1. PENDAHULUAN
Dalam Buku Nagara and Commandery – Origins of the Southeast Asian Urban Tradition
(Wheatley, 1983) menjabarkan bahwa urbanisasi berpengaruh terhadap perubahan
penduduk di suatu kota. Dalam konsep urbanisasi dibagi menjadi dua yaitu urbanisasi
(urbanization) dan proses urban (urban proses). Urbanisasi (urbanization) yaitu pertambahan
jumlah penduduk kota terhadap jumlah populasi sedangkan proses pembentukan kota
(Urban Process) yaitu suatu masyarakat perkotaan, hubungan yang terjadi antara kelompok
masyarakat-nya saling terkait secara fungsional, lebih kompleks, dan dapat memacu
peningkatan jumlah penduduk kota. Paul Wheatley mengatakan bahwa pembentukan kota
(Urban genesis) terbagi menjadi dua kategori yakni urban imposition dan urban generation.
Terdapat beberapa faktor yang merangsang timbulnya perubahan struktur di suatu daerah
yakni keberadaan sumber daya alam dan individu itu sendiri. Urban imposition adalah suatu
perkotaan yang berkembang dan bertumbuh akibat adanya pengaruh budaya luar
(kolonialisme). Hal tersebut timbul akibat paksaan dikarenakan suatu wilayah tersebut
memiliki sesuatu yang khusus (seperti sumber daya alam) yang tidak dimiliki oleh wilayah
lain sehingga memicu orang untuk datang dan berkunjung ke wilayah tersebut. Awal mula
hanya untuk membeli sumber daya alam yang tersedia namun pada akhirnya ada keinginan
untuk menguasai wilayah tersebut dan berujung pada suatu paksaan. Adanya Pengaruh
dari luar yang dibawa oleh komunitas asing diluar masyarakat kota atau disebut dengan
penjajah, mereka menyebarkan sistem nilai kolonial, yang menempatkan penjajah dalam
kekuasaan tertinggi dalam sistem stratifikasi sosial masyarakat. Sistem kolonial juga
menghapus sistem yang telah dianut masyarakat lokal. Fenomena tersebut kemudian oleh
Wheatley disebut dengan istilah Commandery. Berbeda dengan konsep Urban Imposition,
konsep Urban Generation yaitu perubahan perkotaan yang tidak didasari dengan paksaan.
Perubahan yang terjadi akibat perubahan struktur pemerintahan, hirarki, dan
penyebarannya. Nilai-nilai yang terbentuk meliputi nilai adat istiadat, budaya masyarakat
bahkan nilai religius atau keagamaan yang dianut oleh masyarakat, sehingga tidak ada satu
faktor yang dapat mempengaruhi perubahan dalam tatanan sistem. Dalam pembentukan
struktur ruang kota, masyarakatnya dipengaruhi oleh tata nilai yang berlaku. Di dalam
konsep Paul Wheatley, hal ini disebut sebagai sistem kebangkitan atau nagara. Negara
Indonesia memiliki beberapa kerajaan, salah satunya beberapa kerajaan yang terdapat di
Kota Palembang. Palembang adalah kota terbesar kedua di Sumatra, dengan luas wilayah
400,61 km. Dalam sejarahnya tercatat Kota Palembang pernah menjadi ibu kota kerajaan
bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara yaitu Kerajaan Sriwijaya, yang mendominasi
Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan
julukan "Bumi Sriwijaya".
Kerajaan Sriwijaya mulai berdiri sejak abad ke-7 Masehi dan merupakan sebuah
kerajaan maritim yang bentuk pemerintahan menganut sistem monarki. Kerajaan ini
menjadi pusat perdagangan dan merupakan negara bahari dan melakukan kolonisasi
hampir di seluruh kerajaan – kerajaan di Asia Tenggara seperti Sumatra, Jawa, Semenanjung
Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam dan Filifina. Sriwijaya sebagai kerajaan pengendali
rute perdagangan rempah yang sudah menggunakan bea dan cukai untuk setiap kapal yang
melintas. Posisinya yang strategis membuat sektor pertanian dan beberapa komoditas yang
ada mendorong pedagang luar datang ke Sriwijaya, komoditasnya antara lain kapur barus,
kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah. Area perairan ini menjadi
moda utama pada zaman tersebut yang dijadikan kawasan pedagangan dan jasa. Pusat
perekonomian masyarakat di Kerajaan Sriwijaya berada di muara sungai. Kota berkembang
dengan sistem sendiri (nagara) dan penduduknya banyak yang berorientasi dagang. Bukti
awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7, seorang pendeta Tiongkok
dari Dinasti Tang, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal
selama 6 bulan. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya diperkuat dengan adanya prasasti Kedukan
Bukit.
Prasasti ini ditemukan pada abad ke 7. Prasati ini ditemukan di di Kampung Kedukan
Bukit pada tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Dalam prasasti ini terdapat
tulisan yang menggunakan huruf pallawa dan menggunakan bahasa sansekerta. Selain
prasati kedukan bukit, ditemukan juga prasasti siddhayatra abad ke-7. Balai Arkeologi
3|Page
Palembang sebuah perahu kuno di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, hal ini
menandakan kegiatan di masa Kerajaan Sriwijaya berada disekitar perairan.
Masa kejayaan kerajaan Sriwijaya mencapai puncaknya ketika berada dibawah
kepemimpinan Raja Balaputradewa. Kekuasaan kerajaan pada masa Raja Balaputradewa
memperluas wilayah hingga seluruh Pulau Sumatra, Kalimantan Barat, sebagian Jawa Barat
dan semenanjung Melayu. Namun, kejayaan Sriwijaya tidak bertahan lama karena
pertentangan dengan kerajaan Cholamandala mengenai persaingan di bidang pelayaran
dan perdagangan yang berakhir dengan penyerangan Cholamandala merebut kota – kota
strategis milik kerajaan Sriwijaya (1006 M dan 1007 M). Pada abad ke-13 Sriwijaya
mengalami kemunduran karena beberapa aspek yakni aspek geologis, politik, dan ekonomi.
Faktor pertama yaitu geologis dikarenakan pengendapan lumpur di Sungai Musi dan
beberapa anak sungai lainnya, sehingga kapal-kapal dagang yang tiba di Palembang
semakin berkurang. Akibatnya, Kota Palembang semakin menjauh dari laut dan menjadi
tidak strategis. Faktor kedua yakni faktor politik yaitu munculnya kerajaan baru yang lebih
besar sehingga mmembuat kondisi kerajaan terdesak. Faktor terakhir dari segi ekonomi,
kekuasaan Sriwijaya jatuh ke pihak lawan. Dengan melemahnya kekuatan politik akibat
berkembangnya kerajaan – kerajaan Islam kecil, maka berakhirnya kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya Tahun 1377 M. Kemudian wilayah ini menjadi awal kerajaan baru yaitu Kerajaan
Kesultanan Palembang terbentuk ditandai dengan masuk agama Islam. Kekosongan daerah
ini selama dua abad, dan terjadi kekacauan oleh orang – orang Cina yang melakukan
perampokan, pembajakan, dan lain sebagainya. Setelah proses ini, kerajaan lalu berada pada
kekuasaan kerajaan Majapahit.
Setelah Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukan oleh Majapahit, namun tidak terkontrol,
sehingga keberadaan Sriwijaya didominasi oleh saudagar – saudagar asal Tiongkok. Dalam
karyanya tercantum kata “Palinfong” untuk menyebut bandar dagang diwilayah yang
sekarang dikenal dengan nama Palembang. Berdirinya Kerajaan Palembang pertama kali
berada di Kuto Gawang yang lokasinya menghadap Sungai Musi dan dipimpin oleh Ki
Gede Ing Suro (1552 – 1573). Bangunan kerajaan berfungsi sebagai kuto yang berarti suatu
pagar dinding tinggi, pusat pemerintahan, dan benteng sebagai pertahanan dari serangan
musuh. Pada masa ini, kolonialisme sudah masuk ke Indonesia atau Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC). Tahun 1658 Belanda datang dari Batavia (Jakarta) dengan kapal – kapal
yang dipimpin oleh Cornelisz Ockerse. Diantara kapal tersebut terdapat dua kapal besar
bernama “Jakarta” dan “de Wachter”. Belanda datang dengan tujuan pelaksanaan kontrak
dagang antara kompeni dan Kerajaan Palembang diantaranya timah putih dan rempah –
rempah seperti lada putih dan lada hitam. Dalam kontrak perdagangan Belanda sesekali
melakukan kecurangan terhadap Kerajaan Palembang sehingga membuat perselisihan antar
kedua belah pihak yang berujung dengan peperangan. Pada bulan Desember 1658 kapal –
kapal Belanda diserbu dibawah pimpinan Pangeran Ario Kusuma Abdulrochim Kiyai Mas
Endi yang mengakibatkan mundurnya pihak Belanda. Namun, tidak berselang lama
Belanda balas dendam dengan membakar gudang – gudang mesin.
Menurut Wheatley, Konsep Nagara yaitu kota dirancang dengan sebuah sistem
kebangkitan warganya. Hal itu terjadi di kerjaan Sriwijaya, kerajaan ini mencapai masa
kejayaannya pada masa pemerintahan raja Balaputradewa dianggap sebagai raja yang
membawa Sriwijaya ke puncak kegemilangannya pada abad ke-8 dan 9. Pada masa
kekuasaan Balaputradewa sampai dengan Sri Marawijaya, Sriwijaya menguasai Selat
Malaka yang merupakan jalur utama perdagangan antara India dan Cina. Selain itu, dan
memperluas kekuasaannya hingga Jawa Barat, Kalimantan Barat, Bangka, Belitung,
Malaysia, Singapura, Thailand Selatan. Hingga lambat laun, Sriwijaya berkembang menjadi
negara maritim yang kuat. Dominasi atas Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan
Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang
mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat, artinya pada masa ini terjadi
monopoli. Monopoli perdagangan yang mendorong Sriwijaya untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya.
5|Page
Namun masa Urban Generation tidak berlangsung lama, dan mulai terjadi masa kolonial
(Urban Imposition) di mulai sejak masa kerajaan Palembang, kolonialisme sudah masuk ke
Indonesia atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan memonopoli sumber daya alam
yang ada. Ketika masa Belanja membuat perubahan pada struktur pemerintahan (politik),
budaya, perkembangan dan penataan kota bernuansa Belanda. Para pendatang baru yang
berasal dari Belanda banyak membeli tanah di Palembang sehingga menyebabkan
pergerseran penduduk setempat untuk tinggal di tepian sungai dan pinggiran karena
kekurangan tanah didaratan. Pengaruh kolonialisme sampai sekarang juga masih
berpengaruh seperti bahasa kesehariannya yang pengucapannya masih mengandung unsur
bahasa Belanda serta perubahan struktur pemerintahan, penggunaan lahan yang dikelilingi
air dan masa kini berubah menjadi sebagian daratan. Fenomena tersebut kemudian oleh
Wheatley disebut dengan istilah Urban Imposition artinya bertumbuh akibat adanya
pengaruh budaya luar (kolonialisme) dalam membentuk masyarakat kota dalam suatu
wilayah. Awal mula hanya untuk membeli sumber daya alam yang tersedia namun pada
akhirnya ada keinginan untuk menguasai wilayah tersebut dan berujung pada suatu
paksaan.
5. KESIMPULAN
Perkembangan Kota Palembang tidak terlepas dari pengaruh kolonialisme mulai dari
struktur, budaya, pemerintah, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Selain faktor itu, faktor
utama perkembangan kota yakni adanya sumber daya alam yang menjadi objek pemicu
suatu daerah tersebut dihuni. Berdasarkan teori Wheatley di Palembang berada dalam
Urban Generation dan Urban Imposible. Urban generation yang dialami pada awalnya memang
diterima secara baik oleh masyarakat terbukti dari peninggalan sejarah yang ada.
Kemakmuran yang dinikmati penduduk kota-kota dari hasil perdagangan yang
berkembang sangat pesat menimbulkan kecenderungan untuk melepasakan diri dari
penguasa. Namun dalam perkembangannya Kota Palembang juga berdasarkan kepada
pengaruh – pengaruh kolonialisme (Urban Imposible) tercermin dari masa pemerintahan
pada masa kolonial Belanda, penggunaan bahasa, monopoli perdagangan dan permukiman.
Peristiwa pembentukan kota yang terjadi dimasa lampau menjadi pembelajaran bagi proses
pembangunan yang akan berdampak pada masa datang dengan perubahan yang terjadi
dimasa sekarang sehingga dapat membentuk pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
REFERENSI
Buku
Akib, Moehamad. R. H. (1979). Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II. Palembang:
Badan Pekerja Team Perumus Hasil – Hasil Diskusi
Hanafiah, Djohan. 1996. Perang Palembang Melawan V.O.C. Palembang: Karyasari
Hanafiah, Djohan. 2004. Perkembangan Kota Palembang Dari wanua Śrîwijaya menuju
Palembang Modern. Palembang: Pemerintah Daerah Kota Palembang Paguyuban
Masyarakat Peduli Musi.
Wheatley, Paul (1983). Nagara and Commandery, Origins of the Southeast Asian Urban
Traditions. University of Chichago.
Internet
https://palembangkota.bps.go.id
Kerajaan Sriwijaya: Sejarah Berdiri, Letak, Raja-raja, dan Masa Kejayaannya (detik.com)
Sriwijaya - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah Sriwijaya, Kerajaan Maritim Penguasa Asia Tenggara (kompas.com)