Anda di halaman 1dari 16

PEMETAAN DAN IDENTIFIKASI BANGUNAN BERSEJARAH DI KOTA TUA

AMPENAN MATARAM NUSA TENGGARA BARAT


Teddy Hartawan, ST, M.Sc , Eliza Ruwaidah, ST, M.Sc

Penelitian tentang pemetaan dan identifikasi bangunan bersejarah di Kota Tua Ampenan
diawali dari pemikiran bahwa Kota Tua Ampenan adalah salah satu kawasan cagar budaya yang
merupakan kota tuanya Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Beberapa penelitian terdahulu
yang telah dilakukan di kawasan ini lebih menekankan pada kawasan dan lingkungan binaannya
sebagai kawasan cagar budaya. Belum ada penelitian yang menekankan pada bangunan
bersejarah di kawasan ini sebagai objek arsitektur yang dianggap penting oleh peneliti sebagai
objek utama dari kawasan cagar budaya tersebut.
Penelitian ini bertujuan melakukan pemetaan bangunan bersejarah di Kota Tua Ampenan,
Mataram, Nusa Tenggara Barat dan mengidentifikasikan kondisi bangunan bersejarah saat ini
untuk mengklasifikasikan bangunan mana yang dapat dilakukan preservasi dan konservasi baik
itu berupa restorasi, renovasi, rehabilitasi, rekonstruksi maupun adaptasi di Kawasan Kota Tua
Ampenan Mataram, Nusa Tenggara Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kombinasi antara metode deskriptif kualitatif dan metode kuantitatif. Pada akhir rangkaian
penelitian ini nantinya diharapkan muncul tipologi bangunan bersejarah di Kawasan Kota Tua
Ampenan yang dapat diuraikan dan dicari benang merahnya dengan bangunan bersejarah di
Kawasan Tua lainnya di Indonesia.
Diharapkan dari penelitian ini dapat menjadi dasar untuk menghasilkan suatu dokumen
teknis yang dapat dijadikan panduan untuk menentukan kebijakan mengenai preservasi dan
konservasi bangunan bersejarah di Kawasan Kota Tua Ampenan Mataram, Nusa Tenggara
Barat.
Kata kunci : Pemetaan, Bangunan Bersejarah, Kota Tua Ampenan.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kota Tua Ampenan yang adalah salah satu kawasan cagar budaya yang merupakan kota
tuanya Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dalam Anonim1 (2015) dinyatakan bahwa
Ampenan merupakan kawasan yang dikembangkan pada tahun 1800-an sebagai pelabuhan
strategis untuk mengimbangi pelabuhan yang ada dibangun oleh kerajaan Bali. Untuk
kepentingan dagang (dan politik)nya pemerintah kolonial Belanda merancang kawasan ini terdiri
dari pelabuhan, gudang-gudang barang, permukiman, areal pertokoan dan beberapa sarana
pendukung lainnya. Sebagai kota pelabuhan perdagangan internasional Ampenan sangat
kosmopolit. Warganya termasuk Cina pendatang dan pemukim yang oleh Belanda kala itu
dimanfatkan sebagai tenaga kerja murah, juga komunitas Arab, Melayu dan Bugis. Keragaman
budaya itu bisa ditemui di Jalan utama Yos Sudarso yang di satu sisi berdiri ruko-ruko kuno
milik warga Tionghoa, di sisi lain terdapat barisan toko milik komunitas Arab yang menjajakan
aneka barang, termasuk barang khas Timur Tengah. Sebagian besar bangunan Ampenan
merupakan arsitektural kolonial (Belanda) yang mendapatkan pengaruh dari berbagai budaya,
termasuk budaya setempat. Dalam perkembangannya, ciri khas ini mulai pudar karena ketiadaan
pedoman pembangunan, baik baru, maupun lama. Kota Ampenan tua adalah kota kosmopolitan
yang ramai sampai dengan tahun 1970-an ketika Pemerintah memutuskan untuk memindahkan

3
pelabuhan ke Lembar. Berperan penting pada abad ke-19, Ampenan dikembangkan oleh
pemerintah Kolonial pada tahun 1924 dan selanjutnya menjadi lebih besar, meskipun sempat
dihentikan pengoperasiannya sepanjang masa pendudukan Jepang.
Dalam Anonim2 (2013) disebutkan bahwa Kota Ampenan berkembang di sepanjang
jalan utama yang menghubungkan pelabuhan dengan pusat Kota Mataram, terus ke Cakranegara.
Sumbu timur-barat tersebut membelok ke arah barat laut menyilang Sungai Jangkok yang
bermuara di selatan pelabuhan. Kawasan di sebelah utara Kali Jangkok semula mempunyai
simpul utama atau inti kegiatan, yaitu pelabuhan Ampenan dengan jalan raya utama Jalan Pabean
yang membentuk loop bersama dengan Jalan Niaga II – I. Secara fungsional, kawasan pelabuhan
dikalungi kawasan pergudangan, dan jalan raya penghubung berkembang menjadi jalur
perdagangan utama. Permukiman kawasan utara Kali Jangkok merupakan mozaik yang
tersusun atas, secara berturut-turut searah jarum jam dari kuadran utara-barat, Kampung Bugis,
Kampung Arab, Pecinan, dan Kampung Melayu. Suku Bugis dan Banjar adalah perantau yang
telah menghuni kira-kira pada abad XVIII. Sebagian besar etnis Cina adalah pendatang dan
pemukim yang oleh Belanda kala itu didatangkan sebagai tenaga kerja murah.
Kawasan di sebelah utara Kali Jangkok semula mempunyai simpul utama atau inti
kegiatan, yaitu pelabuhan Ampenan dengan jalan raya utama Jalan Pabean yang nenbentuk loop
bersama dengan Jalan Niaga II – I. Secara fungsional, kawasan pelabuhan dikalungi kawasan
pergudangan, dan jalan raya penghubung berkembang menjadi jalur perdagangan utama.
Permukiman kawasan utara Kali Jangkok merupakan mozaik yang tersusun atas, secara berturut-
turut searah jarum jam dari kuadran utara-barat, Kampung Bugis, Kampung Arab, Pecinan, dan
Kampung Melayu. Suku Bugis dan Banjar adalah perantau yang telah menghuni kira-kira pada
abad XVIII. Sebagian besar etnis Cina adalah pendatang dan pemukim yang oleh Belanda kala
itu didatangkan sebagai tenaga kerja murah.
Kawasan di sebelah selatan Kali Jangkok menampilkan dua lapis kota yang berbeda
zaman, yaitu lapis permukiman yang lebih lama di pesisir, dan lapis kota Modern yang sebagian
dibangun di atas kawasan benteng yang pernah ada di sebelah barat daya jalan raya. Lapis tua
merupakan Kampung Banjar, dan lapis kota Modern yang terdiri atas kompleks AL yang
membentuk entitas sendiri, dan di seberangnya bagian lebih baru yang dibangun pada awal abad
XX. Pada bagian kota Moderen terlihat pengaruh oleh konsep kota taman. Taman berbentuk
segi tiga dikembangkan sebagai pengikat kedua komponen.
Pada tahun 1980 kawasan terbangun masih di sekitar pusat-pusat Ampenan, tetapi
kemudian bertumbuh ke luar mengikuti jalur-jalur utama sampai ke pinggir kota. Pusat kota
menjadi semakin padat, dan di sisi lain banyak gudang-gudang yang tidak dimanfaatkan lagi
secara optimal. Pemanfaatan lahan di kawasan ini didominasi oleh permukiman terutama pada
wilayah yang terletak menjorok ke dalam dari jalan kolektor primer. Pada area yang terletak di
pinggir jalan kolektor primer sebagian besar didominasi perdagangan dan jasa. Selain
perdagangan jasa terdapat pula industri besar seperti Pabrik Kecap Ampenan, Pertamina dan
pergudangan.
Penelitian yang pernah dilakukan sehubungan dengan Kawasan Kota Tua Ampenan
diantaranya ditulis oleh Arman R. Dwi Nanda tahun 1993 dengan judul penelitian Konservasi
Kawasan Kota Lama Ampenan Kotamadya Mataram dengan Pendekatan Strategi Preservasi.
Dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rumusan bagaimana melaksanakan
konservasi Kawasan Kota Lama Ampenan berdasarkan pendekatan preservasi sebagai salah satu
batasan dalam upaya pelestarian kawasan.

4
Penelitian yang lain dilakukan oleh Febriyanti Sintha Dewi, tahun 1998 dengan judul
penelitian Pengembangan Potensi Wisata Sebagai Salah Satu Langkah Melestarikan Kota Lama
Ampenan. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan perencanaan tentang bagaimana
mengembangkan potensi wisata yang dimiliki Kota Lama Ampenan agar dapat meningkatkan
kembali aktivitas kota. Penelitian yang dilakukan oleh Rekta Deskarina tahun 2013 dengan judul
penelitian Place Branding Kawasan Kota Tua Ampenan, Lombok Berdasarkan Persepsi Dan
Ekspektasi Stakeholders Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komponen penting apa
berperan dalam place branding Kota Tua Ampenan menurut persepsi dan ekspektasi
stakeholders.
Dari uraian di atas dapat dipelajari bahwa Kota Tua Ampenan sebagai salah satu area
bersejarah di Kota Mataram yang sarat dengan peninggalan sejarah dan artefak bangunan
arsitektur bersejarah yang patut dipertahankan untuk memberikan pemahaman dan pengalaman
sejarah pada masyarakat dan penerus bangsa untuk memahami sejarah bangsa Indonesia
terutama di Kota Tua Ampenan. Pemahaman sejarah ini dimulai dengan pengenalan artefak
bangunan bersejarah yang ada di kawasan ini.
Dari uraian penelitian terkait yang pernah dilakukan sebelumnya, posisi penelitian ini
jelas sangat perlu dilakukan karena dapat menjadi dasar untuk penelitian yang lebih mendalam
tentang bangunan bersejarah di Kota Tua Ampenan secara mendetail. Hasil penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi peneliti lain dan pemerintah daerah dalam
menetapkan kebijakan yang tepat tentang Kawasan Kota Tua Ampenan terutama bagi preservasi
dan konservasi bangunan bersejarahnya. Beberapa penelitian yang sudah dilaksanakan berkaitan
dengan Kawasan Kota Tua Ampenan lebih menekankan pada penataan kawasan dan
lingkungannya. Sedangkan penelitian ini menekankan pada bangunan bersejarahnya.
Perumusan Masalah
1. Bagaimana Peta sebaran bangunan bersejarah yang ada di Kota Tua Ampenan dan kondisi
terkini bangunannya?
2. Bagaimana identifikasi bangunan bersejarah tersebut untuk mengklasifikasi terhadap
kemungkinan kegiatan preservasi dan konservasi bangunan bersejarah pada Kawasan Kota
Tua Ampenan?
TINJAUAN PUSTAKA
Kondisi Kawasan Kota TuaAmpenan
Kecamatan Ampenan, bagian dari Kota Mataram, terletak di wilayah paling barat yang
berbatasan dengan Selat Lombok. Secara astronomi Kecamatan Ampenan terletak antara 8.10°
dan 9.5° Lintang Selatan dan 115.460 dan 119.50 Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan
Ampenan adalah 9,46km2 atau 945,29 hektar, dan terbagi dalam 10 kelurahan. Empat
diantaranya merupakan daerah pantai (pesisir).Batas-batas administrasi Kecamatan Ampenan
sebagai berikut: Kecamatan Sekarbela di sebelah selatan, Selat Lombok di sebelah barat,
Kecamatan Gunungsari di sebelah utara, dan Kecamatan Selaparang di sebelah timur

5
Gambar 2.1.Keletakan Kecamatan Ampenan di Kota Mataram.
Sumber : RTBL Kota Tua Ampenan, 2013.
Bentang alam. Kecamatan Ampenan mempunyai kondisi bentang alam/ morfologi dalam
kategori yang relatif datar dengan kelerengan pada rentang 0–8%.Hal ini terlihat dari perbedaan
ketinggian pada titik tertentu yang tidak terlalu mencolok. Kawasan relatif datar dengan
kemiringan (0–2%) mencakup area seluas 730 hektar, sedangkan kawasan dengan topografi
bergelombang dengan kemiringan (2–15%) seluas 216 hektar. Rata-rata ketinggian permukaan
tanah di Kecamatan Ampenan yaitu 0–14 dpl.
Hidrologi. Sumber daya air di Kecamatan Ampenan terdiri dari air permukaan (sungai) dan air
tanah. Potensi air tanah yang dimiliki Kecamatan Ampenan (aquifer) yang baik, kondisi ini
tercermin pada bagian wilayah kota memiliki kedalaman air tanah antara 5-7 meter, selain itu di
Kecamatan Ampenan juga dilalui oleh Sungai Jangkok yang berhulu di lereng sebelah barat
Gunung Rinjani. Panjang aliran sungainya 86km dengan kedalaman rata-rata 3,30 meter dan
luas daerah pengaliran sungai (DPS) 226 km2. Kondisi kecepatan alirannya cukup deras
Geologi.Satuan batuan yang tersingkap di Kota Mataram tediri dari batuan sedimen dan batuan
terobosan yang umumnya berkisar dari tersier sampai kuarter. Satuan batuan tertentu adalah
formasi Pengulung (Tomp) yang tersusun oleh hasil endapan hasil kegiatan gunung api yang
terdiri dari atas breksi, lava, tuva dengan lensa batu gamping yang mengandung biji sulfide
dengan urat kwarsa. Dataran rendah sebagian besar terdapat di Kota Mataram yaitu di bagian
barat dan pantai utara-timur laut Pulau Lombok salah satunya Kecamatan Ampenan yang
ditempati oleh alluvium, batuan gunung api formasi lekopiko dan formasi Kalibabak. Daerah
tersebut sebagian besar digunakan untuk pertanian dan permukiman.
Definisi Kawasan Bersejarah
Definisi Kawasan Bersejarah sendiri adalah kumpulan dari beberapa bangunan atau situs
bersejarah yang membentuk suatu kawasan di perkotaan. Definisi Kota Tua atau Kota Bersejarah
tak hanya berlaku pada satu distrik atau sebagian kota saja, namun juga daerah sekitarnya di
jaman pembentukannya. Kota Tua juga merupakan daerah yang paling lama dihuni di suatu
tempat.Makanya terlihat lebih padat dibandingkan daerah-daerah sekitarnya (Amo, 2013).

6
Definisi Bangunan Kuno Bersejarah
Menurut UU No 28/2002 : Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi
yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas atau di
dalam tanah atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk
hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha kegiatan sosial, budaya, maupun
kegiatan khusus. Menurut Anonim4,(2010) tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010
Tentang Cagar Budaya menyatakan bahwa: “Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan
yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang
berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap”
Berdasarkan Anonim4. (2010) tentang undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, pasal 5 menyatakan bahwa benda, bangunan, atau struktur cagar budaya apabila
memiliki kriteria atau cirri-ciri:
a. Berusia 50 tahun atau lebih
b. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun
c. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau
kebudayaan
d. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
Sedangkan dalam pasal 7 dijelaskan bahwa Bangunan Cagar Budaya dapat:
a. Berunsur tunggal atau banyak;
b..Berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam
Konservasi Bangunan Bersejarah
Konservasi adalah tindakan atau upaya untuk mencegah kerusakan dan memperpanjang
usia suatu bangunan tua atau kawasan bersejarah. Tujuan konservasi menurut Burra Charter
(ICOMOS) adalah konservasi harus mempertahankan, memperbaiki atau memperlihatkan
sebanyak mungkin jejak sejarah pada suatu obyek bersejarah apakah itu bangunan ataupun
artefak. Yang juga termasuk dalam tujuan konservasi adalah keamanan, pemeliharaan dan masa
depan bagi benda dan kawasan bersejarah tersebut. Konservasi sebagai konsep proses
pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang terkandung terpelihara dengan baik. Meliputi
seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai dengan kondisi dan situasi lokal. Konservasi kawasan atau
sub bagian kota mencakup suatu upaya pencegahan perubahan sosial, dan bukan secara fisik
saja. Menurut Shirvani (1984) dalam Topana (2015) konservasi dari aspek proses desain
perkotaan, konservasi harus memproteksi keberadaan lingkungan dan ruang kota yang
merupakan tempat bangunan atau kawasan bersejarah dan juga aktivitasnya.
Adapun manfaat konservasi (Tungka, 2015)adalah sebagai berikut;
a. Pelestarian lingkungan lama akan memperkaya pengalaman visual, menyalurkan hasrat
kesinambungan, memberikan tautan makna dengan masa lampau, memberikan pilihan
untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan lama tersebut.
b. Ditengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat seperti sekarang ini, lingkungan lama
akan menawarkan suasana permanen yang menyegarkan.
c. Teknologi pembangunan yang berorientasi pada nilai-nilai ekonomis di atas lahan
berskala besar dengan bentuk arsitektur ternyata berakhir dengan keseragaman
membosankan. Upaya-upaya untuk mempertahankan bagian kota yang dibangun dengan
skala akrab jika dibandingkan dengan pembangunan baru akan membantu hadirnya sence
of place, identitas diri dan suasana kontras.
d. Kota dan lingkungan lama adalah aset terbesar dalam industri wisata internasional,
sehingga perlu dilestarikan.

7
e. Merupakan salah satu upaya generasi masa kini untuk dapat melindungi dan
menyampaikan warisan kepada generasi mendatang dan merasakan bukti fisik suatu
tempat di dalam tradisinya
f. Membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh kenyamanan psikologis.
g. Membantu terpeliharanya warisan arsitektur yang dapat menjadi catatan sejarah masa
lampau yang melambangkan keabadian, dan kesinambungan dalam keterbatasan masa
kehidupan manusia.
Berdasarkan Catanese & Snyder (1979) dalam Tungka (2015), disebutkan bahwa bangunan
kuno atau lingkungan bersejarah yang layak dikonservasi terdapat tolak ukur antara lain;
a. Estetika
Bangunan-bangunan atau dari bagian kota yang dilestarikan karena mewakili prestasi
khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.Tolak ukur estetika ini dikaitkan dengan nilai
estetis dari arsitektonis: bentuk, tata ruang dan ornamennya.
b. Kejamakan
Bangunan-bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili satu kelas
atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan. Penekanan pada karya arsitektur yang
mewakili ragam atau jenis yang spesifik.
c. Kelangkaan
Bangunan yang hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang masih
ada. Karya langka atau satusatunya di dunia atau tidak dimiliki oleh daerah lain.
d. Peranan Sejarah
Bangunan-bangunan dari lingkungan perkotaan yang merupakan lokasi-lokasi bagi
peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting untuk dilestarikan sebagai ikatan simbolis
antara peristiwa terdahulu dan sekarang.
e. Memperkuat Citra Kawasan
Bangunan-bangunan dan di bagian kota yang karena investasi di dalamnya, akan
mempengaruhi kawsan-kawasan di dekatnya, atau kehadiratnya bermakna untuk
meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitarnya.
f. Keistimewaan
Bangunan-bangunan ruang yang dilindungi karena memiliki keistimewaan, misalnya
yang tertinggi, tertua, terbesar pertama dan sebagainya.

Kriteria Bobot Nilai Penjelasan


Estetika 0 Tidak memiliki nilai estetika
1 Memiliki nilai estetika tapi kurang baik
2 Memiliki nilai estetika yang baik
3 Memiliki nilai estetika yang baik, memiliki detail-
detail yang layak dilestarikan
Kejamakan 0 Tidak memiliki kejamakan
1 Memiliki kejamakan, namun tidak jelas hanya
dapat dilihat dari sebagian kecil bangunan
2 Memiliki kejamakan dan sangat jelas, dapat dilihat
dari keseluruhan bangunan
Kelangkaan 0 Tidak langka, sangat mudah ditemukan di tempat
lain atau lokasi lain
1 Kurang langka, mudah ditemukan di lokasi lain

8
2 Sangat langka, satu-satunya yang ada di Indonesia,
bahkan di dunia
Peranan sejarah 0 Tidak mempunyai nilai sejarah
1 Ada nilai sejarah tapi tidak penting
2 Ada nilai sejarah jelas dan penting
3 Ada nilai sejarah sangat jelas dan sangat penting
Memperkuat 0 Tidak memperkuat kawasan sama sekali
citra kawasan 1 Memperkuat kawasan dan tidak berlaku jelas
2 Memperkuat kawasan dengan baik
3 Sangat memperkuat kawasan dengan baik
Keistimewaan 0 Tidak memiliki keistimewaan sama sekali
1 Memiliki keistimewaan ditinjau dari skalanya
(terbesar, terkecil)
2 Memiliki keistimewaan yang paling baik (hanya
satu di dunia)

Tabel 2.1.Teknik Pemberian Nilai Bobot Kriteria (K).


Sumber :Catanese & Snyder 1979 dalam Topana, 2015

Kriteria Bobot Nilai Penjelasan


Estetika 5 Estetika diberi nilai maksimal 5 karena estetika
merupakan hal terpenting dari criteria-kriteria
yang ada. Pada umumnya hal pertama yang dapat
dinikmati secara visual adalah estetika.
Kejamakan 1 Kejamakan diberi nilai bobot maksimal 1 karena
Adanya tipologi bangunan yang sama dalam
jumlah yang banyak. Karena kebudayaan sangat
berpengaruh pada bangunan, kemungkinan
didirikan pada jaman yang sama akan muncul
tipologi bangunan yang sama.
Kelangkaan 3 Kelangkaan diberi nilai maksimal 3 karena dengan
kelangkaan bangunan dapat dengan mudah
menjadi monument peringatan.
Peranan sejarah 4 Peranan sejarah diberi nilai maksimal 4 karena
bangunan bersejarah dapat memberi informasi
tentang sejarah masa lalu.
Memperkuat 2 Memperkuat citra kawasan diberi nilai maksimal 2
citra kawasan karena dengan pengaruh suatu bangunan terhadap
lingkungan akan memberi nilai tambah bagi
bangunan untuk dikonservasi,juga berfungsi
sebagai generator pertumbuhan kawasan
Keistimewaan 2 Keistimewaan diberi nilai maksimal 2 karena
dengan adanya keistimewaan dapat menjadikan
suatu bangunan keunikan tersendiri.

Tabel 2.2.Teknik Pemberian Nilai Bobot Konservasi (A)

9
Sumber :Catanese & Snyder 1979 dalam Topana, 2015

Kualitas Estetika Nilai Bobot penilaian


bangunan
Kesatuan 0 = sangat tidak baik
1 = kurang baik
2 = baik
3 = sangat baik
Keseimbangan
Proporsi
Skala
Total (Rata-rata)
A 0 ≤ x < 1,5 kurang baik
1,5 ≤ x < 3 baik
3,5 ≤ x < 5 sangat baik

Tabel 2.3.Perhitungan Kualitas Konservasi Kriteria Estetika


Sumber :Catanese & Snyder 1979 dalam Topana, 2015

Kualitas Estetika Bobot Nilai Bobot penilaian


Kriteria Bobot Nilai A (K x A)
(K)
Estetika A = Estetika
Kejamakan
Kelangkaan
Peranan sejarah
Memperkuat citra kawasan
Keistimewaan
∑K ∑KxA
Nilai Total X = ∑ K x X=
A

∑K
0 ≤ x < 1,5 Maka bangunan yang dikaji kurang layak dilestarikan
1,5 ≤ x < 3 Maka bangunan yang dikaji layak dilestarikan/
dikonservasi

Tabel 2.4. Penentuan Kelayakan Konservasi Suatu Bangunan


Sumber : Catanese & Snyder 1979 dalam Topana, 2015

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

10
Tujuan Penelitian
1. Melakukan pemetaan bangunan bersejarah di Kota Tua Ampenan, Mataram, Nusa
Tenggara Barat.
2. Mengidentifikasikan kondisi bangunan bersejarah saat ini untuk mengkasifikasikan
bangunan yang dapat dilakukan preservasi dan konservasi baik itu berupa restorasi,
renovasi, rehabilitasi rekonstruksi maupun adaptasi di Kawasan Kota Tua Ampenan
Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada wilayah Kota Tua Ampenan, yang merupakan bagian dari
Kota Mataram, terletak di wilayah paling barat yang berbatasan dengan Selat Lombok. Secara
astronomi Kecamatan Ampenan terletak antara 8.10° dan 9.5° Lintang Selatan dan 115.460 dan
119.50 Bujur Timur. Luas wilayah Kecamatan Ampenan adalah 9,46km2 atau 945,29 hektar, dan
terbagi dalam 10 kelurahan. Empat diantaranya merupakan daerah pantai (pesisir). Batas-batas
administrasi Kecamatan Ampenan sebagai berikut: Kecamatan Sekarbela di sebelah selatan,
Selat Lombok di sebelah barat, Kecamatan Gunungsari di sebelah utara, dan Kecamatan
Selaprang di sebelah timur.
Selama ini, penelitian tentang Kota Tua Ampenan lebih banyak berfokus pada Kawasan
Kota Tua Ampenan dan Penataan Kawasan Kota Tua Ampenan. Sebagai Kawasan Cagar
Budaya, Kota Tua Ampenan memiliki aset yang berharga yaitu bangunan bersejarah sebagai
obuek cagar budaya. Namun belum data data yang valid mengenai kondisi dan lokasi dari
bangunan bersejarah itu sendiri.
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Mewujudkan pemetaan bangunan bersejarah di Kota Tua Ampenan sehingga dapat
menjadi informasi untuk penelitian selanjutnya ataupun untuk langkah-langkah
preservasi-konservasi yang akan ditempuh oleh pemerintah Kota Mataram atau
Pemerintah Provinsi NTB.
2. Mampu menggambarkan kondisi banguna tua yang ada, untuk menentukan kelayakan
predikat sebagai bangunan bersejarah atau bangunan cagar budaya.
METODE PENELITIAN
Parameter yang diukur dan diamati
Parameter yang diukur dan diamati dalam penelitian ini adalah bangunan yang diduga
bersejarah. Bangunan-bangunan tersebut akan diidentifikasi, diklasifikasikan kemudian dibuat
skoring atau penilaian dengan metode penentuan kelayakan konservasi suatu bangunan menurut
Catanese & Snyder 1979 dalam Topana, 2015, apakah bangunan tersebut masuk dalam
klasifikasi bangunan bersejarah dan layak untuk dikonservasi. Setelah penetapan klasifikasi
bangunan bersejarah dilakukan, akan dibuat pemetaan dimana akan ditentukan titik-titik lokasi
dimana bangunan bersejarah tersebut berada dan diidentifikasikan kondisinya saat ini.
Metode Pengumpulan Data
1. Pengumpulan data tentang bangunan bersejarah
Pengumpulan data mengenai bangunan bersejarah ini dilakukan dengan beberapa metode
diantaranya adalah wawancara, literatur serta observasi langsung ke lapangan. Data
mengenai semua bangunan yang diduga bersejarah akan disusun dan dicatat beserta
dokumentasi yang mendukung diantaranya foto, sketsa dan penetapan titik lokasi pada peta
dasar.
2. Identifikasi dan klasifikasi bangunan bersejarah

11
Data tentang bangunan yang diduga bersejarah dikumpulkan dan diklasifikasikan menurut
kelompoknya. Pengelompokan ini dilakukan setelah dibuat skoring atau penilaian terhadap
bangunan bersejarah dengan cara observasi lapangan untuk melihat kondisi bangunan tersebut
saat ini.
Penilaian tentang bangunan bersejarah itu sendiri akan mengacu pada Penentuan Kelayakan
Konservasi Suatu Bangunan menurut Catanese & Snyder (1979) dalam Topana (2015). Pada
pemberian bobot ini terdapat beberapa variable yang akan dinilai yaitu:
- Teknik Pemberian Nilai Bobot Kriteria (K)
- Teknik Pemberian Nilai Bobot Konservasi (A)
Nilai Total X = ∑ K x X=
A

∑K
0 ≤ x < 1,5 Maka bangunan yang dikaji kurang layak dilestarikan
1,5 ≤ x < 3 Maka bangunan yang dikaji layak dilestarikan/
dikonservasi
Bagan 3.2. Teknik Pemberian Nilai Bobot
Sumber : Catanese & Snyder (1979) dalam Topana (2015)
3. Pembuatan peta dasar dan peta bangunan bersejarah
Pemetaan bangunan bersejarah disusun atau ditetapkan berdasarkan hasil observasi lapangan
yang dicatat di atas peta dasar. Peta dasar dibuat dengan mengambil foto udara yang didapat
dari google map atau citra satelit. Peta dasar ini juga bisa diperoleh dari instansi terkait seperti
bappeda, dinas tata kota atau dinas pekerjaan umum.
Peta dasar dibuat dengan cara mengambil data foto udara kemudian diolah dengan
program Auto CAD sehingga meghasilkan peta dasar berupa block plan. Hasil penetapan
titik-titik objek setelah observasi yang dibuat diatas peta dasar tersebut kemudian diolah
dengan program GIS untuk mendapatkan hasil yang akurat dan informatif.
Analisis Data
Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian ini dianalisis secara deskriptif dengan
menghubungkan data dan fakta dilapangan serta interpretasi data disajikan dalam bentuk table,
gambar dan grafik. Kesimpulan ditarik secara deduktif dengan memaparkan hal-hal yang bersifat
umum ke khusus. Menurut Moleong (1991: 236) dalam Topana (2015) penelitian deskriptif
memusatkan perhatian kepada pemecahan masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada
saat penelitian dilaksanakan, sebelum penelitian dilakukan sudah disiapkan rancangan penelitian
dengan cakupan komponen-komponen yang diperlukan. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan perspektif kajian budaya. Pada umumnya penelitian dengan analisis kualitatif
dikatagorikan sebagai penelitian deskriptif.
Dalam penelitian ini, peneliti berusaha memotret bangunan bersejarah, memetakannya
pada Kawasan Kota Tua Ampenan kemudian menggambarkan atau melukiskannya
sebagaimanaadanya, sehingga pemanfaatan temuan penelitian iniberlaku pada saat itu.
Beberapa langkah penelitan yang akan dilakukan adalah:
1. Merumuskan masalah terkait dengan variable yang akan diteliti yang terjadi pada saat ini
dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya kemudian dijabarkan menjadi pertanyaan-
pertanyaan penelitian.

12
2. Jenis data yang diperlukan terkaitdengan data kuantitatif dan data kualitatif yang
berhubungan dengan bangunan bersejarah di Kawasan Kota Tua Ampenan.
3. Prosedur pengumpulan data dengan alat pengumpul data/ instrumen penelitian berupa
wawancara dan observasi lapangan serta sumber data/ subyek penelitian berupa data
sekunder dari instansi terkait dan data primer hasil dari observasi lapangan.
4. Menentukan prosedur pengolahan data-data yang dikumpulkan mula-mula disusun,
dijelaskan, kemudian dianalisa. Untuk pemetaan bangunan bersejarah akan menetapkan
posisi bangunan bersejarah pada peta dasar yang didapat dari data sekunder dari instansi
terkait maupun google map. Sedangkan penetapan bangunan bersejarahnya sendiri akan
dilakukan setelah mengklasifikasikan bangunan-bangunan yang diduga bersejarah
berdasarkan teori preservasi – konservasi yang telah dijabarkan pada tinjauan pustaka.
5. Pengolahan data terkait dengan jenis data yang dikumpulkan. Untuk data kuantitatif,
maka pengolahan dan analisis data yang digunakan adalah statistik deskriptif
6. Prosedur yang dilakukan antara lain: pemeriksaan data; klasifikasi data ; tabulasi data;
menghitung frekuensi data; perhitungan selanjutnya sesuai dengan statistic deskriptif
yang sesuai dengan pertanyaan penelitian. Semua prosedur pengolahan data ini
menggabungkan antara informasi yang didapat dari wawancara dengan pihak-pihak yang
berkompeten, serta data yang didapat dari hasil observasi lapangan kemudian dikaitkan
dengan teori yang ada.
7. Menarik kesimpulan penelitian menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian dalam satu
kesimpulan yang merangkum permasalahan penelitian secara keseluruhan.

13
HASIL YANG DICAPAI
5.1. Penetapan Blok Lokasi Survey Lapangan

Gambar 5.1. Pembagian blok pada area penelitian

Keterangan :
= Blok 1
= Blok 2
= Blok 3
= Blok 4
= Blok 5
5.2. Analisa Data
5.2.1. Analisa Pengelompokan bangunan bersejarah berdasarkan umur bangunan
undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 5 menyatakan bahwa
benda, bangunan, atau struktur cagar budaya apabila memiliki kriteria atau cirri-ciri:
a. Berusia 50 tahun atau lebih
b. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun

14
c. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau
kebudayaan
d. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa
Sedangkan dalam pasal 7 dijelaskan bahwa Bangunan Cagar Budaya dapat:
a. Berunsur tunggal atau banyak;
b..Berdiri bebas atau menyatu dengan formasi alam
5.2.2. Analisa Nilai Bobot Kriteria (K).
Berdasarkan Catanese & Snyder (1979) dalam Tungka (2015), disebutkan bahwa bangunan
kuno atau lingkungan bersejarah yang layak dikonservasi terdapat tolak ukur antara lain;
a. Estetika
Bangunan-bangunan atau dari bagian kota yang dilestarikan karena mewakili prestasi
khusus dalam suatu gaya sejarah tertentu.Tolak ukur estetika ini dikaitkan dengan nilai
estetis dari arsitektonis: bentuk, tata ruang dan ornamennya.
b. Kejamakan
Bangunan-bangunan atau bagian dari kota yang dilestarikan karena mewakili satu kelas
atau jenis khusus bangunan yang cukup berperan. Penekanan pada karya arsitektur yang
mewakili ragam atau jenis yang spesifik.
c. Kelangkaan
Bangunan yang hanya satu dari jenisnya, atau merupakan contoh terakhir yang masih
ada. Karya langka atau satu-satunya di dunia atau tidak dimiliki oleh daerah lain.
d. Peranan Sejarah
Bangunan-bangunan dari lingkungan perkotaan yang merupakan lokasi-lokasi bagi
peristiwa-peristiwa bersejarah yang penting untuk dilestarikan sebagai ikatan simbolis
antara peristiwa terdahulu dan sekarang.
e. Memperkuat Citra Kawasan
Bangunan-bangunan dan di bagian kota yang karena investasi di dalamnya, akan
mempengaruhi kawsan-kawasan di dekatnya, atau kehadiratnya bermakna untuk
meningkatkan kualitas dan citra lingkungan sekitarnya.
f. Keistimewaan
Bangunan-bangunan ruang yang dilindungi karena memiliki keistimewaan, misalnya
yang tertinggi, tertua, terbesar pertama dan sebagainya.
5.2.3. Analisa Nilai Bobot Konservasi (A)
Pada Nilai Bobot Konservasi (Nilai A) ini, beberapa elemen tampilan fisik bangunan
yang digunakan sebagai indicator adalah:
a. Kesatuan
b. Keseimbangan
c. Proporsi
d. Skala
Sedangkan penilain terhadap masing-masing elemen dibuat scoring dengan ketentuan sebagai
berikut:
0 = sangat tidak baik
1 = kurang baik
2 = baik
3 = sangat baik
Yang kemudian dibuat rata-rata sebagai hasil akhir Nilai KOnservasi (A) dengen ketentuan
sebagai berikut: 0 ≤ x < 1,5 kurang baik

15
1,5 ≤ x < 3 baik
3,5 ≤ x < 5 sangat baik
5.2.4. Analisa Kelayakan Konservasi
Pada analisis kelayakan Nilai Koservasi (X) ini, merupakan penggabungan dari analisa
data tentang Nilai Bobot Kriteria (K) dan Nilai Konservasi (A) dengan rumusan sebagai berikut:
Nilai Total X = ∑KxA
∑K
Dengan ketentutan penilain sebagai berikut :

0 ≤ x < 1,5 Maka bangunan yang dikaji kurang layak dilestarikan


1,5 ≤ x < 3 Maka bangunan yang dikaji layak dilestarikan/ dikonservasi

5.4. Identifikasi dan pemetaan bangunan bersejarah


5.4.1. Pemetaan bangunan berdasarkan umur bangunan

16
5.4.2. Pemetaan bangunan berdasarkan prosentanse perubahan

5.4.3. Pemetaan bangunan bersejarah berdasarkan kelayakan konservasi

17
KESIMPULAN
1 Kesimpulan
1. Berdasarkan usia bangunan terdapat 17 atau sekitar 11% bangunan yang berusia
dibawah 50 tahun, 130 atau sekitar 86 % bangunan berusia diatas 50 tahun dan 3
bangunan atau 2% yang tidak terdata usianya.
2. Berdasarkan kondisi fisiknya, dari 130 bangunan bersejarah tersebut 64 bangunan atau
sekitar 49% bangunan bersejarah memiliki nilai kelayakan konservasi yang kurang
sehingga perlu dilakukan restorasi bangunan untuk mengembalikan ke bentuk awal/
asli bangunan, sedangkan 66 bangunan atau 51% bangunan bersejarah memiliki nilai
kelayakan konservasi yang baik untuk dilakukan preservasi-koservasi bangunan.
2. SARAN
Keterbatasan waktu dan tenaga membuat hasil survey lapangan hanya mencakup
usia bangunan, kondisi fisik bangunan dan perubahan yang terjadi pada elemen bangunan.
Untuk ke depannya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, bangunan manakah yang layak
untuk mendapat perhatian khusus agar dapat dilakukan kegiatan konservasi yang tepat
dengan analisis yang lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Amo, M. Farisa, 2013. Analisis Kebutuhan Jalur Pedestrian di Kawasan Kota Tua Manado.
Skripsi. Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Sam Ratulangi,
Manado
Anonim1. 2015. Menengok Sejarah masa Silam Lombok di Kawasan Ampenan Kuno.
lombok.panduan wisata.com/wisata-sejarah/menengok-sejarah-masa-silam-lombok-di-
kawasan-ampenan-kuno/ . diakses tanggal 10 Desember 2015 pukul 10.15 Wita.
Anonim2. 2013. RTBL Kawasan Kota Tua Ampenan, Kota Mataram, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, 2013, Kementrian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat
Penataan Bangunan dan Lingkungan.
Anonim3. 2011. Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah 2011-2031, Mataram
Anonim4. 2010. Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Budihardjo, Eko dan Sidharta (1980). Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah di Surakarta.
Yogyakarta, Gadjah Mada University
Galiion, Arthur B., Eisner Simon, 1992. Pengantar Perancangan Kota,Penerbit Erlangga
Moleong, Lexy, 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung, Remaja
Rosdakarya
Shirvani, Hamid, 1985. The Urban Design Process. New York, Van Nostrand.
Trancik, Roger, 1986. Finding Lost Space: Theories of Urban Design. New York, Van Nostrand
Reinhold Company
Tonapa , Yenie Naftalia, 2015. Kajian Konservasi Bangunan Kuno Dan Kawasan Bersejarah Di
Pusat Kota Lama Manado, Jurnal Ilmiah.
Tungka,Aristotulus, 2015. Materi Perkuliahan Teknik Konservasi dan Preservasi. Program Studi
Perencanaan Wilayah dan KotaUniversitas Sam Ratulangi, Manado.

18

Anda mungkin juga menyukai