Anda di halaman 1dari 11

E-ISSN: 2798-4907

Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), 1-15

Mutiara Pulau Jawa: Kalimas sebagai Pusat


Perekonomian Jawa Timur abad XVIII
Zhang Wu Ming, Aurellia Bianca Simawan, Elsa Alfa Khristian
SMA Katolik Santa Maria Malang, Jl. Raya Langsep No. 41, Malang, 65116, Changwu476@Gmail.Com

+62 813-5744-3199
Corresponding email: Changwu476@gmail.com

Abstract
In the eighteenth century, Surabaya is located on the coast and protected by Madura
Island and has the advantage of being an area that supports economic needs because of its
trading activities. Many ships from inside and outside the country came to carry out
activities especially trade. However, at this time the Kalimas river has decreased in
prestige. The aims of this study is to show the existence of the Kalimas river as the
economy center, and its impact on the people of Surabaya in the eighteenth century. The
writing method used in this study is a historical research method which comprised of some
steps there are topic selection, heuristics, verification, interpretation, and historiography.
From this study, it can be concluded that the Kalimas river is the economy center because
Kalimas river is a strategic place traversed by trade routes. Beside that, the existence of a
policy from Raffles in the form of taxes supports economic development in the Kalimas
river and Surabaya area. Based on the results of the study, the researchers suggest to the
local government to manage and maintain the historical values of the Kalimas River and
develop it as a place of trade from geographical, philosophical, sociological, and historical
aspects.

Keywords
trade; Kalimas; economy.

Abstrak
Pada abad XVIII, Surabaya terletak di pesisir dan terlindungi oleh Pulau Madura dan
memiliki keuntungan menjadi daerah penunjang kebutuhan ekonomi karena kegiatan
perdagangannya. Banyak kapal-kapal dari dalam maupun luar negeri datang untuk
melakukan kegiatan khususnya perdagangan. Namun saat ini sungai Kalimas mengalami
penurunan pamor. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan eksistensi sungai
Kalimas sebagai pusat perekonomian, serta dampaknya bagi masyarakat Surabaya abad
XVIII. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
sejarah yang terdiri dari tahapan pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretaasi, dan
historiografi. Dari penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa sungai Kalimas
merupakan pusat perekonomian karena sungai Kalimas adalah tempat strategis yang
dilalui oleh jalur perdagangan. Selain itu, adanya kebijakan dari Raffles berupa pajak
mendukung perkembangan perekonomian di sungai Kalimas dan wilayah Surabaya.
Berdasarkan hasil penelitian penulis menyarankan pemerintahaan setempat untuk
mengelola dan menjaga nilai-nilai historis sungai Kalimas dan mengembangkannya
sebagai tempat perdagangan dari aspek geografis, filosofis, sosiologis, dan historis.

Kata kunci
perdagangan; Kalimas; ekonomi.

Zhang Wu Ming, Mutiara Pulau Jawa…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

*Received: 1 April 2022 *Revised: 1 July 2022


*Accepted: 29 July 2022 *Published: 31 July 2022

PENDAHULUAN
Pada tahun 1830-1850 Belanda mulai menjadi penguasa di Nusantara,
salah satunya di wilayah Surabaya. Keadaan Surabaya mulai terbentuk menjadi
kota benteng dengan adanya Benteng Prins Hendrik yang ada di muara
Kalimas. Di bagian selatan dari Benteng Prins Hendrik terdapat sebuah kota
yang menjadi pemukiman bagi orang-orang Eropa dan mulai berkembang
secara pesat. Di mulai dari pemukiman inilah yang membuat Surabaya mulai
tumbuh menjadi kota pelabuhan yang penting. Selain itu terdapat tembok
pertahanan melingkupi daerah seluas kurang lebih 300 ha dari kota Surabaya.
Di sebelah barat Jembatan Merah terdapat City Hall, kantor pos, rumah took,
barak militer, bengkel, dan gereja. Di sebelah timur dari Kalimas (yang
dihubungkan dengan Jembatan Merah) terdapat pemukiman orang asing
lainnya seperti Chinese Kamp, Arabische Kamp dan Malaise Kamp
(perkampungan Melayu) (ADI, 2019). Sedangkan penduduk asli kebanyakan
bermukim di luar benteng.
Kota Surabaya mulai mempunyai arti penting sebagai kota maritim pada
tahun 1864, hal ini juga dipengaruhi karena semakin berkembangnya
perdagangan di Surabaya. Banyak kapal layar besar yang singgah di Pelabuhan
Surabaya antara lain, kapal dari Belanda, Inggris, Amerika, Denmark, Perancis,
Belgia, Hamburg, Bali, China, dan Serawak (ADI, 2019). Surabaya bisa dibilang
benar-benar menjadi kota pelabuhan yang keadaannya sangat penting dan
letakknya sangat srategis bagi pemeritahan Belanda. Pelabuhan tersebut
menghubungkan daerah pesisir dan pedalaman yang berada di sekitar kota
Surabaya, yang saat itu berkarakter sebagai pemukiman para pedagang yang
terus berkembang ke dalam kota dengan makin banyaknya penduduk yang
bermukim di sepanjang Sungai Kalimas.
Adanya kenaikan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat di Surabaya
juga disebabkan karena ramainya Sungai Kalimas, hingga akhirnya tahun 1906-
1940 terjadi perluasan di wilayah kota Surabaya. Selain itu, adanya kebijakan
dari Gurbenur Letnan yang terkenal bernama Thomas Stamford Raffles yang
menerapkan pajak impor dan ekspor terhadap beberapa komoditas spesifik
dapat mendukung perekonomian di sungai Kalimas dan wilayah Surabaya (sem
arang and sourabaya, 1812 ). Sungai Kalimas memang masih belum memadai
untuk kapal-kapal yang berukuran besar. Pada tahun 1907 Raad van Justice
mengusulkan kepada Gurbenur Jenderal Surabaya agar diberikan pelabuhan
yang lebih baik. Akhirnya pada tahun 1925, seluruh kegiatan pelabuhan pindah
dari Sungai Kalimas ke Tanjung Perak yang membuat Sungai Kalimas tidak lagi
difungsikan oleh pemerintah Kota Surabaya sehingga pamornya menjadi
turun. Oleh karena itu, penulis ingin menunjukkan kepada masyarakat tentang
eksistensi Sungai Kalimas sebagai pusat perekonomian. Dimana tanpa disadari
Sungai Kalimas juga memiliki dampak bagi masyarakat Surabaya karena
sebagai pusat perekonomian pulau Jawa di abad XVIII.

METODE PENELITIAN

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

Metode penulisan yang digunakan oleh penulis adalah metode penulisan


sejarah. Metode tersebut terbagi atas pemilihan topik, heuristik, verifikasi,
interpretasi dan historiografi (Kuntowijoyo, 2013 ). Topik yang dipilih oleh
peneliti adalah topik berdasarkan kedekatan intelektual. Heuristik merupakan
tahap awal dalam penulisan yang merupakan pencarian dan pemilahan
sumber-sumber sejarah yang dijadikan referensi dalam penulisan makalah.
Penulis menggunakan sumber-sumber buku sejarah Surabaya, City of Work: A
Socioeconomic History, A Study of Plural Economy, dan Pembangunan Pelabuhan
Surabaya dan Kehidupan Sosial. Setelah melakukan pengumpulan sumber
sejarah, tahap berikutnya adalah verifikasi untuk mengecek keaslian sumber
sejarah yang telat ditemukan pada tahap sebelumnya. Pada tahap interpretasi,
fakta-fakta sejarah yang telah didapatkan akan disusun secara kronologis untuk
menjadi satu kesatuan penulisan. Tahap terakhir adalah historiografi yang
merupakan penulisan sejarah (Kuntowijoyo, 2013 ).

HASIL DAN PEMBAHASAN

SEJARAH SUNGAI KALIMAS ABAD XVIII

Sebuah sungai biasa pada masa tahun 1612-1625 diairi oleh berbagai
macam kapal asing dari penjuru negeri maupun luar negri yang banyak membawa
barang berharga, waktu dengan sengaja menamainya Kalimas sesuai dengan tugas
yang diembannya. Sungai Kalimas merupakan anak Sungai Brantas yang berada di
Surabaya. Perkembangan Kota Surabaya tak terlepas dari perkembangan
bentaran kalimas yang berhulu di Mojokerto dan berakhir di Selat Madura.
Dengan sebuah konsep pemahaman dasar mengenai sebuah peradaban
masyarakat adalah perairan, seperti halnya peradaban Mesir Kuno yang
menggantungkan hidup kelompoknya pada Sungai Nil. Hal ini tidak memungkiri
apabila aktivitas perkonomian dimulai di Surabaya (Purwono, 2006). Sungai
Kalimas pada abad XIX merupakan tempat perdagangan yang ramai, disana
terdapat banyak kapal yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri yang
datang untuk melakukan kegiatan khususnya perdagangan di Kota Surabaya.
Barang yang diperdagangkan meliputi rempah-rempah, gula, dan bahan baku
lainnya untuk kebutuhan sehari-hari. Aktivitas perdagangan ini yang akhirnya
membuat wilayah Sungai Kalimas dan sekitarnya seperti Gresik, Sidoarjo, dan
Mojokerto mencapai titik ramai yang sangat tinggi hingga dibangunlah
pemukiman di pinggir sungai untuk memudahkan dan mendukung aktivitas
perdagangan dan perekonomian di pinggir kota (Hartono, 2007).

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

Gambar 1. Pemandangan kali Mas di akhir abad ke-19.


Sumber: Foto koleksi KITLV.

Sungai Kalimas sendiri merupakan sungai yang berukuran kecil dan


tidak terlalu dalam. Kondisi Sungai Kalimas yang tidak terlalu lebar membuat
sungai ini hanya bisa dilalui oleh kapal-kapal kecil. Kapal besar hanya bisa
berlabuh di ujung Kalimas dan selanjutnya barang-barang dari kapal besar
tersebut akan dibawa oleh kapal-kapal kecil untuk masuk ke wilayah Sungai
Kalimas dan diperdagangkan di beberapa bagian pasar yaitu, Pasar Besar,
Karangpilang Wonokromo, Genteng, Keputran, Cantikah, Pabean Babakan,
Genteng, dan Tunjungan (Astuti, 2016).
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Surabaya lebih dimanfaatkan
sebagai daerah penunjang kebutuhan ekonomi karena aktivitas
perdagangannya yang ramai. Jika dilihat dari aspek geostrategi Surabaya
memiliki keuntungan tersendiri karena terletak di pesisir namun juga
terlindungi oleh Pulau Madura. Daerah-daerah di sekitar Kota Surabaya yang
dulunya masih rawa-rawa ini kemudian dibangun oleh pemerintahan kolonial
menjadi daerah perdagangan dan perekonomian terbesar di bagian Jawa Timur
setelah Batavia (Adi, 2019)
Sungai Kalimas sebagai bagian dari Surabaya juga menjadi incaran dari
negara lain seperti Inggris. Ketika Inggris mulai masuk ke wilayah Nusantara,
Inggris mulai berusaha menduduki daerah koloni Belanda. Mulai dari Tanjung
Harapan pada 1806, Maluku pada 1810, dan terakhir yang paling diincar adalah
Jawa pada 1811 (Poelinggomang, 2016). Pemerintahan Inggris ketika
menduduki Nusantara dipimpin oleh Gubernur Letnan terkenal bernama
Thomas Stamford Raffles.
Raffles pada saat itu menerapkan pajak terhadap beberapa komoditas,
seperti rincian pajak impor yaitu: (1) pajak 8% komoditas impor jalur laut, (2)
pajak 15% kain dan barang dagangan yang diimpor dari Tiongkok, Kamboja,
Thailand, dan Pelabuhan Bumiputra Bagian Timur (Native Eastern Port), (3)
pajak 5% kain dari pabrik di Jawa, dan (4) penarikan kembali sebesar 3% pada

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

semua barang yang sebelumnya telah membayar bea masuk di Batavia, setelah
sertifikat telah dibuat dari pemungut efek (Semarang dan Soerabaya, 2018).
Pada bidang ekspor juga terdapat pajak ekspor antara lain: (1) 5 Rix Dollar
perak per koyang pada ekspor beras, (2) gula batu, 60 stivers perak per pikul
—gula, yang telah ditumbuk atau dihaluskan, sebesar 30 stivers perak per
pikul, dan garam 1,5 Rix Dollar perak per koyang, (3) sarang burung sebesar
16% dan seperti banyak yang diimpor di Batavia, penarikan kembali
diperbolehkan sebesar 6%, dan (4) semua komoditas dan barang dagangan
yang tidak dimaksud di atas dan tidak membayar pajak impor, dikenakan pajak
ekspor sebesar 4%.
Raffles beranggapan bahwa pendapatan utama sebuah negara dapat di
capai dari pendapatan tanah dalam bentuk sewa tanah. Sewa tanah tersebut
ditarik dalam bentuk tunai sebanyak 40% dari hasil kotor sebidang tanah.
Menurut Raffles, jumlah tersebut setara dengan semua pajak internal,
kontribusi, pengiriman dengan tarif yang tidak sesuai, dan layanan paksa, baik
kepada otoritas Eropa atau pribumi. Baik yang dulunya adalah penggarap
maupun bukan. Bagi yang bukan penggarap maka dikenakan pajak kapitasi (Fu
rnival, 2010).
Sistem perpajakan yang diimplementasikan oleh Raffles bertujuan untuk
meningkatkan surplus perdagangan dan pelayaran kapal-kapal milik Inggris.
Disini tercatat bahwa kapal milik Inggris dikenakan pajak sebesar 30% dan
kapal negara lain tak terkecuali Belanda dikenakan pajak sebesar 60%
(Furnivall, 2010: 94). Selisih pajak sebesar dua kali lipat ini mendorong kapal-
kapal Inggris untuk singgah dan berdagang ke daerah kawasan Hindia Belanda
terutama di kota yang memiliki pelabuhan besar seperti Kota Surabaya. Dengan
adanya berbagai macam pajak yang ditetapkan Raffles mampu menunjukkan
pentingnya Surabaya sebagai pusat perdagangan Indonesia khususnya di
wilayah Jawa bagian timur.

Tabel 1. Rincian Harga Komoditas dan Barang Dagangan Surabaya pada


Periode Tahun 1813—1814.
Komodita 1813 1814
s Feb Mei Des Feb Jul
Cengkeh 120 per pi 120 per pi 215 per pi 215 per pi 250 per pi
kul kul kul kul kul
Bunga Pala 4-8 lb. 4-5 per lb. 4-5 per lb. 4-5 per lb. 10 per lb.
Lada Hitam 4-5 per pi 4-5 per pi 4 per piku 4 per piku 6 per piku
kul kul l l l
Pala 1,5-1,75 p 1,5-1,75 p 1,5-2 per l 1,5-2 per l 4 per lb
er lb. er lb. b. b
Lada Putih 5-6 per pi 5-6 per pi 5-6 per pi 5-6 per pi 10 per pik
kul kul kul kul ul

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

Kayu Manis 2-3,5 per l 2-3,5 per l 2-3,5 per l 2-3,5 per l 4-5 per lb.
b. b. b. b.
Gula 8 per piku 8 per piku 7 per piku 6 per piku 14 per pik
l l l l ul
Gula Batu 9-11 per p 9-11 per p 10 per pik 10 per pik 20 per pik
ikul ikul ul ul ul
Kopi (Jaw 3-4 per pi 3-4 per pi 3-4 per pi 3-4 per pi 6 per piku
a) kul kul kul kul l
Kayu Cend 8-12 per p 6-10 & 15- 15-20 per 15-20 per 12 per pik
ana ikul 20 per pik pikul pikul ul
ul
Arak 60-100 pe 100 per le 100 per le 60-100 pe 120-160 &
r leaguer aguer aguer r leaguer 200 per le
aguer
Garam 7 per koya - 7 per koya 7 per koya 14 per koy
ng ng ng ang

Sumber: Sumber: Java Gouvernment Gazette. 1813—1814.

Tabel 2. Rincian Jumlah Kedatangan dan Keberangkatan Kapal di Kalimas


pada Periode Tahun 1811—1816
Tahun Kedatangan Keberangkatan
1812 25 20
1813 23 6
1814 28 27
1815 10 5
1816 6 10

Sumber: Java Gouvernment Gazette. 1811—1816.


Ketika kondisi gejolak politik di belahan bagian Eropa yang awalnya
memanas akhirnya mulai mereda. Raja Willem I Belanda mulai merasa mampu
untuk mendapatkan wilayah koloninya kembali dari Inggris. Hal inilah yang
membuat akhirnya kekuasaan Inggris atas Kolonial Belanda relatif singkat.
Selanjutnya Inggris melakukan perundingan dengan Belanda yang hasilnya
yaitu Belanda harus memberlakukan sistem perdagangan bebas sehingga
Inggris masih tetap bisa melakukan perdangan. Perundingan itu selanjutnya
disetujui dan tertuang dalam Konvensi London 14 Agustus 1814 (Poelinggoma
ng, 2016).
Selanjutnya setelah Belanda berhasil menguasai Nusantara kembali, terjadi
revisi aturan mengenai pajak bagi barang komoditi impor dari Belanda. Hal ini
tentunya membuat Surabaya semakin maju dan padat, berbagai fasilitas umum

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

untuk menunjang aktivitas ekonomi mulai dibangun, diperbarui, dan


dipercantik. Kalimas sebagai sungai yang merupakan jantung perdagangan
Kota Surabaya mulai tidak mampu mengakomodasi kapal-kapal besar yang
semakin banyak berdatangan, kapal besar ini hanya bisa meneruskan
pelayarannya di Kalimas Ujung atau Selat Madura. Sedangkan untuk kapal
dengan ukuran kecil bisa menyusuri Sungai Kalimas lebih jauh ke daerah
permukiman seperti Peneleh, Gemblongan, dan Gentengkali (Furnival, 2010).
Disamping itu, mulai muncul wacana mengenai pembuatan pelabuhan baru
yang besar di Surabaya. Perencanaannya sendiri memakan waktu dari tahun
1875 -1907, kemudian pemerintah Belanda juga mendatangkan arsitek dari
Belanda. Mengingat Surabaya sebagai tempat yang strategis dan dilindungi
pulau Madura di depannya membuat pemerintah Belanda semakin menyayangi
dan tak ingin kehilangan wilayah Surabaya, maka dengan itu pemerintah
Belanda membuat pangkalan militer untuk kepentingan marinir dan Angkatan
Laut atau marine establishment (Cahyo, 2017 ).
Kemajuan Kota Surabaya sebagai kota maritim terbesar hingga dikenal
memiliki sesuatu yang istimewa di dalamnya karena adanya perkembangan
kegiatan perdagangan dan pelayaran khususnya di wilayah pelabuhan Kalimas.
Surabaya dengan adanya Sungai Kalimas bukan hanya menjadikannya sebagai
salah satu kota maritim di Nusantara, namun sudah mencapai level regional
atau salah satu yang terbesar di benua Asia. Howard Dick menulis bahwa Kota
Surabaya mengalami perkembangan yang signifikan tidak dapat diimbangi oleh
sebagian kota-kota dengan pelabuhan besar lainnya, seperti Kalkuta, Yangon,
Singapura, Bangkok, dan Shanghai (Dick, 2002).

MUTIARA PULAU JAWA: KALIMAS SEBAGAI PUSAT PEREKONOMIAN JAWA


TIMUR ABAD XVIII

Sejak abad ke-11 saat Surabaya masih menjadi bagian kerajaan di Jawa Timur,
wilayah ini sudah mulai dilirik dan diminati. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
Surabaya sebagai kota Pelabuhan bahkan telah disebut dalam kitab
Negarakertagama yang bertarikh abad XIV (Sulistiyono, 2017). Penjelasan
mengenai keberadaan Surabaya dalam kitab tersebut adalah perihal kunjungan
Raja Hayam Wuruk, raja termashyur dalam perjalanan Kerajaan Majapahit.
Surabaya pada saat itu menjadi jaringan perdagangan dan pelayaran yang sudah
eksis dan terkenal sejak masa Kerajaan Majapahit dan terus semakin berkembang
(Djafar, 2012)
Surabaya tidak hanya menjadi perdagangan dan pelayaran antar pulau di
Nusantara saja tetapi juga perdagangan antar wilayah di Asia yang berhasil
dikembangkan secara aktif berkat Kalimas (Tjiptoadmojo, 1983). Pada masa

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

kerajaan Islam perkembangan Kalimas sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan


yang kaya dan memiliki Surabaya sebagai kota yang memiliki hubungan stabil
dengan kota-kota sejenis lainnya membuat kerajaan Mataram Islam yang sudah
bercokol di Jawa memiliki keinginan untuk menguasai Surabaya (Kartodirdjo, 201
4). Surabaya pada akhirnya jatuh ke tangan Mataram Islam pada Oktober 1625.
Namun dikuasainya Surabaya oleh Mataram hanya sampai pada pertengahan abad
XVIII.
Kanal yang ada pada Sungai Kalimas merupakan saksi bisu kisah sejarah di
tiga zaman yang merupakan wujud akulturasi sistem perekonomian Belanda,
Inggris, Portugis, China, Arab, Melayu, dan Bumiputera yang menitik beratkan
pada sistem perdagangan perairan. Sungai Kalimas sejak saat itu hingga masa
modern di era 1900an, masih menjadi tempat yang penting bagi masyarakat
sekitar, baik untuk perdagangan ataupun aktivitas harian yang berkenaan dengan
penggunaan air.

Gambar 2. Peta Kalimas Abad-19


Sumber: Asian Maior
Kalimas sebagai sungai yang menghubungkan sektor-sektor
perdagangan jantung Kota Surabaya tentu membawa dampak berupa lintas
kebudayaan yang turun temurun dari waktu ke waktu. Berdasarkan letaknya
Surabaya berada di wilayah yang strategis di Jawa Timur yaitu terletak di
pesisir Pantai Utara Pulau Jawa. Sungai Kalimas ini telah dijadikan sebagai
pelabuhan utama di zaman Kerajaan Majapahit. Pada abad ke-19 dari segi
geostrategis dan geopolitik posisi Sungai Kalimas berada pada lokasi yang
sangat strategis. Kalimas pada saat itu sebagai kanal sekaligus ditetapkan
menjadi pelabuhan utama (collegting centers) sebagai tempat terakir
pengumpulan hasil sumber daya alam di bagian ujung timur Pulau Jawa, yang
ada di daerah pedalaman seperti Malang, Ngawi, Madiun, Lumajang yang
kemudian ditindak dalam bentuk ekspor maupun diproduksi dalam negeri
untuk didistribusikan ke daerah-daerah di Nusantara khususnya Eropa
termasuk negara koloni yaitu Belanda (Wolters, 1989).

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

Kota-kota pesisir khususnnya wilayah pantai utara Pulau Jawa, saat itu
menjadi pusat pengumpulan produk-produk atau hasil bumi dari daerah-
daerah pedalaman yang nantinya akan dikirim ke berbagai daerah di Jawa
maupun luar wilayah Jawa. Kota-kota pesisir dekat Pantai Utara ini menjadi
tumpuan perdagangan Indonesia. Ini terbukti dengan adanya enam kerajaan di
Indonesia pada abad ke-5 dan ke-6 yang terletak di wilayah selatan Selat
Malaka dan di Pantai Sumatera Tenggara serta di Jawa bagian utara, dan semua
wilayah tersebut sangat ramai sebagai pusat perdagangan di Indoneisa.
Warisan sistem perekonomian ini menjadi mutiara di wilayah bagian
timur Pulau Jawa. Tentunya hal ini didukung dengan keberadaan kelompok
Arab, kelompok Cina, dan Pribumi yang eksis hingga sekarang sebab diatur
dalam surat Staatsblad tahun 1866 no.57, yang mengakibatkan Surabaya
mempunyai tiga kelompok pemukiman etnis besar, antara lain pemukiman
orang- orang Cina atau Chinesche Kamp, pemukiman kelompok Melayu atau
Maleische Kamp, dan pemukiman kelompok Arab atau Arabische Kamp.
Kebudayaan bersejarah ini membawa edukasi pentingnya perairan
sebagai jalur perdagangan dan lintas etnis budaya. Arsitektur jalur
perdagangan di Sungai Kalimas ini membawa beberapa tempat sekitarnya
semakin berkembang hingga saat ini seperti Pabean, Jembatan Merah,
Tunjungan, Wonokromo dan kampung-kampung etnis China atau Pecinan,
Kampung Arab, dan Kampung Madura.

KESIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa Sungai Kalimas sebagai pusat perekonomian


pulau Jawa mengalami penurunan pamor dan tidak lagi penting, tidak lagi
bergairah dalam kegiatan ekonomi. Kalimas sebagai sungai kuning keemasan
yang biasa ternyata mengandung nilai-nilai historis serta menjadi cikal bakal
kesuksesan Surabaya sebagai kota perekonomian terbesar pulau Jawa dan
Indonesia. Posisi geografis Jawa Timur juga mendorong Surabaya menjadi kota
dagang yang ramai. Berkembangnya Surabaya sebagai salah satu kota maritim
di wilayah timur Hindia Belanda diakibatkan oleh ramainya pelabuhan Kalimas
dan Tanjung Perak. Hal ini membuatnya berkembang menjadi kota pelabuhan
dan perdagangan yang maju pada abad XVIII—XIX. Jalinan dagang yang
dipengaruhi oleh beberapa kebijakan dari beberapa kekuasaan membuat
Kalimas Surabaya mengalami kejolak ekonomi secara eksponensial yang
kemudian menempatkan posisi di titik prioritas tertinggi dibandingkan
pelabuhan-pelabuhan di Nusantara maupun Hindia Belanda. Hal ini diperkuat
dengan adanya borjuasi yang menggeser pemukiman-pemukiman jelata dari
pusat kota Surabaya, diketahui pada saat abad ke-19 pendapatan per kapita
Surabaya mencapai 1.000 Gulden dimana salah satunya De Partriculiere.

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

DAFTAR RUJUKAN

Astuti, S. R. (2016). Pembangunan Pelabuhan Surabaya dan Kehidupan Sosial


Ekonomi di Sekitarnya Pada Abad XX. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai
Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.

Cahyo, D. N. (2017). Perkembangan Transportasi Kereta Api di Kabupaten


Lamongan Tahun 1899-1932. AVATARA, e-journal Pendidikan Sejarah 5,
no. 1, 46-47.

Dick, H. W. (2002). Surabaya, City of Work: A Socioeconomic History, 1900-2000.


Athens: Ohio University Press.

Djafar, Hasan. (2012). Masa Akhir Majapahit; Girindrawarddhana &


Masalahnya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Furnivall, J. S. (2010). A Study of Plural Economy. Netherlands India: Cambridge


University Press.

Hartono, H. d. (2007). Surabaya Kota Pelabuhan Studi Tentang Perkembangan


'Bentuk dan Struktur' Sebuah Kota Pelabuhan Ditinjau dari
Perkembangan Transportasi, Akibat Situasi Politik dan Ekonomi dari
Abad 13 sampai Awal Abad 21. Dimensi Teknik Arsitektur 35, no 1, 89.

Kartodirdjo, S. (2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900.


Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nugroho, Kartiko Adi dan Artono. (2019). Peranan Sungai Kalimas Sebagai
Sarana Transportasi Sungai Kota Surabaya Tahun (1900-1952). Avatara,
e-Journal Pendidikan Sejarah 7, no 1.

Poelinggomang, E. L. (2016). Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan


Perdagangan Maritim. Jakarta: Keperpustakaan Populer Gramedia.

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…


Historiography: Journal of Indonesian History and Education
Volume 2, Nomor 3 (Juli 2022), halaman 1-15

Purwono, Nanang. 2006. Mana Soerabaia Koe: Mengais Butiran Mutiara Masa
Lalu. Surabaya: Pustaka Eureka.

Sudah, N. F.-q. (2016). Kalimas River Port Area Conservation (Intergration city
Goverment Planning According to The Community Settlement Potential In
Surabaya). Fakultas Institute Teknologi Sepuluh November, 3.

Sulistiyono, S. T. (2017). Peran Pantai Utara Jawa dalam Jaringan Perdagangan


Rempah. Makassar.

Tjiptotmodjo, S. (1983). Kota-kota Pantai di Sekitar Selat Madura Abad ke-17


sampai Medio Abad ke-19. Bandung: Universitas Gadjah Mada.

Wijayati, P.A. (1812). Samarang and Sourabaya. Java Gouverment Gazzete, , Vol.
1, No. 1.

Wolters, O. W. (1989). Perdagangan Awal Indonesia: Satu Kajian Asal Usul


Kerajaan Sriwijaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Kementrian Malaysia.

Nama Penulis Pertama, Judul artikel singkat…

Anda mungkin juga menyukai