Anda di halaman 1dari 3

1.

PENDAHULUAN
Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai kepadatan penduduk
tinggi, serta diwarnai oleh strata sosial ekonomi yang heterogen dan coraknya yang
materialistis. Kota juga dapat dedefinisikan sebagai bentang budaya yang ditimbulkan oleh
unsur-unsur alami dan nonalami, dengan sejumlah gejala berupa pemusatan penduduk yang
cukup besar, dengan corak kehidupan yang bersifat lebih heterogen dan materialistis
dibandingkan dengan daerah belakangnya. Prof. Bintarto (1983)
Pulau Bali sebagai salah satu pulau di Indonesia, menjadi tempat berkembangnya kota-
kota tradisional menjadi kota-kota modern dengan pelbagai faktor yang mempengaruhinya.
Kota-kota modern di Bali pada masa sekarang, merupakan kota-kota peninggalan Kerajaan
Hindu yang telah berkembang sejak masa Bali Pertengahan (sekitar abad XVII). Menurut
Runa (2008), tata spasial kota-kota peninggalan tersebut pada umumnya mengadaptasi
konsep catuspatha dari Keraton Majapahit. Catuspatha pada awalnya diterapkan di Kota
Kerajaan Samprangan dan dalam perkembangannya diterapkan pula di kota-kota kerajaan
lainnya di Bali (Geertz, 1980).
Catuspatha atau pempatan agung dipahami sebagai simpang empat sakral beserta
pelbagai fungsi ruang yang terdapat di sekitarnya. Fungsi-fungsi ruang tersebut, diantaranya:
(1) puri sebagai kediaman raja dan pusat pemerintahan; (2) taman budaya atau wantilan
sebagai tempat kegiatan sosial dan budaya, (3) peken atau pasar tradisional sebagai tempat
kegiatan ekonomi; dan (4) ruang terbuka hijau (Budihardjo, 1986; Putra, 2005). Pada masa
sekarang, beberapa fungsi ruang tersebut telah mengalami pelbagai dinamika, namun
keberadaan catuspatha masih tetap bertahan sebagai penanda pusat kota dan pusat kegiatan
masyarakat.
Secara geografis Kabupaten Karangasem berada pada posisi 8 00’00’ - 841’37,8”
Lintang Selatan dan 11535’9,8”-11554’8,9” Bujur Timur. Luas Kabupaten Karangasem
adalah 839,54 Km² atau 14,90 % dari luas Propinsi Bali (5.632,86 Km²). Keadaan topografi
wilayah Kabupaten Karangasem beraneka ragam dan merupakan wilayah yang dinamis
terdiri dari : daerah dataran, perbukitan hingga daerah pegunungan. Selain itu wilayah
Kabupaten Karangasem juga memiliki bentangan pantai sepanjang 87 km. Secara
Administrasi Kabupaten Karangasem terdiri dari 8 Kecamatan, 3 Kelurahan, 75 desa, 581
Banjar Dinas/Lingkungan, 190 Desa Adat dan 605 Banjar Adat.

Kota Karangasem merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Hindu di Bali yang masih
mempertahankan keberadaan catuspatha dan tata spasial kota yang spesifik. Secara historis,
tata spasial Kota Karangasem telah terbentuk sejak berdirinya Kerajaan Karangasem. Tata
spasial kota tersebut masih dapat diamati hingga sekarang dan tetap dimanfaatkan sebagai
wadah kegiatan masyarakat.

2. ISI
2.1 Sejarah
Mula-mula Ibu Kota Karangasem masih berpusat dengan nama Karangasem. Amlapura
resmi menjadi Ibu Kota Karangasem berdasarkan Kepmendagri No. 284 tahun 1970 tanggal
28 Nopember 1970 yang diresmikan oleh Bupati Karangasem, waktu itu Anak Agung Gede
Karang pada 17 Agustus 1970. Amlapura menyimpan sejarah dan kenangan dalam
perkembangannya. Sebagai Ibu Kota Kabupaten Karangasem, Amlapura lahir dari riwayat
yang kental dengan akar budaya dan sejarah perjalanan daerah ujung timur Bali sendiri.
Nama Amlapura lahir dari inspirasi salah seorang tokoh Puri di Karangasem yakni Puri
Kelodan yang ada di wilayah Batu Aya yaitu I Dewa Karang Amlapura yang waktu itu
menjadi penguasa. Di Karangasem sendiri waktu itu banyak terdapat pohon asam, yang
artinya juga Amlapura, Amlapura sendiri terjemahannya juga berarti Karangasem. Kota
Amlapura dulu bernama Amlanegantun merupakan pusat pemerintahan Raja Karangasem
dan Puri Agung Karangasem dulunya merupakan pusat pemerintahan Raja Karangasem.
Arsitektur Puri Agung Karangasem adalah kombinasi antara tiga gaya. Arsitektur Bali dapat
ditemukan pada pahatan patung-patung Hindu dan relief pada dinding puri. Pengaruh Eropa
terlihat pada gaya gedung utama dengan beranda yang besar, sementara arsitektur Cina
tampak pada gaya jendela, pintu, dan ornamen yang lain.
Puri Agung Karangasem terdiri atas tiga bagian, yakni Bencingah, Jaba Tengah, dan
maskerdam. Bencingah merupakan bagian depan dari Puri, dimana kesenian tradisional
sering dipentaskan. Jaba Tengah yang menjadi kebun puri dengan kolam. Di tengah kolam
terdapat sebuah bangunan yang disebut “Balai Gili” atau gedung mengambang. Bagian ketiga
adalah Maskerdam, yang diberikan setelah nama kota Amsterdam, sebuah kota di Belanda.
Bangunan ini dibangun pada awal Raja Karangasem memulai hubungan dengan Pemerintah
Belanda.
Selain membangun puri sebagai pusat kerajaan, Raja Karangasem terakhir, Anak Agung
Agung Anglurah Ketut Karangasem (1808-1941), sekitar tahun 1922 juga membangun
Taman Air Tirta Gangga sekitar 5 Km kearah utara dari Pusat Kerajaan. Tirtagangga
terlentang pada daerah 1,2 hektar yang terdiri atas tiga kompleks. Kompleks pertama yakni
pada bagian paling bawah dapat ditemukan dua kolam teratati dan air mancur. Kompleks
kedua adalah bagian tengah dimana dapat ditemukan kolam renang; sementara, pada bagian
ketiga, yakni kompleks ketiga, kita dapat menemukan tempat peristirahatan raja. Raja
Karangasem sendiri dulu memanfaatkan tempat ini sebagai olah kanuragannya dan tempat
menyepi mencari inspirasi. Raja Karangasem Sang Aristek Otodiak ini juga melihat, fungsi
mata air yang diolah menjadi taman air bisa menjaga kelestarian alam.
Pada tahun 1919 Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasemmembangun Taman
Soekasada Ujung dengan melibatkan arsitek Belanda yang bernama van Den Hentz dan
seorang arsitek Cina bernama Loto Ang, dan diresmikan penggunaannya pada tahun 1921.
Taman ini digunakan sebagai tempat peristirahatan raja dan juga diperuntukkan sebagai
tempat menjamu tamu-tamu penting seperti raja-raja atau kepala pemerintahan asing yang
berkunjung ke Istana kerajaan Karangasem. Di taman ini terdapat tiga buah kolam besar dan
luas, di tengah kolam paling utara terdapat bangunan utama yang dihubungkan oleh dua buah
jembatan. Di sebelah kolam terdapat taman dan pot bunga serta patung-patung. Bentuk
bangunan sangat megah dan khas karena perpaduan antara arsitektur Eropah dan Bali.
Di sebelah Barat kolam di tempat yang agak tinggi terdapat sebuah bangunan yang
berbentuk bundar disebut "Bale Bengong" tempat untuk menikmati keindahan taman dan
sekitarnya. Untuk mencapai puncak perbukitan sebelah Barat Taman dibuat undak-undakan
yang tinggi dan lebar. Di sebelah Utara taman di atas bukit terdapat patung Warak yang besar
di bawahnya patung banteng dan dari mulut kedua patung ini air memancur keluar menuju
kolam. Dari puncak bukit kita dapat menyaksikan pemandangan alam yang betul-betul indah
dan mengagumkan. Jauh di sebelah Timur Laut terlihat bukit Bisbis yang hutannya subur
menghijau, di arah Selatan terlihat laut luas membentang dan di sekitar Taman terlihat petak-
petak sawah menghijau perpaduan alam pegunungan dan alam laut.
Berdasarkan hasil-hasil penyelidikan arkeologis-historis dapat diketahui bahwa taman ini
adalah sebuah contoh hasil akulturasi budaya yang serasi antara arsitektur tradisional lokal
(Bali) dengan arsitektur Eropa dan Cina. Arsitektur Bali terlihat jelas pada motif dekorasinya
berupa cerita-cerita wayang serta motif patra lainnya, arsitektur Belanda terlihat pada bentuk
bangunannya yang memiliki gaya indis, dan arsitektur Cina terlihat pada pembuatan gapura
masuk, kolam segidelapan, dan Bale Bundar (bale bengong).
Ragam arsitektur bertebaran di Taman Gili. "Campursari" itu terlihat jelas pada bgn
pilar- pilar Pilar itu sangat khas Portugis," Pengaruh Eropa lainnya terlihat pada kubah bentuk
setengah lingkaran yang memperlihatkan konsep dome meski dalam skala kecil. Kubah ini
berbentuk delapan sudut. "Padahal atap bangunan di Bali biasanya terlihat berbentuk empat
sudut Selain pengaruh Eropa, sentuhan oriental Cina bisa dilihat pada bentuk jembatan dan
puncak angkul-angkul sepanjang jembatan. Bentuknya yang meruncing di ujung dan mirip
mahkota diadaptasi dari model struktur bangunan di Cina. Sedangkan atap yang dibangun
lebih mirip masjid. "Bisa jadi saat itu beliau memang terpengaruh Timur Tengah,"

2.2 Perkembangan Kota Karangasem


Kota Karangasem merupakan ibukota dan pusat pemerintahan Kerajaan Karangasem
yang berdiri sekitar abad XVII. Menurut Parimartha (2013), pada abad XVIII, Kerajaan
Karangasem telah berkembang menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar di Pulau Bali.
Kerajaan Karangasem memiliki wilayah kekuasaan yang luas, mencakup sebagian wilayah
Bali bagian timur dan utara, hingga wilayah Lombok, Nusa Tenggara Barat. Hal ini yang
menyebabkan Kerajaan Karangasem menjadi salah satu Kerajaan Hindu yang disegani di
wilayah Bali dan Lombok pada masa tersebut.

3. PENUTUP
4. DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai