Anda di halaman 1dari 19

PEMBANGUNAN DI KOTA MALANG PADA MASA KOLONIAL

TAHUN 1914-1942

MAKALAH
UNTUK MEMENUI TUGAS MATA KULIAH
Sejarah Lokal
Yang dibina oleh Ibu Dra. Yuliati, M.Hum

oleh
Candra Trido 160731614965
Ela Nur Hidayati 160731614930
Feryan Kristanto Aldiansyah 160731614965
Rifki Hilman Hidayat Fauzi 160731614913
Syukhaifatul Mumtazah 160731614921

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN SEJARAH
Oktober 2018
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah sejarah ini.
Adapun makalah tersebut memuat tentang PEMBANGUNAN DI KOTA
MALANG PADA MASA KOLONIAL TAHUN 1914-1942 tentunya hal yang
sangat menarik untuk dibaca. Tak lupa kami menyampaikan banyak terima kasih
kepada pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Akhirnya penyusun menyadari bahwa makalah ini masih memilki
kekurangan oleh karena itu kami menerima kritik dan saran dari pembaca. Dan
semoga dari makalah sejarah ini kita dapat mengambil hikmah dan manfaatnya
sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca.
Malang, Oktober 2018

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
Depan……………………………………………………………….....
Kata i
Pengantar……………………………………………………………….......
Daftar ii
isi………………………………………………………………………...

BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar 1
Belakang…………………………………………………………….....
B. Rumusan 1
Masalah…………………………………………………………...
C. Tujuan…………………………………………………………………….... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Keadaan Kota Malang Tahun 1914..................................................... 3
B. Perkembangan Kota Malang Tahun 1917-1929................................. 6
C. Perkembangan Kota Malang Tahun 1930-1942................................. 10

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan 15
……………………………………………………………......

DAFTAR 16
RUJUKAN…………………………………………………………..
BAB 1
PENDAHULUAN
Pada bagian ini dijabarkan secara spesifik mengenai latar belakang,
rumusan masalah, dan tujuan penulisan yang berkenaan dengan Pembangunan Di
Kota Malang Pada Masa Kolonial Tahun 1914-1942
A. Latar Belakang
Kota Malang merupakan sebuah kota kabupaten kecil di pedalaman yang
berada dibawah Karisidenan Pasuruan. Pembangunan prasarana secara bersar-
besaran di Jawa termasuk malang baru dimulai setelah tahun 1870, dengan
adanya pembangunan jalan kereta api pertama antara Surabaya hingga Malang
dibuat pada tahun 1876. Rel kereta api yang sejajar denga jalan masuk kota
Malang dan berhenti di stasiunn kota yang lama ini, berpengaruh besar terhadap
perkembangan kota. karena sesudah adanya rel kereta api, maka banyak rumah-
rumah orang Eropa yang dibangun di dekat rel kereta api tersebut. Jalan-jalan
darat yang menghubungkan antara Malang dengan daerah perkebunan
disekeliliingnya juga mulai dibuat. Bahkan antara Malang dengan kota-kota lain
seperti Blitar, Batu, dan Surabaya juga sudah ada. Secara geografis sesudah tahun
1900, Malang sudah bukan sebagai kota pedalaman yang terisolir lagi.
Malang juga dialiri oleh sungai. Masing-masing adalah sungai Berantas
yang mengalir dari Utara ke Selatan, sungai Bango dan Ampung. Yang
berpengaruh besar terhadap bentuk dan kota Malang adalah sungai Brantas. Tidak
seperti kota-kota pesisir yang biasanya merupakan muara dari sungai-sungai besar
seperti Surabaya, Semarang, dan Batavia, sungai Berantas yang melewati kota
Malang mempunyai lembah yang terjal sehingga sungai lebih berfungsi sebagai
batas kota dari pada urat nadi transportasi perdagangan kota. baru pada
tahun1920-an dengan dibentuknya pusat pemerintah baru di daerah alon-alo
bunder maka sungai Berantas yang dulunya sebagai batas kota. berubah menjadi
suatu yang membelah kota malang. Keadaan gografis lain juga sangat
menguntungkan kota Malang adalah letaknya cukup tinggi (450 m diatas
permukaan laut) sehingga kota ini menjadi satu-satunya kota yang berhawa dingin
di jtim. Selain itu Malang juga dikelilingi oelh gunung-gunung seperti: kawi,
Arjuna, Semeru, dan tengger yang memberikan suatu pemandangan indah pada

1
2

kotanya.Kota Malang sendiri sampai tahun 1914, berbentuk kosentris dengan pola
jelaja (grid) dan pusatnya adalah alon-alon yang dihubungkan dengan jalan-jalan
besar menuju ke luar kota. hal ini merupakan modal awal baik untuk
perkembangan lebih lanjut pada abad ke-20 untuk Kota malang.
Pada 1 April 1914 wilayah kota Malang ditetapkan sebagai wilayah “
Gemente” (kotomadya) dan berdirihnya Kotamadya Malang ( Anonymous, 2009).
Keputusan politik tersebut berdampak pada kelanjutan perkembangan kota
Malang yang dibangun dengan baik. Perkembangan kota malang saat ini
merupakan hasil dari perencanaan kota zaman kolonial oleh Ir. Herman Thomas
Karsten yang berperan sebagai konsultan perencanaan pengembangan kota.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang, maka rumusan masalah yang diulas dalam
penulisan makalah ini sebagai berikut.
1. Bagaimana keadaan kota malang tahun 1914 ?
2. Bagaimana perkembangan kota malang tahun 1917-1929 ?
3. Bagaimana perkembangan kota malang tahun 1930-1942 ?
C. Tujuan
Berdasarkan dari rumusan masalah, maka tujuan dari penulisan sebagai berikut.
1. Menjelaskan keadaan kota malang tahun 1914 ?
2. Memamaparkan perkembangan kota malang tahun 1917-1929 ?
3. Menjabarkan perkembangan kota malang tahun 1930-1942 ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Keadaan Kota Malang Tahun 1914


Kota-kota kolonial di Jawa secara geografis dibagi menjadi kota Pesisir
dan kota Pedalaman. Malang sendiri merupakan kota pedalaman yang letaknya
cukup tinggi yaitu 450 m diatas permukaan laut, serta daerah sekitarnya
merupakan kawasan perkebunan, hal ini membuat kota Malang menjadi tempat
yang sangat startegis dan mengalami perkembangan sangat pesat yang kemudian
menjadi kota kedua terbesar di Jawa Timur. Selain itu Malang juga sebuah
Kawasan yang dikelilingi oleh beberapa gunung seperti: Gunung Kawi, Arjuna,
Semeru, dan Tengger yang memberikan sebuah pemandangan yang indah pada
kotanya.
Malang sebelum tahun 1914 merupakan wilayah kota Kawedanan (kota
Kabupaten) yang dimana masih menjadi bagian dari Keresidenan Pasuruan,
kemudian seiring dengan berjalannya waktu Kota Malang mengalami
perkembangan yang sangat pesat salah satunya pada 1870 terdapat Undang-
undang yang mengakibatkan adanya pembangunan secara besar-besaran oleh
phak pemerintah dan swasta dalam membangun prasrana yang baik di dalam kota,
seperti jalan-jalan yang menghubungkan kota Malang sebagai kota pedalaman
dengan kota-kota lainya. Dari kebijakan Undang-undang tahun 1903 yang
memerintahkan untuk melakukan pembanguanan besar-besaran, pada tahun 1905
kebijakan Undang-undang mengalami perubahan yang berisi tentang wewenang
yang lebih besar lagi kepada kota-kota yang ditetapkan sebagai kotamadya, untuk
dapat berdiri sendiri.
Malang seiring berjalannya waktu yang sebelumnya merupakan kota
pedalaman kemudian mengalami perubahan-perubahan atas beberapa kebijakan
pemerintah yang menjadikan Malang sebagai kotamadya pada tanggal 1 April
1914 secara resmi. Sejak ditetapkannya Malang sebagai kota madya, wilayah ini
terus mengalami perkembangan pesat yang sebelumnya dalah kota kecil kemudian
berubah menjadi sebuah kotamadya terbesar kedua di Jawa Timur (Handinoto,
1996).

3
4

Perkembangan kota sebelum tahun 1914 lebih terpusat disekitar jalan


utama Kota Malang yaitu disekitar koridor jalan Malang-Surabaya yang
membentuk akses Utara-Selatan (Baskara). Penetapan Malang sebagai kotamadya
pada 1 April 1914 tersebut tertulis di dalam Staatsblas 1914/297 sebagaai dampak
dari UU Desentralisasi tahun 1905. Kotamadya baru ini memiliki luas 1.503 ha
dengan batas-batas wilayah: utara berbatasan dengan Distrik Malang dan
Karanglo, sebelah barat Desa Kledok, Klojen, Kauman, Kasin, dan Sukun,
sebelah selatan Desa Sukun, Kidul Pasar, Jodipan dan Kotalama, dan di sebelah
timur aliran sebelah barat Kalisari (Yuliati).
Pada tahun 1914, sarana dan prasarana yang ada di kota Malang masih
sangat minim sehingga Malang pada saat itu masih belum bisa di katakana
sebagai kota besar. Meskipun masih terbilang minim Malang pada sekitaran tahun
ini sudah memiliki beberapa prasarana seperti bangunan sekolah, rumah sakit,
tempat peribadatan, kantor perdagangan, fasilitas kebudayaan dan rekreasi, dan
ruang terbuka seperti:
1. Bangunan sekolah yang ada adalah MULO (Meer Uitgebried Lager
Onderwijs) atau sering disebut sebagai Sekolah Menengah Pertama,
sekolah MULO ini merupakan sekolah tingkatan tertinggi pada masa
itu. Tiga sekolah dasar Europeesche Lagere School, dan satu sekolah
dasar Hollandsch-Chineesche School. Ada juga tiga sekoah dasar
untuk penduduk bumi putra yang dinamakan Inladsche Scholen der 2e
Klase (Sekolah Ongko Loro), masing-masing terletak di Speelmastraat
(Jl. Mojopahit), Klojenlor, dan Temenggoengan.
2. Fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, terdapat beberapa rumah sakit
seperti, rumah sakit militer yang besar ebagai kelengkapan dari syarat
kotamadya berada di daerah Rampal. Rumah sakit ini sekarang
bernama RS Saiful Anwar. Terdapat pula rumah sakit yang
diperuntukkan untuk penduduk sekitar yaitu Gouvernement Inlandsch
Hospital. Ada pun Poliklinik yaitu Malangsche Ziekenverpleging
(Lavalette Kliniek) yang dibangun oleh perusahan perkebunan.
3. Fasilitas peribadatan yang sudah ada, seperti Masjid Jami’ yang
didirikan pada 1875 untuk umat Islam, terletak disebelah alun-alun,
5

tempat peribadatan Katolik yang berada di seblah utara alun-alun yang


berupa gereja didirikan pada 1904. Sedangkan peribadatan Protestan
terletak di sebelah utara alun-alun berupa bangunan gereja yang
didirikan pada tahun 1912 dari bekas gereja lama. Adapun Gedung-
gedung untuk tempat peribadatan aliran kepercayaan lain, seperti
Maconnieke Loge, yang masuk ke Malang pada 1901.
4. Jasa perdagangan, seperti bangunan-bangunan kantor perdagangan
kecil yang ada di sekitar Jalan Kayoetangan-Tjelaket namun
jumlahnya tidak terlalu banyak.
5. Fasilitas kebudayaan dan rekreasi, fasilitas ini pun masih terbilang
sngatb mini pada masa itu, salah satunya seperti terdapat perkumpulan
yang bernama Kunst en Wetenschapen (Seni dan Ilmu Pengetahuan)
yang bertempat di Societeit de Harmonie, di dalam Gedung ini juga
terdapat sebuah bioskop yang masih sangat sederhana. Adapun
bangunan hotel yang terdapat disekitar alun-alun, yaitu hotel Jansen
dan Jensen. Kedua hotel ini masih memiliki fasilitas yang masih
sederhana dan hanya memiliki 50 kamar. Adapun bangunan
pemerintahan yang dominan dan satu-satunya yaitu Kantor Residen
yang terletak disebalah selatan alun-alun.
6. Fasilitas ruang terbuka, salah satunya seperti alun-alun yang digunakan
sebagai tempat rekreasi ataupun sekedar bersantai, alun-alun ini
merupakan satu-satunya ruang terbuka yang cukup besar. Terdapat
juga komplek pemakaman yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu
pertama makam bagi warga Belanda yang terletak di Kojenlorstraat
dekat bekas perbentengan Belanda kuno. Kedua adalah komplek
makam Islam dan penduduk setempat yang terdapat di daerah
Soekoredjo di sebelah utara jalan Kutobedahstraat. Sedangkan di
sebelah selatan dari jalan Kutobedah terletak makam Cina.
Dari berbagai sarana dan prasarana yang ada di atas terdapat pula
prasarana yang berupa pola jaringan jalan berbentuk jejala (grid) yang jelas,
namun masih belum di aspal. Meskipun jalan yang belum diaspal, pola jalannya
cukup teratur, dimana alun-alut terlihat sebagai pusat distribusi ke berbagai bagian
6

kota. Kemudia jalan kerata api, pada tahun 1914 ini sudah terdapat jalur kerta
yaitu dari jurusan Surabaya-Malang yang dihubungkan dengan 4 buah kerata api
(dua kali berangkat dari Malang dan dua kali berangkat dar Surabaya). Di sekitar
Malang pada kisaran tahun 1914 belum ada aluran listrik yang masuk, untuk
penerangan penduduk masih menggunakan gas dan minyak tanah, dan juga
saluran air bersih pun baru ada setelah tahun 1915 dengan hanya digunakan oleh
penduduk yang berada di daerah Eropa saja, saluran telepon juga msih dikelolah
oleh pihak swasta dengan 275 sambungan saja (nGalamediaLABS).

B. Perkembangan Kota Malang Tahun 1917-1929


Pada tahun 1917-1929 pemerintahan Kota Malang mengeluarkan delapan
rencana perluasan untuk mengendalikan bentuk kota, yang masing-masing disebut
sebagai Bouwplan. Deskripsi mengenai Bouwplan I-VII dikutip dari “Rencana
Pengembangan Kota Malang Tahun 1917-1929” dalam buku Perkembangan Kota
dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang(Handinoto dan Soehargo, 1996: 62-
95).
1. Perluasan pembangunan Kota tahap pertama
Perluasan pembangunan kota tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 18
Mei 1917. Daerah perumahan baru untuk orang eropa dinamakan
Oranjebuut (daerah oranje) dan daerah ini dihuni mulai tanggal 21
Februari 1918.
Derah ini dibatasi dengan rel kereta api Malang-Surabay sampai Tjelaket
Straat dan dekat dengan bangunan stasiun kereta api. Daerah ini sekaligus
menjadi daerah pemukiman pertama untuk golongan atas dengan bentuk
rumah tipe villa yang terbuat dari batu merah dan juga dilengkapi fasilitas
pendidikan(Suryorini, 2003:79).
2. Perluasan pembangunan kota tahap kedua
Orang-orang Belanda menganggap alun-alun adalah simbol yang
bernuansa pribumi, mereka ingin menciptakan pusat pemerintahan yang
lebih bercorak barat. Lalu, tanggal 26 April 1920 gemeente memutuskan
membentuk daerah pusat pemerintahan baru. Kawasan baru ini dinamakan
Gouvemeur-Generaalbuurt (daerah gubernur jendral) nama-nama jalannya
7

memakai nama gubernur jendral yang terkenal di Hindia Belanda dan


kawasan ini terletak di sebelah timur sungai Brantas dengan luas wilayah
15.547 m2. Rencana tersebut dapat terealisasikan pada tahun 1922, daerah
ini kemudian terkenal dengan nama Alun-alun Bunder karena inti
kawasannya berupa lapangan terbuka bentuk bulat (dalam bahasa Jawa:
bunder)
Lapisan pertama ini adalah ruang terbuka (Alun-alun Bunder sebagai
poros yang dikelilingi bangunan publik seperti gudung Balaikota Malang.
Pada 1920 dibuatlah perencanaan kota yang di dalamnya termasuk
pembuatan Gedung Gemeenhuis yakni Balai Kota. Pada tgl 14 Februari
1927 diputuskan oleh Dewan Kotapraja Malang segera dimulai
pembangunannya dengan anggaran biaya F.287.000. Pembangunan Balai
Kota dilaksanakan 1927 sampai 1929 dan mulai ditempati bulan
September 1929 oleh walikota kedua yakni Ir.E.A.Voorneman (Leempt
1939, Cahyono 2007: 118-120). Lapisan kedua adalah perumahan tipe
villa dengan bentuk yang berbeda satu sama lain, namun mempunyai
kecendrungan tinggi bangunan yang sama. Untuk kelengkapan kawasan
sebagai pemukiman maka kawasan ini dilengkapi dengan beberapa
fasilitas seperti rumah sakit, sekolah, fasilitas olahraga dan pemakaman
khusus orang-orang Eropa dan Belanda. Dan kawasan terluar adalah tepi
sungai Brantas yang difungsikan pula sebagai lokasi toko tanaman dan
pasar burung (Suryorini, 2003: 81).
3. Perluasan pembangunan ke tiga
hasil rapat gemeenteraad pada tanggal 26 Agustus 1919 dan 26 April 1920
diputuskan untuk membangun suatu kompleks pemakaman khusus bagi
penduduk berkebangsaan Eropa, terletak di sebelah barat daya kota. Dalam
rencana sebelumnya daerah yang hendak dipakai untuk kompleks
pemakanam ini adalah daerah Bareng dan Kauman, tetapi kemudian
dibatalkan. Kompleks pemakaman Soekoen ini dimaksudkan untuk
menampung pindahan pemakaman orang Eropa yang telah ada
sebelumnya di Klodjen Lor Straat (sekarang Jl. Patimura) Pada awalnya
8

dibangun pintu gerbangnya terlebih dahulu dan sebagian dari kompleks


tersebut. Sampai sekarang pintu gerbang tersebut masih berdiri.
4. Perluasan pembangunan kota tahap empat
perluasan tahap keempat ini dilaksanakan pada tahun 1920. pembangunan
ini diperuntukkan bagi perumahan pegawai golongan menengah ke bawah
dan terletak di antara daerah kampung Tjelaket dan Lowokwaroe, di
sebelah barat dibatasi oleh Sungai Brantas, di sebelah timur dibatasi oleh
Lowokwaroe Straat (Jl. Letjen. Sutoyo) yang merupakan jalan utama
menuju Surabaya. Daerah ini telah direncanakan jalur pembangunan ke
arah barat laut dengan lanskap kawasan sepanjang Sungai Brantas.
Kawasan ini memiliki fasilitas pendidikan, lapangan olahraga, dan
kompleks pemakaman dan kenyataannya kawasan ini hanya terwujud
sebagian dan perumahan yang ditawarkan hanya laku seperempatnya saja
(Suryorini, 2003: 84).
5. Perluasan pembangunan kota tahap lima
perluasan tahap ini merupakan solusi dari kekhawatiran pemerintah kota
mengenai perkembangan Kota Malang yang cenderung membentuk pita
memanjang menjauhi pusat kota (dari Alun-alun Kota– Kayutangan–
Tjelaket–Lowokwaru). Rencana perluasan ini diperuntukkan bagi
perumahan penduduk bangsa Eropa, kawasan ini dinamakan Bergenbuurt
(daerah gunung-gunung), karena nama-nama jalan di kawasan ini
memakai nama-nama gunung di Pulau Jawa. Fasilitas yang terdapat di
kawasan ini termasuk yang paling lengkap dan terbesar di masa itu.
Terdapat taman olahraga yang terdiri dari: stadion, lapangan hockey, 2
lapangan sepak bola, 9 lapangan tenis, 1 club house, serta kolam renang.
Kawasan yang juga dikenal dengan nama Kawasan Ijen Boulevard ini
diperuntukkan khusus bagi masyarakat golongan status sosial tinggi
(Suryorini, 2003: 86).
Pembangunan ke lima ini direncanakan dengan penguatan jalur utama
dari arah timur–barat yang menghubungkan kawasan ini dengan kawasan
Bouwplan II. Jalur tersebut dimulai dari stasiun Kereta api dan berakhir di
Smeroe Park dengan pemandangan Gunung Kawi yang sangat baik. Jalan
9

utama dalam pembangunan lima ini adalah Idjen Boulevard (Jl. Besar
Ijen) yang berorientasi arah utara–selatan. Setiap perpotongan dengan jalur
jalan yang membujur ke arah timur–barat, diakhiri dengan taman-taman.
Taman-taman tersebut ialah Smeroe Plein (pertemuan antara Smeroe
Straat dan Idjen Boulevard), Boering Plein (pertemuan antara Boering
Weg dan Idjen Boulevard), Idjen Plein pada akhir Idjen Boulevard dan
Tjerme Plein (pertemuan antara Tjerme Weg dan Boering Weg. Di
sepanjang jalan Ijen ini ditanami pula pohon palem berjajar dua.
6. Perluasan pembangunan kota tahap enam
Dilaksanakan rencana perluasan pembangunan kota tahap enam yang
terletak di bagian selatan kota (di sebelah selatan dari Alunalun Kota)
yaitu di daerah Sawahan. Daerah ini diperuntukkan sebagai kawasan
permukiman untuk golongan tingkat sosial menengah bawah (Suryorini,
2003: 90), daerah ini dinamakan Eilandenbuurt (daerah pulau-pulau)
karena namanama jalannya memakai nama pulau-pulau di Nusantara.
Daerah permukiman terletak di pinggir kota dengan dibatasi kawasan
emplasemen kereta api dan pasar Pecinan di sebelah timur, serta dibatasi
oleh Kali Sukun di sebelah baratnya. Sebagai pendukung kawasan
permukiman, maka di daerah ini dilengkapi dengan fasilitas pendidikan,
lapangan olahraga, rumah sakit (rumah sakit Katholik sekarang menjadi
Rumah Sakit Panti Waluyo), dan kompleks pemakaman.
7. Perluasan pembangunan kota tahap tujuh
pembangunan sebuah arena pacuan kuda untuk melengkapi fasilitas
olahraga kawasan Bergenbuurt. Saat ini bangunan arena pacuan kuda
tersebut sudah tidak ada dan menjadi kawasan permukiman, di sudut utara
area lapangan ini sekarang terdapat bangunan Kantor Pembantu Gubernur
Provinsi Jawa Timur.
8. Perluasan pembangunan kota tahap delapan
Pada tahun 1929 pihak gemeente dalam rencana pembangunan kota
menyediakan zone industri di dalam kota dan Zoning industri tersebut
diperuntukkan bagi perusahaan-perusahaan besar, maka untuk menunjang
kegiatan industri tersebut diperlukan suatu prasarana berupa jalur kereta
10

api. Pada rencana perluasan kota tahun 1935, daerah industri tersebut
diperluas dengan pembukaan kawasan baru di bagian utara kota di dekat
daerah Blimbing.
C. Perkembangan Kota Malang Tahun 1930-1942
Kondisi politik di Hindia Belanda pada tahun 1922 mengalami perubahan
dengan adanya reformasi pemerintahan. Dari kondisi tersebut dikeluarkanlah
undang-undang Bestuurshervomingswet pada tanggal 6 Februari 1922 melalui
Staatsblad No. 216 Tahun 1922, yang menghendaki penyelenggaraan
desentralisasi secara luas dan menyeluruh (Harsono, 1992: 59). Keadaan ini
menyebabkan pembubaran dewan-dewan wilayah dan perubahan status Gemeente
menjadi Staadsgemeente (melalui Staadsgemeente Ordenantie Tahun 1926) yang
memberikan wewenang lebih luas.
Selama kurun waktu 1929–1942 terdapat beberapa usaha pembangunan
kota sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini. Data-data tersebut dirangkum
dari “Perkembangan Kota Malang Tahun 1929–1940” dalam buku Perkembangan
Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang (Handinoto dan Soehargo, 1996:
97–114).
1. Rencana pembangunan perluasan kota melalui Geraamteplan
Pada bulan Mei 1929 walikota Malang diganti oleh Ir. E.A.
Voorneman (Wirjosoedibjo, Ali, dan Dalidd, 1954: 20). Keadaan Kota
Malang pada waktu itu terjadi spekulasi tanah besar-besaran yang meliputi
seluruh daerah yang tersedia bagi golongan Eropa walaupun pada tahun-
tahun sebelumnya telah diletakkan suatu rencana-rencana perkembangan
kota. Walikota baru ini pada tahun yang sama mengeluarkan suatu rencana
yang disebut Geraamteplan untuk Kota Malang (secara harfiah berarti
Rencana Kerangka yang kira-kira sama artinya dengan Ouline Plan).
Tujuan dari tindakan ini ialah menguasai tanah-tanah yang diperlukan
untuk perluasan kota dengan bantuan biaya dari pemerintah pusat melalui
Bijblad (Lampiran Lembaran Negara) No. 11272.
Geraamteplan Kota Malang ini disajikan dalam bentuk piktorial
berupa peta rencana. Peta tersebut pada dasarnya merupakan sketsa kasar
pembangunan beberapa lingkungan baru beserta pembangunan beberapa
11

jalan baru. Selain itu dicantumkan pula daerah untuk industri, perumahan
rakyat (berupa pembangunan kampung maupun pembangunan rumah tipe
vila), lapangan olahraga, dan sebuah usulan pembangunan lapangan
terbang.
Geraamteplan yang diajukan oleh pemerintah kota pada tahun
1929 tersebut, ditolak oleh pemerintah pusat karena dianggap tidak jelas
dan kurang terperinci. Pemerintah pusat memberi waktu dua tahun bagi
pemerintah Kota Malang untuk melengkapi dan memperbaiki usulan
geraamteplannya. Untuk menangani hal-hal tersebut pemerintah Kota
Malang mengangkat seorang ahli perencana kota yaitu Ir. Herman Thomas
Karsten yang telah membantu pihak gemeente sejak pelaksanaan rencana
perluasan pembangunan kota tahap II (Bouwplan II) pada tahun 1920.
Oleh sebab itu, mulai Agustus 1929 Karsten menjadi penasihat resmi
(asdviseur) Kota Malang dalam perkembangan dan perencanaan kota.
(Kurniawan, 2006: 59-60)
Selama pengerjaannya ternyata rencana tersebut mengalami
perubahan dikarenakan pertambahan penduduk yang meningkat pesat
sehingga diperlukan suatu pemekaran wilayah kota, maka hal inipun harus
dimasukan ke dalam rencananya. Masalah tersebut mendorong
dikeluarkannya Rencana Tambahan Global oleh Karsten pada tahun 1935.
termasuk dalam rencana tersebut kota kecil Blimbing yang letaknya sangat
dekat dengan batas utara Kota Malang, yang lambat laun menjadi satu
wilayah dengan Kota Malang. Karsten menamakan proses ini sebagai
Pembentukan Kota Depan. (Kurjiawan, 2006: 60)
2. Rencana tambahan global Kota Malang tahun 1935
Menurut Kurniawan, 2006 dalam perencanaan tersebut Karsten membagi
wilayah kota menjadi lingkungan-lingkungan dengan tujuan/peruntukan
tertentu, yaitu daerah yang diperuntukkan bagi bangunan/gedung, daerah
untuk industri dan agraris, daerah untuk jalan/lalu lintas kota, dan daerah
untuk penghijauan (termasuk taman dan pemakaman).
a. Daerah untuk bangunan atau gedung
12

Di dalam rencana kota, daerah yang diperuntukkan bagi gedung dibedakan


menurut jenisnya, yaitu: Bangunan tipe vila atau perumahan kecil
Bangunan tipe kampung terbuka dan tertutup, Bangunan toko, Bangunan
perusahaan, Bangunan-bangunan khusus (pasar, sekolah, gedung-gedung
pemerintahan, dan sebagainya). Pembangunan tipe vila dan perumahan
kecil dikembangkan ke arah barat kota (kawasan Bergenbuurt).
Pembangunan kompleks kampung baru ditempatkan di utara dan selatan
wilayah kota. Untuk kampung tidak hanya dilakukan perluasan, tetapi juga
perbaikan kampung yang diistilahkan oleh Karsten sebagai inbreiden
(perluasan ke dalam).
b. Daerah untuk industri dan agrais
Dalam perkembangan Kota Malang tahun 1929 berdasarkan Bouwplan
VIII, zone industri berada di selatan kota (disekitar eplasemen kereta api),
maka pada tahun 1933 ditentukan perluasan zone industri di utara kota di
dekat penjara Lowokwaroe. Namun, dalam rencana perkembangan kota
tahun 1935 zone industri yang baru ini diletakkan di dekat daerah
Blimbing dengan area yang lebih luas dan tetap di lewati oleh rel kereta
api serta pembangunan stasiun kecil di sebelah utara penjara Lowokwaroe.
c. Daerah untuk jalan atau lalu lintas kota
Dalam pengembangan jaringan jalan yang terpadu, Karsten mengadakan
pembedaan kelas jalan menurut fungsinya, yaitu jalan utama, jalan
pembagi, dan jalan untuk keindahan kota yang masing-masing harus
bertalian erat dengan bagi yang telah ada sebelumnya (Handinoto dan
Soehargo, 1996: 132). Secara praktis jalan utama menjadi penentu
keamanan dan kelancaran lalu lintas sehingga organisme kotanya dapat
berfungsi dengan baik. Dari sudut pandang ekonomi, jumlah jalan utama
harus dibatasi seperlunya saja. Jarak antar jalan utama diperkirakan antara
400–800 m, dan semakin keluar semakin besar jalannya.
Jalan-jalan yang terletak di bagian kota lama berukuran relatif sempit,
dengan pola yang tidak teratur. Kebanyakan dari jalan tersebut tidak
berhubungan langsung dengan pusat kota. Hal ini disebabkan adanya
lembah Sungai Brantas di bagian utara kota yang seolah-olah memotong
13

badan kota.Untuk mewujudkan hubungan antar kota yang lebih lancar,


pada tahun 1929 pihak pemerintah kota mengusulkan pembuatan jalan
lingkar (Ring Weg). Jalan lingkar tersebut terletak di titik silang timur–
barat, yaitu antara Kajoetangan Straat dan Smeroe Straat yang letaknya
berada di tepat di tengah jaringan jalan kota secara keseluruhan.
Perempatan tersebut direncanakan untuk menciptakan kontak dengan
semua daerah pinggiran serta diharapkan pula dapat berperan dalam
perbaikan beberapa perhubungan interlokal (antara lain Surabaya–Batu
dan Malang selatan ke Surabaya).
d. Daerah untuk penghijauan
Kota Malang sebagai kota permukiman harus memiliki ruang-ruang
terbuka dan taman yang cukup. Pada rencana perluasan kota yang
terdahulu terdapat beberapa taman yang dibangun untuk keperluan
olahraga, yang belum tersedia adalah taman-taman rekreatif yang
digunakan untuk bersantai. Pada perencanaan kota yang lama, ruang
terbuka tidak digunakan untuk keperluan olahraga antara lain Alun-alun
Kota dan lapangan latihan (Exercise Ground) yang hanya dipakai untuk
keperluan militer. Oleh sebab itu, pada perluasan kota menuju ke arah
barat (kawasan Bergenbuurt) diusahakan adanya taman yang luas untuk
lingkungan permukiman, yang letaknya berada di ujung poros timur–barat
(Smeroe Park). Untuk jangka panjang, awalnya direncanakan
pembangunan taman dengan memakai seluruh lembah Sungai Brantas
yang ada di dalam kota. Namun rencana ini hanya terealisasi sebagian
karena pembangunannya yang sulit dan kurang menarik, sehingga kurang
mendapat minat penduduk kota.
e. Daerah untuk jaringan kereta api dan trem
Jalur kereta api yang memasuki kota dari arah utara diapit sejajar oleh
jalan raya. Dengan demikian, lintasan rel yang memotong jalan utama kota
dapat dihindari. Stasiun kereta api Kota Malang yang dulunya menghadap
timur, dipindah menghadap Daendels Boulevard. Untuk SS (Staads
Spoorweg atau Jawatan Kereta Api) disediakan Stasiun Kota Lama yang
baru dibangun di sebelah barat Mergosono Straat (Jl. Kolonel Sugiyono),
14

berikut dengan emplasemennya dengan pemindahan emplasemen trem


(Malang StroomtramMaatschappij). Di sebelah selatan stasiun kereta api
saat itu sudah ada dua buah viaduct, terobosan ke arah utara ke daerah
Sawahan. Di sebelah timur persilangannya mengalami ketinggian yang
tidak sama. Untuk lintasan trem tidak mengalami perubahan berarti.
Sebenarnya telah direncanakan suatu usaha untuk menghilangkan lintasan
trem ini dari jalan besar, namun sampai dengan tahun 1939 usaha tersebut
belum terlaksana.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kedatangan Belanda ke Indonesia tidak serta merta meninggalkan
pengaruh buruk. Terdapat pengaruh positif yang dapat diperoleh dari
kedatangan Belanda ke Indonesia. Salah satunya adalah pembungan yang
dilakukan pemerintahan kolonial yang ada di kota Malang. Banyak sekali
bangunan-bangunan yang masih eksis pada saat ini yang bahkan masih
berfungsi. Seperti contohnya adalah rumah sakit, gereja, jalan raya dan rel
kereta api.

15
DAFTAR RUJUKAN

Anonymous. 2009. Rencana Induk Tata Ruang Kota Malang Tahun 2001-2011.
Dinas Badan Perencanaan Kota Malang.
Baskara, Medha. ______. Kota Malang-Kota Taman Specifiek Indonesische.
Universitas Brawijaya.
Cahoyono, D. 2007. Malang Telusuri Dengan Hati, Malang: Inggil Documentary
Handinoto. ______. Perkembangan Kota Malang Pada Jaman Kolonial (1914-
1940). Universitas Kristen Petra Surabaya.
Handinoto dan Paulus H. Soehargo. 1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur
Kolonial Belanda di Malang. Yogyakarta: Andi.
Harsono. 1992. Hukum Tata Negara: Pemerintahan Lokal dari Masa ke Masa.
Yogyakarta: Liberty.
Kurniawan, J. 2006. PERKEMBANGAN KOTA MALANG 1914–1942: Kajian
Atas Intervensi Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda.
Universitas Gadjah Mada
nGalamediaLABS. 2013. Kota Malang Pada Tahun 1914. Online
(http://ngalam.id/read/3711/kota-malang-pada-tahun-1914/).
Diakses pada 03 Oktober 2018.
Suryorini, Ana Christalina S. 2003. Penerapan Konsep Garden City Dalam
Perencanaan Kota dan Pemukiman di Kota Malang. Tesis.
Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Wirjosoedibyo, Gapar, Ibnoe Ali, dan Moeslim Dalidd. 1954. Empat Puluh Tahun
Kota Malang. Malang: Panitya Peringatan 40 tahun Kota
Malang.
Yuliati. _____. Sistem Pemerintahan Wilayah Malang Pada Masa Kolonial.
Universitas Negeri Malang.

16

Anda mungkin juga menyukai