Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN BACAAN

Representasi Perkembangan Malang Era Kolonial 1914-1940

PERKEMBANGAN KOTA MALANG PADA JAMAN KOLONIAL (1914-1940)


Oleh Handinoto

Staf Pengajar Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur, Universitas Kristen
Petra Surabaya

Dosen Pengampu :

Moordiati, S.S., M.Hum.

Disusun oleh :

Ahmad Mahar Su’udy 122111433065

Prodi Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Airlangga

Surabaya

2022/2023
Letak Gegorafis Dan Perkebunan Malang

Di awali dengan kondisi Malang yang masih berupa hutan belantara diatas
permukaan laut) serta sekitarnya yang merupakan daerah perkebunan, membuat kota
ini menjadi sangat strategis dan tumbuh dengan cepat sebagai kota kedua yang terbesar
di Jatim. Sebuah kawasan pedalaman yang mulanya tidak dilirik sama sekali oleh
Bangsa koloni pada masa itu. Namun kemudian keadaan itu berbalik, Malang mulai
berkembang menjadi wilayah yang banyak dicari lantaran dikenal dengan hasil
perkebunannya yang melimpah dan hawa yang mendukung untuk kenyamanan untuk
dijadikan tempat tinggal. Hasil perkebunan yang menjadi jembatan luas dikenalnya
Malang se-antero negeri berupa produsen terbaik tebu dan kopi di Jawa Timur. Malang
diapit gunung aktif Semeru dan Kelud. Dialiri sungai Brantas, Amprong dan Bango.
Sehingga Malang memiliki lahan yang subur dan potensial untuk perkebunan Kopi dan
Tebu. Anugerah alam itu yang kemudian membuat Malang dikenal sebagai penghasil
Kopi berkualitas. Ditanam di perkebunan pedalaman Malang, yakni dikenal sebagai
kawasan Amstirdam (Ampelgading, Sumbermanjing Wetan, Tirtoyudo dan Dampit)
bahkan hingga lereng gunung Bromo dan Arjuno produksi kopinya menembus pasar
internasional.

Masa itu kota Malang masih menjadi bagian Karesidenan Pasuruan yang
membawahi delapan distrik: Penanggungan, Turen, Ngantang, Karanglo, Pakis,
Gondanglegi, Sengguruh (Kepanjen), dan Kota Malang. Hingga pada 1887-1889
Malang tercatat sebagai daerah penghasil Kopi terbesar di Jawa Timur mencapai
143.173 pikul (satu pikul setara dengan 62 kilogram). Kebanyakan kopi yang ditanam
di Malang saat itu adalah jenis kopi robusta, arabika dan liberika. Dulu Kota Malang
sepi dan tidak banyak penduduk yang tinggal. Perkembangan produksi kopi
berpengaruh atas peningkatan jumlah penduduk, jumlah perkebunan, serta ekonomi
masyarakat. Bahkan diikuti dengan perkembangan transportasi. Pada 1879 rangkaian
Trem yang ditarik dengan lokomotif uap mulai beroperasi di Malang dengan rute
Stasiun Trem Jagalan dan Stasiun Trem Bululawang. Fungsinya selain untuk
mengangkut manusia, juga diperuntukkan mengangkut hasil panen kopi ke Surabaya
yang merupakan pelabuhan Internasional. Trem dimanfaatkan Pemerintah Kolonial
Belanda mengirimkan hasil perkebunannya ke luar negeri. Menariknya, pengaruh
Pemerintah Kolonial yang sangat kuat dan mengakar ini dimanfaatkannya untuk
memberi gelar kehormatan ke para bupati yang awalnya bergelar Notoadinegoro
berubah menjadi Raden Tumenggung, lalu pada perkembangannya berubah menjadi
Raden Adipati Aryo ini disematkan sebagai gelar tertinggi para bupati yang memiliki
Pendapatan Asli Daerah (PAD) tinggi. Naas, meski saat itu kesuksesan perkebunan
kopi di Jawa tak terkecuali Malang, tak berpengaruh banyak terhadap kehidupan
perekonomian masyarakat bumiputra.

Malang Sebagai Jalur Transportasi Dan Ekonomi

Malang yang sebelumnya dikenal sebagai kota pedalaman dan terisolasi berangsur
dikenal banyak orang karena masuknya jalur Trem. Selain untuk mengangkut manusia
dan hasil panen perkebunan, jaringan Trem yang menghubungkan Malang dan
Surabaya berdampak atas minatnya orang Eropa membangun rumah di Malang.
Kemudian menjadi tonggak Malang sebagai kota tujuan urbanisasi. Perekonomian
terus menggeliat, kemudian dibangun jalur kereta api rute Surabaya-Pasuruan-Malang
secara bertahap pada 1876-1879 oleh Staatspoorwegen (SS). Sebagai daerah yang
dikelilingi pegunungan, sejak dahulu jalanan Malang memang sangat tajam dan
berkelok. Dokumen sejarah mencatat beberapa jalur trem yang dibangun ketika itu tak
main-main. Menggunakan pertimbangan yang sangat tajam dan matang dengan
memperhatikan topografi Malang. Dampak lain dari pembukaan jalur kereta selain
berpengaruh pada perekonomian dan perkebunan di Malang, juga memberikan banyak
manfaat di antaranya pembukaan daerah-daerah pedalaman yang sulit dijangkau agar
lebih mudah didatangi. Mengingat banyaknya modal yang harus dikeluarkan
Pemerintah Kolonial, demi laju percepatan perekonomian pihak swasta dirangkul.
Swasta yang berencana membangun pabrik gula di Malang harus mempersiapkan
infrastruktur seperti kebun dan lori untuk mengangkut hasil tebu ke pabrik gula. Di era
VOC, pernah diberlakukan kebijakan penataan permukiman berdasarkan kelompok
etnis. Pertama, permukiman bagi pribumi atau penduduk asli setempat. Kedua, warga
Timur Asing seperti Tionghoa, Arab, Italia dan orang asing Non Eropa lainnya. Ketiga,
permukiman bagi warga Eropa, Belanda, dan Indo peranakan. Aturan tersebut dikenal
sebagai wijkenstelsel. Jika kita teliti lebih lanjut, kampung pecinan yang ada saat ini
bisa jadi adalah bukti peninggalan dari sistem wijkenstelses itu sendiri.

Sistim tersebut hilang saat VOC juga dinyatakan bubar. Namun tidak pada kebijakan
rasial pada pembagian kelas penumpang trem. Jika kereta api sekarang membagi kelas
tiket berdasar harga tiket. Kebijakan pembedaan gerbong trem pada masa kolonial
berdasar ras dan etnis. Terjadi pada kurun waktu 1901-1930 khususnya di Malang.
Kelas satu adalah kelas eksklusif untuk orang-orang Eropa. Tersedia gerbong dan
tempat duduk yang nyaman tanpa harus berdesakan. Tarif yang dipatok perusahaan
MSM untuk kelas eksklusif sebesar f 1,16 – f 1,84 per orang. Kelas dua diperuntukkan
untuk warga Timur Asing seperti Tionghoa, Arab, India dan orang asing Non Eropa
lainnya. Yah meski tempat duduknya tidak senyaman kelas satu, gerbong kelas dua
tidak ada yang berdesakan dan berdiri. Tarif yang dikenakan berkisar f 0,50 – f 0,73
per orang. Terakhir, kelas tiga yang dikhususkan bagi warga bumiputra. Jumlah
gerbong yang disediakan cukup banyak, meski begitu penumpang tetap berdiri dan
berdesakan berebut menggunakan moda transportasi massal tersebut. Tarif karcis yang
dikenakan sebesar f 0,09 – f 0,20 per orang. Meski begitu, ada keistimewaan bagi warga
bumiputra dari kalangan keluarga priyayi. Mereka diperbolehkan naik gerbong kelas
dua bersama etnis Timur Asia lainnya. Sistem pembagian gerbong kereta berdasarkan
ras dan etnis berakhir saat Indonesia merdeka dan semua aset dikelola negara.

Perkembangan Kota Malang 1914 Dan Rencana Karsten

perencanaan perkembangan kota Malangadalah salah satu perencanaan kota yg


terbaik diHindiaBelandawaktuitu. Tentu saja hal ini tidak lolos dari orang-orang yang
ada belakang perencanaan tersebut. Selain walikota Malang pertama yaitu: HI
Bussemaker (1919-1929), juga tak mampu tanggal berasal kiprah perencana kota yang
populer pada waktuitu yaitu: Ir. Herman Thomas Karsten Antara tahun 1914 1929,
Malang telah mempunyai tahap perencanaan kota yang absolut. Masing-masing
tahapan tadi bernama menjadi Bouwplan I s/d VIII. Tujuan primer berasal organik ini
artinya pengendalian bentuk kota akibat dari pertambahan penduduk dan
perkembangan kemajuan ekonomi dengan sangat cepat.

Perkembangan bentuk kota sepanjang jalan utama yang membentuk pola pita
merupakan awal adanya perencanaan kawasan kota dan pemukiman di kota Malang
oleh para pejabat pemerintah pada waktu itu. Perencanaan kawasan dengan bantuan
seorang perencana kota Ir. Herman Thomas Karsten dapat memberikan arahan kota
kepada arah radial concentrik dan memusat dimana secara keseluruhan kota dikelilingi
oleh green belt berupa area perkebunan. Kawasan perkebunan yang mengelilingi kota
secara keseluruhan dilindungi keberadaannya oleh pemerintah dari para spekulan
tanah yang hendak memilikinya dengan sistem pengawasan dimana keberadaannya
dapat mendukung dan memenuhi kebutuhan hidup penduduk di kota Malang.
Pembatasan jumlah populasi juga dilakukan di tiap perencanaan kawasan dengan
ditandai adanya pembagian kawasan berdasar tingkat sosial yang tampak pada desain
bangunan dan luasan lahan terencana. Hal ini untuk mempertahankan tingkat
kepadatan kota dan memberi kesempatan penghuni untuk bersama–sama memiliki
lingkungan yang ditempatinya. Perkembangan dari jumlah penghuni yang tidak
direncanakan akan menempati lokasi baru dengan jarak terpendek dan dilalui jalur
utama kota yang melintas di sekitar kawasan induk dengan sistem transportasi cepat
diantaranya kereta api. Pola kawasan yang cenderung untuk menyesuaikan kondisi
topografis yang dimiliki merupakan usaha perencana dalam mengurangi pemakaian
energi.

Perencanaan kota Malang sebagai Kotabaru Penunjang yang secara fungsional


mempunyai sifat ketergantungan kepada suatu kota induk Surabaya secara makro yang
dilakukan oleh Karsten dapat dikatakan menerapkan konsep-konsep yang terdapat
dalam bukunya yang berjudul Indiese Stedebouw dengan melihat dari: pemilihan
lokasi, kondisi iklim, sebaran penduduk dan pola ruang yang direncanakan secara
radial concentric memusat pada kawasan pemerintahan dimana tiap jalan yang
terbentuk menghubungkan kawasan pemukiman terencana dengan pusat kota. Karsten
dalam merencanakan suatu kawasan selalu mengikuti rencana induk kota yang bersifat
menyeluruh sebagai pengendali. Selalu memperhatikan peraturan bangunan, sistem
jalan, tanah lapang dan pemenuhan kepentingan publik yang ideal merupakan ide
utama Karsten dalam menyatukan kelima kawasan pemukiman baru dengan kawasan
lama yang telah terbentuk sehingga tercipta satu kesatuan rencana induk kota yang
bersifat mengikat; baik secara makro, messo maupun mikro.

LAPORAN BACAAN "PERKEMBANGAN KOTA MALANG PADA JAMAN


KOLONIAL 1914-1940" Oleh HANDINOTO

(Kesimpulan)

Malang Kota yang memiliki hampir kesemua aksebilitas yang dimulai era
kolonial yang mulanya hanya wilayah yang rimbun atas hutan dan perkebunan serta
pegunungan pegunungan yang sekilas jika difikirkan tidak mungkin menjadi pusat
perekonomian, sosial, transportasi, dan politik lain-lainya justru Kota Malang
menunjukan eksistensinya sebagai Kota yang hampir menuju kota metropolitan
seperti Kota Surabaya yang memiliki semua akses yang diperlukan sebagai Kota
besar

Awal Kota Malang yang memiliki jalur lika liku pegunungan, pengairan serta
jalur yang tidak di mungkinkan kini Kota Malang yang mengalami perkembangan
usai kemerdekaan oleh koloni menjadi jalur impor ekspor yang luas atas jalur"
hingga pernah Saya temui beberapa fakta yang menyebutkan bahwa dulu Kota
Malang tidak dilirik sama sekali yakni ketika dipimpin oleh Karisidenan Pasuruan
yang menjadi akses besar masa itu malah dibalik oleh Malang ketika jaya jayanya
Kota Malang, kini Pasuruan malah dibalik kondisinya menjadi dipandang sebelah
mata saja. Kota Malang sebagai pusat ekonomi lantaran akses Ekonomi Kota
Surabaya yang memiliki jalur khusus dengan tujuan Kota Malang juga melewati
daerah daerah sebelahnya seperti Sidoarjo, Mojokerto, dll.

Perkembangan Kota Malang


• Kota Malang baru berkembang psat setelah tahun 1914 meskipun Belanda sudah
menguasai Malang sejak tahun 1767.
• Keputusan poltik (U.U. Gula & U.U. Agraria tahun 1870 dan U.U. Desentralisasi
1905, serta berdirinya Gemeente Malang tanggal 1 April 1914), sangat
berpengaruh terhadap perkembangan kota Malang.
• Rencana dan pelaksanaan perluasan kota yang tepat (Bouwplan I s/d VIII), serta
penguasaaan tanah yang tepat oleh pihak Gemeente, merupakan sukses utama
dalam perencanaan perluasan kota Malang.
• Peran Karsten, terutama setelah ditunjuk sebagai ”Adviseur” (penasehat) dalam
perencanaan kota Malang pada th.1929-1935, sangat dominan sekali, sehingga
memberi ciri khas bentuk kota Malang seperti yang kita lihat sekarang. Malang
yang direncanakan oleh Karsten sebenarnya diperuntukkan bagi 86.000 jiwa
saja. Sekarang(1995) penduduk kota Malang sudah berkembang lebih dari
860.000 Jiwa (naik lebih dari 10x lipat), tapi
• perkembangan kotanya tidak memadai jika dibandingkan dengan
pertambahan penduduk. Oleh sebab itu sulit sekali untuk membandingkan
keadaan kota Malang pada th. 1935 an dengan keadaan sekarang (1995).
• Keindahan kota yang menjadi salah satu konsep Karsten dalam perencanaan kota
Malang dengan memanfaatkan gunung-gunung yang ada disekeliling kotanya
serta lembah sungai Berantas yang membelah kota, ternyata sekarang sudah
dilupakan sama sekali. Hal ini terbukti dengan
• penyelesaian pembangunan gedung-gedung baru yang sama sekali (sebagai
contoh: perempatan Jl. Kayutangan dan Semeru – Akhir Jl. Semeru dan Ijen dan
sebagainya.)

Anda mungkin juga menyukai