Anda di halaman 1dari 9

“THE HARMONY OF YIN AND YANG”

RELASI KOSMIK MULTIVERSE GLOBAL MASYARAKAT TIONGKOK DAN


RELASINYA DENGAN TRANSEDENSIONAL JAWA KLASIK

Oleh:
Zhang Wu Ming
(张 无 名)

DINAS KEBUDAYAAN DAN PARIWISATA


JAWA TIMUR
2022
PENDAHULUAN

Dasar metafisika Tiongkok klasik, setiap benda, partikel, dan sel di alam semesta
memiliki polaritas abadi berupa dua kekuatan utama yang kontradiktif sekaligus melengkapi
satu sama lain. Konsep keseimbangan tersebut di formulasikan dengan istilah Yin (阴) Yang
(阳). Yin (阴) memiliki karakteristik pasif, gelap, feminin, responsif, dan sering dianalogikan
dengan malam (hitam), sedangkan Yang (阳) memiliki karakteristik aktif, terang, maskulin,
agresif dan dianalogikan dengan siang (putih). Yin disimbolkan dengan air, dan Yang dengan
api, positif-negatif, gelap-terang, dan sebagainya. Secara implisit mewakili simpul dualisme
kontradiktif, dan secara bersamaan saling melengkapi dalam sebuah mekanisme kosmik
universal.

Yin 阴 mewakili kelembutan yang bersifat pasif, prinsip ketenangan, surga, bulan,
air, wanita, simbol kematian, dan sesuatu yang dingin. Yang 阳 mewakili kekerasan yang
bersifat aktif, prinsip gerak, bumi, matahari, api, laki-laki, simbol hidup dan sesuatu yang
panas. Prinsip Yin Yang memadukan lembut dan keras dalam kesatuan yang utuh, juga
memadukan keselarasan alam. Sehingga segala sesuatu dalam kenyataan kita merupakan
sintesis harmonis dari derajat “Yin” dan derajat “Yang” tertentu. Dalam hal ini Yin-Yang
merupakan sebuah sistematika intrinsik yang bersifat fundamental.

Secara historis, konsep pemikiran ini ditemukan oleh Fu Xi (伏 羲) (2800-2737 SM),


yang dikritik oleh Raja Wen (Zhou Wen Wang 周 文 王 ) sebagai pendiri dinasti Zhou,
kemudian disempurnakan oleh salah satu putranya yaitu Zhou Gong Dan (周 公 旦). Bagi
mereka konsep pemikiran Fu Xi yang mendasari langit sebagai sebuah entitas mutlak tidaklah
sempurna tanpa melihat keterlibatan manusia dalam konfigurasi sistemik dari sistem tersebut.
Ilmu Yin-Yang pada awalnya adalah konsep menara gading yang tidak semua golongan
(termasuk bangsawan) yang dapat mengerti. Kelemahan ini di tangkal oleh 孔 子 (Nabi
Khong Hu Cu) bersama murid-muridnya yang mendirikan lembaga pendidikan formal
sebagai media untuk membuka akses konsep Yin-Yang kepada masyarakat luas. Pada
perkembangannya, ilmu ini berkembang menjadi ilmu Yi Jing (易 经), zi wei dhou su (紫 微
头), Feng Shui (风 水), Ba Zi dan lain sebaginya.

Ilmu kosmik yang menghayati bahwasanya ada sebuah kosmik energi di alam semesta
yang bekerja secara sistem. Ilmu kosmik dalam perkembangannya melakukan diferensiasi
energi Yin-Yang menjadi Negatif dan Positif. Penghayatan yang dibaur dengan pandangan
Taoism menjadikan prinsip Yin dan Yang sebagai suatu prinsip kehidupan bagi rakyat di
negeri China. Prinsip yang dipakai untuk menjelaskan segala sesuatu berhubungan dengan
kehidupan termasuk menjelaskan sifat penyakit dan penyembuhannya. Dengan demikian
konsep pemikiran Yin-Yang hidup dalam seluruh lapisan dan segmen-segmen penghidupan
masyarakat yang dualistik. Dingin dan panas, siang dan malam, musim dingin dan panas,
utara dan selatan, api dan air, perempuan dan laki-laki, genap dan ganjil, feminin dan
maskulin, hitam dan putih, dataran dan langit, bumi dan matahari, bundar dan persegi.

Salah satu hal yang tidak dapat ditemukan dalam Yin-Yang adalah Absolutisme
mutlak. Keduanya memiliki sisi di mana saling beririsan dan menciptakan energi baru. Selalu
ada setitik Hitam dalam kelompok mayoritas putih, demikian sebaliknya selalu ada titik putih
dalam kelompok mayoritas hitam.

Gambar 1: Simbol Yin-Yang


Hal ini dapat di interpretasikan dengan menolak absolutisme dan selalu bergerak mencari
keseimbangan baru. Sebagai contoh, seorang laki-laki yang tumbuh berkembang dengan sifat
maskulin (Yang) yang dominan pasti memiliki sifat Yin di dalam dirinya. Demikian
sebaliknya Namun bila ia laki-laki tidak memiliki sedikitpun sifat Yin maka ia tidak memiliki
daya imbang yang kemudian akan sangat merugikannya. Sebaliknya, Yin dan Yang tidak
boleh pula mencapai titik imbang (equilibrium), karena sesuatu yang terlalu seimbang tidak
mendatangkan perubahan baik kemajuan maupun kemunduran. Secara sederhana, konsep ini
akan selalu bersifat dinamis dan terus mengalami perubahan yang terus mencari
perkembangan baru dalam dirinya sendiri.

THE UNITY OF OPPOSITES/ Yin Yang Dui Li Tong Yi (阴 阳 对 立 统)


Terdapat beberapa sifat yang melekat dalam konsep Yin-Yang. Nilai-nilai ini
termasuk dan hidup dalam setiap segi penghidupan masyarakat. Konsep-konsep tersebut
diantaranya; 1)Apabila tidak ada penderitaan, maka tidak akan ada kebahagiaan, 2)Apabila
tidak ada kiri maka tidak akan ada kanan, 3)Apabila tidak ada atas maka tidak akan ada
bawah. Ini adalah ajaran saling keterikatan/ saling berkaitan (inter-being). Ini ada karena itu
ada, kiri ada karena ada kanan. Apabila seseorang berasa disisi kiri, jangan berharap sisi
kanan menghilang sepenuhnya. Karena bila sisi kanan hilang sepenuhnya, maka seseorang
tersebut juga akan hilang. Ini adalah ajaran "saling keterkaitan/ inter being". Semua pasangan
yang berlawanan adalah sama (The Unity of opposites/ yin yang dui li tong yi (阴 阳 对 立
统), kesatuan di dalam perbedaan). Ju You (俱 有), Kita semua bersama-sama yang berarti
seseorang tidak bisa sendiri- sendiri. Semuanya akan terkait dan membentuk sebuah simpul
yang saling terkait.

Filsafat tersebut juga tertuang dalam beberapa pengertian dan tatanan konsep
sederhana yang sangat dekat dan diterjemahkan secara sederhana:

 Semua orang didunia ini mengetahui bahwa keindahan itu indah


karena keberadaan keburukan. ( 美 之 美 丑 陋 的存 在 / mei zhi
mei, chou lou de cun zai)
 Kebaikan itu baik karena keberadaan kejahatan. ( 善 之 善, 为 有
恶 存/ shan zhi shan wei you e cun)
 Ada dan tidak ada saling mengubah.( 有 和 无 互 相 转 化 / you
he wu hu xiang zhuan hua)
 Sulit dan mudah membentuk satu sama lain.( 难 和 易 互 相 形 吃
3 成 / nan he yi hu xiang xing cheng)
 Panjang dan pendek saling bermanifestasi ( 长 和 短 互 相 显 现
/ chang he duan hu xiang xian xian)
 Tinggi dan rendah saling memperkaya.( 高和 下 互 相 充 实 / gao
he xia hu xiang chong shi)
 Orang Suci memperlakukan dunia dengan sudut pandang tidak
berbuat ( 无 为 / wu wei) dan menggunakan cara mengajar tanpa
kata-kata (用 不 言 之 教 / yong bu yan zhi jiao)
 Karena tidak menuntut hasil kerja, maka tidak ada yang dikatakan
kehilangan (无 所 谓 失 去).
 Oleh karena iyu, ada dan tidak adanya muncul dari pertentangan satu
sama lain (有 和 无 由 互 相 对 而 生 / you he wu you hu xiang
dui er sheng).

Beberapa konsep kehidupan ini, kemudian dinamakan Zhong Guo Zhe Xue (中 國 哲
学 ) yang bisa menjadi kontrol sosial bagi masyarakat Tiongkok. Dalam perkembangannya,
terdapat ilmu yang berdasarkan Yin Yang berkembang menjadi ilmu seperti prediksi masa
depan, ramalan cuaca, penanggalan kelahiran, penyakit, dan lain-lain. Konsep ini juga
diformulasikan melalui lima zat dasar yaitu, air, kayu, api, tanah, logam. Lima unsur ini saling
menghidupi dan saling mengendalikan satu sama lain (xiang sheng xiang ke). Kelima unsur
ini akan selalu mencari penyeimbang secara mandiri apabila terdapat sebuah kecenderungan
dari salah satu unsur zat saja untuk mendominasi satu sama lain.

Kertanegara dan Kehidupan Sosial-Politik Singasari

Raja Kertanegara adalah salah satu Raja terbesar di Jawa. Dia memerintah kerajaan
Singasari untuk menggantikan ayahnya, Sri Jaya Wisnuwardhana pada 1254 Masehi.
Kerajaan Singasari sendiri merupakan daerah di bawah kerajaan Kediri yang kemudian
menjadi kerajaan Tumapel. Pada awalnya, Tunggul Ametunglah yang memerintah di kerajaan
itu hingga sang pengawal, Ken Arok yang membunuhnya karena permasalahan asmara.
Barulah di masa pemerintahan Ken Arok, kerajaan ini diganti nama menjadi kerajaan
Singasari. Kemunculan kerajaan Singasari sendiri juga menjadi pertanda meningkatnya posisi
kota Malang sebagai sebuah pusat pemerintahan di timur Jawa.

Ken Arok sendiri secara genealogis dituliskan dalam Serat Pararaton dan Kakawin
Kertagama. Dia dituliskan sebagai salah seorang pemuda desa biasa yang memiliki derajat
tinggi karena merupakan benih langsung dari Dewa Brahma. Nama Ken sendiri juga
merupakan partikel untuk orang berpangkat dan orang mulia. Pembunuhan Tunggul Ametung
sendiri menjadi dasar tidak stabilnya politik kerajaan Singosari. Selain musuh dari luar
kerajaan, permasalahan politik juga datang dari dendam politik dari anak Tunggul Ametung,
dan siklus tersebut terus berlanjut hingga kelahiran Raja Kertanegara yang menghentikan
siklus tersebut.

Ayah dari Kertanegara, Sri Jaya Wisnuwhardana, dimakamkan di Candi Jago pada
1268 Masehi. Pada masa pemerintahan Kertanagara, Singasari mencapai puncak
kesejahteraannya. Ia memiliki gagasan cakrawala mandala ke luar Jawa. Dan meliputi
seluruh dwipantara. Kertanegara juga merupakan salah satu penganut Budha Tantrayana.
Kebijakan kerajaan Singasari memang sangat ekspansif, hal tersebut dibuktikan dengan
prasasti pada arca amoghapasa pada 1286 Masehi. Pada prasasti tersebut membuktikan bahwa
Kerajaan Singasari lebih tinggi dari pada kerajaan Melayu, hal tersebut dibuktikan dengan
gelar Maharajadhiraja, sedangkan Mauliwarmadewa hanya memakai gelar Maharaja.

Hubungan antara Kertanegara dengan negara Cina pun terbilang cukup buruk.
Mengingat pada masa pemerintahannya, Kubhlai Kahn menginginkan raja Jawa untuk
berangkat ke Cina untuk bersumpah setia kepadanya. Hal tersebut di respon oleh Kertanegara
dengan menguatkan seluruh Jawa dan bekerja sama dengan menjalin hubungan politik dengan
kerajaan Campa. Kertanegara juga memiliki kepercayaan yang juga dipercayai oleh penguasa
dinasti Yuan. Dia menganut kepercayaan Budha Tantrayana dari aliran kalachakra.
Kepercayaan yang berkembang di Nepal dan Tibet ini juga sangat diminati oleh raja-raja
Mongol. Aliran ini kemudian bercampur dengan Syiwa Bhairawa. Kepercayaan ini banyak
dianut oleh masyarakat Singasari, sejak masa pemerintahan Wisnuwardhana hingga masa
pemerintahan Kertanegara.

Sejak masa pemerintahan Ken Arok kehidupan sosial, keamanan, ketersediaan pangan
dan kebutuhan dasar primer masyarakat. Dengan demikian, untuk menanamkan ideologi yang
“sekunder” seperti religiusitas bukanlah hal yang sukar. Pengajaran Buddha Tantrayana
berkembang mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Kertanegara. Pada akhirnya masa
pemerintahan Kertanegara berakhir karena ekspansi Kekaisaran Khubilai Khan dan serangan
kerajaan kediri pada saat Raja Kertanagara sedang melakukan ritual pemujaan. Dengan
meninggalnya Raja Kertenagara berakhirlah kekuasaan kerajaan Singasari. Abu raja
Kertanegara di dharmakan di candi Singasari sebagai Bhairawa dan di Candi Jawi sebagai
Syiwa Buddha. Pemerintahan Kertanegara menggambarkan sebuah keseimbangan dan
stabilitas yang tercipta jika Kertanegara, sebagai seorang Raja menghormati tiga entitas utama
yaitu ke-Tuhan-an, Manusia (Rakyat), dan Alam. Sesungguhnya hal tersebut yang menjadi
nilai yang diangkat dalam keseimbangan Yin-Yang. Bisa dikatakan, bahwa Kertanagara
hampir melampaui pendahulunya, Raja Airlangga, dalam menciptakan sebuah relasi yang
seimbang, Yin-Yang dengan nilai Indonesia.

Candi Jawa dalam Gambaran Realisme Sosial Masyarakat.

Candi secara sederhana disebutkan sebagai sebuah kompleks bangunan Suci yang
digunakan sebagai tempat pertapaan dan untuk melakukan ritual-ritual keagamaan serta
sebagai bentuk penghormatan kepada dewa-dewa. Di Jawa Timur, Pembangunan Candi juga
menandakan stabilitas politik dan sosial masyarakat. Genealogi pembangunan candi ini
sebenarnya sudah tertanam sejak masa pemerintahan kerajaan Kahuripan pada masa Raja
Airlangga. Inisiasi Airlangga terhadap penghargaan kepada tempat-tempat suci berlangsung
sampai keturunannya, keturunan Airlangga ini yang kemudian banyak memerintahkan
pembangunan sebagian besar candi di Jawa Timur.

Candi di Jawa Timur sendiri memiliki ciri yang sangat berbeda dengan candi di Jawa
Tengah. Mulai dari ukuran kompleks candi, bagaimana candi di Jawa Tengah banyak yang
memiliki infrastruktur yang lebih megah dan besar, sedangkan di Jawa Timur lebih artistik
dengan konfigurasi yang lebih bervariasi. Tubuh bangunan candi di Jawa Timur umumnya
ramping dengan atap bertingkat mengecil ke atas dan puncak atap berbentuk kubus. Relief
pada candi di Jawa timur pada umumnya menceritakan tentang ucapan syukur dan
persembahan akan keindahan alam, lingkungan, dan bagaimana hubungan sang Raja dengan
dewa-dewa. Candi di Jawa Timur juga banyak menyertakan arca-arca seperti Ganesha,
trimurti, Syiwa, Durga, Ganesha. Sosok dan gambarannya berkaitan dengan Buddha
Tantrayana dan masih memiliki irisan dengan Agama Hindu yang lebih bervariatif.

Pembangunan Candi di Jawa Timur, dalam wacana arkeologi Indonesia, bersifat lebih
personal dari sang pembangun Candi kepada sang dewa. Entah itu sebagai persembahan atau
pun bentuk pengabdian sang raja kepada masyarakat. Sebagai contoh Candi Singosari sebagai
bentuk persembahan dari Kertanegara sekaligus peristirahatan terakhirnya, demikian juga
Candi Jago, dan Candi Jawi. Oleh karena itulah apabila Candi di Jawa Tengah yang bersifat
Monumental hanya sebagai bentuk legitimasi politik sang raja, ketimbang bentuk-bentuk atau
pesan dari candi tersebut. Kebanyakan candi di Jawa Timur tersebar di ruang-ruang privat,
pedesaan, tempat-tempat pertapaan tersembunyi. Hal tersebut menggambarkan betapa Raja-
raja Jawa Timur memiliki fondasi teguh terhadap bangunan kepercayaan mereka terhadap
sistem dunia. Raja-raja di Jawa Timur yang memegang teguh religiusitas mendistribusikan
kepercayaannya kepada masyarakat, banyak melakukan pembangunan bersama, sehingga dari
candi tersebut memberikan kesan yang berkenan baik di mata Para dewa, masyarakat dari
berbagai strata, dan Persembahan mereka terhadap alam dan dunia di mana mereka tinggal.

Sebagai contoh, Candi Jago untuk Raja Wisnuwardhana, Candi Singosari dan Candi
Jawi untuk Raja Kertanegara, Candi Kidal untuk Anusapati, Candi Ngetos untuk Hayam
wuruk, dan lain sebagainya. Candi di Jawa Timur berjumlah mencapai puluhan, kebanyakan
berkaitan dengan masa kekuasaan Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Singasari. Masih banyak
candi yang tidak terliput, diantaranya; Candi Bacem, Bara, Bayi, Besuki, Carik, Dadi,
Domasan, Gambar, Songgoriti, Sumberjati, Lawang, Watugede, dan lain-lain.

Bhinneka Tunggal Ika dan Filsafat Metafisik Tiongkok Yin-Yang

Bhinneka Tunggal ika berasal dari bahasa Sanskerta, “Bhinneka”, “Tunggal”, dan
“Ika” yang secara etimologis berarti “berbeda-beda itu, dalam satu itu”. Dalam arti yang lebih
luas yaitu, beraneka ragam etnik, budaya dan agama, namun ada dalam satu kesatuan bangsa
Indonesia. kesatuan itu merupakan sebuah hasil kesepakatan untuk mengatasi
keanekaragaman yang ada, sehingga dapat mengatasi timbulnya konflik.

Semboyan Bhineka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oleh Mpu Tantular dalam
kitabnya, "Kakawin Sutasoma" kutipan frasa Bhineka Tunggal Ika terdapat pada pupuh 139
bait 5, berikut bunyi petikan pupuh tersebut: "Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wisma
Bhineki rakwa ring apan kena parwanosen. Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhineka tunggal Ika tan hana dharma mangrwa". Kalimat tersebut memiliki arti, “konon
Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda. Mereka memang berbeda tetapi
bagaimanakah bisa dikenali ? Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal.
Terpecah belahlah itu, tetapi satu juga lah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.”

Melihat latar belakang sejarah Mpu Tantular sekitar abad 14, sedangkan apabila kita
melacak sejarah lebih lama lagi, maka dapat dikatakan bahwa Mpu Tantular bukan narasi
autentik milik Mpu Tantular maupun ajaran spesifik dari kitab Sutasoma , melainkan
kesadaran kolektif masyarakat jawa pada waktu itu. Mpu Tantular sebenarnya hanya
mempresentasikan kesadaran masyarakat dalam sastra kakawin. Hal-hal yang berkaitan
dengan keberagaman sejatinya sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat jauh sebelum
Kerajaan Majapahit berdiri.

Gagasan yang berhubungan dengan Bhineka Tunggal Ika dapat dilacak sejak awal
periode Mataram kuno atau pada awal abad 10 saat berpindah dari wilayah Jawa Tengah ke
Jawa Timur. Sejak kerajaan Mataram kuno menguasai Jawa, agama Hindu dan Buddha
menjadi agama mayoritas masyarakat. Meskipun persaingan antara wangsa Syailendra dan
Sanjaya makin lama makin runcing, perang agama tidak pernah dicatat dan tidak ada bukti
yang ditemukan. Syailendra penganut agama Buddha dan Sanjaya penganut Siwa. Bahkan
saat bangsa Syailendra mulai memudar, tak menjadikan raja-raja dari wangsa Sanjaya
memaksa masyarakat untuk menyembah Siwa. Mereka tetap menghormati bangunan Buddha
dari Syailendra.

Hal ini dapat dibuktikan adanya Candi Borobudur yang tetap berdiri berdampingan
dengan candi Prambanan. Setelah bergeser ke Jawa Timur di abad ke 13 , pada waktu
kerajaan Singasari muncullah banyak bangunan candi yang bernuansa Buddha -Siwa dalam
satu candi (perpaduan simbol Siwa dan Buddha) yang mempresentasikan doktrin Bhineka
Tunggal ika. seperti Candi Singasari, Candi Jago, Candi Jawi dan banyak lagi yang lainnya.
Hal ini jelas menunjukkan betapa rukun dan guyubnya masyarakat pada waktu itu.

Jika kita melihat mampu melihat sebuah pola yang tersirat secara implisit dari
Bhinneka Tunggal Ika (filsafat dasar negara Bangsa Indonesia) dan Yin-Yang Ilmu
Metafisika Cina terdapat sebuah kesamaan pola. Sekalipun memiliki latar belakang
penghidupan yang sangat berbeda, namun bangsa Indonesia dan Filsafat Tiongkok memiliki
relasi yang sangat erat. Bagaimana ilmu Yi Jing (yang merupakan perkembangan filsafat Yin-
Yang) mengedepankan tentang keseimbangan sebuah sistem yang terus berubah. Alur dari
tatanan kosmos dari ajaran Yin-Yang bergerak mengikuti pola dari gerak dinamis Alam
Semesta. Ajarannya berdasar dari sebuah pemenuhan peran dan bagaimana manusia yang
merupakan salah satu partikel dari sebuah tatanan tersebut. Hanya saja Manusia yang
terkadang keluar dari perannya, yang kemudian menciptakan sebuah distabilitas sistem.
Untuk itulah pemenuhan kembali peran dan posisi manusia menjadi urgensi mutlak.

Dalam filosofi Jawa, bagaimana mereka terus mengembangkan relasi mereka dengan
entitas di luar kekuatan diri mereka sendiri juga sama seperti ilmu metafisika Cina.
Pemenuhan peran dalam sebuah tatanan sistem global menjadi fokus utama. Persembahan
kepada alam, pembangunan candi sebagai bentuk penghormatan, pembangunan sima sebagai
bentuk hadiah dari Raja kepada masyarakat atas kesetiaan masyarakat, dan lain-lain. Ruh
itulah yang kemudian melengkapi sebuah sistem kosmos dan termanifestasikan dalam sebuah
kedamaian, ketenangan, kesuburan, dan hal-hal lain yang menjadi dampak terhadap
pemenuhan peran dalam sistem universal.

Anda mungkin juga menyukai