Anda di halaman 1dari 4

ZIARAH QUBRO, TRADISI LOKAL WARISAN BUDAYA TAK BENDA PALEMBANG YANG MENDUNIA

Oleh : HG Sutan Adil

Sebagai Kota Pusaka dan Kota Tertua di Indonesia, Kota Palembang menjadi saksi bisu adanya
peradaban dari berbagai penjuru dunia yang juga bisa dibilang sebagai sebuah Kota Kosmopolitan
karena ditandai dengan hadirnya masyarakat kosmopolitan global yang berasal dari berbagai latar
belakang budaya, bangsa, tingkat ekonomi, serta gaya hidup dan juga menjadi Pusat Perdagangan dari
para pedagang-pedagang Arab, Melayu, India, Tiongkok, Persia dan Eropa.

Nilai-nilai relegius pada kehidupan masyarakat kosmopolitan tersebut akhirnya meniggalkan budaya
lokal yang kental yang salah satunya menjadi hal kearifan lokal saat ini. Wujud dari kearifan lokal
tersebut adalah pada sistem religi yang khas dan hanya ada di Kota Palembang, yaitu adanya tradisi
Ziarah Qubro.

Tradisi Ziarah Qubro ini dilakukan oleh masyarakat Palembang yang dilakukan menjelang bulan
Ramadhan atau lebih tepatnya pada 10 hari terakhir bulan Sya’ban atau 10 hari menjelang bulan
Ramadhan. Ziarah Qubro ialah ziarah kubur ataupun kunjungan ke makam, masjid dan tokoh-tokoh
agama, dan yang terutama adalah ke makam para Wali Penyebar Agama Islam di Wilayah Palembang.

Ziarah Qubro mulai dikenal luas ketika Islam berkembang pesat di Palembang pada sekitar abad ke-16
yang ditandai dengan meningkatnya peran warga keturunan Arab menjadi penasihat ataupun guru
spiritual pimpinan kerajaan, dan tradisi ini terjaga sampai saat ini.

Puncaknya terjadi pada awal abad ke-19, Palembang menjadi pusat komunitas Arab di Pulau Sumatra,
seperti layaknya Aceh. Kondisi ini dapat terjadi karena kebijakan Sultan Mahmud Badaruddin Pangeran
Ratu Raden Hassan, sebagai Sultan Palembang Darussalam, yang memberikan ruang bagi komunitas
warga keturunan Arab untuk menetap di wilayah Palembang dan menjalin hubungan yang harmonis
dengan masyarakat lokal.

Sejak saat itu tradisi Ziarah Qubro mulai menjadi ritual bersama warga keturunan Arab dan warga
Palembang lainnya. Artinya telah terjadi akulturasi budaya Arab dan Palembang saat ini. Tradisi Ziarah
Kubro ini dimaknai sebagai upaya untuk introspeksi diri dan mengingatkan para peserta ziarah akan
besarnya peran ulama dan para pemimpin Kesultanan Palembang Darussalam dalam menyebarkan
Agama Islam hingga pada masanya Palembang dapat menyaingi atau bahkan menyalip Aceh sebagai
pusat pembelajaran Agama Islam.

Pada acara Ziarah Qubro ini, tidak hanya menarik peziarah dari Kota Palembang dan sekitarnya saja,
para peziarah dari Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan daerah lain di Indonesia juga ikut
memeriahkan. Bahkan para tokoh ulama dan tamu dari mancanegara juga ikut meramaikannya, seperti
dari; Malaysia, Singapura, Thailand, Brunai Darussalam, Kuwait, Qatar, Yaman, serta Arab Saudi.

Tradisi Ziarah Qubro ini sudah masuk dalam kalender Pemerintah Kota Palembang dan sekarang sudah
masuk menjadi agenda rutin dari Kementrian Pariwisata Indonesia. Tahun ini Pemko Palembang dan
Panitia sudah membuat agenda pelaksanaan mulai dari tanggal 10, 11 dan 12 Maret 2023, sebagaimana
yang didapat dari berbagai sumber.
Ziarah Qubro di hari pertama diawali di Masjid Darul Muttaqien Palembang, dilanjutkan dengan ziarah
ke makam Alhabib Aqil Bin Yahya dan Gubah Alhabib Ahmad Bin Syech Bin Shahab. Kemudian
dilanjutkan dengan Rauhah dan Haul Ad-Da’i Ilallah Alhabib Ahmad Bin Abdullah Al Habsyi di Pondok
Pesantren AR Riyadh di Jalan KH Azhari 13 Ulu Palembang. Acara hari pertama diakhiri dengan ziarah ke
pemakaman Auliya dan Habaib di Telaga Swidak 14 Ulu Palembang.

Di hari kedua, dimulai di pagi hari dengan pembacaan Qosidah Burdah di rumah Alhabib Ahmad Bin
Hasan Al Habsy tepatnya di Lorong BBC 12 Ulu Palembang. Kemudian dilanjutkan dengan Ziarah
pemakaman As–Segaf dan Haul Alhabib Abdurrahman Bin Alwi As- Segaf di Kampung sejarah Al –
Munawwar 13 Ulu Palembang.

Puncak Ziarah Qubro dimulai pagi hari yang dimulai pada Haul Alhabib Abdullah bin Idrus Shahab dan
Alhabib Abdurrahman Al Hamid di Perkampungan Sejarah Sungai Bayas – Kuto Batu 8 Ilir Palembang.
Selanjutnya dilakukan kunjungan ke Pemakaman Kambang Koci terletak di Jl Perintis Kemerdekaan,
Kelurahan 3 Ilir, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, dan diakhiri di Kompleks Pemakaman Kawah
Tengkurep di Kelurahan 3 Ilir Kecamatan Ilir Timur II Kota Palembang.

Dalam Puncak Acara Ziarah Qubroh ini, turut hadir Gubernur Sumsel H. Herman Deru bersama Asisten I
bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (Kesra) Sekretariat Daerah (Setda) Drs H Edward Candra
dan Beberapa Pejabat Penting Kota Palembang lainnya, di kawasan Pemakaman Kesultanan Kawah
Tengkurep, dan diterima langsung oleh Kesultanan Palembang Darussalam Sultan Iskandar Mahmud
Badaruddin Sultan Palembang Darussalam.

Dalam acara Ziarah Qubro ini, Masyarakat kota Palembang lainnya juga lanjut menelusuri berbagai
pemakaman yang ada di Kota Palembang. Disamping untuk mendoakan leluhur, juga untuk melakukan
pembersihan dan merapikan area pemakaman yang ada. Selain itu tujuan melakukan Ziarah Qubro ini
adalah untuk menyongsong bulan suci Ramadhan ke 1444 H tahun 2023.

Ziarah Qubro yang merupakan tradisi lokal unik yang hanya ada di Palembang dalam menyambut
Ramadhan ini sudah berlangsung berabad-abad yang lalu, dan jelas sekali tradisi lokal ini sudah
termasuk dalam Warisan Budaya tak benda yang harus dijaga dan terus di syiarkan yang juga dalam
upaya untuk lebih menyemarakkan Pariwisata di Palembang.

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 14 Maret 2023


Lokasi tempat Ibukota Kerajaan Palembang sebagai pusat pemerintahannya ini dibangun di kawasan
sekitar Kelurahan Sungai buah dan Kelurahan 1 Ilir, Kota Palembang, di tempat yang sekarang
merupakan kompleks pabrik pupuk terbesar di Indonesia yaitu PT Pupuk Sriwijaya (Pusri).

Berdasarkan catatan sejarah, Inti dari Kota Palembang di masa Kerajaan Palembang itu berbentuk
persegi empat panjang yang dibentengi dan dikelilingi oleh dinding dinding kayu tebal dari kayu Unglen
dan Kayu Besi yang rata-rata tebalnya 30x30 cm di setiap batangnya. Kota berpagar benteng itu
mempunyai ukuran 290 Rijnlandsche roede (1.093 meter), baik panjang maupun lebarnya. Tinggi
dinding yang mengitarinya 24 kaki (7,25 meter).

Dihilirnya, ibukota ini dilindungi semacam benteng dari tonggak-tonggak kayu atau cerucup yang
ditanam dan membentang di sempanjang depan bentenng keraton dan juga dari Pulau Kemaro dan
Plaju di seberangnya. Pulau Kemaro adalah sebuah pulau kecil yang terdapat di Sungai Musi, disamping
terdapat beberapa pulau kecil lainnya di hilirnya ke arah muara sungai di selat Bangka.

Ibukota yang berbenteng ini, sebagaimana dilukiskan berupa sketsa oleh Joan van der Laen, seorang
panglima perang VOC yang menyerang Palembang di tahun 1659 M, menghadap ke selatan (Sungai
Musi) dengan pintu masuknya melalui Sungai Rengas. Disebelah timurnya berbatasan dengan Sungai Tali
Gawe, dan di sebelah baratnya dibatasi oleh Sungai Buah. Ketiga sungai ini terlihat terus lurus ke Utara
dan satu sama lainnya tidak berhubungan.

Diseberang (Sebelah Hulu) bagian Selatan Keraton Kuto Gawang ini atau sebelah barat muara Sungai
Komering, dikhususkan untuk pemukiman bagi orang orang asing dan juga Loji-loji dagang mereka.
Dibagian Barat terlihat pemukiman dirakit dan darat dari warga asing tersebut seperti dari bangsa Arab,
Cina, Inggris, Belanda, Portugis, dan Asing lainnya.

Dibelakang benteng kayu ini yang disusun secara rapih sekali dan teratur, terdapat pula tembok dari
tanah dimana tersusun meriam-meriam pertahanannya. Dibagian pinggir sungai musi terdapat pula tiga
Buluarti atau anjungan (bastion). Satu diantaranya yang terletak dibagian tengah adalah dibikin dari
batu. Ketiga buluarti ini dilengkapi pula dengan alat-alat persenjataannya seperti meriam besar, meriam
kecil atau lelo, dan lain sebagainya. Pintu utama masuk ke dalam kota ini adalah dari sungai rengas, dan
begitulah terdapat pula pintu-pintu lainnya dari samping kiri kanan dan belakang.
Keraton Kuto Gawang yang merupakan sebuah kota yang dikelilingi pagar kota yang kokoh digambarkan
tidak berdiri sendiri. Kota ini mempunyai pertahanan yang berlapis dengan kubu-kubu yang ada di Pulau
Kemaro, Plaju, Baguskuning (Sungai Gerong) di samping cerucuk yang memagari dipasang memotong
Sungai Musi antara Pulau Kemaro dan Plaju.

Jaringan sungai dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk sistem pertahanan kota. Di mana perlu telah
dibuat juga parit keliling untuk pertahanan kota atau keraton. Kekuatan Kuto Gawang ditopang oleh
suatu sistem perbentengan dan kubu yang ada di bagian hilir Musi, yaitu benteng Tambak Bayo di muara
Sungai Komering dan Benteng Martapura disebelah baratnya serta Benteng Manguntama dan
Bamangagan di Pulau Kemaro, yang letaknya dekat dengan Keraton Kuto Gawang sebagai pelindung.
Dengan sistem pertahanan ini membuat Ibukota dan Keraton Kuto Gawang menjadi terlindungi dari
serangan musuh dan pedagang pedagang yang akan berbuat curang.

Pada tahun 1659 M, dengan kekuatan armada yang luar biasa saat itu, VOC dapat menaklukkan dan
membumi-hanguskan Ibu kota dan Keraton Kuto Gawang ini dibawah komando Joan Van Der Laen.
Sebelum melakukan serangan, Van der Laen terlebih dahulu membuat gambar sketsa tentang peta Ibu
Kota Palembang, sehingga dari catatan inilah sejarah Keraton Kuto Gawang juga dapat terungkap dan
menjadi pedoman penulisan sejarah Ibu Kota dan Keraton Kuto Gawang Kerajaan Palembang sampai
sekarang.

(Sumber : Buku “Perang Benteng, Perang Maritim Terbesar Abad 17 dan 19 di Palembang)

*) Penulis adalah Pemerhati dan Peneliti Sejarah dari Sutanadil Institute

Bogor, 15/1/2023

Anda mungkin juga menyukai