Anda di halaman 1dari 25

KAWASAN KOTA

PALEMBANG
NAMA :ARYA JORDANTA GINTING
NIM :210406086
MATA KULIAH :LANSKAP BUDAYA DALAM ARSITEKTUR
DOSEN :DR. WAHYU UTAMI, S.T., M.T
DESKRIPSI SINGKAT KAWASAN
Palembang adalah ibu kota Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan kota terbesar dan
merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi di wilayah Sumatera Selatan. Kota Palembang
memiliki luas wilayah sebesar 400,61 km2 atau 40.061 Ha yang secara administrasi terbagi
atas 16 kecamatan dan 107 kelurahan.
Secara administrasi Kota Palembang berbatasan dengan:
• Sebelah Utara : Kabupaten Banyuasin
• Sebelah Timur : Kabupaten Banyuasin
• Sebelah Barat : Kabupaten Banyuasin
• Sebelah Selatan : Kabupaten Ogan Ilir dan Muara Enim.
Berdasarkan letak geografis Kota Palembang terletak antara 20’ sampai 30’ Lintang Selatan
dan 104’ sampai 104’ Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 8 mdpl. Kota Palembang ini
dilalui oleh jalur jalan lintas Pulau Sumatera yang menghubungkan antar daerah di Pulau
Sumatera sehingga Kota Palembang memiliki letak yang cukup strategis. Selain itu, di Kota
Palembang juga terdapat Sungai Musi yang berfungsi sebagai sarana transportasi dan
perdagangan antar wilayah dan merupakan Kota Air (Bapeda Kota Palembang).
Sejak zaman Sriwijaya yaitu sekitar abad ke-7, Kota Palembang telah dikenal sebagai pusat
pemerintahan, pusat kegiatan perdagangan, pusat pendidikan dan kebudayaan. Sesuai
dengan perkembangan zaman, saat ini peranan kota telah semakin berkembang yaitu
sebagai pusat pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan, industri, perdagangan dan
kebudayaan, kesehatan, rekreasi dan permukiman. Kota Palembang merupakan kota tertua
di Indonesia karena didirikan tahun 683 M (605 Tahun Saka) oleh Dapunta Hyang. Bukti-bukti
pendirian kota Palembang terdapat dalam Prasasti Kedukan Bukit yang bertuliskan huruf
pallawa dan berbahasa Melayu Kuno. Prasasti yang ditemukan akhir Desember 1920 di tepi
Sungai Kedukan Bukit Palembang ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk menetapkan
hari jadi kota Palembang yaitu tanggal 16 Juni 683 Masehi. Secara umum, terdapat
beberapa periode tahapan sejarah perkembangan Kota Palembang yaitu zaman Kerajaan
Sriwijaya, Kesultanan Palembang, zaman Kolonial Belanda, zaman Pergerakan Kemerdekaan,
zaman Penjajahan Jepang, zaman Pendudukan Sekutu atau Belanda, dan Palembang Awal
Masa Pembangunan
KONDISI BENTANG ALAM KAWASAN
DAN SEJARAH PEMBENTUKANNYA
Berdasarkan dari keadaan topografi Kota Palembang merupakan dataran rendah dengan ketinggian
rata-rata 4-12 mdpl, dengan komposisi: 48% tanah dataran yang tidak tergenang air, 15% tanah tergenang
secara musiman dan 35% tanah tergenang terus menerus sepanjang musim. Daerah yang paling tinggi di
Kota Palembang berada di Bukit Siguntang Kecamatan Ilir Barat I, dengan ketinggian sekitar 10 mdpl.
Sedangkan daerah yang paling terendah di Kota Palembang berada di daerah Sungai Lais, Kecamatan Ilir
Timur II. Kota Palembang terbagi menjadi dua daerah topografi, yaitu daerah mendatar sampai daerah
landai, yaitu dengan kemiringan berkisar antara ± 0-30 dan daerah dengan topografi bergelombang
dengan kemiringan berkisar antara ± 2-100 meter.
Daerah Seberang Ulu dan Seberang Ilir memiliki perbedaan karakter topografi yang cukup
signifikan. Wilayah Seberang Ulu memiliki topografi yang relatif datar dan sebagian besar dengan tanah
asli berada dibawah permukaan air pasang maksimum Sungai Musi (± 3,75 mdpl) kecuali lahan-lahan yang
telah dibangun dimana permukaan tanah telah mengalami penimbunan dan reklamasi. Di daerah
Seberang Ilir ditemui adanya ketinggian dari 4 m sampai 20 mdpl.
Untuk geografis Kota Palembang yang terletak di daerah ilir sungai Musi, yang dinamakan dengan
istilah Batanghari Sembilan dan menjadi induk dari semua aliran sungai dan menjadi pintu gerbang utama
orang yang masuk ke aliran Batanghari Sembilan. Kemajuan di dunia iliran mempunyai konsekuensi yang
identik dengan pencapaian modernisasi di Palembang itu sendiri. Bila dibaca dengan sebuah cermin
pemikiran realita diatas, akan memperlihatkan
Deskripsi yang jelas, karena secara geografis, Palembang memanglah mempunyai posisi dan juga
lokasi yang strategis dalam rute perdagangan ekonomi, baik dalam skala nasional ataupun skala
internasional. Pada umunya Palembang memiliki tanah alluvial, liat dan berpasir dengan lapisan muda
yang mendukung adanya minyak bumi, dan tanahnya kurang cocok untuk area pertanian. Tanah yang
relatif datar dengan sebagian besar didominsai oleh tanah yang banyak tergenan air, baik waktu turun
hujan maupun setelah turun hujan, terlebih lagi ketika pasang dan hujan datang.

Sungai Musi Lahan rawa


KONDISI BENTANG ALAM KAWASAN
DAN SEJARAH PEMBENTUKANNYA
Bentang alam sangat berpengaruh terhadap realitas sosial kehidupan masyarakat yang
mendiaminya. Nama “Palembang sendiri terbentuk atas dasar bentang alam itu sendiri.
Menurut catatan can Sevenhoen, asal usul kata Palembang tidak terlepas dari pembersihan
dengan air. Misal Limbang berarti membersihkan biji atau logam dari tanah atau benda luar
dan lemba berarti tanah yang dihanyutkan air ke tepi
Fenomena bentang alam Palembang dan sekitarnya tidak terlepas dari fenomena air
surut dan pasang serta musim hujan lebat disertai angin kencang dan petir. Keseimbangan
ekologis demikian menyebabkan “Palembang dianggap sehat”. Dengan kondisi geografis
tersebut, kesultanan Palembang memilih mengembangkan ibukota di sana secara bijaksana
dan penuh perhitungan. Sungai Ogan dan Komering dari hulu yang menyatu dengan sungai
Musi di hilir merupakan penghubung antara daerah pedalaman dan pesisir yang dapat dilalui
oleh kapal besar hingga ke pedalaman. Kondisi ini memudahkan kesultanan Palembang untuk
mengatur kota secara keseluruhan, dari pusat kota ke daerah pedalaman.
Sungai Musi di Palembang merupakan muara dari sembilan sungai besar atau “Batang Hari
Sembilan” yang mengalir di Sumatera Selatan, yaitu Klingi, Bliti, Lakitan, Rawas, Rupit,
Lematang, Leko, Ogan, dan Komering. Sungai-sungai berikut terbilang lebar, sehingga tidak
memungkinkan untuk membangun jembatan di atasnya pada zaman Belanda. Dengan
banyaknya sungai di kota Palembang, kota ini terlihat berpulau-pulau sehingga orang Belanda
menyebut Palembang sebagai de Stad der Twintig Eilanden atau “Kota Dua Puluh pulau”.
Dengan keberadaan pulau-pulau tersebut, penggunaan rakit menjadi dominan disana.
Oleh karena itu, orientasi kehidupan masyarakat ibu kota Palembang adalah riverine culture,
yaitu kehidupan masyarakat yang berkehidupan di tepian sungai, atau dalam bahasa ringkas
disebut budaya dayung. Realitas demikian ditegaskan dalam sejumlah catatan Tiongkok yang
menggambarkan kehidupan penduduk ibu kota Palembang, bahwa mereka tinggal di atas
perahu atau membuat rumah berupa rakit bambu di atas air, yang disebut “Rumah rakit”.
Pembangunan rumah dari kayu atau bambu tersebut bukan tanpa alasan. Selain karena
faktor alam, hal ini juga tidak terlepas dari perintah raja yang melarang pembangunan rumah
berbahan batu karena hanya bangunan keraton atau kerajaan yang berbahan batu. De Sturler
mendeskripsikan rumah-rumah penduduk kaya berbahan kayu tersebut sangat apik,
“Berpanel api, didekorasikan dengan dedaunan dan memiliki ukiran-ukiran yang indah, dan
diatas kapnya dilapisi dengan berbagai jenis genteng”. Rumah itu dibangun oleh pekerja-
pekerja terampil dengan amat rapi. Selain itu, rumah-rumah penduduk kebanyakan
menggunakan bahan dasar bambu yang dilengkapi tiang kayu dan ditutupi daun lontar.
SEJARAH TERBENTUKNYA
KAWASAN

ZAMAN
ZAMAN ZAMAN
KOLONIAL ZAMAN PASCA-
KERAJAAN KERAJAAN
HINDIA KEMERDEKAAN
SRIWIJAYA ISLAM
BELANDA

ZAMAN KERAJAAN SRIWIJAYA


Palembang di wilayah nusantara secara historis memiliki peran penting. Wilayah ini menunjukkan
esensi perkembangan sejarah dimana menjadi pusat berkembangnya salah satu peradaban besar dan
tua Nusantara. Sebelum berdirinya Kesultanan Palembang Darussalam, telah muncul pula kerajaan
Sriwijaya dan Kerajaan Suwarnabhumi yang memiliki pengaruh esensial sejarah regional Asia Tenggara.
Kedua kerajaan ini tidak hanya memiliki peran penting pada sejarah politik region Asia Tenggara,
tetapi juga dalam bidang perdagangan dan pelayaran yang juga melibatkan berbagai bangsa.
Palembang dengan perjalanan sejarahnya yang panjang diyakini sebagai tempat berdirinya sebuah
kerajaan besar yaitu Kedatuan Sriwijaya. Wilayah kekuasaannya membentang meliputi wilayah
Nusantara, Malaka, Siam, sampai ke negeri-negeri di wilayah laut Cina Selatan. Pada masa tersebut
Palembang adalah Bandar terkaya di Asia Tenggara. Hal ini beriringan dengan perdagangan Kedatuan
Sriwijaya yang makmur. Disamping menjadi pusat perdagangan timur jauh, pada masa ini pula
Palembang tampil sebagai pusat pengajaran agama Buddha. Pera pelajar dari Cina bahkan lebih
banyak singgah untuk mempelajari keagamaan Buddha sebelum nantinya melanjutkan di India
Kekuatan tentara Kerajaan Sriwijaya bergantung pada kapal-kapalnya, digambarkan bahwa
nahkoda-nahkoda kapal Melayu datang berbondong-bondong dari paya-paya bakau dan pulau-pulau
berdekatan. Meskipun Sriwijaya terletak di pantai yang dikelilingi air dan penduduknya sedikit,
kerajaan ini dapat mengumpulkan tenaga manusia dari kalangan orang-orang Melayu pantai yang
tinggal di sekitar perkampungan laut yang tersebar di sebelah selatan Selat Malaka. Palembang
hanyalah sebuah pusat perdagangan bagi penduduk yang tinggal di pantai dan lepas pantai itu.
Palembang adalah kota pelabuhan dan kota perdagangan; sedangkan penduduknya bermukim di
perkampungan-perkampungan di tepi air. Beberapa peninggalan kerajaan Sriwijaya diantaranya Candi
Muara Takus, Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Kota Kapur, dan lain sebagainya.
SEJARAH TERBENTUKNYA
KAWASAN
ZAMAN KESULTANAN ISLAM
Kesultanan Palembang Darussalam berdiri dengan sultan pertamanya Susuhunan Abdurrahman
Khalifatul Mukminin SayyidulIman. Karena letaknya dekat perairan strategis dan pendiriannya
berhubungan langsung dengan Kesultanan Demak, kesultanan ini memadukan dua kebudayaan yaitu
budaya maritim Sriwijaya dengan budaya Agraris Majapahit dan menjadi pusat perdagangan besar di
Semenanjung Melayu pada masanya. Palembang Darussalam berada pada masa keemasannya pada
abad ke-17 dan ke-18. Palembang merupakan poros penting jaringan perdagangan di wilayah perairan
pantai utara Jawa dan Malaka dimasa keemasannya. Palembang juga merupakan kawasan
perkembangan Islam yang dinamis. Pada era kepemimpinan Sultan Mahmud Badaruddin I, Palembang
dibentuk menjadi kota modern dengan dilakukannya penataan jalan-jalan dan kampung-kampung.
Sultan Mahmud Badaruddin I melakukan pula pembangunan monumental Palembang abad ke-18
diantaranya termasuk bangunan Masjid Agung Palembang serta bangunan Kuto Lamo dan Kuto Besak
pada tahun 1737.
Kesultanan Palembang Darussalam sebagai pusat politik yang lebih kuat ketika dibawah
kepemimpinan Sultan Muhammad Bahauddin (1774-1803). Dibawah kepemimpinan Sultan Muhammad
Bahauddin, armada laut pengamanan perdagangan maritim jalur Selat Malaka berhasil dibangun serta
tegaknya kekuasaan Palembang atas Bangka Belitung. Sultan membangun benteng pertahanan di
Muntok serta melanjutkan pula pembangunan Kuto Besak yang telah dirintis oleh kakeknya Sultan
Mahmud Badaruddin I. Setelah wafatnya Sultan Mahmud
Bahauddin, Kesultanan Palembang Darussalam dipimpin oleh puteranya Pangeran Ratu yang bergelar
Susuhunan Ratu Mahmud Badaruddin II atau lebih dikenal dengan Sultan Mahmud Badaruddin II yang
dikenal sebagai sosok yang gigih dan berani melakukan perlawanan-perlawanan melawan Inggris dan
Belanda. Sultan Mahmud Badaruddin II diakui pula sebagai organisator ulung serta ahli sastra produktif.
Gambaran kota Palembang saat itu digambarkan sebagai berikut:
- Penduduk tinggal terpencar di luar kota atau tinggal di rakit diatas air, suatu tempat tinggal yang
lantainya dari bambu di ikatkan pada tiang di tepian dengan tali. Mereka dibebaskan dari segala
bentuk pajak.
- Penduduknya adalah orang melayu tulen, yang tak pernah membangun sebuah rumah di atas tanah
kering selagi mereka masih dapat membuat rumah di atas air, dan tak akan pergi kemana-mana
dengan berjalan kaki, selagi masih dapat dicapai dengan perahu.
- Tata kota dan pemukiman pada masa Kasultanan Palembang Darussalam berorientasi ke Sungai.
Pada peta berikut terlihat jelas kondisi kota Palembang terutama di pusat kota yaitu Keraton Kuto
Anyar/Besak dan responnya terhadap sungai yang ada di sekitarnya.
- tidak ada bangunan-bangunan dari batu, kecuali keraton, masjid besar dan makam raja-raja dan
keluarganya.
PETA KESULTANAN ISLAM
PALEMBANG
ZAMAN KOLONIAL HINDIA BELANDA
Setelah penaklukan, Belanda mengadakan perubahan besar-besaran terhadap wajah kota dan
identitas kota. Puncak dari perubahan itu adalah sejak perubahan Palembang menjadi kota (Gemeente)
yang diberlakukan pada tanggal 1 April 1906, dan baru tahun 1929 dilakukan pembangunan berdasarkan
masterplan yang disusun Thomas Karsten
Infrastruktur setelah tahun 1929 dilakukan berdasarkan pola pikir daratan, sehingga banyak
membangun jalan dengan menimbun sungai dan rawa-rawa. Tata kota ‘baru’ ini mengacu pada landhuis
kota Batavia dengan penyesuaian kondisi teknologi, bahan dan iklim kota Palembang, namun terfokus
pada kepentingan golongan masyarakat Belanda. Dengan demikian maka pemerintah pendudukan Belanda
mengubah Palembang dari kota air menjadi kota daratan.
Pada masa peralihan kekuasaan dari Kesultanan Palembang Darussalam ke Pemerintah Hindia
Belanda, tidak terlalu jelas bagaimana ditetapkan batasan-batasannya. Setidaknya batas-batas itu seperti
yang diperkirakan J.W. Van Royen. Sedangkan pada masa peralihan, seluruh wilayah belum dikuasai
pemerintah Hindia Belanda sehubungan masih terdapat perlawanan rakyat terutama di Pasemah. Pada
tahun 1866, Belanda baru dapat menduduki wilayah-wilayah di Sumatera Selatan.
Pada masa kedudukan Belanda, Palembang disebut dengan “Bandar Pulau” atau “De Stad Teintig
Eilanden”. Terdapat pula istilah penyebutan lain yaitu “Venice Timur” yang tak lain dikarenakan
keberadaan Sungai Musi danpenduduk dahulu bepergian dengan perahu seperti di Venice.
Pada masa Hindia Belanda, Keresidenan Palembang dibagi 3 afdeeling. Namun, Jepang menghapus 3
afdeeling ini. Keresidenan Palembang disebut dengan Palembang Shu dipimpin shu-co-kan. Sementara,
onderafdeeling yang dikepalai kontrolir tetap diteruskan dengan nama bunshu dipimpin oleh Bunshu-co.
Dibawah onderafdeeling terdapat distrik dikepalai Demang. Demang diganti menjadi Gun yang dipimpin
bushu-co. Distrik dibagi atas onderdistrik yang dikepalai Asisten Demang diganti dengan Fukugun dipimpin
oleh fuku-gun-co. Fukugun membawahi seperangkat penguasa formal tradisional dengan para
pembantunya penggawa disebut dengan ku-mi-co atau bara-kuco
ZAMAN PASCA-KEMERDEKAAN
Pembangunan kota Palembang setelah kemerdekaan dimulai dengan munculnya Kepres No.
16 Tahun 1952, tentang pencabutan darurat Perang eks keresidenan Palembang, kebutuhan
pembangunan yang mendesak yaitu jembatan yang melintasi Sungai Musi. Ide pembuatan
jembatan sudah dimulai sejak tahun 1924 saat walikota Le Cocq de Armadville, namun
karena masalah biaya yang tidak juga terkumpul, maka rencana itu tidak terwujud pada
masa pendudukan Belanda.
Hal yang sama terjadi dengan pasar Cinde. Pasar ini ternyata sudah dirancang oleh
Karsten pada tahun 1930an Bersama dengan pasar di Padang, Sumatera Barat.
Pembangunan jembatan Ampera pada tahun 1961-1965 mempertegas bahwa kota
Palembang tidak lagi berorientasi pada sungai seperti pada zaman Sriwijaya dan Kesultanan
Palembang.
Perkembangan kota Palembang kemudian berkembang pesat di era modern, dimulai dari
diadakannya PON XVI tahun 2004. Pon tersebut dilaksanakan di sport city di Kawasan
Jakabaring, 5 KM sebelah selatan pusat kota Palembang. Kawasan ini awalnya adalah
Kawasan berrawa dan dikenal dengan Kawasan yang rawan akan kejahatan. Pada tahun 2011
Palembang kembali menjadi tuan rumah pelaksanaan Sea Games XXVI bersama dengan kota
Jakarta.
Pada peristiwa pesta olah raga tingkat Asia inilah wajah kota Palembang berubah
kembali, diikuti dengan adanya sarana transportasi LRT. Kota Palembang yang dulunya
merupakan kota perdagangan kini berubah menjadi sport city yang juga tidak terlalu
memperhatikan aspek air/sungai tetapi lebih berorientasi ke daratan.

Jembatan Ampera LRT Palembang


BENTUK FISIK TATA RUANG
KAWASAN
KAWASAN AGROPOLITAN
Pulokerto adalah salah satu kelurahan yang terletak di Kec. Gandus, Kota
Palembang, Provinsi Sumatera Selatan. Secara administratif Kecamatan Gandus
terdiri dari 5 kelurahan yaitu Kelurahan Gandus, Kelurahan Karang Jaya,
Kelurahan Karang Anyar, Kelurahan 36 Ilir, dan Kelurahan Pulokerto. Kecamatan
Gandus merupakan salah satu kawasan agropolitan yang ada di Kota Palembang.
Kota Agropolitan adalah kota pertanian yang tumbuh dan berkembang
karenaberjalannya sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani,
mendorong, menarik, kegiatan pembangunan pertanian (sektor usaha pertanian
dalam artian luas) di wilayah sekitarnya. Beberapa daerah menerapkan konsep
agropolitan untuk kemajuan daerah. Hal ini didasarkan bahwa sebagian besar
wilayah Indonesia merupakan daerah agraris/pertanian.Daerah pertanian
Pulokerto ini terbentang luas dipinggiran sungai Musi yang merupakan salah satu
sumber air terbesar yang ada di kota Palembang. Selain itu lahan mereka juga
dilewati sungai-sungai kecil yang terhubung langsung ke sungai musi.
KAWASAN INDUSTRI
Kawasan industri di kota Palembang tersebar di sepanjang aliran sungai
Musi. Banyak pabrik besar yang beroperasi di dearah aliran sungai
(DAS) sungai Musi dan menjadi kawasan industri besar. Di Kota
Palembang, terdapat beragam kegiatan industri, seperti industri batu
bara, karet, semen, hingga industri rumahan. Terdapat beberapa
pabrik/perusahaan besar di Palembang, diantaranya:
- PT Semen Baturaja (Persero) Tbk, BUMN Industri Semen Terbesar di
Palembang
- PT Tanjungenim Lestari Pulp and Paper (TeL), Produsen Kertas
Kualitas Tinggi di Palembang
- PT. Jimmulya, Penyedia Tenaga Kerja Migas yang Profesional dan
Kompeten
- PT Dexa Medica, Perusahaan Farmasi Kenamaan Palembang untuk
Mutu Obat yang Lebih Baik
- PT Anugerah Sarana Hayati, Produsen Pupuk Organik dan Pengendali
Hama
KAWASAN PARIWISATA
Kawasan sungai Musi menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Hal ini tidak terlepas dari keindahan alam dan juga kekayaan
sejarahnya. Sungai Musi sudah dikenal sejak zaman Hindu-Buddha, dan
menjadi pondasi bagi kemajuan peradaban kota Palembang. Selain itu,di
sekitar sungai Musi sebagai kiblat kota Palembang terdapat juga
bangunan-bangunan bersejarah seperti jembatan ampera, benteng kuto
besak, Museum sultan Mahmud Badarudin, dan masih banyak lagi.
Bangunan-bangunan peninggalan bersejarah umumnya berorientasi ke
sungai Musi, hal ini dikarenakan peranan sungai Musi yang sangat
signifikan bagi kota Palembang.

Masjid Agung Palembang dengan Akulturasi


Wihara Pulo Kemaro
budaya Melayu, Tionghoa, dan Kolonial
KAWASAN PERKANTORAN
Kawasan perkantoran umumnya tersebar di pusat kota Palembang dan aliran
sungai Musi. Terdapat banyak kantor, baik milik pemerintah maupun swasta di
daerah ini.

KAWASAN PELABUHAN
Pelabuhan di kota Palembang banyak terletak di sepanjang lintasan sungai
Musi, dekat dengan jembatan Musi IV dan pulo kemaro. Terdapat banyak
kapal, baik kapal penumpang maupun kapal industry yang berlayar dari sungai
Musi menuju ke pesisir pantai Sumatera Selatan.
TATA MASSA BANGUNAN DAN
SEJARAHNYA
Penataan massa bangunan di kota Palembang sangat dipengaruhi oleh kadaan bentang alam
dan entitas suku di dalamnya. Bangunan-bangunan pada umumnya berorientasi ke sungai
Musi. Pengolahan massa bangunan dalam hal zonasi juga sangat dipengaruhi oleh
keberagaman suku di dalamnya sehingga terdapat beberapa kampung berdasarkan suku
bangsa seperti kampung Melayu, Tionghoa, Kolonial Belanda, dan Arab.
Pada masa kerajaan Sriwijaya,
Palembang adalah kota Pelabuhan
dan kota perdagangan, sedangkan
penduduknya bermukim di
perkampungan-perkampungan di
tepi air. Penataan massa bangunan
disesuaikan dengan zonasinya
masing-masing, dimana terdapat
zona permukiman di sepanjang
aliran sungai, zona bangunan suci
dan taman.
Sekitar abad ke 15 para pedagang yang berasal dari Negeri Cina dan Arab yang
bermukim di tanah Palembang, bermukim di atas sungai atau biasa yang disebut
sebagai rumah rakit (terapung). Kronik Ying-yai Sheng-lan, 1416, menyebutkan
tentang Palembang dan rumah rakit sebagai “Negeri ini tidak begitu besar, hanyalah
rumah-rumah pemimpin yang tegak di daratan, selebihnya rumah-rumah rakyat
terbuat terbuat di atas rakit-rakit, yang dipatok di atas tiang, dimana rakit dapat
menyesuaikan naik turunnya permukaan air sehingga tidak menjadi kebanjiran.
Permukiman di atas rakit terjadi karena adanya peraturan, bukan karena dikehendaki
dari semula. Pada Kerajaan Kesultanan Palembang Darusalam (abad 16 – 19)
diperlakukan peraturan, orang Cina diizinkan bertempat tinggal di wilayah
Palembang.
Apabila mereka bersedia tinggal di atas air, dalam hal ini sungai, dimana dikala itu Sugai
Musi dijadikan sebagai tempat rumah-rumah rakit tersebut. Penguasa Palembang menilai
bahwa jika orang Cina tinggal di daratan mungkin hal ini dapat membahayakan negeri
sehingga mereka diharuskan tinggal di atas air, bertempat tinggal di atas rakit yang terbuat
dari bambu dan kayu, sehingga sangat mudah dikuasai terutama ketika mengancam negeri
Palembang, penguasa Palembang tersebut cukup dengan hanya membakar rakit-rakit itu.
Namun peraturan tersebut berubah ketika akhir masa Kesultanan Palembang dimana warga
keturunan Cina maupun Arab diperbolehkan untuk membangun rumah di darat. Namun hal
ini tidak dilakukan oleh semua pendatang dari Cina, sehingga masih terdapat masyarakat
keturunan Cina yang bermukim di rumah-rumah rakit. Warga pilihan yang kemudan ke darat
ini yang menjadi cikal bakal pemukim di Kampung Kapitan.
Pada Masa Penjajahan Belanda, terjadi perubahan besar dimana struktur kota lama yang
dicanangkan oleh Kesultanan Palembang dirubah oleh pemerintahan Belanda. Kota yang
tadinya merupakan kesatuan harmonis dalam keragaman yang dicanangkan pada masa
Kesultanan Palembang, berubah menjadi kota yang terpilah-pilah berdasarkan etnisitas,
seperti zona Eropa, zona Cina, Zona Arab, dan zona pribumi. Hal ini lah yang menyebabkan
hingga sekarang masih mengenal kawasan Pecinan ataupun kawasan Arab di Kota Palembang.
Perubahan struktur kota yang di lakukan oleh Belanda, pada dasarnya memberikan
sebuah pembabakan masuknya kebudayaan asing yang ada di Kota Palembang. Penduduk
yang tadinya bermukim di Sungai Musi, ketika Belanda datang kebijakan yang ada berubah,
sehingga warga asing banyak yang pindah ke darat tetapi tetap dipilah-pilah berdasarkan
entitas. Pembababkan masuknya kebudayaan asing di Kota Palembang yang menyebabkan
terjadinya akulturasi kebudayaan berupa arsitektur Kota Palembang.

Perkampungan Tionghoa

Perkampungna tradisionaol
Kampung Arab Al-Munawar
BENTUK BANGUNAN

BANGUNAN HINDU-BUDDHA (CANDI BUMIAYU)


Candi Bumiayu adalah salah satu penginggalan kerajaan Hindu yang terdapat di
pesisir sungai Lematang, tepatnya di desa Bumiayu, Kecamatan Tanah Abang,
kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan. Situs Candi yang
memiliki total lahan seluas sekitar 110 hektar (ha). Dimana 75 hektar diantaranya
masuk sebagai kawasan candi, dan baru sekitar 7,6 hektar diantaranya sudah
dibebaskan lahannya oleh pemerintah, dan ini bisa menjadi destiminasi wisata
cagar budaya. Bentuk bangunan candi sama seperti candi Hindu-Buddha pada
umumnya yaitu punden berundak, yang membedakan dari candi Bumiayu adalah
mempunyai bentuk sudut bangunan dengan hiasan makhluk Ghana dari
terakota, dan memiliki kemuncak bangunan berbentuk seperti lingga, antefiks,
serta sebuah arca tanpa kepala
BANGUNAN KESULTANAN ISLAM PALEMBANG
▪ Kuto Besak merupakan peninggalan bersejarah dari Kesultanan
Palembang Darussalam. Gagasan mendirikan Benteng Kuto Besak diprakarsai
oleh Sultan Mahmud Badaruddin I yang memerintah pada tahun 1724-1758
dengan tujuan ingin melindungi Kesultanan Palembang Darussalam dari
serangan dan gempuran musuh. Dengan letak Benteng yang berada diantara
sungai-sungai, maka siapapun tidak mudah memasuki Benteng karena harus
melalui titik- titik tertentu.
• Benteng ini mulai dibangun pada tahun 1780 dengan arsitek yang
tidak diketahui dengan pasti dan pelaksanaan pengawasan pekerjaan
dipercayakan pada seorang Tionghoa. Semen perekat bata menggunakan batu
kapur yang ada di daerah pedalaman Sungai Ogan ditambah dengan putih telur.
Benteng Kuto Besak ini memiliki tinggi sekitar 9,9 meter, lebar sekitar 183,75
meter dan panjang sekitar 288,75 meter. Sedangkan tebalnya sekitar 1,99
meter.
MASJID AGUNG KOTA PALEMBANG
Masjid Agung Palembang atau Masjid Agung Sultan Mahmud Badaruddin
terletak di Palembang, Sumatera Selatan. Masjid ini merupakan masjid
paling besar di Palembang. Lokasi Masjid Agung Palembang di Jl Jenderal
Sudirman, 19 Ilir, Bukit Keil, Kota Palembang, Sumatera Selatan.

CIRI CIRI KHAS MASJID:


❑ Sebagian besar kayu pada arsitektur masjid memiliki ukiran khas
Palembang yang disebut Lekeur.
❑ Letak menara terpisah dari masjid, yaitu di sebelah barat.
❑ Pola menara berbentuk segi enam dengan tinggi 20 meter.
❑ Menara Masjid Agung Palembang berbentuk seperti kelenteng dengan
bentuk atap menara melengkung pada bagian ujungnya, dan beratap
genteng.
❑ Bagian luar menara dikelilingi oleh teras berpagar.
❑ Bentuk arsitektur Eropa terlihat dari pintu masuk gedung yang besar dan
tinggi. Sedangkan, bentuk arsitektur Tiongkok terlihat dari masjid utama
yang atapnya seperti kelenteng.
BANGUNAN KHAS KOLONIAL
Bangunan-bangunan di sepanjang Jl. Merdeka memperlihatkan
perkembangan arsitektur awal modern di Palembang antara lain bangunan
Kantor Walikota (Raadhuis & Watertoren) yang monumental dan menjadi
landmark kota Palembang merupakan bangunan bergaya perpaduan Art Deco
(pada bagian eksterior) dan Art Nouveau (pada bagian interior) karya arsitek
Ir. S. Snuyf, bangunan teater Kuto Besak, bangunan kantor Telkom, dan lain-
lain. Kantor Ledeng (Kantor Walikota) atau Menara Air dulunya tempat ini
untuk menampung air untuk didistribusikan ke wilayah kota, sekarang
tempat ini menjadi kantor Walikota Palembang, bangunan ini unik, indah
dan menjadi salah satu icon kota Palembang. Bangunan dibuat dengan gaya
de stijl, yaitu memiliki bentuk dasar kotak dengan atap datar, memiliki
kolom-kolom pada fasadnya, dan memiliki jendela-jendela yang lebar khas
arsitektur colonial. Pewarnaan bangunan umumnya monokrom dengan warna
putih dominan.
BANGUNAN TRADISIONAL RUMAH LIMAS
Rumah Adat Limas adalah sebuah bentuk dari hasil kearifan lokal dari
penduduk masyarakat Palembang, juga merupakan refleksi dari cerminan
kebudayaannya.
CIRI KHAS RUMAH LIMAS PALEMBANG:
Atap atau induk rumah berbentuk piramida yang agak curam dengan
kemiringan mencapai 45°
❑ Atap yang turun kemuka kurang lebih 30 ° curamnya dengan
menggunakan genting model belah buluh yang berbentuk bambu yang
dibelah dua yang berfungsi saling mengait satu sama lain.
❑ Untuk pengokoh sendiri dipasang dibangian bubungan tiga buah tanduk
kambing yang terbuat dari beton, dan juga di setiap ujung atap pada
pertemuannya.
❑ Berukiran dengan bermotif tumbuh-tumbuhan dan juga huruf – huruf
Arab.
❑ Ukurannya sangatlah luas, dengan bentuk atap dan juga bertingkat-
tingkat atau kakijing dan daun jendela yang dinamalan Lawang Kipas.
• Perbedaan bentuk bangunan pada arsitektur tradisional
Palembang, Cina, Arab , dan Belanda (Eropa)

Palembang Cina Arab Belanda (Eropa)


Berbentuk Terdapatnya Berbentuk persegi Berbentuk persegi
panggung Courrtyard di empat empat
dalam bangunan
Atap berbentuk Atap berbentuk Terdapatnya Terdapat pilar-
Limas persegi lima, Kaligrafi Arab pilar besar
dimana ataupun ukiran menjulang ke atas
terdapatnya serta hiasan di serambi depan
ukiran atau bermotif mosaik dan belakang.
lambang-lambang pengulangan
berbentuk naga geometris didalam
interior bangunan
Struktur rangka Bangunan utama Dinding Memiliki ventilasi
berupa tiang kayu bersumbu utara- menggunakan yang lebar dan
selatan tanah liat tinggi.
MASYARAKAT DAN BUDAYANYA

Kota Palembang memiliki jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 1.452.840 jiwa, yang
terdiri atas 726.328 laki-laki dan 726.512 perempuan (Sensus Penduduk 2010). Hasil sensus
tersebut juga menunjukan kepadatan penduduk Kota Palembang sebesar 4.052 / km2 dengan
paju pertumbuhan penduduk per tahun selama sepuluh tahun terakhir yakni dari tahun 2000-
2010 sebesar 1,76 persen. Penduduk Palembang merupakan etnis melayu serta terdapat pula
warga pendatang dan keturunan seperti Jawa, Minangkabau, Tionghoa, Arab, dan India. Kota
Palembang sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, menduduki peringkat pertama dalam
memberikan kontribusi terhadap PDRB Sumsel. PDRB Total atas dasar harga Berlaku tertinggi
dicapai oleh kota Palembang yang mencapai 45,499 Triliun Rupiah pada tahun 2009.
Kesenian yang terdapat di Palembang antara lain:
• Kesenian Dul Muluk (pentas drama tradisional khas Palembang)
• Tari-tarian seperti Gending Sriwijaya yang diadakan sebagai penyambutan kepada tamu-
tamu dan tari Tanggai yang diperagakan dalam resepsi pernikahan
• Syarofal Anam adalah kesenian Islami yang dibawa oleh para saudagar Arab dulu, dan
menjadi terkenal di Palembang oleh KH. M Akib, Ki Kemas H. Umar dan S. Abdullah bin Alwi
Jamalullail
• Lagu Daerah seperti Melati Karangan, Dek Sangke, Cuk Mak Ilang, Dirut dan Ribang
Kemambang
• Rumah Adat Palembang adalah Rumah Limas dan Rumah Rakit
Tari Gending Sriwijaya Rumah rakit

Syarofal Anam Teater Dul Muluk


Selain itu Kota Palembang menyimpan salah satu jenis tekstil terbaik di dunia yaitu
kain songket. Kain songket Palembang merupakan salah satu peninggalan Kerajaan
Sriwijaya dan di antara keluarga kain tenun tangan kain ini sering disebut sebagai
Ratunya Kain. Hingga saat ini kain songket masih dibuat dengan cara ditenun secara
manual dan menggunakan alat tenun tradisional.

Kota Palembang juga selalu mengadakan berbagai festival setiap tahunnya antara lain
“Festival Sriwijaya” setiap bulan Juni dalam rangka memperingati Hari Jadi Kota
Palembang, Festival Bidar dan Perahu Hias merayakan Hari Kemerdekaan, serta
berbagai festival memperingati Tahun Baru Hijriah, Bulan Ramadhan dan Tahun Baru
Masehi.

Makanan khas Palembang yang terkenal diantaranya, pempek, tekwan, model, laksan,
celimpungan, mie celor, dan masih banyak lagi.

Pempek
Kain songket

Festival Sriwijaya

Kain songket Tekwan

Anda mungkin juga menyukai