombak, 2016

http://maps.library.leiden.edu

https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/

142
LAMPIRAN

143
PETA PRIANGAN TAHUN 1890

144
PETA PRIANGAN TAHUN 1895

145
PETA JAWA TAHUN 1922

146
PETA PRIANGAN SAMARANG 1868

147
PETA NIS TAHUN 1903

148
GAMBAR TEKNIS JEMBATAN CIPAMOTAN

149
150
151
152
153
154

Anda mungkin juga menyukai