Anda di halaman 1dari 7

TUGAS MATA KULIAH

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR


“LANDMARK DAERAH”

Ananing Setyo
Oseanografi A
26020215130077

Dosen Pengampu :
Drs. Heryoso Setiyono, Msi
19651010 199103 1 005

DEPARTEMEN OSEANOGRAFI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2018
Tugu Bundaran Taman Sari

Banyaknya warga Eropa yang tinggal di Salatiga di awal abad ke-20 membuat
pemerintah kolonial Belanda menerapkan pola pembangunan kota ala Eropa di Salatiga. Atas
kondisi tersebut, tak mengherankan jika pemerintah gemeente mengadopsi pembangunan kota
mengikuti pola yang berkembang di Eropa. Untuk penataan jalan misalnya, pola radial
konsentris dengan ciri pertemuan beberapa ruas jalan utama pada satu titik menjadi pilihan kala
itu.

Tak jarang di titik pertemuan tersebut dibangun taman berbentuk bundar dan dilengkapi
dengan air mancur yang indah. Di Salatiga, titik tersebut berada di lokasi yang saat ini disebut
sebagai Bundaran Tamansari dengan Tugu Jam di tengah-tengahnya. Di masa lalu, titik ini
merupakan pertemuan tiga ruas jalan utama yaitu Toentangscheweg (sekarang Jl Diponegoro)
yang menuju Semarang, Bringinscheweg (Jl Patimura) menuju arah Bringin, Soloscheweg (Jl
Jenderal Sudirman) yang menuju ke arah Solo. Agar genap empat ruas jalan, dibangunlah jalan
baru menuju daerah Kalitaman yang diberi nama Wihelminalaan.

Dengan melihat tata kota Salatiga tampaknya kota tersebut dibangun mengikuti konsep
garden city. Definisi garden city adalah sebuah kota pedusunan yang dirancang untuk
memperoleh kehidupan yang lebih sehat dan mengatur lokasi industry, perdagangan, dan
permukiman dalam suatu ukuran luas yang memungkinkan timbulnya kehidupan sosial yang
akrab. Kota yang menggunakan konsep garden city dikelilingi oleh lahan pertanian yang
keseluruhan tanahnya merupakan hak milik pribadi

Hingga saat ini, tugu yang menjadi tetenger di tengah-tengah Bundaran Taman Sari
yang merupakan titik nol kilometer Salatiga telah mengalami beberapa kali perubahan bentuk.
Dari semula yang hanya berupa tiang lampu hias yang sekaligus berfungsi sebagai penerang
pada malam hari, hingga bentuk saat ini. Pembangunannya bermula saat warga Salatiga
merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia untuk pertama kalinya pada
17 Agustus 1950.

Keputusan tersebut merupakan hasil dari rapat raksasa di alun-alun Kepatihan atau yang
kini disebut Lapangan Pancasila oleh warga. Karena dibuat dalam rangka peringatan lima tahun
kemerdekaan Republik Indoseia maka kemudian dinamakan "Tugu Peringatan Lima Tahun
Merdeka". Peresmian dilakukan pada Hari Pahlawan pada 10 November 1950.
Namun sayang, tak berumur lama. Pada 1966 pemerintah daerah merasa perlu
melakukan renovasi terhadap bangunan tugu karena kondisinya memprihatinkan. Tugu
pengganti yang dilengkapi empat lampu penerang di atasnya itu pun hanya berumur 15 tahun.

Pada 1981, Pemkot kembali membangun tugu baru yang saat ini kita saksikan bersama.
Peresmian tersebut dilakukan oleh Wali Kota Salatiga Djoko Santoso pada 21 April 1983.
Dengan empat jam di tiap sisinya menelan biaya sekitar Rp 1,1 juta. Karena tergolong baru
belum dapat digolongkan ke dalam benda cagar budaya. (Dian Chandra-91).

Perubahan Bundaran Salatiga

1950 1966

1981 1983
2018
Prasasti Plumpungan

Prasasti Plumpungan (Prasasti Hampran) adalah prasasti yang tertulis dalam batu besar
berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter. Prasasti
yang berangka tahun 750 Masehi ini ditemukan di Desa Beringin (4 km dari kota Salatiga),
dengan koordinat Lintang : 7°18’25.32″ Lintang Selatan dan koordinat Bujur : 110°30’46.02″
Bujur Timur, Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, Kota
Salatiga. Prasasti ini dipercaya sebagai cikal bakalnya Kota Salatiga, bahkan berdasarkan
prasasti inilah hari jadi Kota Salatiga ditetapkan. Prasasti Plumpungan ditulis dalam Bahasa
Jawa Kuno dan Bahasa Sansekerta yang tertatah dalam petak persegi empat bergaris ganda
yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya.

Berdasarkan isi naskah batu tersebut, Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi, yang
pada saat itu merupakan wilayah Perdikan (wilayah merdeka, atau bebas pajak). J. G. de
Casparis (sejarawan dan ahli epigrafi) mengalihkan tulisan yang terdapat di atas prasasti
Plumpungan secara lengkap, dan kemudian tulisan tersebut disempurnakan oleh R. Ng.
Poerbatjaraka. Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum tetang status tanah perdikan atau
swatantra bagi suatu daerah yang dahulu dinamakan Hampra, yang berada di wilayah
Trigramyama (sekarang : Salatiga). Tidak setiap daerah kekuasaan bisa dijadikan daerah
Perdikan pada masa itu, maka pemberian status ini adalah hak yang istimewa yang diberi oleh
seorang raja kepada rakyat yang telah berjasa kepada raja dalam melakukan pemeliharaan
tempat ibadah serta perkembangan agama Hindu.

Penetapan yang ditulis di prasasti Plumpungan dapat diartikan sebagai titik tolak
berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah Perdikan. Perdikan adalah suatu daerah
dalam kerajaan tertentu yang dibebaskan dari segala kewajiban pembayaran pajak atau upeti
karena memiliki kekhususan tertentu. Status perdikan tersebut diberikan kepada desa atau
daerah yang berjasa kepada seorang raja. Para sejarawan memperkirakan bahwa masyarakat
Hampra telah berjasa kepada Raja Bhanu, yaitu seorang raja besar yang sangat memperhatikan
rakyatnya, dan yang memiliki daerah kekuasaan meliputi sekitar Trigramyama (Salatiga),
Kabupaten Semarang, Ambarawa, dan Kabupaten Boyolali. Berdasarkan prasasti-prasasti
lainnya, yang berkaitan dengan Dinasti Syailendra, raja Bhanu (752- 775 M) adalah raja
keturunan Sanjaya, yang mendirikan Dinasti Syailendra, yang berpaham Buddha. Raja Bhanu
alias Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (mutiara Wangsa Syailendra) ini digantikan oleh
Wisnu (775- 782 M). Pada masa raja Wisnu ini, Candi Borobudur mulai dibangun, tepatnya
pada tahun 778 Masehi.

Prasasti Plumpungan diperkirakan dibuat pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750
Masehi. Oleh karena itu pada tanggal inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota Salatiga
(Ditetapkan oleh Peraturan Daerah Tingkat II Salatiga Nomor: 15 Tahun 1995; Tentang Hari
Jadi Kota Salatiga). Naskah dalam prasasti tersebut ditulis oleh seorang Citraleka (sekarang
dapat disebut penulis,penggarap naskah atau pujangga) yang dibantu oleh sejumlah pendeta
(resi) dan ditulis dalam Bahasa Jawa Kuno. Dimulai dengan kalimat : “Srir Astu Swasti
Prajabyah” yang berarti “Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian”.

Isi Prasasti Plumpungan (Bahasa Jawa Kuna) :


1. Srir = astu swasti prajabyah sakakalatita 672/4/31
2. Jnaddyaham
3. dharmmartham ksetradanam yad = udayajananam yo dadatisabhaktya
4. hampragramam triaramyamahitam = anumatam siddhadewyasca tasyah
5. kosamragrawalekhaksarawidhiwi dhitam prantasimawidhanam
6. tasyaitad = bhanunamno bhuwi bhatu yaso jiwitamcatwa nityam

Terjemahan :
1. Semoga bahagia ! Selamatlah rakyat sekalian ! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24
Juli 760 M) pada hari Jumat
2. Tengah hari
3. Dari beliau, demi agama untuk kebaktian kepada yang Mahatinggi, telah
menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada
mereka
4. Yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan
dari Siddhdewi (Sang Dewi yang Sempurna atau mendiang) berupa daerah bebas pajak
(perdikan)
5. Ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung
mempelam dari beliau yang bernama Bhanu. (dan mereka) dengan bangunan suci atau
candi ini.
6. Selalu menemukan hidup abadi.

Prasasti Plumpungan juga dijadikan motif batik khas Salatiga yang sering dijadikan
oleh-oleh. Karena terinspirasi dari Prasasti Plumpungan, Batik Plumpungan pada setiap
motifnya memiliki ciri-ciri bergambar dua bulatan yang satu berukuran besar dan yang satunya
berukuran kecil, berbentuk agak melonjong dalam satu kesatuan. Bentuk ini apabila dilihat dari
sudut pandang atas menyerupai Prasasti Plumpungan 750 Masehi. Dari pakem motif tersebut,
berdasarkan kreativitas dan imajinasi pendesain batiknya akan muncul berbagai ragam motif
batik yang sangat kaya namun tetap unik.

Lokasi Prasasti Plumpungan Prasasti Plumpungan

Pakem Pola Batik Plumpungan yang menyerupai Prasasti Plumpungan

Contoh Motif Batik Plumpungan

Anda mungkin juga menyukai