Anda di halaman 1dari 12

ARSITEKTUR BALI 2

CATUSPATHA

OLEH KELOMPOK 12B


ANGGOTA :

1. I PUTU RANTIKA ARYADIANA

(1304205102)

2. KADEK INDRA SATRIA ARIADA

(1304205104)

3. I KADEK DEDI NURMAWAN

(1304205106)

4. PUTU DICKY RAMADHANA


5. KADEK ANGGA YUDATANA

(1304205109)
(1304205110)

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
TAHUN 2014
1

CATUSPATHA
2.1 Pengertian
Catuspatha merupakan natah di kota-kota tradisional bali pada masa kerajaan di Bali,
yang terletak di suatu simpang empat di tengah-tengah kota yang merupakan tempat
kedudukan fasilitas utama kota seperti Puri sebagai fasilitas pusat kekuasaan pemerintahan,
pasar, bencingah puri dengan fasilitas bale wantilan dan terdapat pula ruang terbuka hijau
kota. Catuspatha berasal dari bahasa sanskerta yang berarti empat jalan atau simpang empat.
Natah kota ini belum sah sebagai pusat kerajaan sebelum diresmikan melalui suatu proses
pemasupatian atau pemelaspasan.
2.1.1 Fungsi Natah Kota
Natah kota tradisional pada masa kerajaan dalam catuspatha difungsikan sebagai
halaman untuk penyelenggaraan upacara tawur yang secara periodik dilakukan setiap tahun,
pada Hari Tilem Kesanga. Secara insidentil, catuspatha difungsikan sebagai tempat
melakukan kegiatan ritual seperti ngulapin, nebusin, ngelawang, dan lain-lain. Dalam prosesi
upacara ngaben secara tradisi dilakukan pemutaran bangunan usungan jenazah (bade) di pusat
catuspatha ini. Kegiatan-kegiatan seperti di atas dapat dilakukan dengan baik bila pusat
catuspatha masih dalam kondisi kosong.

2.1.2 Makna Natah Kota


Simpang empat menyiratkan suatu tapak dara. Suatu tapak dara menyimbolkan alam
semesta, jagat raya atau jagat dan juga simbol penangkal kejahatan agar selamat. Di lain
pihak, suatu simpang empat juga merupakan perpotongan dua sumbu: utaraselatan dan
timurbarat. Perpotongan sumbu merupakan titik `nol` atau windu yang melambangkan
kekosongan. Kekosongan atau windu juga menyimbolkan alam semesta. Dalam lontar Eka
Pratamaning Brahmana Sakti Bujangga disebutkan bahwa sumbu utara selatan merupakan
sumbu nilai dan sumbu timurbarat merupakan sumbu kehidupan dan kematian atau
kemajuan dan kemunduran. Dari pusat catuspatha ditentukan letak pusat kekuasaan/puri. Di
timur laut bernilai utama, sedangkan di barat daya bernilai werdi atau sejahtera. Karena nilai
ini, puri umumnya mengambil posisi di timur laut atau di barat daya, sedangkan perletakan di

tenggara dan barat laut masing-masing bernilai gni murub dan gni astra yang beresiko
kepanasan dan kehancuran.
2.1.3 Konsep Catuspatha
Raja sebagai puncak hirarki kekuasan tercermin dalam kompleks keraton sebagai
pusat kerajaan.Di Kerajaan Majapahit maupun perpanjangan kekuasaannya di Bali, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah, pempatan agung (yang sakral) merupakan pusat
ibukota kerajaan.Dalam kompleks pusat pemerintahan, di samping terdapat keraton sebagai
pusat kekuasaan dan tempat tinggal raja, juga terdapat rumah-rumah pejabat teras pusat
seperti para patih, para pendeta kerajaan, fasilitas-fasilitas peradilan, dan peribadatan.
Pada masa Majapahit, Pendeta
Waisnawa menggelar persembahan tawur,
mendahului upacara keagamaan (ritual);
upacara yang berkaitan dengan siklus
pertanian

ditonjolkan

bagi

intervensi

Dewa Wisnu (Sedana, Sadhana, dan


khususnya
menjaga

pasangannya
dan

Sri)

menghindari

untuk

kekuatan-

kekuatan negatif dunia niskala. Bagi


orang Jawa melaksanakan persembahan
caru

nasi

yang

digelar

di

tanah

mendahului suatu upacara merupakan


kebiasaan dalam rangka untuk memuaskan (nyomya) mahluk-mahluk dunia bawah agar tidak
menggangu

jalannya

upacara.

Hal

serupa

juga

berlaku

di

Bali.

Pembangunan catuspatha melalui suatu proses pensakralan yaitu dengan bhumi suda
dan pemlaspasan yang disertai dengan penguburan sarana pedagingan (pemendeman
pedaginan), sehingga terwujud suatu energi magis wilayah (negara). Di bagian raksa bhuana
ini diyakini berstana (melinggih) roh/kekuatan alam dengan berbagai sebutan seperti Sang
Bhuta Prajapati (Kanda Pat), Sanghyang Catur Bhuana (Tutur Gong Besi), dan Sanghyang
Adi Kala (Tattwa Japakala), yang kesemuanya merupakan wujud kekuatan ciptaan Siwa
Mahakala.
3

Gambar Tapak Dara


Tapak dara ini mengilhami koordinat Cartesius dalam matematika dan menjadi dasar
swastika. Bila swastika merupakan simbol perputaran alam semesta, maka tapak dara (sumbu
salib) merupakan simbul alam semesta. Tapak dara ini juga digunakan sebagai penangkal
untuk menghindari malapetaka.

2.2 Sejarah
Penerapan konsep catuspatha pada masa kerajaan dapat dipandang sebagi penerapan yang
paling taat dan disiplin dibandingkan dengan masa-masa selanjutnya. Pada masa kolonial
tidak ada pembangunan puri baru sebagai kedudukan pemegang kekuasaan pemerintahan
wilayah, demikian pula pada masa kemerdekaan. Dalam perkembangan jaman, sejak masa
colonial Belanda, pusat catuspatha yang pada masa kerajaan merupakan ruang kosong sebagai
natah kota dibanguni dengan estetika kota ataupun tanda pengenal lingkungan. Misalnya, di
catuspatha kota Denpasar dibangun lonceng, dan kemudian pada masa republik diubah
menjadi patung catur muka yang lebih dirasakan berbudaya bali.

Bila pola pola catuspatha yang merupakan warisan budaya luhur yang perlu dilestarikan
sebagai kerangka tata ruang pusat pemerintahan di masa kemerdekaan, maka kantor
pemerintahan

(gubernur/bupati/walikota)

dapat

dianalogikan

sebagai

puri

untuk

pelaksanaan pemerintahan. Berikut akan dibahas tentang transformasi konsep catuspatha


pada masa kerajaan dan tansformasinya pada tata ruang pusat pemerintahan di masa republik.
1. Transformasi Konsep Catuspatha dalam Tata Ruang Pusat Kerajaan
Dari 9 catuspatha negara kerajaan di Bali, empat puri agung (untuk raja) diletakkan di timur
laut (Denpasar, Gianyar, Negara, Karangasem), empat puri agung diletakkan di barat daya
(Tabanan, Semarapura, Singaraja, dan Mengwi), dan satu puri agung diletakkan di barat laut
catuspatha (Puri Agung Bangli). Saat ini, masa kemerdekaan, terdapat sembilan catuspatha
warisan masa kerajaan, empat di antaranya (Tabanan, Mengwi, Gianyar, dan Karangasem)
pusatnya dibiarkan dalam keadaan kosong, tanpa dibangun elemen-elemen estetika ataupun
elemen sebagai landmark atau focal point, dan lima lainnya dibanguni patung, tugu atau yang
sejenisnya (Denpasar, Negara, Singaraja, Bangli, Semarapura).
5

Di samping adanya puri di salah satu sudut catuspatha, juga ada fasilitas lainnya seperti pasar,
wantilan, dan ruang terbuka hijau yang kadang-kadang dilengkapi dengan suatu bangunan
terbuka yang relatif panjang (bale lantang).
Bagian puri yang berada di dekat pusat
catuspatha adalah pelataran (palebahan) ancak
saji yang di sudut terluarnya terdapat bale
bengong (bale tajuk). Pelataran ancak saji di dua
sisi yang berbatasan dengan jalan menggunakan
tembok kerawang dengan dua sampai tiga
pasang candi bentar.

2. Perubahan Ekspresi Catuspatha


Catuspatha yang pola bentuknya seperti tergambar di atas telah bertahan berabad-abad
pada masa kerajaan di Bali, namun setelah intervensi Belanda di Bali maka mulai dilakukan
perubahan di areal catuspatha, terutama di bagian pusat catuspatha, dengan dibangunnya
lonceng atau elemen-elemen estetika yang berperan rangkap sebagai tanda pengenal orientasi.
Contoh kasus ini adalah pembangunan lonceng di pusat catuspatha Puri Denpasar, dan
lonceng di catuspatha Puri Gede Singaraja. Di sekitar pusat catuspatha juga terjadi
perubahan-perubahan fungsi dan bangunan sesuai dengan kepentingan pemerintahan Belanda.
Pada masa kemerdekaan, perubahan ekspresi menjadi semakin marak, meluas ke
hampir setiap kabupaten/kota dengan dibangunnya patung-patung ataupun tugu yang
bernafaskan budaya Bali yang dijiwai agama Hindu, kecuali catuspatha Puri Gianyar,

Tabanan, dan Puri Gde Karangasem yang masih tetap kosong di pusatnya. Di Denpasar
terjadi perubahan elemen dari lonceng zaman Belanda menjadi Patung Empat Muka.
3. Dampak Perubahan
Dampak positif pembangunan lonceng memberikan peringatan kepada masyarakat
akan waktu dan sekaligus juga dapat dipandang sebagai pusat perhatian dan juga pusat
orientasi. Dampak negatif pembangunan struktur di tengah-tengah catuspatha adalah
terjadinya distorsi penempatan sarana dan pelaksanaan prosesi upacara keagamaan yang
menggunakan media catuspatha bahkan dapat menggeser pelaksanaan kegiatan upacara
tawur kesanga ke tempat lain seperti alun-alun atau catuspatha yang baru.

2.3 Filosofi dan Dasar Pemikiran


2.3.1 Kaja-Kelod dan Kangin-Kauh
Tata nilai berdasarkan sumbu bumi (kaja/gunung kelod/laut) memberikan nilai
utama pada arah kaja (gunung) dan nista pada arah kelod (laut), sedangkan pada sumbu
matahari, nilai utama pada arah matahari terbit dan nista pada arah matahari terbenam. Ketika
kedua sistem tata nilai ini digabungkan maka secara imajiner akan terbentuk pola Sanga
Mandala yang membagi ruang menjadi sembilan segmen.
Catuspatha yang merupakan jalan yang perpotongannya berada pada sumbu kaja kelod (utara-selatan) dengan sumbu kangin-kauh (timur-barat). Berdasarkan konsep Sanga
Mandala, pada daerah kaja-kangin diperuntukan untuk bangunan suci yaitu pura desa. Letak
Pura Dalem (kematian) dan kuburan desa pada daerah kelod-kauh (barat daya) yang
mengarah ke laut. Peruntukan perumahan dan Banjar berada pada peruntukan madya (baratlaut).
2.3.2 Swastika
Penerapan konsep Swastika dalam konsep ruang pemukiman di Bali, dapat dilihat
berupa adanya perempatan jalan atau Pempatan Agung (catuspatha) di pusat pemukiman.
Konsep Pempatan Agung merupakan ungkapan pola ruang salib sumbu jalan, sebagai
persilangan sumbu bumi dengan sumbu matahari, dan dapat dianalogkan dengan (+) atau
tapak dara, yang merupakan kerangka dasar tanda Swastika.Tanda tapak dara sebagai
lambang "jalannya matahari" adalah kerangka dasar tanda Swastika. Swastika dikembangkan
7

dari tanda (+) yang di ujung-ujungnya diberi garis pendek mendatar. Tanda Swastika ini juga
merupakan perlambang "jalannya matahari".
Swastika yang telah digunakan sebagai simbol agama Hindu, berarti "selamat" atau
"sejahtera". Bagi umat Hindu, filosofi Swastika memiliki makna religius yang sangat
mendalam, yaitu sebagai simbol "gerak nan abadi" yang muncul dari arah "pergerakan semu"
matahari dari timur ke barat. Gerak matahari ini terlihat, karena bumi berputar pada sumbunya
dari kiri ke kanan (pradaksina), kemudian berevolusi mengelilingi matahari dari barat ke
timur, sehingga matahari terlihat bergerak dari timur ke barat.
Swastika sebagai simbol agama Hindu juga memiliki makna perputaran dunia yang
dijaga oleh manifestasi Kemahakuasaan Tuhan di delapan penjuru mata angin (asthadala) dan
berpusat pada Siwa di titik tengah. Ke-9 manifestasi Kemahakuasaan Tuhan ini kemudian
disebut Dewata Nawasanga.

2.4 Penerapan Catuspatha


2.4.1 Penerapan Makro
Natah Kota
Natah dalam kota-kota tradisional pada masa kerajaan di Bali berada pada suatu
simpang empat di tengah-tengah kota yang merupakan tempat kedudukan fasilitas utama kota
seperti puri sebagi fasilitas pusat kekuasaan pemerintahan, pasar, bencingah puri dengan
fasilitas bale wantilan, dan terdapat pula ruang terbuka hijau kota. Simpang empat dengan
kondisi seperti di atas lazim disebut catuspatha. Sedangkan kata `catuspatha` berasal dari
bahasa sanskerta yang berarti empat jalan atau simpang empat. Natah kota seperti ini belum
sah sebagai pusat kerajaan sebelum diresmikan melalui suatu proses ritual pemelaspasan atau
pemasupatian.
Dalam perkembangan zaman, sejak masa kolonial Belanda, pusat catuspatha yang
pada masa kerajaan merupakan ruang kosong sebagai natah kota mulai dibanguni dengan
elemen estetika kota ataupun tanda pengenal lingkungan.
8

Fungsi Natah Kota


Natah kota tradisional pada masa kerajaan dalam catuspatha difungsikan sebagai
halaman untuk penyelenggaraan upacara tawur yang secara periodik dilakukan setiap tahun,
pada Hari Tilem Kesanga. Secara insidentil, catuspatha difungsikan sebagai tempat
melakukan kegiatan ritual seperti ngulapin, nebusin, ngelawang, dan lain-lain. Dalam prosesi
upacara ngaben secara tradisi dilakukan pemutaran bangunan usungan jenazah (bade) di pusat
catuspatha ini. Kegiatan-kegiatan seperti di atas dapat dilakukan dengan baik bila pusat
catuspatha masih dalam kondisi kosong. Setelah ada bangunan di tengah catuspatha mulai ada
gangguan fungsi karena sarana upacara yang semestinya berada di pusat catuspataha tidak
lagi dapat ditempatkan di pusat. Bahkan, kegiatan tawur ada yang berpindah ke tempat lain,
misalnya ke alun-alun.

Makna Natah Kota


Simpang empat menyiratkan suatu tapak dara. Suatu tapak dara menyimbolkan alam
semesta, jagat raya atau jagat dan juga simbol penangkal kejahatan agar selamat. Di lain
pihak, suatu simpang empat juga merupakan perpotongan dua sumbu: utaraselatan dan
timurbarat. Perpotongan sumbu merupakan titik `nol` atau windu yang melambangkan
kekosongan. Kekosongan atau windu juga menyimbolkan alam semesta. Dalam lontar Eka
Pratamaning Brahmana Sakti Bujangga disebutkan bahwa sumbu utara selatan merupakan
sumbu nilai dan sumbu timurbarat merupakan sumbu kehidupan dan kematian atau
kemajuan dan kemunduran. Dari pusat catuspataha ditentukan letak pusat kekuasaan/puri

2.4.2 Penerapan Meso


Natah Desa
Suatu lingkungan yang lebih kecil dari kota dan lebih besar dari rumah adalah desa,
memiliki elemen-elemen lingkungan desa yang terdiri atas rumah-rumah penduduk, fasilitas
pelayanan publik dan prasarana. Suatu halaman desa terbentuk oleh elemen-elemen ini.
Analog dengan natah yang ada di suatu rumah maka suatu ruang di tengah desa yang
terbentuk oleh sederetan rumah-rumah penduduk yang berada di sisi kiri dan kanannya. Desadesa tradisional di Bali umumnya berpola linier sehingga bentuk `natah` desa ini juga
9

umumnya memanjang menurut orientasi kaja kelod. Natah desa ini bisa berwujud suatu
margi agung atau bisa berwujud suatu ruang komunitas yang di dalamnya terdapat bangunanbangunan fasilitas desa.
Fungsi Natah Desa
Fungsi natah desa ini, pada dasarnya sama dengan natah rumah namun skalanya lebih
besar. Di natah desa ini dilakukan berbagai kegiatan sosial dan keagamaan. Fungsi sosial
natah desa seperti berkomunikasi, rekreasi, sampai jual beli. Sedangkan fungsi religiusnya
berupa kegiatan-kegiatan adat/keagamaan dalam berbagai bentuk yadnya seperti pecaruan,
prosesi keagamaan berkaitan dengan dewa yadnya dan prosesi berkaitan dengan pitra yadnya.
Dari aspek tata ruang, natah desa merupakan ruang terbuka untuk umum yang berperan
sebagia paru-paru desa. Dalam beberapa kasus di Bali seperti di desa-desa Tenganan, Bugbug,
dan Timrah sangat jelas di natah desa ini terdapat bangunan-bangunan umum dan keagamaan
seperti, bale banjar, bale desa, pura desa, bale agung, lumbung desa, dan lain-lain.
Makna Natah Desa
Natah desa juga memiliki makna yang serupa dengan natah rumah yaitu secara
filosofis merupakan media perpaduan antara unsur akasa dan unsur pertiwi, dan sebagai
tempat manusia berorientasi untuk menemukan objek yang dituju dan menjadi orientasi
aksesbilitas ke rumahrumah penduduk dan ke fasilitas umum.

2.4.3 Penerapan Mikro


Natah Rumah
Natah dalam rumah masyarakat Hindu di Bali dataran sangat jelas terbentuk oleh
adanya bangunan-bangunan yang mengelilinginya. Karena bangun dasar masa-masa yang
membentuknya pada dasarnya persegi empat, maka bangun dasar natah rumah juga persegi
empat. Natah sebagai `ruang luar tengah` tidak terbentuk secara sempurna karena ada
penerusan-penerusan ke ruang luar bawahannya yang terjadi karena jarak antar bangunan satu
dengan yang lainnya. Sejalan dengan perkembangan zaman, telah terjadi pula perkembangan
tuntutan akan ruang, kemajuan teknologi, dan pengaruh budaya asing. Dalam suatu natah
umumnya terdapat bangunan palinggih untuk pengijeng karang atau penunggun karang.
10

Fungsi Natah Rumah


Fungsi natah adalah untuk melakukan kegiatan upacara yang berkaitan dengan butha
yadnya seperti mecaru; berkaitan dengan manusa yadnya seperti mabyakala atau juga untuk
prosesi upacara pernikahan; berkaitan dengan pitra yadnya seperti prosesi menyucikan
jenazah dan roh manusia. Fungsi sosialnya adalah untuk penerimaan tamu yang berkaitan
dengan upacara atau perayaan. Fungsi kesehatannya adalah penyediaan ruang terbuka untuk
mempermudah memperoleh sinar matahari, penerangan, udara segar, dan lain-lainnya.
Makna Natah Rumah
Secara filosofis, natah merupakan media pertemuan antar unsur akasa (langit) yang
bersifat purusa (jantan) dan unsur pertiwi (bumi) yang bersifat pradana (betina). Setiap
pertemuan kedua unsur ini menghasilkan cikal bakal suatu bibit kehidupan, dan di tataran ini
adalah kehidupan keluarga. Natah dengan statusnya seperti itu menjadi unsur penting yang
sentralistrik dalam tatanan suatu rumah sehingga berperan sebagai pusat orientasi masa
bangunan dan pusat orientasi sirkulasi.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam sistem ide terjadi perubahan gagasan dimana pandangan tentang pusat
catuspatha yang kosong berubah menjadi elemen estetika kota, disamping berperan sebagai
rambu-rambu lalu lintas juga sebagai orientasi. Gagasan penempatan elemen-elemen sebagai
ekspresi simbolis dewa-dewa penjaga kota yang berada di batas-batas kota/pemukiman dalam
segala penjuru mata angin berubah ke pola Barat dengan penempatan elemen estetika di pusat
catuspatha. Penempatan elemen estetika di pusat catuspatha berdampak terhadap pelaksanaan
upacara keagamaan yang semestinya secara tradisi mengambil tempat di catuspatha, terpaksa
digeser ke tempat lain. Simbol-simbol baru yang terbentuk seperti patung empat muka, tugu,
patung kandapat sari masih kurang dapat dipahami secara menyeluruh oleh kelompokkelompok masyarakat tertentu.
11

Daftar Pustaka
Putra, I Gusti Made. 2005. Jurnal Permukiman Natah Vol. 3 No. 2. Catuspatha - Konsep,
Transformasi, dan Perubahan. Tidak Dipublikasi.
Budihardjo, Rachmat. 2013. NALARs Volume 12 No 1. Konsep Arsitektur Bali Aplikasinya
pada Bangunan Puri. Tidak Dipublikasikan.
Acwin Dwijendra, Ngakan Ketut. 2003. Jurnal Permkiman Natah Vol. 1 No. 1. Perumahan
Dan Permukiman Tradisional Bali. Tidak Dipublikasi.
http://google.com/ Perubahan Ekspresi Konsep Natah dalam Tata Ruang di Bali _ Melayu
Online.html. tanggal pengutipan 10/11/2014.
http://google.com/Cyber Dharma

Luan-Teben (Hulu-Muara)

Konsep Harmoni menurut

Hindu.html. tanggal pengutipan 10/11/2014.


http://google.com/Informasi Wisata dan Budaya Perumahan dan Permukiman Tradisional
Bali.html. tanggal pengutipan 10/11/2014.
http://google.com/Paradigma Kosmologi dan mitologi arsitektur bali.html. tanggal
pengutipan 10/11/2014.
http://google.com/ VENDETTA _ Sedikit Tentang Pola Penataan Ruang Tradisional
Bali.html. tanggal pengutipan 10/11/2014.

12

Anda mungkin juga menyukai