Anda di halaman 1dari 5

Sejarah Terbentuknya Kota Salatiga

Jerry Ramadani (2105166023)

Dosen Pengampu :
Muhammad Azmi, M.Pd
Bapak Rizal Izmi Kusumawijaya, M.Pd

Program Studi Pendidikan Sejarah

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman

Pada essai ini akan membahas tentang latar tentang terbentuknya Kota Salatiga dan
sejarah penamaan Kota Salatiga

Berikut adalah pembahasan Sejarah Terbentuknya Kota Salatiga :

Dalam sejarahnya, Keberadaan kota di dunia telah muncul ketika awal peradaban
manusia. Dibuktikan dengan artefak yang ditemukan di Mesopotamia. Peradaban ini lebih
dahulu dibanding dengan Peradaban di Mesir. Dengan ditemukan reruntuhan kuil-kuil, irigasi
yang tersistematis memperlihatkan konsep perkotaan awal. Di Indonesia pada masa Hindu-
Budha eksistensi kota kerajaan tertulis dengan gambaran megah didalam naskah-naskah yang
tertinggal, seperti eksistensi Trowulan kota bekas Kerajaan Majapahit atau Kawali kota bekas
Kerajaan Sunda Galuh. Kota pada dasarnya merupakan sebuah wadah dari berbagai aspek
kehidupan yang sangat kompleks. Namun kota besar lama-kelamaan serupa dengan karakter
metropolis, akhirnya Batasan perbedaan antara metropolis dengan kota adalah arti
internasional dan supranasional (Basundoro, 2014). Menurut Wiryomartono, berdirinya kota-
kota di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari proses terbentuknya permukiman-permukiman
awal diberbagai tempat. Sebagian besar kota-kota di Indonesia tercipta karena faktor dari
luar (ekstren), khususnya ketika era atau masa kolonialisme dan imperialisme. Seperti,
Salatiga yang menjadi salah satu kota kolonial dikarenakan ciri khas dari kota kolonial adalah
konsentrasi kekuatan sosial, ekonomi dan politik berada di tangan pemerintah kolonial. Hal
ini dapat dilihat dari tinggalan bangunan kolonial yang berbaris dan tertata rapi di beberapa
daerah pusat kota Salatiga (Wardani, 2016:29). Kota Salatiga mengalami perjalanan sejarah
yang panjang. Pada masa kolonial Kota Salatiga ditetapkan sebagai kota modern. Penetapan
Kota Salatiga sebagai kota menjadikan kota ini mempunyai bangunan-bangunan pendukung.
Salah satu bangunan pendukung kota yang sangat dominan adalah rumah tinggal.

A. Sejarah Terbentuknya Kota Salatiga

Kota Salatiga menjadi salah satu kota tertua di Indonesia. Dilansir dari Salatiga.go.id,
kota ituberdiri pada tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi sehingga pada saat ini telah berusia
1273 tahun. Berdasarkan prasasti Plumpungan yang berada di Desa Kauman Kidul,
Kecamatan Sidorejo itu, pada awalnya Salatiga adalah sebuah tanah perdikan bernama
Hampra. Pada saat itu, pemberian tanah perdikan itu dilakukan oleh seorang raja, sehingga
rakyat yang menetap di sana dibebaskan dari membayar pajak atau upeti karena daerah itu
dianggap berjasa pada seorang raja. Berdasarkan pengamatan oleh ahli sejarah, tanah
perdikan atas wilayah Hampra diberikan oleh Raja Bhanu, seorang raja besar yang daerah
kekuasaannya meliputi Salatiga, Kabupaten Semarang, Ambarawa, dan Boyolali.
Berdasarkan pada Perda No. 15 tahun 1995, penetapan tanah perdikan oleh Raja Bhanu itulah
yang menjadi dasar tanggal lahir Kota Salatiga. Dari beberapa bangunan rumah tinggal yang
ada di KotaSalatiga, terdapat satu yang cukup unik. Bangunan ini terletak di Jl. Diponegoro
27 Salatiga dan difungsikan untuk Law Office dan Legal Consultant Abdi Keadilan.
Dibangun pada pertengahan abad XIX bangunan ini memiliki beranda dan kuncungan. Pada
masa kolonial bangunan ini difungsikan sebagai rumah dinas kepala asrama Belanda non
Eropa, yaitu pasukan Belanda berasal dari Indonesia non Jawa. Jika diamati lebih dalam,
bangunan ini berbentuk simetris dengan penampil di bagian depan. Atap bangunan berbentuk
tumpang dan menggunakan lucarn. Saat ini bangunan ini masih asli dan terawat. Bangunan
dapat menggambarkan variasi gaya rumah di Kota Salatiga pada masa kolonial rumah ini
perlu tetap ada untuk melengkapi cerita sejarah Kota Salatiga. Pada zaman Belanda,
pemerintah pada saat itu menyebut Salatiga sebagai kota terindah di Jawa Tengah. Maka, tak
heran bila di sana banyak dijumpai rumah peninggalan Belanda dan juga tempat wisata alam
seperti Kopeng. Seiring dengan dibangunnya Jalan Tol Trans Jawa, Gerbang Tol Salatiga
memiliki panorama yang indah untuk dikunjungi. Dengan latar belakang Gunung Merbabu
yang menjulang tinggi, banyak orang yang menyamakan pemandangan di gerbang tol itu
dengan pemandangan di Swiss. Saling menghargai antarumat beragama menjadi kekuatan
Salatiga sebagai salah satu kota toleran se-Indonesia. Perbedaan keyakinan tak menghalangi
mereka untuk saling membantu untuk merayakan hari besar keagamaan. Predikat yang
diberikan oleh Setara Institute for Democracy and Peace sebagai salah satu Kota Tertoleran
kedua setelah Kota Singkawang telah terimplementasikan secara nyata dalam kehidupan
beragama masyarakat Kota Salatiga. Dengan komposisi pemeluk agama yang variatif,
Salatiga terus berupaya memberi ruang yang sama bagi seluruh masyarakat untuk beribadah,
berekspresi, mengaktualisasikan diri, dan lain sebagainya. Di kota ini tak dapat terhitung
berapa banyak jumlah rumah ibadah yang berdiri dan berdampingan. Sebagai contoh nyata,
masjid dan gereja yang dibangun bersebelahan di seputaran Lapangan Pancasila di tengah
kota Salatiga, kelompok paduan suara kampus Muhammadiyah yang bernyanyi di acara Natal
salah satu gereja GPDI, hingga pemuda dan pemudi Buddha yang membantu pengamanan
ketika umat muslim sedang melaksanakan Salat Idul Fitri maupun sebaliknya.

B. Bagaimana asal usul penamaan kota Salatiga ?

Seorang peneliti bernama Poerbatjaraka menyebutkan bahwa Salatiga berasal dari


nama Siddhadewi. Siddhadewi sebagaimana yang tertulis dalam prasasti Plumpungan, adalah
orang terhormat dan berwibawa karena telah mengizinkan pembebasan Desa Hampra dari
kewajiban membayar pajak kepada Raja Bhanu. Siddhadewi menurut Poerbatjaraka adalah
nama lain dari Dewi Trisala yang merupakan ibu kandung Mahavira, pendiri Jaina, yaitu
salah satu sekte dalam agama Buddha. Dari Dewi Trisala inilah nama Salatiga berasal. Mula-
mula Trisala, kemudian menjadi Salatiga. ‘Asal-usul nama Salatiga yang lain dapat ditelusuri
melalui cerita legenda mengenai perjalanan spiritual Ki Ageng Pandan Arang dari Semarang
menuju Bukit Jabalkat di daerah Bayat (Klaten)’ (Abel Jatayu, 2017: 10). Terdapat empat
versi cerita mengenai asal-usul Salatiga sebagaimana yang dikisahkan oleh D.A Rinkes,
penggubah Babad Demak edisi R.L Mellema, penggubah Babad Nagri Semarang, dan dari S.
Mundisuro. Secara garis besar alur keempat cerita tersebut hampir serupa, meskipun
memiliki detail cerita yang berbeda. Selain kisah legenda itu, nada yang serupa juga
dikemukakan oleh Donald Maclaine Campbell dalam bukunya Java: Past & Present yang
terbit tahun 1915. ‘Ia mengungkapkan bahwa Salatiga berasal dari kata bahasa Melayu,
"sallah" (tindakan kriminal) dan "tiga" (tiga), yang berarti tiga kesalahan’ (Abel Jatayu, 2017:
3). Keberadaan tiga batu besar itu dihubungkan dengan nama yang terdapat di sungai kecil di
luar desa Tadjoeh, lereng Gunung Merbabu. Di batubatu yang bertiti mangsa 1360 dan 1363
itulah menurut Campbell, kutukan seorang imam besar berlangsung. Situs-situs masa Hindu-
Buddha juga menjad bukti akademik sejarah Salatiga masa lalu di samping prasasti dan cerita
legenda. Petirtaan "Senjaya" misalnya, serta arca dan bebatuan candi di daerah Pancuran,
Turusan, dan Pulutan. Berdasarkan tutur cerita yang berkembang di masyarakat, wilayah
Salatiga berawal dari dua buah desa, yakni Salatiga dan Kalicacing. Daerah ini adalah
permukiman awal yang memiliki tanah pertanian basah dialiri oleh sungai- sungai kecil yang
bersumber dari sebuah ledokan (danau Vecil) di daerah yang sekarang disebut Kampung
Pancuran. Selain itu, ada juga kisah rakyat tentang kisah Ki Ageng Pandanaran, Bupati
Semarang pada masa Kesultanan Demak yang ikut Sunan Kalijaga pergi mengembara. Dalam
perjalanan itu, Sunan Kalijaga meminta Ki Ageng Pandanaran meninggalkan seluruh harta
benda miliknya. Walaupun Ki Ageng Pandanaran mampu menepati janjinya, namun istrinya
melanggar. Dia memasukkan emas dan berlian ke dalam tongkat. Di tengah perjalanan,
mereka bertemu sekawanan perampok. Sunan Kalijaga menyuruh perampok itu untuk
mengambil harta yang dibawa oleh istri bupati. Akhirnya perampok itu membawa tongkat
yang berisi emas dan berlian. Setelah peristiwa itu, Sunan Kalijaga berkata kepada Ki
Pandanaran dan istrinya, ”Aku akan menamakan tempat ini Salatiga karena kalian telah
membuat tiga kesalahan. Pertama, kalian sangat kikir. Kedua, kalian sombong. Ketiga, kalian
menyengsarakan rakyat. Semoga tempat ini menjadi tempat yang baik dan ramai nantinya.”
Daftar Pustaka

Basundoro. P. (2014). Pengantar Sejarah Kota. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Wardani. T. (2016). Mengabarkan Gerakan: Surat Kabar Anti Kolonialisme 1920-1926


Ciamis: Kentja Press.

Dewi, R. (2022). Kota kolonial Hindia Belanda 1800-1942: ditinjau dari permasalahan
sejarah perkotaan. Jurnal Artefak, 9(1), 47-60.

Sidik, F. F. (2020). Mengkaji Ulang Salatiga Sebagai Kota Toleransi: Masa Kolonial Hingga
Pasca-Kemerdekaan. Al-Qalam, 25(3), 457-466.

Jatayu, Abel. 2017. Diskriminasi Rasial di Kota Kolonial Salatiga 1917-1942. (Semarang:
Sinar Hidoep)

Campbell, D. M. (1915). Java: Past & Present, a Description of the Most Beautiful Country
in the World, its Ancient History, People, Antiquities, and Products (Vol. 2). W. Heinemann.

Bagau, M. Y. P., & Chernovita, H. P. (2021). Perancangan Sistem Informasi Geografis


Pariwisata Dan Rute Angkutan Umum Berbasis Web Pada Dinas Kebudayaan Dan
Pariwisata Kota Salatiga. Sebatik, 25(2), 632-638.

Lestariningsih, S., Nirawati, M. A., & Hardiana, A. (2020). KONSEP PENYAJIAN DAN
PENATAAN KOLEKSI PADA MUSEUM SEJARAH KOTA SALATIGA. Senthong, 3(1).

Anwar, M. K. (2019). Rekonstruksi Kota Kolonial Salatiga Dan Kontribusi Teknologi


Geographical Information System. SASDAYA: Gadjah Mada Journal of Humanities, 3(2),
141-150.

Palupi, F. N., & Husna, J. (2019). Kontribusi Penulis Lokal Dalam Pelestarian Local Content
di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Salatiga. Jurnal Ilmu Perpustakaan, 8(3), 118-127.

https://books.google.co.id/books?id=xpAMAQAAMAAJ&hl=id&source=gbs_navlinks_s

Anda mungkin juga menyukai