Anda di halaman 1dari 3

Sunan Kalijaga

“Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sekti tanpa aji-aji, sugih tanpa
bandha“. Sebuah nasehat jawa ini merupakan bagian dari dasa pitutur atau sepuluh
nasehat yang isinya sangat filosofis dari seorang penyebar agama Islam. Pencipta nasehat
ini terkenal di banyak kalangan orang-orang jawa seperti kejawen, dukun, maupun
orang-orang tua. Beliau hidup seratus tahunan dan berdakwah di banyak tempat sehingga
ajarannya banyak tersebar di penjuru Jawa. Beliau adalah Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga atau Raden Mas Sahid adalah putra dari pasangan Tumenggung
Wilatikta, seorang bupati Tuban, bersama Dewi Nawangrum, putri Ki Ageng Tarub,
menurut versi cerita dari Babad Cirebon. Berdasarkan versi Jawa, Sunan Kalijaga lahir
dari pasangan adipati Tuban, Jawa Timur dengan ibunya Dewi Retno Dumilah. Sunan
Kalijaga lahir sekitar tahun 1430-an jika dihitung dari pernikahannya dengan Dewi
Hafsah, putri Sunan Ampel.
Ada tiga versi dari mana Sunan Kalijaga berasal. Ada yang berpendapat bahwa
Sunan Kalijaga berasal dari China yang bersumber dari catatan di Klenteng Sam Po
Kong di Semarang. Dalam catatan itu diceritakan ada seorang bernama Oei Tik To. Dia
mempunyai anak yang kelak menjadi bupati Tuban bernama Wilatikta. Kemudian Bupati
Tuban itu mempunyai anak bernama Oei Sam Ik yang dikenal dengan nama Said.
Catatan ini juga menginformasikan bahwa banyak raja-raja Jawa pada zaman Demak
atau para wali yang berasal dari keturunan China. Pendapat kedua menyatakan bahwa
Sunan Kalijaga berasal dari Arab. Pendapat ini berdasarkan buku De Hadramaut et ies
Colonies Arabes dans l’Archipel Indien karya C.L.N. van Den Berg. Pendapat ini
menyatakan bahwa Sunan Kalijaga meruapakan keturunan dari Abbas Bin Abdul
Muthallib, paman Nabi Muhammad saw. Pendapat ketiga menyatakan bahwa Sunan
Kalijaga berasal dari keturunan Jawa sendiri. Beliau merupakan keturunan dari
Ronggolawe atau Arya Adikara, Adipati Tuban pertama di masa pemerintahan Raden
Wijaya. Ronggolawe berputra Arya Teja I, berputra Arya Teja II, berputra Arya Teja III.
Arya Teja III ini mempunyai putra Tumenggung Wilatikta yang kelak menjadi ayah dari
Raden Mas Sahid.
Pada masa remaja, Raden Sahid hidup tak seperti bangsawan pada umumnya.
Beliau mempunyai persona yang sederhana, humble, peduli terhadap rakyat biasa, dan
mudah berbaur dengan berbagai golongan. Pada masa itu banyak para pejabat yang
melakukan tindak korupsi dan pemerintahan memberlakukan pajak yang tinggi pada
rakyat. Raden Sahid yang tak terima dengan keadaan itu kemudian menjadi perampok
yang harta rampokannya diserahkan kepada orang-orang membutuhkan. Oleh sebab itu
Raden Sahid terkenal dengan julukan Brandal Lokajaya.
Tumenggung Wilatikta yang mengetahui kelakuan putranya itu akhirnya
meghukum dan mengusir Raden Sahid dari kerajaan karena dianggap melanggar hukum
yang berlaku. Raden Sahid diusir kemudian berkelana sendirian. Hingga suatu saat
Raden Sahid bertemu dengan Sunan Bonang. Dari situlah akhirnya Raden Sahid berguru.
Selain pada Sunan Bonang, Raden Sahid juga belajar kepada tokoh-tokoh walisongo lain,
seperti Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, sampai berguru ke negeri Pasai, Semenanjung
Malaya, dan Pattani, Thailand. Sekembalinya dari belajar Raden Sahid diangkat menjadi
wali disaksikan oleh Sunan Giri dan melakukan kegiatan dakwah menyebarkan agama
Islam. Dakwah Raden Sahid dimulai di Cirebon, tepatnya di desa Kalijaga, untuk
mengislamkan penduduk Indramayu dan Pamanukan. Karena basis dakwahnya di Desa
Kalijaga, Raden Sahid dikenal dengan julukan Sunan Kalijaga.
Dakwah Sunan Kalijaga dilakukan dengan perlahan, agar mereka yang sudah
mengakar dalam agama mereka yang lama tidak langsung anti dengan Sunan Kalijaga
sehingga dakwahnya menjadi kontraproduktif. Dalam dakwahnya Sunan Kalijaga
terkadang menggabungkan unsur-unsur ajaran Islam ke budaya setempat dan
menghilangkan unsur-unsur kemusyrikan agar sesuai dengan syariat Islam. Tak jarang
Sunan Kalijaga memasukkan nilai-nilai keislaman ke dalam budaya tersebut. Hal ini
dapat kita lihat dalam sebuah budaya tradisional seperti sekaten dan grebeg maulid.
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai dalang yang kreatif. Beliau menciptakan
bentuk wayang baru yang pipih agar sesuai dengan syariat Islam. Sunan Kalijaga bahkan
menciptakan karakter-karakter baru dan cerita filosofis yang diadaptasi dari cerita kuno
dalam pertunjukkannya. Karakter-karakter baru itu adalah Semar, Gareng, Petruk, dan
Bagong. Cerita yang banyak digemari adalah lakon Dewa Ruci, Layang Kalimasada, dan
lakon Petruk dadi Ratu.
Selain menjadi dalang, Sunan Kalijaga dikenal menciptakan berbagai syair. Salah
satu yang terkenal adalah Lir-Ilir. Syair mempunyai makna yang mengajarkan tentang
kebangkitan. Syair ini memberitahu bahwa perjuangan itu tetap harus dilakukan
meskipun banyak halangan yang menghadang. Walaiupun dalam perjalanan banyak
ditemui rintangan untuk mengamalkan ajaran rukun Islam (diisyaratkan dengan buah
blimbing yang berbilah lima) tapi kita harus sekuat tenaga untuk terus menjalankannya.
Syair lain yang menjadi peninggalannya adalah syair yang dikirim kepada Sunan
Tembayat (Bupati Semarang) agar senantiasa mengingat kematian. Syair ini digubah
apik oleh Sunan Kalijaga agar kita jangan melupakan asal muasal kita. Beliau
memberikan perumpamaan seperti air hujan yang turun mengalir kemudian kembali ke
asalnya. Begitu pula jiwa yang akan kekal abadi di akhirat.
Berbagai dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga mengungkapkan dua
prinsip yang dipegang oleh beliau. Prinsip yang pertama adalah Tut wuri handayani yang
bermakna mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat masyarakat tetapi
diusahakan dapa dirubah sedikit demi sedikit. Yang kedua adalah Tut wuri hangiseni
yang bermakna mengikuti dai belakang sambil menngisi dengan makna-makna dan
ajaran agama Islam.
Sunan Kalijaga sempat lama menjadi penasihat kerajaan Demak Bintoro. Beliau
juga meruapakan tokoh yang banyak berpartisipasi dalam pembangunan masjid Agung
Dmeak. Tidak ada catatan pasti tentang meninggalnya Sunan Kalijaga. Namun
diperkirakan beliau meninggal tahun 1580 M. Makamnya terletak di Desa Kadilangu, 3
km dari Masjid Agung Demak.
.

Sumber:
Ishartadi, Arif. 2023. Walisongo dan Sejarahnya. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia
Sunyoto, Agus. 2017. Atlas Walisongo. Bandung: Mizan Media Utama
Tirto.id. (2021, 13 April). Sejarah Hidup Sunan Kalijaga: Dakwah Wali Songo Mantan
Bromocorah. Diakses pada 1 Agustus 2023, dari https://amp-tirto-
id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/sejarah-hidup-sunan-kalijaga-dakwah-wali-
songo-mantan-bromocorah-gb1r?
amp_gsa=1&amp_js_v=a9&usqp=mq331AQIUAKwASCAAgM
%3D#amp_tf=Dari%20%251%24s&aoh=16909173122067&referrer=https%3A
%2F%2Fwww.google.com&ampshare=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fsejarah-
hidup-sunan-kalijaga-dakwah-wali-songo-mantan-bromocorah-gb1r

Aditya Dwi Nur Jamil, Blora

Anda mungkin juga menyukai