Anda di halaman 1dari 114

I

PENGANTAR

1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota


Dalam sejarah, sebagian besar kota berasal dari komunitas bangsawan atau
juga berkat adanya pasar sebagai tempat transaksi tukar menukar dan jual beli
barang. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik di wilayah milik seorang
bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan transaksi perdagangan guna
memenuhi permintaan. Transaksi dagang hanya dapat terlaksana dengan bekerja
ataupun dengan tukar menukar kemudian jual beli barang. Apabila kondisi demikian
itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajar bila kota itu
menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, bandanda, bhagawanta (keraton, puri)
maupun tempat pasar, bencingah, wantilan, alun-alun dan lain-lainnya (Kartodirdjo,
1977).
Landasan teori penemuan hari jadi kota Denpasar dan untuk memahaminya
mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya dan unsur-
unsur sosiokultural seperti yang terdapat di pelbagai negeri dan di pelbagai daerah di
Nusantara (Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk mengidentifikasi, menemukan dan
menyoroti sejarah kota Denpasar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota-
kota kuno di Asia termasuk munculnya kota-kota kuno atau kota-kota lama di
Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia. Kota-kota di Asia banyak berpusat
pada istana raja, keraton (pura atau puri) sedangkan pelbagai lembaga dan komunitas
terletak di sekeliling kota itu.
Ekotipe kota atau komunitas sosial yang berkembang di kota sangat
ditentukan oleh pembagian pekerjaan antara lain pendeta, prajurit, pedagang, dan
pengrajin. Mereka pada umumnya tinggal di lokasi yang terpisah-pisah. Di kota-kota
kuno pada umumnya keraton (puri) menjadi pusat pemerintahan, perdagangan
(pasar), kesenian dan kebudayaan. Pada masa lampau selama berabad-abad,
permukaan kota hanya merupakan titik yang tidak berarti di tengah-tengah hutan
rimba dan padang belantara. Kota kuno periode klasik Hindu/Budha di Nusantara
pada umumnya didirikan dipedalaman dan dekat muara sungai-muara sungai besar

1
seperti Mataram, Kediri dan Majapahit di Jawa serta beberapa pulau besar lain
(Mahmud, 2003: 41; Rahman, dkk, 2000: 3). Wertheim (1959) memandang bahwa
semua aspek budaya yang lebih dahulu berakar di Indonesia berperan menentukan
konsep yang diterapkan pada kota kunonya. Kota kuno klasik Hindu/Budha
dikembangkan dan ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa (dewa raja).
Stuterheim menggambarkan mengenai aturan tempat tinggal di lingkungan
sekitar keraton Majapahit. Orang yang diijinkan mendirikan rumah disekitar keraton
hanyalah kerabat raja, abdi dalem (pelayan), sanak keluarga yang dipercayai, dan
pendeta yang memimpin upacara keagamaan. Sementara rakyat jelata bermukim di
luar pusat administrasi (Piagewd, 1962: 8-11). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pusat kota kerajaan Hindu/Budha adalah keraton (puri). Di sekeliling keraton
(puri) terdapat tempat tinggal pembesar kerajaan dan kerabat raja di Bali dinamakan
jero, geriya, pasar, wantilan dan lain-lain. Dari aspek struktur ideologi kosmologi
kota keraton ditata menurut konsep keseimbangan utara-selatan, timur-barat, ciri
kosmologis itu mengaskan bahwa kota keraton klasik Hindu/Budha di Nusantara
juga bersifat religius-magis, yaitu selain berfungsi sebagai pusat politik dan
kebudayaan juga sebagai pusat keagamaan (Mahmud, 2003: 43). Sifat religius magis
kota keraton klasik Hindu/Budha berhubungan erat dengan pandangan orang Jawa
dan Bali bahwa raja (Dewa Agung, Cokor Dewa menjadi Cokorda) adalah wakil
Dewa dan keraton sebagai pusat dunianya (Mahmud, 2003: 43). Oleh Geertz (2000)
disebutnya suatu struktur halaman di dalam halaman berbentuk persegi yang
berdinding. Tata letaknya menirukan geometri yang dalam dari kosmos (buwana
agung dan buwana alit). Antara arah-arah utama dengan pusat yang tidak berarah
merupakan gabungan dari semua arah itu atau antara bentuk-bentuk maya dari mana
kekuasaan memancar dengan bentuk-bentuk nyata dalam mana kekuasaan itu
nampak. Keraton (puri) mengekspresikan secara arsitektural bahwa tempat duduk
raja adalah poros dunia (Geertz, 2000: 208-209).
Geertz (2000) juga menyatakan bahwa keraton (puri, puri agung) di Bali
sebenarnya hampir sama dengan kahyangan (pura). Jika kahyangan (pura) adalah
tempat persemayaman dewa dalam wujud yang abstrak, maka keraton (puri) adalah
tempat persemayaman raja yang merupakan penjelmaan dewa yang mengejawantah
pada diri manusia. Dengan demikian puri adalah bangunan suci dalam konsep

2
religi (Geertz, 2000: ibid.; Munandar, 2005: 12). Kesimpulan Geertz ini didasarkan
kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang yang dihormati
dan dimuliakan seluruh rakyatnya sehingga ia tidak boleh tampil sembarangan di
depan umum. Demikian pula keraton (puri) tempat tinggal sang raja dianggap
sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan disakralkan sesuai dengan
kedudukan raja tersebut. Sebab puri adalah bangunan tempat bertemunya dewa-dewa
dengan masyarakat, antara penguasa dengan bangsawan lainnya (Geertz, 2000;
Munandar, 2005: 13).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemunculan kota Denpasar
berawal dari dibangun dan berfungsinya Puri Denpasar yang sejak semula menjadi
pusat pemerintahan, pusat kekuasaan raja Badung, kemudian termasuk pula pusat
aktivitas ekonomi yaitu pasar yang terletak disebelah selatannya (lihat Schets dalam
Gegevens, 1906). Demikian pula menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas lainnya.
Teori terjadinya kota seperti melekat pada kota Denpasar yang berasal dari kota
keraton tidaklah sendirian. Akan tetapi beberapa kota di Nusantara muncul dan
berawal dari dibangunnya sebuah keraton atau pusat aktivitas lainnya, misalnya
pelabuhan, sungai. Beberapa contoh dapat disebutkan dari acuan pustaka.

1.2 Pustaka Acuan dan Pembanding


Beberapa pustaka dapat dijadikan acuan yang memberikan penjelasan tentang
dari jadi kota di Nusantara. Hal ini dapat dijadikan pembanding sekaligus landasan
bagi penemuan hari jadi dalam hal ini tanggal dan tahun kelahiran kota Denpasar
dalam proses waktu atau panggung pentas sejarah.
Dalam buku Jakarta Kota Perjuangan, Jakarta kota Proklamasi Januari
1945-Januari 1946, ditulis oleh Susantu Zuhdi, diterbitkan oleh Pemerintah DKI
Jakarta pada tahun 1995 dinyatakan bahwa hari jadi kota Jakarta jatuh pada tanggal
22 Juni 1527 (Susanto Zuhdi, 1995). Tentang jari jadi kota Jakarta, Susanto mengutip
pendapat dan temuan dari Soekanto dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta:
Sedjarah Ibukota Kita, terbit pada tahun 1954 (Soekanto, 1954: 60).
Dari segi ekotipe kota, Jakarta adalah tipe kota bandar atau pelabuhan di
Teluk Jakarta. Kota ini bermula dari sebuah komunitas pada masa kerajaan

3
Tarumanegara dan kemudian menjadi bandar kerajaan Pajajaran dengan nama
Kalapa atau lebih dikenal sebagai Sunda Kalapa (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Menurut
Soekanto, nama Sunda Kalapa diubah menjadi Jayakarta oleh Fatahillah pada tangal
22 Juni 1527 setelah pimpinan pasukan Demak ini mengalahkan tentara Portugis.
Nama Jayakarta yang dapat dilafalkan dengan beberapa nama: Jayakarta, Jakarta,
Jaketra atau Jacatra, Yacatra. Menurut sumber-sumber Portugis dan ekspedisi
Cornelius de Houtman (1596) sesungguhnya telah berumur lebih dari empat abad
(Susanto Zuhdi, 1995; A. Heuken SJ, 1999, I: 77; II: 13-17).
Ketika Belanda dengan VOC (kongsi dagang Hindia Timur) menancapkan
kukunya di bumi Nusantara, nama Jayakarta diganti menjadi Batavia, yaitu nama
benteng Belanda di Jayakarta pada tanggal 12 Maret 1619 (A. Heuken SJ, 1999, II:
144-145). Namun, ketika Jepang berhasil menggantikan kekuasaan kolonialisme
Belanda di Batavia, Pemerintah Jepang mengubah nama Batavia menjadi Jakarta
pada tanggal 8 Desember 1942 (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Setelah Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia (RI) memutuskan Jakarta
menjadi ibukota Negara RI pada tanggal 18 Agustus 1945 (Risalah Sidang BPUPKI,
PPKI, 1945: 412). Meskipun telah terjadi beberapa kali perubahan nama namun
Pemerintah DKI Jakarta menetapkan bahwa hari jadi kotanya selalu mengacu pada
tanggal 22 Juni 1527, yaitu momentum kemenangan perang (Jayakarta) dan bukan
momentum pada tanggal lainnya seperti proses perubahan nama seperti yang pernah
terjadi pada kota Jakarta (Wirawan, dkk, 2004: 6).
Sebuah buku yang diberi judul Syarif Abdurrahman Alkadri Perspektif
Sejarah Berdirinya Kota Pontianak oleh penulisnya yang diterbitkan Pemerintah
Kota Pontianak pada tahun 2000 memberikan gambaran tentang proses lahirnya kota
Pontianak, Kalimantan Barat. Penulis menggambarkan kembali fenomena historis
kelahiran kota Pontianak dengan menggunakan momentum berdirinya kerajaan atau
Kasultanan Pontianak dan tokoh pendirinya yaitu Syarif Abdurrahman Alkadri.
Pengalamannya mengembara dan suksesnya berdagang mendorong dia untuk
mendirikan pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam di Pontianak. Tokoh putra
asli Kalimantan Barat ini kemudian menjadi Sultan yang membangun dan
mendirikan Kasultanan Pontianak yang berdaulat penuh dan otonom pada tanggal 23
Oktober 1771 (Ansor Rahman, dkk, 2000). Dewasa ini, Pemerintah Kota Pontianak

4
merayakan hari jadi kotanya pada tonggak sejarah peranan raja Islam (Sultan) Syarif
Abdurrahman Alkadri (1739-1808) membangun Kasultanan Pontianak pada tanggal
23 Oktober 1771.
Sebuah kajian penelitian yang dilakukan oleh tim dari Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tentang hari jadi kota Yogyakarta ditandai
oleh momentum dibangun dan difungsikannya Keraton Ngayogyakarta-Adiningrat
sebagai pusat pemerintahan Kasultanan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-
1792) pada tanggal 7 Oktober 1756, setahun setelah penobatannya. Temuan tim
sejarawan UGM menyimpulkan, apa yang diperingati sebagai hari jadi kota
Yogyakarta yang didasarkan pada keputusan Pemerintah RI tentang Kotapraja
Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 1947 perlu ditinjau ulang. Alasannya ialah kota
Yogyakarta dengan segala kelengkapannya dan dinamikanya sudah ada jauh sebelum
tanggal 7 Juni 1947, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1756. Oleh karena tanggal yang
disebut terakhir ini adalah sebuah momentum yang sangat monumental, yaitu saat Sri
Sultan Hamengku Buwono I masuk dan menempati Keraton Ngayogyakarta-
Adiningrat (Tim Pengkaji, 2003). Dari nama keraton itu, sebelumnya sudah pernah
diterbitkan sebuah buku yang berjudul Kota Jogjakarta 200 Tahun yang diterbitkan
panitia peringatan pada tanggal 7 Oktober 1956. Di dalam buku peringatan Kota
Jogjakarta 200 Tahun dijelaskan bahwa dari nama sebuah keraton pusat
pemerintahan dan ibukota Negara Ngayogyakarta-Adiningrat dijadikan nama ibukota
selanjutnya sesuai dengan perubahan statusnya.
Sejak 5 September 1945 menjadi ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian sejak 4 Januari 1946 menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.
Selanjutnya ibukota Yogyakarta termasuk lingkungan Kabupaten Kota. Dengan
dihapusnya Kabupaten Kota, ibukota Yogyakarta mendapat kedudukan daerah
otonom dengan nama Haminte Yogyakarta. Kemudian sejak tanggal 7 Juni 1947
diubah menjadi Kotapraja Yogyakarta (Panitya Penerbitan, 1956: 31, 33). Dari
gambaran proses perubahan status kota secara yuridis formal tidak mengurangi
peranan dari aspek historis kelahirannya untuk Yogyakarta dikembalikan pada
momentum berdirinya keraton sebagai cikal bakal kotanya.

5
II

DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL

2.1. Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung


Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan bekas-bekas
atau bukti-bukti peninggalan masa lampau dapat diketahui, bahwa spasial yang
kemudian menjadi wilayah Kerajaan Badung adalah tempat produk artefak,
diantaranya: Prasasti Blanjong di Sanur berangka tahun 913 Masehi. Pura
Maospahit Grenceng dan Tonja, Sumerta abad ke-14. Bukti tinggalan artefak Pura
dengan langgam arsitekturnya, institusi dan lain-lainnya memberikan fenomena
kehidupan komunitas yang sudah teratur.
Dari sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan
dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan. Oleh karena itu selain pertanian dapat
juga dikatakan aktivitas perdagangan laut cukup tua usianya (Kuta, Sanur).
Pelabuhan ini sering didatangi pedagang-pedagang dari luar, berinteraksi melalui
tukar-menukar barang dagangan dan unsur-unsur sosiokultural antar etnik. Fenomena
yang berlangsung selama 4 abad lebih sebelum dibangunnya institusi kerajaan sangat
menarik untuk direkonstruksi meskipun informasi yang ada belum memadai. Oleh
karena itu masih perlu digali sumber-sumbernya. Akan tetapi disepakati bahwa
institusi dan komunitas kuno telah terbentuk berupa desa dan subak sebagai wadah
berinteraksi para warganya. Artinya kehidupan masyarakatnya lebih menunjukkan
corak agraris yang didukung pula aktivitas bahari karena wilayahnya dikelilingi
lautan di sisi Barat, Selatan hingga di sisi Timur (Kuta, Kedonganan, Jimbaran dan
Sanur). Selain nelayan dikawasan pantai itu juga dikenal produksi garamnya.
Produksi kerajinan seperti gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno
seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang (Boon, 1938: 3-4).
Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh
Anglurah dan kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak
awalnya pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada bersama-sama para Arya pada tahun 1343. Salah seorang
Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi kerajaan di badung dan

6
Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan
yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M.
Suhardana, 2006: 44-45). Ketika ekspedisi Gajah Mada digelar, Arya Kenceng
menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu Bali dari arah Selatan.
Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan, Tabanan
(Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II).
Di dalam Babad Tabanan dijelaskan bahwa Arya Kenceng yang
berkedudukan di Desa Pucangan atau Buahan penguasa Tabanan menurunkan empat
putra putri, buah perkawinannya dari dua ibu. Dua putra beribu seorang putri
Brahmanawangsa dari Ketepeng Reges Majapahit, yaitu Dewa Raka bergelar Sri
Magada Prabu dan adiknya bernama Dewa Made bergelar Sri Magada Nata. Putra
ketiga lahir dari lain ibu diberi nama Kyayi Tegeh atau Tegeh Kori dan adiknya
bungsu adalah seorang putri diberi nama Istri Tegeh Kori. Sri Magada Prabu
menggantikan kedudukan ayahnya berkuasa di Buahan Tabanan. Oleh karena tidak
berputra sampai meninggal, maka kedudukannya digantri oleh adiknya yaitu Sri
Magada Nata yang bergelar pula Sirarya Ngurah Tabanan. Adik Sri Magada Nata
yang bernama Kyayi Tegeh Kori diberi tugas oleh raja Bali (Dalem) di Samprangan
menjadi penguasa di Badung berkedudukan di Desa Tegal disebelah Selatan setra
Badung (Babad Tabanan: 11b-12b).
Kedudukan Sri Magada Nata semasih hidupnya digantikan oleh putranya
yaitu Kyayi Langwang berhak memakai gelar Sirarya Ngurah Tabanan. Kyayi
Langwang pindah dari Buahan membangun tempat tinggal baru di Tabanan. Setelah
kedudukan diserahkan kepada Kyayi Langwang, Sri Magada Nata pergi dari Buahan
membangun tempat peristirahatan di Kubon Tinggu. Disitu sempat menikah dengan
putri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesa
atau Kyayi Ketut Pucangan. Menginjak dewasa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya
yaitu dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang
bernama Kyayi Anglurah Langwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa)
diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker tumbuh
disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut Bendesa diberi
julukan Kyayi Notor Wandira.

7
Kyayi Ketut Bendesa yang diberi gelar juga Notor Wandira mempunyai
kesukaan melakukan yoga semadi ke pura mengajak pengiring setia bernama Ki
Tambyak. Atas keteguhan hati melakukan yoga semadi di Pura Panorajon
memperoleh petunjuk melanjutkan perjalanan hingga ke Pura di Pelinggih Ida Batari
Danu. Disini yoga semadinya memperoleh berkah sabda agar Kyayi Ketut Bendesa
memandang daerah yang ditunjuk dan dilihatnya gelap (Badeng). Kyayi Ketut
Bendesa diberi anugrah pula berupa cambuk (pecut) dan sumpit (tulup). Semua
pengalaman yoga semadi yang memperoleh berkah dilaporkan kepada ayahnya Sri
Magada Nata kemudian menganugrahkan sebuah keris pusaka bernama Ki Cekle
kepada putranya.
Ketika terjadi kekosongongan penguasa di Puri Penatih maka atas titah
Dalem di Gelgel kepada Arya Magada Nata untuk memperkenankan adiknya yang
bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa. Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi
pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang kemudian
menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Oleh karena itu Kyayi Tegeh Kori
menjadi penguasa di Badung.
Berdasarkan anugrah petunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa
bersama seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta pengiring
setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk mengabdikan
dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi putra angkat diberi nama
Kyayi Nyoman Tegeh dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang
bernama Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh.
Kyayi Ketut Bendesa (Nyoman Tegeh) berputra Kyayi Gede Raka atau Kyayi
Pasak. Kyayi Gede Raka berputra Kyayi Bebed yang ditugaskan oleh Kyayi Tegeh
Kori atas perintah Dalem untuk menumpas pemberontakan Kyayi Ngurah Janggaran
dari Sidemen. Perang tanding antara Kyayi Ngurah Janggaran melawan Kyayi Bebed
berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama menderita luka.
Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah Janggaran mengetahui Kyayi Bebed mampu
menyembuhkan lukanya sendiri, maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan jujur ksatria
menyatakan diri kalah. Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan
kemenangan Kyayi Bebed. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Bebed yang

8
sembuh mengkerut seperti kayu pule maka Dalem member nama kehormatan kepada
Kyayi Bebed dengan gelar Kyayi Jambe Pule atau Kyayi Biket.
Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri
Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Jambe Merik
membangun Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Gusti Ayu Made Jambe
dengan Dalem Dimade melahirkan putra bernama Dewa Agung Jambe peletak dasar
Kerajaan Klungkung. Permaisuri kedua Istri Penataran melahirkan seorang putra
bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan membangun Puri
Pemecutan. Istri Penawing Wija dari Desa Tumbak Bayuh Badung bernama Niluh
Tameng (Jro Kame) melahirkan seorang putra yaitu Kyayi Ngurah Tumbak Bayuh
atau Kyayi Ngurah Gelogor, membangun Puri Gelogor.
Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung,
Puri Pemecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan penguasa lama di daerah
Badung yaitu Kyayi tegeh Kori di Puri Tegal. Kyayi Tegeh Kori berkeyakinan
bahwa ketiga kekuatan itu lebih mendapat perhatian dan kepercayaan dari
pemerintah pusat di kerato Sweca Linggarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena
ketiga bersaudara itu adalah ipar dari penguasa Bali Dalem Dimade. Untuk
mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyayi Tegeh Kori
mempertunangkan seorang putrinya dengan I Gusti Jambe Mihik (Merik) di Puri
Alang Badung. Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyayi Tegeh Kori
berubah pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyayi Ngurah Agung di Puri
Jero Gede Pupuan Mengwi (Raja Purana Kenceng, Gora Sirikan, II). Persetujuan
atas lamaran penguasa Puri Pupuan Mengwi itu membangkitkan amarah I Gusti
Jambe Mihik karena rasa malu dan dihinakan. I Gusti Jambe Pule bersama putra-
putranya berunding untuk menyerang Kyayi Tegeh Kori. Akan tetapi sebelum
gerakan laskar Jambe Pule sampai di Puri tegal, Kyayi Tegeh Kori sudah lebih dulu
meninggalkan Purinya mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan
menetap di Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh
dibawah kekuasaan Puri Alang Badung dan Puri Pemecutan.
Berkat kerjasama kedua raja kakak beradik maka dapat dikatakan Kerajaan
Badung mulai berdiri diatas kekuatannya sendiri. Kedaulatan Kerajaan Badung dapat
dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan Gelgel terutama setelah

9
dikendalikan oleh Kyayi Agung Dimade atau Sagung Maruti (1651-1677).
Keberanian Kerajaan Badung menentang kekuasaan di Gelgel terbukti dari
kebebasannya bertindak mengadakan hubungan langsung dengan persekutuan
dagang kompeni (VOC) bangsa Belanda tanpa berunding terlebih dahulu dengan
kekuasaan di Gelgel. Kerajaan Badung sudah member ijin kepada kompeni (VOC)
Belanda mendirikan sebuah kantor dagang di pelabuhan Kuta pada tahun 1660.
Kantor dagang VOC itu berfungsi untuk menimbun hasil bumi yang dibeli dari Bali
dan juga untuk perdagangan budak yang banyak memberi keuntungan bagi kompeni
pada abad 17-18 (Gora Sirikan, II).
Ketika pangeran (Dewa Agung) Jambe putra Dalem Dimade menggulingkan
kekuasaan Kyayi Agung Dimade di Gelgel pada tahun 1677 ternyata laskar Kerajaan
Badung dibawah pimpinan I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) ikut membantu
menyerang dari pantai Selatan. Perang tanding yang terjadi di pantai Batu Klotok
antara Jambe Pule melawan Dukut Kerta, keduanya tewas. Untuk memperingatinya
diberi gelar Dewata ring Batu Klotok. I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) diganti oleh
putranya yang bernama I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Sejak kekuasaannya
kebesaran Puri Pemecutan menanjak dan wilayah Kerajaan Badung bertambah luas.
Keraton (Puri) Pemecutan dapat dipandang sebagai sumber pemusatan keluarga
Jambe Pule. Puri Pemecutan dapat dianggap sebagai modal perjuangan untuk
memperluas kekuasaan di Kerajaan Badung. Lebih-lebih sejak perkawinan agung
antara I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan dengan putri mahkota Kerajaan Mengwi yang
bernama I Gusti Ayu Bongan. Setelah pernikahan itu maka wilayah Kerajaan
Badung di Puri Pemecutan bertambah luas. Putri mahkota Mengwi Gusti Ayu
Bongan mendapat hadiah dari ayahnya sebagian wilayah Kerajaan Mengwi yaitu
Dalung, Gaji, Kuta, Jimbaran sampai Bukit Pecatu diserahkan kepada Raja Badung
di Puri Pemecutan I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan (Gora Sirikan, II)
Penguasa dan raja di Puri Pemecutan menggunakan kata Sakti untuk
memperingati kemenangannya atas serangan laskar (Panji Sakti) dan menggalkan
penyerangan Raja Panji Sakti dari Kerajaan Buleleng. Sebagai peringatan atas
kemenangan itu maka medan laga itu disebut Taen Siat dan sebuah gong milik
Kerajaan Buleleng dapat dirampas kemudian dijadikan pusaka Puri Pemecutan diberi
nama Gagak Ora. Maknanya ialah apabila ditabuh laksana suara burung gagak

10
yang riuh rendah menakutkan sekalian musuh yang mendengarkan. Selain itu, raja
Panji Sakti mempersembahkan sebuah Bale Kulkul yang masih berdiri dipojok
perempatan Pemecutan saat ini.
Kemasyuran namanya ditandai pula dengan banyak punya istri yang menjadi
cikal bakal kerabat dan mereka masing-masing membangun puri-puri disekeliling
Puri Pemecutan. Upaya ini dilakukan untuk mendukung sakti kekuasaan Puri
Pemecutan. Salah seorang putranya lahir dari Istri Padmi I Gusti Ayu Bongan
bernama I Gusti Gde Oka pindah dari Puri Pemecutan membangun Puri Kaleran.
Kemudian putranya yang bernama I Gusti Ngurah Gde diangkat manca untuk
memperkuat kekuasaan raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Mereka telah
membawa tahta kekuasaan Kerajaan badung Puri Pemecutan mencapai puncak
kebesarannya (Gora Sirikan, II). Ketika Raja Mengwi wafat pada tahun 1722,
sumber VOC menyebut bahwa pembesar Kerajaan Badung adalah Raja Pemecutan.
Dapat diketahui pula bahwa Raja Pemecutan pada waktu itu telah mengadakan
hubungan perdagangan dengan orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan para
pedagang dari badung sudah memiliki perahu dagang yang mampu mengangkut
barang dagangan dan penumpang para budak, jumlah mereka 60-70 orang sebagai
dagangan (Nordholt, 2006: 37).
Memuncaknya kebesaran Puri Pemecutan juga karena ditopang oleh raja di
Puri Alang Badung disebelah Timur Tukad badung sampai awal abad ke-18. Akan
tetapi setelah raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan wafat, maka cahaya kebesaran
Puri Pemecutan meredup maka kemudi Kerajaan Badung didominasi oleh kendali
Gusti Jambe Ketewel (Gora Sirikan, II). Pemegang kekuasaan di Puri Alang Badung
ialah I Gusti Jambe Ketewel putra I Gusti Jambe Tangkeban atau cucu I Gusti Jambe
Mihik (Merik) pendiri Puri Alang Badung. Pada masa itu pemegang kekuasaan di
Puri Pemecutan adalah I Gusti Gde Rai putra I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan atau
cucu Kyayi Ngurah Pemedilan (Pemecutan). Oleh karena I Gusti Jambe Ketewel
yang bertahta di Puri Alang Badung lebih tua usianya dari pada I Gusti Gde Rai yang
bertahta di Puri Pemecutan. Sebaliknya cahaya kebesaran Puri Alng Badung
memuncak pada decade ketiga abad ke-18.
Ketika I Dewa Agung Anom putra I Dewa Agung Jambe Raja Klungkung
membangun keraton dan mendirikan Kerajaan Sukawati, ternyata I Gusti Jambe

11
Ketewel bertindak atas nama Kerajaan Badung. Raja Jambe Ketewel ikut serta
menegakkan kerajaan itu bersama-sama dengan raja-raja di Kerajaan Mengwi dan
Tabanan. Atas dukungan itu, I Dewa Agung Anom raja Sukawati berkenan
menyrahkan sebuah desa bernama Batubulan untuk menjadi milik Kerajaan Badung.
Hubungan kekerabatan yang sangat akrab antara raja Badung di Puri Alang
Badung dengan I Dewea Agung Anom di Puri Sukawati menyangkut pula pewarisan
kekuasaan pewaris raja I Gusti Ngurah Jambe Ketewel. Seorang putra yang
merupakan titisan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati lahir bernama I Gusti
Jambe Aeng menjadi pewaris tahta di Puri Alang Badung. Sebagai pertanda titisan
Ksatria Dalem kepada I Gusti Jambe Aeng dan keturunannya maka secara turun-
temurun berhak menggunakan pengusung jenazah (bade) yang menggunakan dasar
Bedawangnala dan Nagabanda sebagai upakara dalam pitra yadnya (Babad Dalem
milik Puri Sukawati). I Gusti Jambe Aeng pewaris tahta di Puri Alang Badung
memindahkan keratonnya dan membangun keraton baru yang diberi nama Puri Satria
pada tahun 1750. Puri Satria adalah sebuah nama yang dikaitkan dengan raja I Dewa
Agung Anom di Puri Sukawati untuk mengabadikan nama wangsa atau trah Ksatria
Dalem (Gora Sirikan, II).
Pembangunan keraton baru di Puri Satria oleh I Gusti Jambe Aeng tidaklah
menambah kekuasaan baru namun ciri kekuasaan kembar ke dalam dan kekuasaan
tunggal Kerajaan Badung ke luar tetap berlangsung mengikuti jejak pendahulunya.
Dalam praktek nampak bahwa secara bergantian raja-raja di Puri yang ada
memegang kendali Kerajaan Badung. Pada masa raja I Gusti Gde Rai di Puri
Pemecutan dan Raja Gusti Jambe Aeng di Puri Satria secara bergantian memegang
kendali Kerajaan Badung. Keduanya mampu mengendalikan keamanan dan
ketentraman. Mereka senantiasa bersatu dan bekerjasama demi kebesaran dan
kesentosaan kehidupan di Kerajaan Badung.

2.2. Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota Kerajaan


Badung Tahun 1788
Raja I Gusti Jambe Aeng di Puri Satria (1750) wafat diganti oleh putranya
bernama I Gusti Ngurah Jambe Ksatria (sampai 1779) yang sangat lemah dalam

12
mengendalikan pemerintahan. Kelemahan ini dipakai kesempatan oleh I Gusti
Ngurah Rai adik I Gusti Ngurah Made seorang manca di Puri Kaleran, bawahan dan
cucu raja di Puri Pemecutan. Niat dan ambisinya ditujukan kepada raja penguasa
yang sangat lemah di Puri Satria. I Gusti Ngurah Rai terlebih dahulu mengadakan
perundingan dengan Dewa Manggis raja di Kerajaan Gianyar. Raja Gianyar sanggup
membantu usaha I Gusti Ngurah Rai. Untuk melaksanakan niatnya, dia sengaja
mencari alasan perselisihan dengan raja di Puri Satria. Upaya ini berhasil
mengakibatkan Puri Satria dikepung oleh laskar I Gusti Ngurah Rai bersama
saudaranya dan I Gusti Ngurah Made yang dibantu laskar Gianyar. Serangan
gabungan ini berhasil dan Raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria tewas (1779) di tangan
I Gusti Ngurah Rai. Sebelum tewas tahta kekuasaan diserahkan kepada I Gusti
Ngurah Made. Sebaliknya I Gusti Ngurah Rai karena kecurangannya dikutuk.
Bekas kekuasaan Puri Satria jatuh dibawah genggaman I Gusti Ngurah Made
penerima tahta dari I Gusti Ngurah Jambe Ksatria. Sejak itu dia diakui oleh rakyat
Badung sebagai seorang raja yang mempunyai kekuasaan besar. Oleh karena Puri
Satria rusak, maka I Gusti Ngurah Made mendirikan keraton baru yang dijadikan
pusat untuk mengendalikan pemerintahannya. Keraton baru itu mengambil lokasi di
sebelah Selatan Puri Satria, dan karena didirikan dilokasi taman Denpasar yang
letaknya di sebelah Utara pasar maka setelah selesai diberi nama Puri Denpasar pada
tahun 1788 (lihat Schets). Setelah I Gusti Ngurah Made berkedudukan di Puri
Denpasar maka berhak menggunakan gelar seorang raja yaitu I Gusti Ngurah Made
Pemecutan (1788-1813) mengingat keturunannya dari Puri Pemecutan. Sebgaia
Bagawanta kerajaan yang tidak bisa dipisahkan sejak kehadiran Raja Denpasar I
ialah Ide Pedanda di Geriya Sanur kemudian lebih dikenal Geriya Jero Gde Sanur
hingga sekarang.
Dari pihak raja di Puri Pemecutan pun mengakui kekuasaan raja di Puri
Denpasar. Sementara itu untuk menepati janji I Gusti Ngurah Rai terhadap raja
Gianyar yang telah membantunya, maka Raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan
menyerahkan Desa Batubulan menjadi wilayah Kerajaan Gianyar. Janji lainnya ialah
wasiat yang diberikan oleh raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria di Puri Satria sebelum
tewas, yaitu menyerahkan permaisuri yang masih hamil kepada I Gusti Ngurah Made
Pemecutan disertai syarat. Syarat dan wasiat itu menyatakan bahwa kelak apabila

13
lahir anak laki-laki maka dia yang berhak menduduki tahta kerajaan (Ida Cokorda
Denpasar IX; Gora Sirikan, II).

Gambar 1

SCHETS VAN DENPASAR EN PAMETJOETAN

14
2.3. Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar hingga Hancurnya
Puri Denpasar
I Gusti Ngurah Made Pemecutan adalah raja pertama dari Puri Denpasar yang
memperluas hegemoni Kerajaan Badung. Pernah menyerang dan menguasai
Kerajaan Jembrana (1805-1818). Namun pada tahun 1818 direbut oleh raja Buleleng
dan ditempatkan di bawah hegemoni Buleleng (Utrecht, 1962: 101). Pada tahun
1810, I Gusti Ngurah Made Pemecutan membagi daerah kekuasaannya kepada dua
orang putranya yaitu I Gusti Gde Ngurah dan I Gusti Gde Kesiman sebelum dia
wafat pada tahun 1813. Tahta di Puri Denpasar diwariskan kepada I Gusti Gde
Ngurah setelah dinobatkan bergelar I Gusti Ngurah Jambe, Raja Denpasar II (1813-
1817). Sedangkan I Gusti Gde Kesiman mengalih dari Puri Denpasar dan mendirikan
Puri Kesiman. Dialah raja Kesiman I (1813-20 November 1865).
Oleh pemerintah Belanda I Gusti Gde Kesiman adalah seorang raja yang
terkemuka di Kerajaan Badung. Dia dapat mempengaruhi Dewa Agung raja
Klungkung karena seorang putrinya yang bernama I Gusti Ayu Jambe menjadi
permaisuri dari Raja Klungkung VIII yang bergelar Dewa Agung Putra III.
Perkawinan agung itu diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 1854. Raja I Gusti
Gde Kesiman cakap berdiplomasi baik dengan pemerintah Belanda maupun dengan
pihak kerajaan tetangga di Bali. Pengaruhnya semakin besar di Kerajaan Badung,
sesudah saudaranya yaitu I Gusti Ngurah Jambe raja Denpasar II wafat (1813-1817).
Penggantinya ialah I Gusti Made Ngurah, Raja Denpasar III (1817-1829). Karena
masih muda ternyata dapat dipengaruhi oleh pamannya di Puri Kesiman yang
semakin kuat pengaruhnya.
I Gusti Gde Kesiman dianggap cakap dan dapat menciptakan kerjasama atas
dasar saling pengertian antara tiga kekuasaan (Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan
Puri Kesiman) sehingga Kerajaan Badung merupakan kekuatan yang disegani oleh
kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya bebahasa Melayu, I Gusti Gde Kesiman
tidak canggung lagi berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga
di Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II; ANRI, 1964).
Sejak kemudi dipegang oleh I Gusti Gde Kesiman tampak Kerajaan Badung
semakin ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing dari luar pulau Bali.
Bandar Kerajaan Badung yaitu Kuta, Benoa dan Sanur menarik minat pedagang-

15
pedagang asing untuk berniaga di sana. Untuk memperlancar perdagangannya I Gusti
Gde Kesiman berusaha memperbaiki hubungan dagang yang menghubungkan
kerajaan disekitarnya antara lain jalan menuju Kerajaan Tabanan, Mengwi dan
Gianyar. Salah satu jalan perdagangan penting adalah jalan perdagangan dari
Kesiman menuju Kuta yang menurut laporan van Eck melalui Pagan, Tatasan, Tonja,
Denpasar, Titih, Alang Badung, Suci, Alang Kajeng, Celagi Gendong, Gelogor,
Tegal, Monang Maning, Tenten, Buagan, Abian Timbul dan akhirnya Kuta (van Eck,
TNI, I 1880: 214).
Di keraton (Puri) Denpasar, I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi raja
Denpasar IV (1829-1848) bergelar pula Cokorda Denpasar. Dari gelar ini sudah
dapat dinyatakan bahwa dia adalah salah seorang raja terkemuka di Kerajaan badung
pada masa itu. Meskipun peranan raja I Gusti Gde Kesiman tetap penting. Peranan
ini dijalankan terus walau terjadi suksesi baik di Puri Denapsar maupun di Puri
Pemecutan. Akan tetapi setelah I Gusti Gde Kesiman wafat pada tahun 1865 maka
pucuk pimpinan Kerajaan badung mulai pindah ke Puri Denpasar.
Di Puri Denpasar ada tiga raja yang memerintah sebelum meletusnya Puputan
Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1863-1883), dan I Gusti
Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) yang menggunakan gelar I Gusti
Ngurah Jambe Pemecutan. Raja yang disebut terakhir diganti oleh I Gusti Ngurah
Made Agung menjadi Raja Denpasar VII (1902-20 September 1906). Raja Denpasar
VII, I Gusti Ngurah Made Agung dan Raja Pemecutan VIII, I Gusti Ngurah
Pemecutan (Desember 1890-20 September 1906) gugr dalam Puputan Badung. Raja
Kesiman IV, I Gusti Ngurah Agung (1890-1906) wafat terbunuh oleh Dewata ring
Keris pada awal September 1906 (Gora Sirikan, II).

16
III

DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN

3.1. Menjadi Ibukota Modern Kolonial


Perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada tahun 1900-
1940-an sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektor-
sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, perdagangan, dan perindustrian.
Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu memiliki ciri khas yaitu menjadi basis
kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi,
kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi putera atau
Pribumi di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu
orang Cina. (Djoko Suryo, 2004: 1). Kelompok-kelompok masyarakat tersebut
merupakan pendukung berkembangnya suatu kota sehingga kota menjadi pusat
modernisasi. Di Indonesia pada masa kolonial berkembang kota-kota besar baik di
Jawa maupun di luar Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial.
Berkembangnya kota kolonial di Bali tidak lepas dari upaya pemerintah
kolonial Belanda dalam mewujudkan cita-cita Pax Neerlandica, yang menginginkan
agar keamanan dan ketertiban dapat diciptakan di seluruh wilayah Hindia Belanda di
bawah naungan alat-alat kekuasaan kolonial Belanda. Perhatian pemerintah kolonial
terhadap daerah luar Jawa termasuk Kerajaan Badung tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan politik internasional pada saat itu dengan munculnya kekuatan Inggris
sebagai salah satu saingan kolonial Belanda di Nusantara terutama di kawasan timur
Nusantara.(Utrech, 1962: 176-179). Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial
Belanda untuk menjalin hubungan dan selanjutnya dapat menaklukkan kerajaan-
kerajaan di Bali. Dalam kurun waktu 1846-1868 pemerintah Belanda dengan susuah
payah dan pengorbanan yang cukup besar telah berhasil menaklukkan Bali Utara
(Nijpels, 1897).
Setelah berhasil menguasai Bali Utara, ekspedisi militer Belanda dilanjutkan
ke Bali Selatan, namun kematian Mayor Jenderal Michiels, seorang jenderal yang
sangat dikagumi oleh pemerintah Belanda tanggal 25 Mei 1849 menghentikan
ekspansi kolonial ke wilayah Bali Selatan untuk sementara waktu. Dalam waktu

17
yang cukup lama akhirnya pemerintah kolonial Belanda melanjutkan lagi ekspasinya
ke Bali Selatan. Pada tahun 20 September 1906 dalam pertempuran yang sangat
heroik yang dikenal dengan peristiwa Puputan Badung, pemerintah kolonial Belanda
dapat mengalahkan Kerejaan Badung. Puri Denpasar sebagai salah satu istana di
Kerajaan Badung luluh lantak karena gempuran prajurit kolonial Belanda. Maka
sejak tahun 1906 Kerajaan Badung telah menjadi wilayah koloni Belanda.
Berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 2 November 1907 nomor
3, maka sejak 11 November 1907 daerah Badung dijadikan onderafdeeling Badung
di bawah asisten residen afdeeling yang berkedudukan di Denpasar (Staatblad 1907
No. 449).
Dalam Lembara Negara No. 638 tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda
kembali mengadakan penataan administrasi terhadap wilayah Keredidenan Bali dan
Lombok yang dikeluarkan pada tanggal 24 Desember 1910 (Staatblad 1910 No.
638). Afdeeling Bali Selatan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang
berkedudukan di Denpasar, dibagi menjadi lima onderafdeeling yaitu:
Onderafdeeling Karangasem, Klungkung, Gianyar, Tabanan, dan Badung.
Onderafdeeling Badung terdiri atas Distrik Denpasar, Pemecutan, Kuta, Panjer,
Sanur, Kesiman, Peguyangan, Gaji, Kapal, Mengwi, Sibang, Abiansemal, dan
Blahkiuh, termasuk juga onderdistrik Angantaka dan Carangsari. Semuanya dibawah
kontrolir yang berkedudukan di Denpasar.
Penataan administrasi yang dilakukan oleh pemerintah Belanda bertujuan
untuk memperkuat kekuasaannya; menanamkan dan mengembangkan pengaruhnya
di bekas wilayah Kerajaan Badung sehingga dapat menarik simpati masyarakat
Badung. Upaya yang dilakukan untuk merebut simpati masyarakat adalah menata
perkampungan masyarakat asli maupun para pendatang, membangun perkantoran,
pasar, sekolah, museum. Di samping itu pemerintah Belanda juga menata sarana
transportasi seperti pelabuhan, bandara, membangun jembatan dan jalan-jalan dalam
mewujudkan Denpasar sebagai kota modern (Cf. Surjomihardjo, 2000).
Nama Denpasar yang awalnya merupakan nama salah satu puri dijadikan
sebagai nama ibukota afdeeling Bali Selatan, sedangkan situs Puri Denpasar
digunakan sebagai kantor pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeeling
dan onderafdeeling. Dari kantor itulah semua aktivitas pemerintahan dikendalikan

18
dipimpin oleh asisten residen untuk wilayah afdeeling Bali Selatan dan oleh kontrilir
untuk wilayah onderafdeeling Badung. Di samping menjadi ibukota afdeeling dan
onderafdeeling, nama Denpasar juga digunakan sebagai nama distrik yakni Distrik
Denpasar. Sebagai salah satu distrik di wilayah onderafdeeling Badung, Distrik
Denpasar membawahi beberapa desa adat seperti: Desa Adat Yangbatu, Denpasar,
Padangsambian, Kerobokan; serta membawahi beberapa desa dinas diantaranya:
Dangin Puri, Dauh Puri, Pemecutan, Padangsambian, dan Kampung Jawa (Boon,
1938).
Kondisi jalan yang belum memadai pada awal pemerintah Bekanda
menguasai Badung, mulai mendapat perhatian agar arus lalu lintas manusia dan
barang menjadi lebih lancar. Pemerintah Belanda mulai mengadakan pelebaran,
perbaikan, dan pengaspalan jalan-jalan baik yang ada di sekitar kota Denpasar
maupun jalan-jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan daerah-daerah lain
di Bali. Pekerjaan dalam bidang pembangunan jalan, kantor, jembatan, dilaksanakan
dengan memobilisasi tenaga masyarakat dalam kerja wajib (rodi). Menurut catatan
L.U van Stenis (1919: 52-53), pemerintah kolonial Belanda telah melakukan
perbaikan jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Sanur, Kuta dan jalan-
jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan wilayah diluar daerah Badung
seperti: Tabanan, Gianyar, Mengwi, dan Buleleng. Secara lebih rinci disebutkan
bahwa jalan-jalan yang telah diaspal adalah: Denpasar- Sanur sepanjang tujuh
kilometer, Denpasar- Kuta sepanjang 11 kilometer, Denpasar- Gianyar sepanjang 27
Kilometer, Denpasar Tabanan sepanjang 20 kilometer, dan Denpasar Singaraja
sepanjang 87 kilometer.
Fasilitas jalan yang telah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda
mendorong berkembangnya sarana transportasi. Disamping masih mempertahankan
sarana transportasi tradisional seperti dokar, gerobak, masyarakat di wilayah Badung
telah melirik dan menggunakan sarana transportasi modern seperti: sepeda, mobil
pribadi, truk, bus, dan kendaraan gandengan. Dalam catatan H.J. Hoekstra (1937: 59)
jumlah sarana angkutan yang ada di Denpasar adalah sebagai berikut: sepeda 3.000
buah, dokar 261 buah, gerobak 435 buah, mobil pribadi seperti sedan dan jeep 71
buah, mobil truk 44 buah, mobil bus 46 buah, dan kendaraan gandengan 44 buah.

19
Dalam bidang kebudayaan pemerintah kolonial Belanda mengajukan gagasan
yang dikenal dengan Balisering, yang dicetuskan pada tahun 1920. Balisering yang
artinya pembalian terhadap Bali, mencoba untuk mempertahankan Bali dari semua
pengaruh luar khususnya dalam lapangan sosial budaya (Flierhaar, 1933: 3). Gagasan
ini sesungguhnya mempunyai kaitan erat dengan perkembangan pariwisata yang
didukung oleh golongan libral Belanda di Bali. Dengan tetap mempertahankan Bali
sebagai sedia kala (museum hidup), diharapkan Bali akan menarik bagi orang luar
untuk berkunjung ke Bali sehingga dapat menghasilkan banyak uang untuk
membiayai semua aktivitas pemerintah baik pembangunan fisik maupun dalam
meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat.
Pengembangan pariwisata sudah mulai dirintis oleh perusahaan pelayaran
Belanda yang bernama Nederlandsche Handel Maskapij (NHM) pada tahun 1839
dengan membuka kantor cabangnya di Kuta. Usaha ini dilakukan untuk mengalihkan
pandangan pemerintah kolonial dalam rangka mengelola Bali sehingga dapat
menghasilkan keuntungan ekonomi, mengingat Bali bukanlah daerah yang
mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi. Usaha dalam bidang pariwisata
cukup prospektif karena keunikan-keunikan budaya dan keindahan alam Bali yang
sudah mulai dikenal saat itu. Usaha untuk memperkenalkan Bali kepada orang luar
mulai menampkan hasil sejak tahun 1920 karena saat itu telah berdatangan
wisatawan dari luar seperti dari Belanda dan warga Eropa lainnya, walaupun
jumlahnya masih terbatas.
Sekitar tahun 1930 seorang warga negara Amerika yang dikenal dengan nama
Ketut Tantri datang ke Bali untuk berlibur. Keindahan panorama alam Bali yang
dikenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura serta keramah tamahan masyarakatnya
mengakibatkan Tantri betah tinggal di Bali dan selanjutnya menetap di Bali. Karena
terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali, maka Tantri ikut
merintis pendirian fasilitas akomodasi pariwisata seperti pendirian Kuta Beach Hotel
di kawasan pantai Kuta dan Hotel Bali di Denpasar. Pedirian hotel ini dalam rangka
mengantisifasi berkembangnya kunjungan wisatawan ke Bali karena Bali telah
menjadi pembicaraan di berbagai belahan dunia.
Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali yang sudah mulai tampak sejak
tahun 1930 menuntut adanya peningkatan penyediaan fasilitas transportasi yang lebih

20
memadai. Pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun lapangan
terbang di Desa Tuban sekitar 13 kilometer dari Kota Denpasar. Sejak 1 Mei 1937
jadwal penerbangan Denpasar Surabaya telah dilakukan secara teratur dua kali
seminggu. Jumlah penerbangan dan lalu lintas manusia selama tiga tahun dapat
dilihat pada tabel berikut (Soenaryo, 1989: 48).

TABEL 1
JUMLAH PENERBANGAN ANTARA TAHUN 1935-1937
Banyaknya
Tahun Berangkat Datang Jumlah Penumpang
Barang
1935 36 kali 36 kali 288 orang 51 kg
1936 52 kali 52 kali 468 orang 79 kg
1937 85 kali 85 kali 744 orang 172 kg
Sumber: Hoekstra, 1937, Soenaryo, 1989.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa selama tiga tahun terjadi peningkatan
kedatangan wisatawan ke Bali yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah Belanda telah cukup berhasil untuk memperkenalkan masyarakat Bali
kepada dunia luar. Hal ini akan memberikan keuntungan secara ekonomi kepada
pemerintah dan golongan pengusaha dan diharapkan akan memberi pengaruh positif
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali khususnya bagi masyarakat Kota
Denpasar sebagai pusat pemerintahan wilayah Bali Selatan.
Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial merupakan perpaduan
antara konsep arsitektur modern dengan arsitektur tradisional. Sebagai contoh usaha
pemerintah kolonial memperkenalkan konsep waktu secara modern dengan
menempatkan sebuah jam besar (lonceng) tepat di tengah catuspatha Kota Denpasar
yang berfungsi sebagai titik O kilometer. Pada saat itu masyarakat Bali belum
banyak yang memiliki jam dinding atau arloji dalam menentukan waktu, karena
masyarakat masih berpatokan pada tanda-tanda alam seperti matahari, bulan, bintang
dan juga tanda-tanda yang berasal dari suara binatang seperti kokok ayam.
Penempatan jam besar di pusat Kota Denpasar merupakan salah satu unsur modern
yang diperkenalkan pemerintah Belanda kepada masyarakat Denpasar.

21
Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial tidak lepas nilai-nilai
tradisi masyarakat Bali khususnya dalam bidang arsitektur. Hal ini tampak dari
pembangunan Museum Bali yang dirintis sejak tahun 1910 oleh Asisten Residen Bali
Selatan W.F. J. Kroon atas sumbangan pemikiran Ir. Th. A. Resink. Pembangunan
Museum Bali sangat menonjolkan arsitektur Bali baik dari segi bentuk bangunan,
konsep tata ruang, maupun bahan-bahan yang digunakan sehingga museum Bali
merupakan salah satu ikon Kota Denpasar pada saat itu. Dari segi langgam arsitektur
museum tampak bahwa para ahli bangunan dan arsitek Belanda mencoba
memformulasikan arsitektur tradisional Bali ke dalam suatu fungsi baru.
Pembangunan museum ini bertujuan untuk mencegah adanya usaha komodifikasi
benda-benda budaya Bali yang secara ekonomis sangat menguntungkan pihak-pihak
tertentu dan akan memiskinkan budaya Bali. Museum Bali dikelola oleh
Perkumpulan Bali Museum dibuka untuk umum pada tanggal 8 Desember 1932.
Usaha ini berhasil dan Museum Bali yang sekarang masih berdiri tegak di Jalan
Mayor Wisnu menjadi tempat pembelajaran budaya bagi masyarakat Bali dalam
usaha memahami sejarah dan budayanya.
Dalam menunjang aktivitas perekonomian terutama dalam sektor ekspor dan
import pemerintah Belanda mulai menata pelabuhan dengan memindahkan aktivitas
bongkar muat barang dari pelabuhan Kuta ke lokasi baru yaitu di kawasan Benoa.
Secara geografis letak pelabuhan Benoa lebih baik karena tidak langsung berhadapan
dengan Samudera Hindia. Pelabuhan Kuta yang pada jaman kebesaran Kerajaan
Badung menjadi pusat aktivitas perekonomian mengalami kemunduran sejak
jatuhnya Bali Utara ke tangan pemerintah kolonial. Pemerintah Belanda
memindahkan pusat aktivitas perekonomian ke pelabuhan Pabean Buleleng.
Pemindahan pelabuhan dari Kuta ke Benoa memberi dampak positif baik bagi
masyarakat Kuta maupun bagi masyarakat Benoa. Di satu sisi pindahnya aktivitas
pelabuhan dari Kuta memberi kesempatan untuk berkembangnya sektor pariwisata di
Pantai Kuta yang mulai menarik perhatian wisatawan karena pantainya yang berpasir
putih. Di sisi yang lain pelabuhan Benoa dapat berkembang karena letaknya yang
cukup memandai terlindung dari hempasan gelombang ombak besar sehingga
menjadi salah satu pelabuhan penting dalam menunjang aktivitas perdagangan
nasional maupun internasional. Di samping menjadi pusat perdagangan Benoa juga

22
berkembang menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata manca negara yang
telah mulai ramai mengunjungi Bali.
Pembangunan fasilitas fisik terus dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam
membangun Kora Denpasar sebagai pusat pemerintahan. Pada tahun 1927 di jantung
Kota Denpasar berdekatan dengan kantor pusat pemerintahan dibangun sebuah
bangunan yang pada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal bagi tentara Belanda
yang bertugas menjaga keamanan Kota Denpasar. Pada tahun 1928 bangunan ini
diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada perusahan pelayaran milik pemerntah
Belanda yang bernama Koninkelijke Paketvaar Matschappij (KPM). Setalah dikelola
oleh KPM bangunan dikembangkan dengan penambahan fasilitas yang memadai dan
difungsikan sebagai tempat menginap bagi tamu pemerintah Belanda dan para
pegawai perusahaan KPM yang mengadakan kunjungan dinas ke Bali. Pada tahun
1942 bangunan tersebut telah difungsikan sebagai hotel dengan nama Bali Hotel,
disamping untuk tamu pemerintah juga untuk umum yang membutuhkan fasilitas
penginapan di Denpasar. Bali Hotel masih tetap dipertahankan sampai sekarang
masih tegak berdiri sebagai situs sejarah Kota Denpasar era kolonial yang berlokasi
di Jalan Veteran Denpasar.
Menjelang dekade ketiga abad XX pemerintah Belanda mulai
mengintensifkan penataan administrasi birokrasi pemerintahan di berbagai kawansan
jajahannya termasuk di onderafeeeling Badung. Hal ini dilakukan karena
perkembangan pembangunan membawa konskwensi meningkatnya tuntutan
masyarakat terhadap pelayan administrasi pemerintahan. Untuk itu pemerintah
Belanda memberikan jabatan kepada keturunan raja pada tingkat onderafdeeling. Hal
ini terbukti setelah kembalinya salah satu keturunan raja Badung dari Puri Denpasar
dari pengasingan (keselong) di Mataram, Lombok Barat yang bernama I Gusti
Ngurah Alit Ngurah. Setelah menjalani hukuman pengasingan selama sepuluh tahun
dan mendapat pendidikan model Barat, Alit Ngurah kembali ke Bali dan bekerja
sebagai pegawai di kantor Pekerjaan Umum selama dua tahun. Selanjutnya pekerjaan
yang pernah digeluti secara berturut-turut adalah sebagai juru tulis di kantor
Keresidenan Bali dan Lombok antara tahun 1920-1924; menjadi manteri polisi
(1925-1926), menjadi juru tulis di kantor pajak tanah (sedahan agung) tahun 1926-
1929. Pengalaman pekerjaan yang telah dimiliki mengantarkan Alit Ngurah

23
menduduki posisi yang cukup strategis di daerah onderafdeeling Badung.
Berdasarkan keputusan Gubernemen No. 23 tanggal 8 Juli 1929 Alit Ngurah
diangkat menjadi kepala pemerintahan (besturder) untuk mengepalai daerah
(zelfbesturende landschap) Badung dan berhak menggunakan gelar cokorda.
(Boon, 1938). Selanjutnya untuk memenuhi fasilitas sebagai seorang kepala daerah
akhirnya pada tahun 1930 mulai dibangun Puri Satrya yang posisinya berada di
sebelah utara bekas Puri Denpasar yang telah berubah fungsi menjadi pusat
pemerintahan.
Berkembangnya Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan kolonial di Bali
Selatan memerlukan tenaga-tenaga terampil yang telah menguasai pendidikan
modern. Oleh karena itulah pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan
sistem pendidikan modern di Kota Denpasar. Pada tahun 1907 untuk pertama kali
pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Kelas II (Tweede Inladsche School) di
Denpasar (Moolenburg, 1926: 79-80). Karena masyarakat belum memiliki kesadaran
tentang pentingnya pendidikan modern model Barat, maka pemerintah sangat sulit
untuk memperoleh siswa, bahkan untuk memperoleh siswa aparat desa harus turun
tangan ke rumah-rumah penduduk untuk membujuk bahkan memaksa agar orang tua
mau menyekolahkan anaknya. Usaha yang dilakukan oleh aparat desa berhasil
menyadarkan sebagian anggota masyarakat sehingga sekolah yang baru didirikan
memperoleh siswa walaupun jumlahnya sangat terbatas.
Persoalan lain yang dihadapai oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal
berdirinya sekolah-sekolah modern adalah kurangnya tenaga pendidik dari kalangan
masyarakat pribumi. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah Belanda membuka
sekolah Normaal Cursus di Denpasar. Orang-orang yang telah menyelesaikan
pendidikan di Normaal Cursus inilah yang banyak memberi insprirasi kepada
masyarakat di sekitarnya sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya pendidikan modern. Kondisi ini akhirnya yang mendorong pemerintah
kolonial untuk mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS), Sekolah Bumi Putra
Belanda yang mengambil lokasi di sebelah timur museum Bali. Pendirian HIS
bertujuan untuk menampung anak-anak dari para pegawai pemerintah, tokoh
masyarakat, dan golongan bangsawan. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS
pada siswa dapat melanjutnya ke sekolah yang lebih tinggi seperti Meer Uitgebreid

24
Lager Onderwijs (MULO) atau ke Algemeene Middlebare School (AMS) yang
tentunya berlokasi di luar Bali.
Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial rupanya
belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini direspon
oleh kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pada waktu itu telah tumbuh
dan berkembang sampai ke daerah-daerah khususnya di Kota Denpasar. Atas inisiatif
pimpinan Komite Taman Siswa Denpasar yakni I Gusti Ngurah Pemecutan, I
Nyoman Pegeg, dan I Ketut Ceteg, pada tahun 1933 didirikan Sekolah Taman Siswa
yang berlokasi di belakang Bali Hotel. Dalam kurun waktu selanjutnya sekolah
Taman Siswa berkembang sampai di Kota Negara dan Karangasem. Para siswa yang
telah menyelesaikan pendidikan di Taman Siswa (kelas tujuh) dapat melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Taman Dewasa yang telah dibuka oleh Komite Taman
Siswa di sebelah selatan lokasi Puri Denpasar. (Soenaryo, 1989: 90).
Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
menciptakan golongan intelektual yang memiliki kesadaran baru dalam upaya
membangun masyarakat yang masih terkebelakang. Upaya yang dilakukan adalah
mendirikan organisasi modern sebagai wadah baru untuk melakukan aktivitas di
bidang sosial budaya. Pada tahun 1908 di Kota Denpasar lahir organisasi pertama
yaitu Perkumpulan Budi Utomo Cabang Denpasar. Usaha yang dilakukan oleh
organisasi ini adalah mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf di
berbagai kawasan Kota Denpasar dan desa-desa sekitarnya agar meayarakat dapat
membaca dan menulis. Kegiatan yang dilakukan oleh anggota-anggota Budi Utomo
sangat membantu masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang tidak mendapat
kesempatan untuk mengenyam pendidikan modern model barat. Walaupun aktivitas
yang dulakukan berhubungan dengan masalah sosial, tetap mendapat pengawasan
dari pihak pemerintah kolonial karena Budi Utomo adalah organisasi yang
menanamkan paham kebangsaaan bagi anggota-anggotanya. Di samping organisasi
Budi Utomo di Kota Denpasar juga lahir organisasi yang mempunyai orientasi di
bidang kebudayaan yaitu perkumpulan Eka Laksana pada tanggal 14 Juli 1935.
Perkumpulan ini mempunyai tujuan untuk mempelajari dan mengembangkan
kebudayaan Bali. Di samping itu perkumpulan juga mempunyai tujuan untuk

25
mempererat persaudaraan di antara para anggota dan saling tolong menolong apabila
di antara pelajar-pelajar Bali ada yang mengalami kesusahan.
Di kalangan kaum perempuan Kota Denpasar khususnya istri guru-guru dan
pegawai kantor juga memiliki inisiatif untuk membentuk perkumpulan. Pada tahun
1934 berdiri perkumpulan perempuan yang bernama Perukunan Istri bertujuan untuk
meningkatkan kerukunan antar anggota yang berasal dari berbagai suku bangsa
terutama istri guru-guru dan pegawai negeri yang tinggal di Kota Denpasar. Dalam
pertemuan yang diadakan seminggu sekali para istri pegawai negeri ini berusaha
untuk meningkatkan ketrampilan para anggotanya dalam mengurus rumah tangga.
Kegiatan lain dari perkumpulan ini adalah membentuk usaha simpan pinjam
sehingga dapat membantu anggotanya yang mengalami kesulitan keuangan.
Pada tanggal 1 Oktober 1936 di Kota Denpasar lahir organisasi Putri Bali
Sadar, atas inisiatif dari kalangan remaja putri Kota Denpasar terutama yang bekerja
sebagai guru. Pengalaman yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Kota
Blitar Jawa Timur memberikan inspirasi untuk mendirikan organisasi sebagai wadah
untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Di bawah pimpinan Gusti Ayu
Rapeg, Putri Bali Sadar mempunyai tujuan yang sangat mulia seperti: (1)
mempererat kerukunan putri-putri Bali; (2) mengusahakan untuk saling menolong
bila ada anggota yang mengalami kesusahan; (3) menambah pengetahuan para
anggota dengan jalan membaca dan belajar pada waktu-waktu lowong; (4)
membantu biaya sekolah murid-murid perempuan Bali yang ditimpa kesusahan; (5)
berusaha memberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada putri-putri
Bali yang tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Untuk memperoleh dana
anggota perkumpulan Putri Bali Sadar diwajibkan membayar iuran sebesar 0,10
tiap bulan.
Pada bulan April 1937 di Kota Denpasar juga berdiri perkumpulan Bali
Darma Laksana. Tujuan perkumpulan Bali Darma Laksana adalah memberikan
bantuan keuangan kepada orang-orang Bali yang sedang belajar di sekolah
menengah atau sekolah tinggi yang nantinya akan ikut membangun masyarakat Bali.
Di samping itu perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara dan memajukan
kebudayaan Bali secara luas. Aktivitas yang dilakukan oleh perkumpulan Bali Darma
Laksana adalah: membangun semangat kedermawanan di kalangan anggota-

26
anggotanya, menggalang persatuan di kalangan anggota dan orang-orang Bali
lainnya, mengusahakan bahan-bahan bacaan untuk kalangan anggota, dan
menerbitkan majalah sebagai sarana komunikasi para anggota.
Pemerintah Belanda melalui raja dan aparat pribumi lainnya (punggawa,
perbekel, kelian dinas) mulai menata dan membangun sarana dan prasarana di
Daerah Swapraja Badung dan tetap menggunakan Kota Denpasar sebagai ibukota.
Sebagai ibukota daerah swapraja Badung Kota Denpasar dihuni oleh berbagai jenis
suku bangsa yang telah ada sejak jaman kerajaan Badung. Menurut cacatan penulis
Barat pada akhir abad XIX penduduk Kerajaan Badung berjumlah 71.800 jiwa
dengan rincian, Suku Bali Hindu: 60.000 jiwa, Bugis dan Arab 6.000 jiwa, Jawa
5.000 jiwa, dan Cina 600 jiwa (Soenaryo, 1989: 49). Penataan penduduk mulai
dilakukan pada tahun 1930 melalui sensus penduduk sehingga jumlah penduduk
Denpasar dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930
penduduk Kota Denpasar berjumlah 62.329 jiwa teridiri atas orang Eropa 155 jiwa,
Cina 1.170 orang, orang Timur Asing lainnya berjumlah 250 orang, dan penduduk
pribumi jumlahnya 60.754 jiwa.
Memperhatikan perkembangan penduduk yang cukup signifikan sebagai
akibat dari pertumbuhan Denpasar sebagai kota modern, maka pemerintah kolonial
mengintensifkan kembali penataan pemukiman yang sesungguhnya sudah
menempati lokasi tertentu sejak jaman kerajaan. Orang-orang Bugis ditempatkan di
Pulau Sakenan, Tuban, dan daerah Tanjung, sedangkan orang-orang Sasak, Madura,
dan Jawa menempati lokasi di Kampung Wanasari (Kampung Jawa) dan Daerah
Kepaon.(Korn, 1932: 8). Pertumbuhan Kota Denpasar pada masa kolonial sejalan
dengan perbaikan dan pelebaran jalan-jalan yang mendorong tumbuhnya usaha
pertokoan. Sepanjang ruas jalan yang pada masa kerajaan menghubungkan Puri
Denpasar dengan Puri Pemecutan merupakan perkampungan orang-orang Cina dan
menjadi basis kegiatan ekonomi karena sepanjang jalan tersebut orang-orang Cina
mendirikan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat. Jalan yang
menghubungkan Kampung Cina menuju ke selatan menjadi basis pemukiman orang-
orang Arab dan Timur Asing lainnya dikenal dengan Kampung Arab.
Penduduk Kota Denpasar pada masa kolonial teridiri atas berbagai suku
bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda. Masuknya Misi dan Zending pada

27
masa kolonial menambah kompleksitas penduduk Denpasar. Walaupun pada
awalnya mendapat banyak rintangan melalui proses yang cukup panjang akhirnya
pada tanggal 11 November 1931 terdapat tujuh orang Bali yang dibaptis dan
memeluk agama Kristen Protestan. Usaha orang-orang Bali yang telah masuk agama
Kristen ini cukup giat, terbukti setahun kemudian yakni pada bulan Mei 1932 di
Denpasar dibaptis 100 orang Bali, dan pada bulan Nopember tahun yang sama
bertambah lagi 113 orang. Berbeda dengan agama Kristen Protestan yang telah
dianut oleh orang Bali pada tahun 1931, agama Katolik mulai dianut oleh orang Bali
pada hari Paskah 1936 setelah dua orang Bali dibaptis oleh Pastur J. Kersten. Setelah
itu akhirnya agama Katolik berkembang di Denpasar dan sekitarnya bahkan sampai
kedaerah-daerah lain di Bali (Soenaryo, 1989: 73-74).
Kehidupan masyarakat Kota Denpasar yang memeluk agama berbeda pada
masa kolonial tidak menimbulkan konflik antar umat. Hal ini tidak terlepas dari
adanya toleransi yang tingga dari masyarakat Bali yang beragama Hindu sebagai
umat yang mempunyai jumlah paling banyak di Kota Denpasar. Toleransi beragama
sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Bali, terbukti dengan adanya ungkapan
nyama slam, artinya orang-orang yang beragama Islam dianggap sebagai saudara
oleh orang Bali yang beragama Hindu.
Pergantian kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah
pendudukan Jepang membawa perubahan terhadap masyarakat Bali khususnya
masyarakat Kota Denpasar. Pada awalnya buat sementara segala undang-undang dan
peraturan pemerintah Hindia Belanda diakui sah oleh pemerintah Jepang asalkan
tidak bertentangan dengan keinginan pemerintah Jepang. Dalam perkembangan
selanjutnya pemerintah Jepang mulai menerapkan peraturan dan disiplin yang ketat
kepada para pegawai dan masyarakat. Untuk memikat hati rakyat dalam mendukung
perang Asia Timur Raya pemerintah Jepang memperkenalkan suatu gerakan yang
dikenal dengan A-Tiga yang artinya: Dai Nippon pembela Asia, Dai Nippon
pemimpin Asia, dan Dai Nippon pahlawan Asia. Dengan mengobarkan semangat
perang suci, perang Asia Timur Raya di kalangan pemuda pemerintah mengganti
gerakan A-Tiga menjadi Putera artinya Pusat Tenaga Rakyat maksudnya pemerintah
Jepang memusatkan semua tenaga rakyat untuk membantu perang melawan musuh-
musuhnya.

28
Karena masa pemerintahan yang sangat singkat, pemerintah Jepang tidak
banyak meninggalkan karya-karya arsitektur di Bali khususnya di Kota Denpasar.
Pemerintah Jepang lebih berorientasi kepada pertahanan dan persiapan perang,
sehingga pemerintah Jepang lebih banyak membangun dan mengembangkan sarana
pelabuhan seperti pelabuhan Benoa dan lapangan terbang di Tuban, membangun
goa-goa pertahanan yang terdapat di daerah Oongan Desa Tonja, Denpasar;
membangun gudang-gudang amunisi dan logistik. Hal yang tidak kalah pentingnya
yang ditanamkan oleh pemerintah Jepang adalah masalah kedisiplinan sebagai bekal
para pemuda untuk berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa
revolusi fisik di Bali.

3.2. Menjadi Ibukota Modern Republik.


Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17
Agustus 1945 merupakan mementum bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan diri
sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berita proklamasi
disambut dengan penuh suka cita di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Bali.
Kedatangan Mr. I Gusti Ketut Pudja di Bali membawa mandat pengangkatannya
sebagai Gubernur Sunda Kecil yang berkedudukan di Singaraja. Di samping itu Mr.
Pudja juga membawa mandat untuk Ida Bgus Putra Manuaba, yang juga telah
diangkat oleh Ir. Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi
Sunda Kecil (Pendit, 2008: 77). Berita yang dibawa oleh Mr. Pudja disambut oleh
masyarakat khususnya para pemuda di berbagai kota Bali. Salah satu kota yang juga
menjadi basis perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Bali adalah Kota
Denpasar. Kota Denpasar yang telah tumbuh menjadi kota modern sejak pemerintah
kolonial menjadikan Kota Denpasar sebagai salah satu pusat pemerintahan di Bali
Selatan tumbuh menjadi kota perjuangan
Pada bulan Agustus 1945 di Kota Denpasar lahir sebuah organisasi pemuda
dengan nama Angkatan Muda Indonesia (AMI) di bawah pimpinan Gusti Ngurah
Sindhu, yang bertujuan untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik
Indonesia yang baru diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam perkembangan selanjutnya di Denpasar lahir organisasi pemuda yang

29
bertujuan untuk menyatukan semua unsur kepemudaan dengan nama Pemuda
Republik Indonesia (PRI) dengan susunan pengurus sebagai berikut:
Ketua : Made Widjakusuma
Wakil Ketua : Tjokorda Agung
Seksi Keamanan : Ida Bagus Tantra, Nyoman Mantik
Urusan Perlengkapan : Made Sugita, Gede Windia
Seksi Penerangan : Ida Bagus Sadnya, Suwetja.
Kelahiran PRI di Denpasar menunjukkan bahwa sikap pemuda dan
masyarakat Kota Denpasar secara tegas mendukung Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia. Kehadiran organisasi Pemuda Republik Indonesia mempunyai pengaruh
yang cukup besar di kalangan pemuda pelajar dan masyarakat, bahkan PRI terbentuk
sampai ke desa-desa di sekitar Denpasar. Demikian juga para pelajar yang tergabung
dalam Ikatan Siswa Sekolah Menengah di Kota Denpasar turut serta melancarkan
rencana yang digariskan oleh pimpinan PRI Denpasar. Para pemuda di Denpasar ikut
menjaga keamanan di wilayahnya masing-masing, ada juga yang berbuat iseng untuk
mengekspresikan pikiran dan pandangannya dengan melakukan aksi corat-coret,
menulis di tembok-tembok yang berbunyi: Indonesia Sudah Merdeka, Merdeka Atau
Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Go Home Straers, The War Is Over.
Ungkapan tersebut ditujukan kepada pemerintah pendudukan Jepang agar segera
meninggalkan Indonesia.
Untuk menjaga kemanan di Bali maka pada tanggal 31 Agustus 1945 lahirlah
Badan Kemanan Rakyat (BKR) di Kota Singaraja di bawah pimpinan I Made Putu,
mantan Daidanco dari Daedan Negara, Jembrana. Di Denpasar kegiatan BKR ada di
bawah kendali Nyoman Pegeg. Pada 1 Nopember 1945 BKR berubah menjadi
Tentara Keamanan Rakyat di bawah pimpinan Gusti Ngurah Rai. Lahirnya TKR
menjadikan suasana politik tambah hangat karena terjadi gesekan antara para
pemuda pejuang dengan tentara Jepang yang sering melakukan provokasi. Dalam
rangka mematangkan perjuangan maka diadakan pertemuan antara TKR, PRI di
Denpasar untuk melucuti senjata tentara Jepang. Rupanya apa yang direncana oleh
pihak pejuang sebelumnya telah tercium oleh tentara Jepang sehingga penyerbuan
yang dilakukan terhadap tangsi Jepang mengalami kegagalan.

30
Kegagalan ini mengakibatkan pimpinan TKR dan organisasi pemuda yang
berjuang di Kota Denpasar memutuskan untuk mundur sampai di Puri Kesiman yang
letaknya di bagian timur Kota Denpasar. Dalam keadaan terdesak di Puri Kesiman
karena telah dikepung oleh tentara Jepang para pimpinan pemuda pejuang berusaha
mengatur siasat agar dapat keluar dari kepungan tentara Jepang yang memiliki
persenjataan jauh lebih lengkap. Dengan keyakinan yang tinggi dan bersumpah untuk
terus melanjutkan perjuangan para pemuda pejuang yang terkepung di Puri Kesiman
satu persatu meloloskan diri melalui rumah-rumah penduduk keluar ke arah utara dan
melanjutkan perjalanan menuju Desa Carangsari tempat kelahiran Gusti Ngurah Rai.
Gerakan ini merupakan strategi baru untuk menghindari pertempuran dengan tentara
Jepang, dan selanjutnya mereka menyebar ke desa-desa dan memberi penerangan
kepada masyarakat dan menyusun kekuatan massa.
Selama periode revolusi Denpasar menjadi tempat markas pasukan Sekutu
(Inggris) dan tentara NICA untuk mengamankan Pulau Bali. Oleh karena itu
Denpasar menjadi wilayah perebutan pengaruh antara pemerintah kolonial dengan
pemuda pejuang. Salah satu contoh upaya para pemuda pejuang untuk menunjukkan
pengaruhnya adalah dengan mengadakan serangan dadakan yang dikenal dengan
Serangan Umum Kota Denpasar pada bulan April 1946. Walaupun belum mencapai
hasil yang maksimal, serangan tersebut sebagai upaya dari kalangan pemuda untuk
menunjukkan eksistensinya kepada pemerintah asing yang tetap mengangkangi
wilayah Indonesia yang telah diprokamirkan. Setelah peristiwa perang habis-habisan
di Desa Marga yang dikenal dengan Puputan Margarana pada tanggal 20 Nopember
1946, para pemuda pejuang tetap melanjutkan perjuangan dan menggunakan Kota
Denpasar sebagai Markas Kota Pusat dalam upaya untuk terus menumbuhkan
semangat mempertahankan kemerdekaan.
Kebijakan pemerintah kolonial Belanda sesudah Perang Dunia II terhadap
kerajaan-kerajaan di Bali ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih
demokratis, kerjasama yang lebih besar berdasarkan prinsip federal, maka
pemerintah dalam mempertahankan pengaruhnya mempelopori pembentukan suatu
negara federal. Salah satu negara bagian pertama yang dibentuk adalah Negara
Indonesia timur (NIT) melalui suatu konferensi bertempat di Bali Hotel Denpasar

31
dikenal dengan nama Konferensi Denpasar, berlangsung pada tanggal 7-24
Desember 1946.
Pemerintahan di Bali menjadi bagian administrasi pemerintahan NIT yang
berlangsung selama tiga tahun, dari Desember 1946 samapi bulan Juni 1950. Daerah
Bali merupakan federasi atau gabungan dari delapan kerajaan yaitu: Badung,
Tabanan, Bangli, Buleleng, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Karangasem. Gabungan
delapan kerajaan dibentuk berdasarkan Staatblad van Nederland Indie pada tanggal 4
Pebroari 1946, diperbaharui setahun kemudia yakni pada tanggal 15 Agustus 1947.
Susunan pemerintahan yang dibentuk memakai prinsip Bali yaitu sistem
pemerintahan yang terdiri atas Dewan Raja-Raja dan sebuah Paruman Agung,
semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Raja-Raja terdiri atas delapan anggota
yakni raja-raja yang sedang memerintah, salah seorang dari raja-raja tersebut menjadi
Ketua Dewan Raja-Raja. Paruman Agung terdiri atas 40 orang anggota, 34
anggotanya dipilih dari kerajaan-kerajaan dan enam anggota diangkat oleh Dewan
Raja-Raja. Kekuasaan membuat peraturan daerah dan menetapkan anggaran
keuangan dilakukan oleh kedua badan tersebut.
Golongan elite tradisional yang berkuasa (raja-raja) pada waktu itu sangat
mendukung kebijakan pemerintahan NIT karena ingin tetap mempertahankan
kekuasaan tradisionalnya di Bali dan menyesuaikan dengan ide-ide demokrasi yang
dibawa oleh birokrat Belanda. Mereka ingin mempertahankan nilai-nilai sosial
tradisional beserta lambang-lambang tradisi dan disesuaikan dengan ide-ide
pembaharuan pada waktu itu.
Setelah berakhirnya Puputan Margarana dan sejak berdirinya kembali
pemerintahan kerajaan, tampak adanya dua kekuatan dalam masyarakat Bali yakni,
golongan republikein adalah kelompak masyarakat yang tetap teguh membela dan
mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesai; dan golongan federalis adalah
kelompok masyarakat yang mendukung Negara Indonesia Serikat. Raja Badung
Cokorda Alit Ngurah adalah raja yang menyatakan kesetiaannya kepada Negara
Kesatuan Republik Indonesia dan menggunakan purinya sebagai tempat pertemuan
para pejuang di Kota Denpasar. Perbedaan Kepentingan kedua golongan ini
menumbuhkan benih-benih perpecahan yang cukup lama antara periode tahun 1946
sampai tahun 1951.

32
Menghadapi situasi politik yang terus bergolak terjadi kesepakatan antara
golongan republikein yang berjuang di kota Denpasar dengan pemuda pejuang yang
sedang bergrilya di gunung dan hutan untuk melahirkan partai politik. Pendirian
partai politik bertujuan agar dapat berjuang mempertahankan kemerdekaan secara
legal di kota, sedangkan para pemuda pejuang terus bertempur di hutan dan gunung
melawan tentara NICA. Usaha yang tak kenal lelah dari golongan republikein
akhirnya di Kota Denpasar pada tanggal 8 Desember 1946 melahirkan partai politik
yang diberi nama Partai Rakyat Indonesia (PARRINDO) yang bertujuan
memperjuangkan Indonesia meredeka dan menghap[uskan penjajahan atas bumi
Indonesia (Pendit, 2008: 272). Partai yang baru berdiri diketuai oleh Gusti putu
Merta dan wakil ketuanya adalah Dr. Suwarno.
Berdirinya Partai Rakyat Indonesia mendapat simpati yang luas dari golongan
republikein di wilayah Badung, Tabanan, Buleleng, dan Bangli karena partai ini
mendapat dukungan dari Markas Besdar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia
(MBU DPRI). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya
pendidikan dalam mencapai tujuan, maka Parindo membentuk badan yang diberi
nama Majelis Pendidikan Rakyat (MPR) pada tanggal 8 Desember 1946. Majelis
Pendidikan Rayat mendirikan lembaga pendidikan yaitu Sekolah Lanjut Umum di
bawah pimpinan Gusti Made Tamba. Di samping itu Majelis Pendidikan Rakyat juga
melakukan usaha berupa kursus-kursus Pemberantasan Buta Huruf. Keberhasilan
Parindo bekerjasama dengan pemuda pejuang yang bergrilya di desa-desa merebut
simpati masyarakat menimbulkan rasa antipati dikalangan penguasa Belanda.
Berdasatkan surat keputusan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook, maka
dilakukan penangkapan terhadap para pemimpin Parindo dengan tuduhan bekerja
sama dengan kaum ekstrimis dan pembrontak. Berdasarkan tuduhan tersebut
akhirnya para pemimpin Parindo dijebloskan ke dalam penjara dan Partai Rakyat
Indonesia dinyatakan sebagai partai terlarang pada tanggal 4 Juni 1947.
Dibubarkannya Parindo tidak menyurutkan usaha para pejuang untuk
membangun kesadaran masyarakat terutama melalui pendidikan. Melalui lembaga
pendidikan yang bernama Sekolah Lanjut Umum, I Gusti Putu Tamba dan kawan-
kawan terus menggalang kekuatan kebangsaan di kalangan masyarakat. Intimidasi
terhadap lembaga pendidikan kebangsaan terus dilakukan oleh pemerintah kolonial

33
Belanda melalui topeng Negara Indonesia Timur. Terbakarnya gubuk darurat SLU
yang dibangun di Kaliungu Kelod dan penangkapan terhadap I Gusti Putu Tamba
merupakan tindakan sewenang-wenang, walaupun dengan alasan demi keamanan
dan ketertiban umum. Selanjutnya pemerintah NIT membubarkan Majelis
Pendidikan Rakyat dengan alasan majelis telah melakukan tindakan subversif,
melakukan usaha-usaha yang bertentangan dengan ketertiban umum,
menyembunyikan orang-orang revolusioner yang ingin menumbangkan NIT dan
menegakkan Republik Indonesoia di Bali.
Setelah keluar dari tahanan I Gusti Putu Tamba dan kawan-kawannya
bertekad untuk tetap meneruskan perguruan kebangsaan dengan segala macam
tantangan yang dihadapi. Dalam perkembangan selanjutnya terus diadakan
penyegaran kepengurusan dan pada tanggal 12 Pebruari 1949 perguruan kebangsaan
ini dipimpin oleh Ida Bagus Putra Manuaba. Sejak itu SLU mulai mebuka cabang-
cabangnya di beberapa tempat seperti di Karangasem, Tabanan, dan Negara. Pada
tahun 1949 juga dilaksanakan kongres pendidikan bertempat di Taensiat Denpasar.
Dalam kongres tersebut berhasil menghasilkan keputusan yang berubah nama
Majelis Pendidikan Rakyat menjadi Perguruan Rakyat Saraswati.
Dalam usaha memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan
yang lebih tinggi, maka pada tahun 1952 didirikan Sekolah Lanjut Umum bagian
Atas (SLUA) yang dibagi menjadi dua bagian yakni bagian A dan B. Tahun 1953
didirikan Taman Guru Atas (TGA) yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga-
tenaga pendidik yang pada saat itu sangat kurang. Pada tahun 1952 dibangun gedung
yang lebih represntatif di wilayah Kreneng (Jalan Kamboja sekarang).

3.3. Menjadi Ibukota Pusat Pemerintahan Dati II (Kabupaten) dan Dati I


(Provinsi)
Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang terus
berkembang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka
pemerintah membuat berbagai produk perundang-undangan. Pada tahun 1957
dikelurkan Undang-Undang Nomor I Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, yang memuat ketentuan bahwa pemerintah daerah terdiri atas

34
Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah
(DPRD). Implementasi dari UU No. I Tahun 1957 ialah dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II.
Sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang tersebut, maka sejak
bulan Desember 1958 nama daerah bagian/swapraja diganti menjadi Daerah
Swatantra Tingkat II. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat II terdiri atas DPRD dan
DPD daerah peralihan yang mengurus otonomi rumah tangga di daerah swatantra
tingkat II. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh seorang Kepala Dearah Swatantra
Tingkat II.
Pada masa kekuasaan Orde Lama ada upaya untuk memperbaharui Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang otonomi daerah. Sebagai kelanjutan dari
dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Penetapan
Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 sebagai perubahan mendasar terhadap
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 khususnya mengenai kedudukan kepala
daerah. Menururt Penpres Nomor 6 Tahun 1959, pemerintah daerah terdiri dari
Kepala Daerah dan DPRD. DPD dihapuskan dan diganti dengan Badan Pemerintah
Harian (BPH) yang anggota-anggotanya hanya merupakan pembantu kepala daerah
dengan tugas sebagai Badan Penasehat Kepala Daerah. Pemerintahan kolegial
diganti dengan pemerintah tunggal yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah
pusat. Kepala daerah mempunyai dua fungsi yakni sebagai pejabat negara adalah alat
pemerintah pusat di daerah (bupati) dan sebagai alat pemerintahan daerah (kepala
daerah).
Ketentuan-ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 selanjutnya dimuat
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Menurut Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1965, seluruh wilayah Negara Republik Indonesia terbagi
atas daerah-daerah yang berhak menguasai rumah tangganya sendiri (otonomi darah)
yang tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu Provinsi/Kotaraya sebagai Daerah Tingkat
I, Kabupaten/Kota Madya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja
sebagai Daerah Tingkat III (Wirawan dkk., 2004: 62). Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965yang mulai dilaksanakan di delapan daerah Swatantra tingkat

35
II seluruh Bali pada bulan Maret 1968, maka diubahlah sebutan Daerah Swatantra
Tingkat II menjadi Daerah Tingkat II.
Pelaksanaaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 pada masa Orde Baru
belum mampu mengimbangi perkembangan dan tuntutan terhadap pelayanan kepada
masyarakat yang terus meningkat sebagai dampak dari pembangunan yang
dilaksanakan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itulah
diadakan penyempurnaan aturan perundang-undangan dengan mengeluarkan
undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintahan di daerah. Ketentuan yang ada di dalam undang-undang
tersebut lebih memperkokoh unsur dekonsentrasi di daerah-daerah demi pengamanan
keutuhan dan kesatuan Negara republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 disebutkan, bahwa pemerintah daerah terdiri atas Kepala Daerah dan
DPRD. Kepala daerah tidak didampingi lagi oleh BPH sebagai badan penasehat
dalam bidang eksekutif tetapi oleh Dinas-Dinas Daerah dan Sekretaris Daerah di
bidang pemerintahan daerah. Sesungguhnya menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 diharapkan titik berat otonomi ada di Kabupaten Daerah Tingkat II.
Meskipun otonomi ditekankan pada daerah tingkat II, Provinsi Daerah Tingkat I
masih tetap diperlukan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut lintas daerah
tingkat II.
Sesuai dengan perkembangan pemerintahan yang teah diatur dalam undang-
undang, proses pemekaran daerah telah terjadi di Nusa Tenggara sebagai salah satu
provinsi di wilayah Neraga Republik Indonesia. Pada tahun 1958 Provinsi Nusa
Tenggara yang pada saat itu ibukotanya Singaraja dimekarkan menjadi tiga provinsi
yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang masing-
masing berkedudukan di Singaraja, Mataram,dan Kupang. Untuk mengimbangi
perkembangan yang terjadi di Bali maka DPRD Tingkat I Bali mengajukan resolusi
kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk memindahkan kedudukan
ibukota Provinsi Bali. Atas dasar resolusi tersebut maka Menteri dalam Negeri dan
Otonomi Daerah memutuskan untuk memindahkan kedudukan ibukota Provinsi Bali
dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar sejak tanggal 23 Juni 1960 (Keddy Setiada,
2009: 68). Sejak itulah Kota Denpasar menjadi nama ibukota Pemerintah Daerah

36
Tingkat I Bali dan ibukota Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Badung.
(Lembaran Negara Republik Indonesia No. 122, Tahun 1958).
Pemindahan ibukota provinsi dari dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar
memberi dampak positif bagi perkembangan Kota Denpasar. Kota Denpasar mulai
ditata dan dibangun sarana dan prasarana baru untuk menunjang aktivitas
pemerintahan. Pada mulanya pusat ibukota provinsi dipenuhi bangunan-bangunan
hasil karya para teknokrat alumni Sekolah Teknik Menengah (STM). Langgam
arsitektur dari karya mereka secara umum masih mencerminkan arsitektur kolonial.
Dalam perkembangan selanjutnya peran mereka diambil alih oleh para insinyur dan
arsitek yang telah menyelesaikan pendidikan di berbagai universitas di luar Bali.
Perkembangan kota Denpasar memunculkan kelompok baru yang disebut
golongan intelektual. Kesadaran yang semakin tinggi dari para intelektual di Bali
betapa pentingnya peranan sastra klasik sebagai sumber untuk mempelajari budaya
Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu memerlukan lembaga yang khusus sebagai
tempat untuk mendalami hal tersebut. Dibukanya kesempatan oleh pemerintah untuk
mendirikan lembaga pendidikan tinggi merupakan momentum untuk mendirikan
Fakultas Sastra di Bali. Sebagai persiapan awal maka dibentuklah suatu yayasan
yang diberi nama Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara diketuai oleh Letkol
Minggoe, Komandan Resimen Infanteri 26/VII Wirabuwana/kem N.T Raksabuwana.
Yayasan ini bertugas untuk mencari syarat-syarat untuk mendirikan sebuah fakultas
dan menghubungi orang-orang yang memiliki kopetensi di bidang sastra seperti R.
Goris, Ida Bagus Mantra, I Gusti Ketut Ranuh dan lain-lain. Hasil kerja keras yang
dilakukan oleh Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara akhirnya berhasil
membentuk suatu Panitia Persiapan Perguruan Tinggi Nusa Tenggara yang
menetapkan pendirian Fakultas Sastra di Bali dan diresmikan oleh Presiden Soekarno
pada tanggal 29 September 1958. Sesuai dengan isi pidato R. Ng. Poerbatjaraka
pembukaan Fakultas Sastra dianggap sebagai kunci wasiat untuk membuka
perbendaharaan sastra dan budaya lama secara ilmiah. Sedangkan Presiden Soekarno
dalam pidato peresmian Fakultas Sastra mengharapkan agar Fakultas Sastra yang
berdiri di Kota Denpasar dapat menjadi pewahyu (penerang dan penyuluh) bagi
kehidupan masyarakat dan menanamkan rasa cinta tanah air demi kemajuan bangsa
dan negara di masa yang akan datang.

37
Masyarakat Bali sangat mendambakan adanya sebuah perguruan tinggi di
Bali telah mendorong pemerintah dan pejabat pemerintah daerah, tokoh-tokoh
masyarakat dan tokoh-tokoh pendidikan untuk mengadakan pertemuan membahas
langkah-langkah yang perlu diambil dalam persiapan mendirikan perguruan tinggi di
Bali. Usaha keras dari Panitia Persiapan Pendirian Universitas Udayana Bali
akhirnya melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
1963 tertanggal 31 Januari 1963, menetapkan dan mengesahkan pendirian
Universitas Udayana di Denpasar yang terdiri atas Fakultas Sastra, Fakultas
Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Fakultas Keguruan dan
Pendidikan. Pada tahun 1965 dibuka lagi Fakultas Teknik dengan Jurusan Arsitektur
dan Seni Rupa yang dilandasi pemikiran untuk melestarikan dan mengembangkan
arsitektur tradisional Bali supaya dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Di samping perguruan tinggi negeri di Denpasar juga berdiri perguruan tinggi
swasta. Pada tahun 1961 pembinaan umat khususnya yang beragama Hindu sangat
kurang. Hal ini tidak lepas dari kurangnya tenaga penyuluh yang menguasai bidang
Agama Hindu. Oleh karena itulah muncul gagasan dari tokoh umat Hindu untuk
mendirikan perguruan tinggi yang mempunyai missi khusus mendalami ajaran
Agama Hindu. Pada pertemuan yang diadakan di Campuhan, Ubud pada tanggal 23
Nopember 1961 dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda yang berasal dari berbagai
wilayah Nusantara dan juga para sulinggih dari Bali berhasil memutuskan untuk
mendirikan perguruan tinggi agama sebagai tempat pendidikan memperdalam
Agama Hindu. Pada tanggal 3 Oktober 1963 berdiri Institut Hindu Dharma di
Denpasar.
Masyarakat Bali dikenal memiliki nilai kebudayaan yang tidak ternilai
harganya dan sangat dikagumi oleh masyarakat manca negara. Salah satu unsur
kebudayaan Bali yang sangat menonjol adalah kesenian khas Bali yang tidak
ditemukan di daerah lain di Nusantara. Perkembangan kesenian modern
dikhawatirkan akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan kesenian
tradisional Bali sehingga muncul gagasan untuk mempelajari dan melestarikan
kesenian Bali. Melalui Jawatan Kebudayaan Bali di Singaraja diajukan permohonan
kepada pemerintah pusat untuk mendirikan Kokar (Konser Karawitan) Bali pada

38
tanggal 13 Maret 1957. Setelah melalui persiapan yang matang akhirnya pada
tanggal 30 September 1960 Kokar Bali secara resmi dibuka walaupun masih
berafiliasi kepada Kokar Solo. Berkat kerja keras panitia dibantu oleh pihak
Pemerintah Bali dan para seniman, akhirnya peresmian Kokar Bali dapat diadakan
pada tanggal 30 September 1960 di aula Perguruan Subsidi Saraswati Denpasar.
Untuk mewujudkan gedung baru Pemerintah Pusat dan Bupati Badung memberikan
bantuan dana untuk membeli tanah di Jalan Ratna sebagai lokasi yang cukup
strategis pada waktu itu.
Dalam perkembangan selanjutnya di Kota Denpasar berdiri Akademi Seni
Tari Indonesia (ASTI) pada tanggal 28 Januari 1967. Pendirian ASTI berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 2/Pem./5/a/1967
atas prakarsa Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya).
Pendirian ASTI Denpasar dilandasi oleh pola dasar pembinaan kebudayaan Daerah
Bali dengan memperhatikan sifat-sifat pertahanan, penggalian, pembinaan, dan
pengembangan kebudayaan Bali. Di samping itu para seniman yang menggeluti seni
tradisional sudah semakin langka karena faktor usia dan ada kekhawatiran di
sebagian pihak bahwa akan meninggalkan seni tradisional. Oleh karena itu sangatlah
mendesak untuk mendirikan lembaga pendidikan seni sebagai tempat untuk
mempelajari, menggali dan mengembangkan kesenian tradisional Bali.
Di samping lembaga pendidikan sebagai tempat untuk menggali, mengkaji
kesenian Bali, juga diperlukan tempat untuk pameran, pementasan dan dokumentasi
karya-karya seniman Bali. Pada tahun 1969 di Kota Denpasar mulai dibangun Pusat
Kesenian (Art Centre) atau Taman Budaya. Pengembangan Pusat Kesenian bertujuan
untuk mengembangkan seni budaya Bali. Taman Budaya yang lokasi di bagian timur
Kota Denpasar mempunyai luas 5 Ha mempunyai berbagai bangunan seperti: gedung
pameran, gedung kriya, gedung studio patung, balai panjang, panggung terbuka
(ardha candra), perpustakaan, balai pepaosan, panggung kecil, wantilan, dan
panggung tertutup. Fungsi dan tugas Taman Budaya Bali (Werdi Budaya) adalah:
a. Melaksanakan kegiatan kebudayaan, seperti rekreasi sehat bagi
masyarakat, pergelaran, pameran, pekan seni, dan ceramah.
b. Melaksanakan usaha penggalian dan peningkatan mutu seni.

39
c. Melaksanakan dokumentasi data kebudayaan, menyediakan bahan-bahan,
serta memberi penerangan berbagai aspek kebudayaan.
d. Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Taman Budaya
Denpasar (Rama, 1998: 199).
Taman Budaya Denpasar merupakan tempat untuk melaksanakan Pesta
Kesenian Bali (PKB) yang dilaksanakan setiap tahun sekali pada bulan Juni-Juli.
Berkembangnya Kota Denpasar menjadi kota modern dan semakin
bertambahnya kunjungan wisatawan baik domistik maupun manca negara
membutuhkan pembangunan fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel,
restoran, dan biro perjalanan wisata. Di samping Bali Hotel yang telah ada sejak
jaman pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1963 mulai dibangun Bali Beach
Hotel di Pantai Sanur. Pembangunan hotel bintang lima ini digagas oleh Presiden
Soekarno yang juga seorang insinnyur jebolan Sekolah Tinggi Teknik Belanda di
Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) dan selesai dikerjakan pada tahun 1966
atas biaya pampasan perang dari pemerintah Jepang. Setelah diresmikan pada tahun
1966 oleh Presiden Soekarno, hotel yang kini bernama Inna Grand Bali Beach telah
mengalami beberapa kali perbaikan, salah satu karena kebakaran.
Secara geografis ketika menjadi ibukota Provinsi Bali dan ibukota Kabupaten
Badung, Kota Denpasar tetap merupakan sebuah wilayah kota kecamatan yaitu
Kecamatan Denpasar yang statusnya sama dengan kecamatan-kecamatan lain di
daerah Kabupaten Badung. Kecamatan Denpasar atau Distrik Denpasar membawahi
lima Desa Perbekelan yakni: Padangsambian, Pemecutan, Dangin Puri, Dauh Puri,
dan Kampung Jawa. Setelah ditingkatkannya Kecamatan menjadi Kota Administratif
(Kotif) pada tahun 1978, maka Kotif Denpasar dimekarkan menjadi tiga kecamatan
yaitu: Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan.

40
IV

DENPASAR SEBAGAI IBU KOTA DAERAH TINGKAT II

4.1. Kota Administratif (28 Agustus 1978)


Sejak Kota Denpasar menjadi daerah sentra pengembangan wilayah di daerah
Bali Tengah setelah diresmikannya Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali
bersamaan dengan terbentuknya Provinsi Bali pada tanggal 14 Agustus 1958, maka
Kota Denpasar tumbuh sebagai kota yang mengalami perkembangan pesat (Biro
Humas Setwilda Bali, 1989: 5). Secara administrasi, Denpasar yang juga merupakan
ibukota Daerah Tingkat II Badung merupakan satu wilayah kecamatan, yaitu
Kecamatan Denpasar yang membawahi lima buah desa. Kelima buah desa tersebut
adalah Desa Padangsambian, Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Dangin Puri,
dan Kampung Jawa (I Gusti Gde Raka, 1976: 6). Dalam perkembangan lebih lanjut,
Kota Denpasar sejak tahun 1958 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat.
Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan kota
sebagai ibu kota provinsi, seperti fasilitas perkantoran, pertokoan (pasar),
pemukiman, pelayanan sehari-hari masyarakat, kesehatan, sekolah dan sebagainya.
Semua ini merupakan faktor semakin kompleksnya masalah yang harus dihadapi
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung.
Sejak memasuki masa pembangunan lima tahun (pelita) I, upaya perbaikan
kota Denpasar mulai dilakukan dengan penyusunan program induk pengembangan
Kota Denpasar. Dalam rencana pengembangan Kota Denpasar ini ditetapkan bahwa
Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali, merupakan pusat pengembangan
di daerah Bali Tengah. Oleh karena itu segala fasilitas yang menunjang kegiatan-
kegiatan pemerintahan mulai dibangun, seperti perkantoran, perumahan, dan
sebagainya yang merupakan kebutuhan dasar dalam rangka memberikan pelayanan
yang efektif kepada masyarakat Kota Denpasar.
Pemerintah Daerah Tingkat II Badung dalam melaksanakan urusan
pemerintahannya tampak akan semakin berat dan beragam, sehingga sangat
diperlukan adanya pencarian jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Selain
masalah-masalah pemerintahan di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional pada

41
saat-saat tertentu, Pemda Tingkat II Badung juga menghadapi masalah lain yang
menyangkut masalah kependudukan. Oleh karena itu sejak tahun 1972, upaya
mengatasi masalah ini mulai diketengahkan oleh Pemda Tingkat II Badung untuk
dibahas dalam berbagai pertemuan, dan menjadi salah satu topik pembicaraan-
pembicaraan resmi. Demikian juga dalam surat-surat keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Badung tanggal 15 Juni 1972 masalah kota Denpasar
mulai menjadi topik pembicaraan (Salinan Surat-surat Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten Badung Nomor 36/DPRD/1972 tanggal 15 Juni 1972
tentang Pengesahan Rencana Induk Pengembangan Kota Denpasar).
Upaya pertama yang dilakukan dalam rangka ini adalah proses perencanaan
kota administratif, yaitu dengan meneliti latar belakang historis dari keberadaan Kota
Denpasar. Dari perencanaan inilah disepakati oleh Pemda Tingkat II Badung beserta
jajarannya untuk sesegera mungkin mengusulkan kota menjadi kota administratif.
Selain alasan faktor historis tersebut di atas, apabila ditinjau dari segi kwalitas dan
kwantitas kota, perkembangan kota Denpasar yang sangat pesat baik fisik maupun
non fisik serta letak geografisnya yang sangat strategis baik dipandang dari segi
nasional maupun internasional. Dengan posisi yang strategis ini Kota Denpasar
dirasa penting untuk meningkatkan statusnya menjadi kota administratif (Laporan
Panitia Khusus A Dewan Perwakilan Rakyat DaerahKabupaten Daerah Tingkat II
Badung tentang Proses Rencana Peningkatan Status Kota Denpasar, Arsip
Perpustakaan Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung)

4.1.1. Terbentuknya Kota Administratif Denpasar


Dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas, maka berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali pada tanggal 27 Juni 1974, segera
dilakukan pertemuan awal sebagai tindak lanjut dari rencana di atas. Selain itu,
pertemuan ini juga didasarkan atas surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Badung Nomor 36 tahun 1974 tentang rencana induk kota
Denpasar. Pertemuan yang dihadiri oleh beberapa instansi tersebut kemudian
menetapkan dibentuknya Team Konsultariat Provinsi Bali (Proses Pembentukan
Kotif Denpasar dan Rencana Pembentukan Kodya Denpasar, Arsip Koleksi
Perpustakaan Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung).

42
Sejalan dengan itu pula maka pada tahun 1975 berdasarkan surat Menteri
Dalam Negeri tanggal 28 Pebruari 1975 Nomor: B.K.T. 3/1/12, pemerintah pusat
mengadakan penelitian terhadap Kota Denpasar dan beberapa kota lainnya di
Indonesia. Oleh karena itu Bupati Badung beberapa kali melakukan pertemuan-
pertemuan guna membahas perencanaan ini dengan jajarannya untuk
menindaklanjuti perencanaan menaikkan status kota Denpasar menjadi Kota
Administratif (Surat-surat Undangan dan Surat Kawat Kabupaten Daerah Tingkat II
Badung, kepada jajarannya, tanggal 3 Agustus 1976, 9 Agustus 1976, 22 Januari
1977, dan 7 Maret 1977 tentang pembahasan lebih lanjut Persiapan Kota Denpasar
sebagai Kota Administratif, Arsip Koleksi Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II
Badung). Selain itu Team Konsultariat yang telah terbentuk juga beberapa kali
melakukan rapat guna mencari masukan-masukan perencanaan kota administratif
Denpasar (Hasil Rapat Team Konsultariat Tk I Bali tanggal 24-3-1975, Arsip
Koleksi Perpustakaan Kantor Bappeda Provinsi Bali).
Berdasarkan beberapa pertemuan rapat baik di tingkat Kabupaten Badung
maupun di tingkat Provinsi Bali dengan Team Konsultariat, maka diputuskan untuk
dengan segera mengirim surat usulan kepada pemerintah pusat melalui Pemerintah
Daerah Tingkat I Bali. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Maret
1977 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung mengirim usulan kepada Pemerintah
Dearah Tingkat I Bali untuk diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri. Dengan
dikirimnya surat Bupati Badung dengan Nomor: Pemb.1/299/77 segera, tanggal 5
Maret 1977, tentang peningkatan status kota Denpasar, maka keluarlah Peraturan
Pemerintah Nomor: 20 Tahun 1978 tentang pembentukan Kota Administratif
Denpasar. Keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut di atas, secara yuridis formal
Kota Denpasar telah menjadi sebuah wilayah Kota Administratif. Oleh karena itu, PP
Nomor: 20 tahun 1978 ini menjadi dasar hukum terbentuknya Kota Administratif
Denpasar (Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor: 16 Tahun 1978 tentang
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 20 Tahun 1978 tentang Pembentukan
Kota Administratif Denpasar. Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung).
Untuk melakukan pembagian wilayah, terutama dalam kaitannya dengan
pelaksanaan urusan kepemerintahan, maka berdasarkan Surat Keputusan Bupati
Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor: 167/Pem.15/166/79 tentang Pemekaran/

43
Pembentukan Desa-desa Persiapan dalam wilayah Kota Administratif Denpasar,
dilakukan pemekaran wilayah di Kota Denpasar (Surat Keputusan Bupati Kepala
daerah Tingkat II Badung Nomor: 167/Pem.15/166/79 tentang
Pemekaran/Pembentukan Desa-desa Persipana dalam Wilayah Kota Administratif
Denpasar. Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung).
Berdasarkan hasil pemekaran wilayah tersebut di atas, maka Denpasar yang
semula merupakan satu wilayah kecamatan, menjadi tiga buah kecamatan, yaitu
Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar
Selatan. Denpasar Barat dengan membawahi lima desa, yaitu Desa Padangsambian,
Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Ubung, dan Desa Peguyangan. Kecamatan
Denpasar Timur membawahi enam desa yaitu Desa Sumerta, Desa Kesiman, Desa
Penatih, Desa Tonja, Desa Dangin Puri, dan Kampung Jawa. Sementara Kecamatan
Denpasar Selatan membawahi tujuh desa yaitu Desa Pedungan,Desa Pemogan, Desa
Panjer, Desa Renon, Desa Sanur, Desa Sesetan, dan Desa Serangan. Berdasarkan
persetujuan dari Menteri Dalam Negeri, maka pada tanggal 28 Agustus 1978 kota
Denpasar diresmikan menjadi Kota Administratif (Surat Gubernur Bali No:
Pem/I.c/46/1978 tentang Tindak Lanjut Kota Administratif Denpasar, yang ditujukan
kepada Menteri Dalam Negeri. Arsip, koleksi Kantor Gubernur Provinsi Bali, 1-3).
Berdasarkan beberapa pertimbangan setelah diresmikannya Kota
Administratif Denpasar, maka desa-desa di wilayah Kota Administratif Denpasar
mulai diadakan penataan ulang, dimana Desa Pemogan di Kecamatan Denpasar
Selatan yang sebelumnya merupakan sebuah desa, dijadikan sebagai sebuah banjar
di bawah Desa Pedungan. Demikian pula Kampung Jawa yang sebelumnya
merupakan wilayah Kecamatan Denpasar Timur, kemudian diubah menjadi sebuah
banjar yang masuk wilayah Desa Dauh Puri, Kecamatan Denpasar Barat.

4.1.2. Perencanaan dan Perluasan Kota.


Perencanaan pembangunan kota memerlukan adanya suatu pemikiran yang
matang, karena jika dilihat dari fungsi kota yang sangat kompleks, yaitu sebagai
sentral kegiatan pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan sebagainya, maka
sangat dibutuhkan adanya perencanaan yang mengikuti alur wilayah yang akan
menjadi perluasan kota itu sendiri. Selain itu, juga dibutuhkan seni pengaturan,

44
sehingga perencanaan kota dapat tertata dengan rapi, penuh daya tarik sehingga
mendorong terjadinya perkembangan morfologis kota itu sendiri.
Oleh karena itu perencanaan kota Denpasar secara fisik perlu dilakukan
penataan kembali, karena berdasarkan hasil pemetaan wilayah Pemda Tingkat II
Badung, memperlihatkan belum tersusunnya perencanaan kota secara sempurna. Hal
ini disebabkan oleh terlalu cepatnya tingkat kepadatan wilayah perkotaan.
Pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pemukiman yang kurang teratur,
bahkan cepatnya pembangun pemukiman ini terlihat dari banyaknya perumahan
kumuh, serta adanya pembangunan rumah yang tidak mengikuti aturan yang telah
ada.
Jumlah penduduk Kota Denpasar tampak semakin berlipatganda dengan
meningkatnya perkembangan Kota Denpasar, terutama dalam pembangunan di
sektor pariwisata, sehingga animo masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk datang
ke kota dan menetap dengan mengontrak atau membuat rumah sendiri. Oleh karena
itu dalam upaya menata kembali Kota Denpasar, dilakukan berbagai studi banding
ke berbagai daerah lain di Indonesia. Dengan adanya studi banding ini diharapkan
keberhasilan-keberhasilan di daerah lain dapat diambil hikmahnya untuk dipakai
dasar dalam melakukan penataan Kota Denpasar. Selain itu tujuan studi banding ini
diharapkan dapat memudahkan dalam upaya penyusunan rencana kerja proyek,
sehingga bisa berfungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan
pembiayaan terhadap suatu rencana kerja dalam rangka pengembangan morfologi
Kota Denpasar.
Berdasarkan pola dasar pembangunan Kabupaten Badung, dalam upaya
pembangunan dan pengembangannya, Kabupaten Badung dibagi menjadi empat
wilayah pembangunan sesuai dengan Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor 6
tahun 1984, tentang pola dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Badung adalah:
wilayah pembangunan Badung Utara, dengan pusat pengembangannya adalah
Petang; wilayah pembangunan Badung Tengah, dengan pusat pengembangan adalah
Mengwi, wilayah pembangunan khusus Denpasar dengan sub regional
pengembangan meliputi Denpasar Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Selatan,
wilayah pengembangan Badung Selatan dengan pusat pengembangan di Kecamatan
Kuta (Pemerintah Kota Administratif Denpasar, 1988: 9).

45
Berdasarkan pola dasar pengembangan wilayah tersebut di atas, terlihat
pengembangan kota Denpasar merupakan daerah pengembangan khusus, sehingga
dalam pelaksanaan program pembangunan dilakukan secara berkesinambungan
antara berbagai sektoral. Khusus untuk perencanaan pembangunan Kota
Administratif Denpasar aktifitas pengembangan dilakukan dalam bidang
perdagangan dan jasa, industri kecil, kerajinan rakyat yang menunjang pembangunan
seni dan budaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Dalam bidang
pendidikan diarahkan pada peningkatan pendidikan non formal dalam rangka
menyiapkan tenaga siap pakai, selain melalui jalur pendidikan formal. Sektor
pariwisata diarahkan pada peningkatan dan terciptanya kondisi yang dapat memberi
kesan positif bagi wisatawan.
Dalam rangka perencanaan perluasan Kota Denpasar, Kota Administratif
Denpasar telah menggariskan bahwa dalam upaya melaksanakan program ini
berbagai usaha dilakukan diantaranya penetapan bentuk-bentuk perumahan serta
merangsang tumbuh dan bekembangnya usaha-usaha perdagangan di wilayah
Kecamatan Denpasar Barat. Selain itu dalam perencanaan perluasan kota juga telah
diupayakan untuk menentukan bentuk tata ruang pemukiman, sehingga
mencerminkan pola pemukiman yang tertib, nyaman, dan terkendali dan selalu
berorientasi pada kearifan lokal (Wardana, 1980: 32). Hal ini dilakukan karena sesuai
dengan tugas pokok pemerintah Kota Administratif Denpasar, yaitu
menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka peningkatan dan mengarahkan
pembangunan guna perkembangan perkotaan secara terarah untuk merangsang
tumbuh dan berkembangnya pola perencanaan tata ruang pemukiman dalam rangka
perluasan kota Denpasar.
Untuk menciptakan suasana kota Denpasar yang bersih, maka
perencanaannya juga dilakukan dengan program prioritas pembuatan taman-taman
kota serta taman pada tanah telajakan di sepanjang jalan. Selain itu dengan program
prioritas di bidang pertamanan ini, pemerintah Kota Administratif Denpasar juga
telah berupaya untuk merangsang keikutsertaan lembaga-lembaga di tingkat desa dan
banjar, seperti sekehe teruna teruni, PKK, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa
(LKMD), maupun lembaga-lembaga swasta. Selain itu perencanaan pembangunan
drainase atau saluran air juga merupakan program dari Kota Administratif Denpasar.

46
Hal ini dimaksudkan karena pada musim hujan dibeberapa wilayah sering
mengalami kebanjiran, sehingga perlu ditata kembali secara lebih cerdas demi
terciptanya lingkungan yang nyaman dan sehat (Suasih, 1992: 42-45).
Dalam penanganan masalah sampah pada umumnya pembuangan sampah di
wilayah Kota Administratif Denpasar telah ditangani oleh Dinas Kebersihan Kota,
akan tetapi karena terbatasnya sarana pengangkut sampah, maka diupayakan untuk
terus merangsang kesadran masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam penanganan
masalah sampah ini (Seksi Kebersihan Kotif Denpasar, 1991: II-4; Suasih, 1992: 74).
Denpasar yang menjadi pusat kepariwisataan, maka perencanaan
kepariwisataan di wilayah Kota Administratif Denpasar diarahkan pada terciptanya
daerah-daerah sentra pariwisata dengan pengembangan di Desa Sanur. Selain itu juga
diarahkan pada munculnya tempat-tempat rekreasi di dalam kota yang
memungkinkan menjadi daya tarik bagi para wisatawan mancanegara. Beberapa
lokasi yang menjadi upaya pengembangan dan penataan dalam hal ini adalah Pasar
Kumbasari dan Pasar Badung, sekitar Lapangan Puputan Badung termasuk Museum
Negeri Bali, Taman Budaya dan beberapa tempat lain yang mungkin untuk bisa
dikembangkan dalam upaya menunjang kepariwisataan (Bappeda Kota Denpasar,
2009: 38).
Dalam bidang transportasi yang mengandung makna sebagai alat
perhubungan, yang dapat berperan dalam menyampaikan atau menjadi sarana
penghubung yang bersifat alat-alat pengangkutan. Sedang jika dilihat dari segi
prasarana, transportasi mengandung makna sebagai jalur-jalur lalu lintas yang
menghubungkan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bertolak dari
pengertian di atas, dimana transportasi dimaknai sebagai jalur lalu lintas yaitu jalan-
jalan menunjukkan bahwa perkembangannya di wilayah Kota ministratif Denpasar
mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan kemajuan dibidang
lainnya. Pembangunannya dibiayai oleh Pemda Badung, Pemda Tingkat I Bali.
Dengan demikian dana pembangunan jalan-jalan itu sebagian besar berasal dari
Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja
Daerah (APBD), termasuk dalam pembiayaan saluran-saluran di kiri kanan jalan.
Saluran pada kiri kanan jalan di Kota Administratif Denpasar umumnya
hanya terdapat pada jalan utama sedangkan pada jalan kolektor dan jalan sekunder

47
hanya sebagian kecil yang telah memiliki saluran. Mengingat pentingnya saluran di
kiri kanan jalan, maka sejak memasuki pertengahan tahun 1985 telah diupayakan
untuk terus membuat saluran. Bahkan upaya ini tidak hanya pada pembangunan
jalan-jalan protokol, tetapi juga pada jalan-jalan sekunder.
Sebagai akibat dari semakin padatnya arus lalu lintas, maka dalam rangka
pelebaran jalan kendaraan dengan tidak merugikan para pemakai jalan, maka
pemerintah Kota Administratif Denpasar berupaya untuk memanfaatkan saluran ini
sebagai tempat pejalan kaki dengan menutup saluran-saluran tersebut dengan beton,
sehingga memudahkan bagi pejalan kaki. Demikian pula kendaraan yang memakai
jalan dengan dimanfaatkannya saluran sebagai tempat pejalan kaki, tidak merasa
terganggu, paling kurang dapat meminimalisir kemacetan lalu lintas di Kota
Administratif Denpasar.
Untuk mengurangi kemacetan-kemacetan lalu lintas, maka di beberapa ruas
jalan juga dilakukan penetapan arus angkutan dalam kota, baik kendaraan roda tiga
maupun kendaraan roda empat. Selain itu juga dilakukan penentuan arus kendaraan
melalui jalur satu arah. Jalan-jalan di Kota Administratif Denpasar yang merupakan
jalan protokol dengan jalur searah seperti Jalan Diponegoro, Jalan Hasanuddin, Jalan
Setiabudi, Jalan Sutomo, Jalan Gajah Mada, Jalan Sutoyo, Jalan Patimura, Jalan
Sumatra dan beberapa jalan lainnya. Pada umumnya penentuan jalur satu arah ini
ditentukan oleh keadaan baik buruknya jalan, sehingga dengan demikian tidak
menimbulkan masalah baru bagi pemakai jalan.
Fasilitas pendukung terselenggaranya perhubungan di Kota Administratif
Denpasar mendapat penanganan serius. Hal ini dilakukan karena fasilitas ini
merupakan ujung tombak kelancaran lalu lintas. Terlebih lagi masalah terminal yang
merupakan tempat naik turunnya penumpang diperlukan pengaturan yang baik. Oleh
karena itu di wilayah Kota Administratif Denpasar telah dibangun sebanyak lima
buah terminal, yang merupakan sarana penting, seperti terminal Ubung, terminal
Kreneng, Terminal Tegal, Terminal Gunung Agung dan Wangaya. Selain kelima
terminal tersebut, juga dibangun sebuah terminal bongkar muat di Ubung Kaja guna
menghindari masuknya kendaraan truk ke dalam kota yang dapat mengganggu
kenyamanan lalu lintas di Denpasar.

48
Berdasarkan fungsinya, terminal yang ada dibangun untuk melayani arus
angkutan ke luar kota. Ubung untuk angkutan provinsi, antar kota meliputi Singaraja,
Tabanan, dan Negara. Terminan Kreneng melayani angkutan antar kota
(Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, dan Singaraja).Terminal Tegal, melayani
angkutan wilayah Badung, Kuta, dan Tuban. Terminal Gunung Agung melayani
angkutan dalam kota menuju pinggiran yaitu Kerobokan dan Padangsambian.
Terminal Wangaya untuk melayani angkutan menuju Abiansemal dan Petang (Kotif
Denpasar, 1988: 11; Suasih,1992: 49).
Dalam bidang komunikasi, secara umum di wilayah Kotif Denpasar sudah
lancar. Hal ini sangat dimungkinkan oleh adanya status kota yang merupakan
prioritas utama dalam pelayanan sistem komunikasi di daerah Bali. Sarana
komunikasi yang paling dominan sebagai media komunikasi yang paling cepat
adalah telepon. Oleh karena itu dalam penyediaan dan pelayanan sarana
telekomunikasi ini pihak Perum Telekomunikasi (Perumtel) telah memperluas
sambungan dalam setiap tahunnya, dimana dalam permintaan sambungan pada tiap-
tiap tahun naik sekitar 10%. Pada tahun 1989 jumlah sambungan telepon yang ada di
Kota Administratif Denpasar adalah sebanyak 7.400 satuan sambungan, yang terdiri
atas 3.400 berada di wilayah Kecamatan Denpasar Barat; 1.927 berada di wilayah
Kecamatan Denpasar Selatan. Pemilikan sarana telekomunikasi telepon ini
sebelumnya hanya terpasang pada kantor-kantor instansi pemerintah, sedang
sambungan pada perumahan pribadi hanya terlihat pada beberapa rumah yang
tergolong abdi negara atau pengusaha besar, tetapi setelah tahun 1980, satuan
sambungan telepon sudah banyak dimiliki oleh masyarakat secara pribadi, bahkan
ada juga yang mengelola warung Telekomunikasi (Wartel).
Selain sarana telepon, berbagai sarana komunikasi penting lainnya juga
mengalami perkembangan yang sangat pesat, seperti radio amatir swasta. Bahkan
dengan semakin canggihnya sistem telekomunikasi ini muncul pula gelombang baru
Frekwensi Modulation (FM) yang sangat digemari oleh setiap lapisan masyarakat.
Demikian pula pemilikan sarana komunikasi televisi juga sudah meluas dikalangan
masyarakat, sehingga berbagai informasi yang ada dengan cepat dapat diketahui oleh
masyarakat umum. Terlebih lagi dengan berkembangnya barang-barang mewah
Antena Parabola juga menambah khasanah baru bagi pertelekomunikasian di

49
wilayah Kota Administratif Denpasar dan semuanya ini akan membawa perubahan
besar bagi warga masyarakat di Kota Administratif Denpasar karena semua
informasi yang datang dari luar dengan cepat bisa diakses oleh warga.
Secara struktural dalam bidang pemerintahan, Kota Administratif Denpasar
tersusun menurut garis vertikal dan horisontal. Pelaksanaan pemerintahan bergerak
dari ketua kepada bawahannya menurut garis pemerintahan yang ada. Struktur
organisasi pemerintah Kota Administratif Denpasar yang ada sekarang ini
berpedoman pada beberapa kebijaksanaan antara lain: PP Menteri Dalam Negeri
Nomor 5 tahun 1978 tentang Pembentukan pola organisasi pemerintahan Kota
Administratif Denpasar dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 1978
tentang penegasan terbentuknya Kota Administratif Denpasar (Mengenal Kota
Administratif Denpasar, 1988: 2; Suasih, 1992: 59-64).
Pola organisasi Kotif Denpasar sebagaimana digariskan dalam PP Nomor 20
tahun 1978 di atas, dinyatakan unsur pimpinan yang disebut sebagai walikota dibantu
oleh seorang sekretaris dan beberapa suku-suku dinas dan seksi sebagai pembantu
dalam pelaksanaan teknis. Dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya, walikota
Denpasar menganut sistem asas dekonsentrasi pemerintahan. Jadi secara yuridis
formal Kota Administratif Denpasar merupakan bagian dari pemerintahan Kabupaten
Badung. Mengenai tujuan dibentuknya Kota Administratif Denpasar, sebagaimana
disebutkan dalam PP Nomor 20 tahun 1978 dinyatakan:
Tujuan pembentukan Kota Administratif Denpasar adalah untuk
meningkatkan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna
dan berdaya guna, serta merupakan unsur pendorong yang kuat bagi usaha
peningkatan laju pembangunan.
Jadi pengembangan status kota Denpasar menjadi Kota Administratif pada
dasarnya adalah agar kemampuan pengelolaannya meningkat, dengan pengelolaan
khusus untuk meningkatkan kelancaran perkembangan pembangunan Kota
Denpasar. Selain itu seara fungsional kota Administratif berfungsi:
a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan
perkembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan.
b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan
sosial ekonomi serta fisik perkotaan.

50
c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik perkembangan wilayah
Provinsi Dati I Bali pada umumnya, dan Kabupaten Dati II Badung pada
khususnya.
Berdasarkan status fungsional Kota Administratif Denpasar tersebut di atas,
menunjukkan pemerintah Kota Denpasar tidak saja berfungsi untuk mengelola
kepentingan masyarakat kota sendiri, melainkan juga agar dapat mendukung dan
merangsang perkembangan Daerah Tingkat I Bali pada umumnya dan Kabupaten
Badung pada khususnya (Dit. Bang. Perkotaan, 1979: 101). Untuk melaksanakan
kepentingan pemerintahan, secara organisatoris, Kota Administratif Denpasar
dilengkapi dengan seperangkat staf kepengurusan yang dikepalai oleh seorang kepala
wilayah yang disebut walikota sebagai unsur pimpinan. Kemudian sekretariat yang
membawahi dua bidang meliputi staf pelaksana dengan sebutan seksi, dan staf
administrasi dengan sebutan sub bagian. Selanjutnya terdapat pelaksanaan teknis
dengan sebutan suku dinas dan beberapa pemerintahan kecamatan yang disebut
Pemerintah Kecamatan.
Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, walikota bertanggung jawab kepada
Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas
pemerintahan Kota Administratif Denpasar sepenuhnya menjalankan peraturan atau
keputusan daerah yang dikeluarkan oleh Bupati Badung. Demikian pula pengadaan
suku dinas Kota Administratif Denpasar, pada intinya tidak terlepas dari
desentralisasi pemerintahan Kabupaten Badung, dimana hal ini mengandung arti,
disamping kewenangan menyangkut administrasi pemerintahan, Kota Administratif
Denpasar juga berwenang mengelola pelaksanaan teknis perkotaan. Jadi pelaksanaan
pemerintahan Kota Administratif mengandung makna pemerintahan semi otonom
(Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
dan Pemerintahan Desa, 1988: 56).
Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, bentuk
susunan hirarki organisasi Kota Administratif bukan merupakan lembaga pemerintah
tingkat II, oleh karena itu pemerintahannya tidak dilengkapi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Demikian pula dalam menganggarkan dana
pemerintahan, pengalokasian dananya juga menurut Rencana Anggaran Pendapatan
Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Badung. Oleh karena itu Kota Administratif

51
Denpasar anggaran keuangannya menggunakan RAPBD mini, yang merupakan
penjabaran dari RAPBD Kabupaten Dati II Badung.
Secara struktural Kota Administratif Denpasar terdiri atas seorang walikota
yang dibantu oleh sekretaris yang membawahi: seksi pemerintahan, seksi
pembangunan, seksi ekonomi. Sub bagian administrasi yang terdiri atas: sub bagian
hukum, sub bagian pegawai dan sub bagian keuangan. Sedangkan unit teknisnya
meliputi: suku dinas Pekerjaan Umum, suku dinas pertanian, suku dinas kesehatan
dan suku dinas pajak dan pendapatan (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5
tahun 1978 tentang Pola Organisasi Pemerintahan Wilayah Kota Administratif
Denpasar. Arsip, koleksi Kantor Walikota Denpasar)

4.2. Dari Kota Madya Menjadi Kota (1980-1992)


Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung, akhirnya
menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan bahkan mulai
tahun 1958 Denpasar dijadikan pula pusat pemerintahan bagi Provinsi Daerah
TingkatI Bali. Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II
Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik
dalam artian fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Keadaan fisik Kota Denpasar
menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan,
pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata yang terdiri
dari 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar
Selatan dan Denpasar Utara.
Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar ini dari berbagai sektor
sangat pesat, maka tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah yang berstatus
Kota Administratif. Oleh karena itu sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota
yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah
perkotaan sehingga permasalahan kota dapat ditangani lebihcepat dan tepat serta
pelayanan pada masyarakat perkotaan semakin cepat. Seperti halnya dengan kota-
kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Propinsi mengalami
pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala
bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu

52
sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten
Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Propinsi Daerah
Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya. Pertumbuhan
penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula lajunya pertumbuhan
pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan
perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif,
baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang
demikian terus meningkat.Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan
antara Tingkat I dan TingkatII Badung telah dicapai kesepakatan untuk
meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Dan
akhirnya pada tanggal 15 Januari 1992,Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang
Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri
pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan babak baru bagi
penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali.
Dengan semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, terlebih-lebih lagi
setelah menjadi ibu kota Provinsi Bali, maka berbagai permasalahan harus diatasi
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung, dalam mengatasi perkembangan kota
Denpasar. Oleh karena semakin meningkat dan kompleksnya masalah yang harus
dihadapi, khususnya dalam urusan pemerintahan, perekonomian, pembangunan,
pendapatan, pekerjaan umum (PU), kesejahtraan sosial dan umum, maka pada
tanggal 24 Maret 1975 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung yang diwakili oleh
Kepala PU Kabupaten Badung menyampaikan pemikiran rencana peningkatan status
kota Denpasar menjadi kota Administratif pada rapat Team Konsultariat Tingkat I
Bali (Hasil Rapat tgl. 24/3-1975 di Kantor Bappeda Tk. I Bali tentang Membahas
Status Administratif Kota Denpasar, Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bappeda
Propinsi Bali). Atas pertimbangan hasil rapat tersebut, disepakati untuk
meningkatkan status kota Denpasar.
Berdasarkan hasil keputusan rapat Team Konsultariat di atas, maka pada
tanggal2 Agustus 1976 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung mengirim surat
kawat kepada jajaran Pemda Tingkat II Badung untuk membahas kelanjutan
persiapan peningkatan status kota Denpasar menjadi kota Administratif (Surat

53
Kawat Rapat Persiapan tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi Kota
Administratif pada tanggal 3 Agustus 1976 dan tanggal 22 Januari 1977, Arsip,
koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung). Berdasarkan beberapa hasil rapat yang
berlangsung untuk persiapan-persiapannya, maka diputuskan untuk mengirim surat
usulan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung kepada Pemda Tingat I Bali
melalui surat Nomor: Pem.1/299/77/ tertanggal5 Maret 1977. Atas dasar surat Pemda
Tingkat II Badung itu, Pemda Tingkat I Bali mengirim usulan kepada Menteri Dalam
negeri, dan atas persetujuan Menteri Dalam negeri dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah Nomor: 20 tahun 1978 pada tanggal 1 Juli yang menetapkan dibentuknya
kota Administratif Denpasar yang kemudian peresmiannya dilakukan pada tanggal
28 Agustus 1978 (Kotif Denpasar, 1990: 2-3).
Kota Administratif Denpasar meliputi tiga kecamatan sebagai hasil
pemekaran dari Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman. Ketiga Kecamatan
itu adalah: Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan
Denpasar Selatan. Pada saat diresmikannya, kota Adminitratif Denpasar
berpenduduk 206.059 jiwa dengan luas wilayah 123, 98 km2. Berdasarkan Peraturan
Mendagri Nomor: 5 tahun 1978, kota administratif adalah bagian dari wilayah
kabupaten yang dilengkapi dengan aparat pemerintahannya dengan dikepalai oleh
seorang wali kota (Depaertemen Dalam Negeri, 1978: 1-3). Wali Kota mempunyai
tugas pokok menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka meningkatkan
dan mengarahkan pembangunan perkotaan, merangsang pertumbuhan dan
perkembangan wilayah sekitarnya (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, 1988: 37).
Kota Administratif Denpasar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari wilayah Kabupaten Badung, karena antara Pemda Badung dengan Kota
Administratif Denpasar merupakan dua pemerintahan yang terkait erat meskipun
sudah ada pelimpahan wewenang beberapa bidang pemerintahan. Pada masa ini
keterkaitan urusan pemerintah dengan Kota Administratif Denpasar adalah
menyangkut masalah pendapatan asli daerah Kota Administratif Denpasar masih
menyatu dengan Pemda Badung.
Sejak diresmikannya Kota Denpasar menjadi Kota Administratif, upaya
pembangunan fasilitas perkotaan juga semakin meningkat. Hal ini terlihat dari

54
semakin meningkatnya pelayanan pembangunan fisik meupun non fisik yang secara
langsung maupun tidak langsung memerlukan adanya strategi baru dalam upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga Kota Denpasar mampu menciptakan
suasana kota yang tertib, aman dan terkendali. Pembangunan fasilitas ini terlihat
lebih pesat lagi setelah memasuki tahun 1980, dimana Kota Denpasar mengalami
perubahan yang cukup pesat baik dalam bidang fisik kota, ekonomi, sosial maupun
dalam bidang sosial budaya.
Dalam program pembangunan perkotaan yang menjadi sentra pengembangan
aktifitas manusia, menyebabkan perkembangan kota lebih dituju pada pembangunan
fisik berupa pendirian gedung-gedung perkantoran, kesehatan, pasar dan sekolah.
Dengan demikian Kota Denpasar berkembang sebagai mata rantai kegiatan
masyarakat maupun aparat pemerintahan.Kota Denpasar yang ada sekarang ini
merupakan wilayah swapraja Badung sejak masa pemerintahan Sunda Kecil.
Demikian juga pada masa pemerintahan Nusa Tenggara, Denpasar masih merupakan
wilayah swapraja Badung.
Kota Denpasar adalah wilayah kota termuda di Bali, berusia 13 tahun sejak
diresmikan tanggal 27 Februari 1992. Penetapan Denpasar sebagai pemerintahan
kota dijalani secara bertahap melalui peningkatan status Kota Administratif dan
Kotamadya. Kendati demikian, dari sisi sejarah, Denpasar yang sebelumnya adalah
bagian dari Kabupaten Badung menyimpan peran amat penting bagi perjalanan Bali
kini. Puputan Badung tanggal 20 September 1906, yang melibatkan banyak
kalangan, bukan saja kalangan keluarga Puri, menunjukkan kegigihan warga Bali
dalam mempertahankan kehormatan. Mewilayahi sekitar 12.780 ha Denpasar
mulanya adalah pusat kota kerajaan kian pasti bergerak menjadi kota dagang.
Menerima warisan dari Kabupaten Badung sebagai daerah hunian wisata, Denpasar
mewilayahi daerah hunian wisata utama di kawasan Sanur. Dari sisi utara Sanur
dengan The Grand Bali Beach hingga Sanur Beach Hotel di sisi selatan Sanur
dipadati oleh hotel, restoran, dan berbagai sarana penunjang wisata yang padat.
Menyikapi agar perkembangan Denpasar tidak liar tanpa kendali, memasuki
milenium ketiga, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan rambu Denpasar sebagai
Kota Budaya. Beberapa kawasan kota seperti misalnya kawasan Lapangan Puputan,
daerah aliran sungai Tukad Badung, dan beberapa kawasan terkait ditata untuk lebih

55
pantas menyandang ciri sebagai kota budaya. Paket City Tour pun dikemas sebagai
rambu pendukung untuk menjaga kualitas ruang-ruang tersebut.

4.2.1. Proses Pembentukan Kota Denpasar


Kota administratif adalah sebuah wilayah administratif di Indonesia yang
dipimpin oleh walikota administratif. Keberadaan kota administratif diatur oleh
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah. Kota administratif bukanlah daerah otonom sebagaimana
kotamadya atau kota, dan karena itu tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Walikota administratif bertanggung jawab kepada bupati kabupaten
induknya. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22
Tahun 1999, diIndonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif karena
pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota. Akibatnya kota
administratif harus berubah status menjadi kota atau bergabung kembali dengan
kabupaten induknya.
Seperti halnya dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar
merupakan Ibukota Provinsi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penduduk
serta lajunya pembangunan di segala bidang terus meningkat, memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap kota itu sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar
yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga
merupakan Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan
demikian pesatnya. Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan
dibarengi pula dengan lajunya pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor,
sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Kota Denpasar, yang
akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan
dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan
maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang demikian terus meningkat. Berdasarkan
kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan antara Tingkat I Bali dan Tingkat II
Badung telah dicapai kesepakatan untuk meningkatkan status Kota Administratif
Denpasar menjadi Kota Denpasar.
Kota Denpasar lahir tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar dan telah diresmikan

56
oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan
babak baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten
Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar. Bagi Provinsi Daerah
Tingkat I Bali adalah merupakan pengembangan yang dulunya terdiri atas 8
(delapan) Daerah Tingkat II sekarang menjadi 9 (sembilan) Daerah Tingkat II.
Sedangkan bagi Kabupaten Badung telah kehilangan sebagian wilayah serta potensi
yang terkandung didalamnya. Sementara bagi Kota Denpasar merupakan babak baru
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang walaupun merupakan
Daerah Tingkat II yang terbungsu di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Denpasar, yang kini merupakan ibu kota pemerintahan kota, mengalami
perkembangan pesat baik secara fisik maupun non fisik Dijadikanannya Denpasar
sebagai ibu kota Provinsi Bali, berarti segala kegiatan kepemerintahan berlangsung
di wilayah kota Denpasar. Berdirinya Universitas Udayana pada tahun 1962 juga
menjadi penyebab semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, karena dengan
demikian Denpasar juga akan menjadi pusat pendidikan yang sudah barang tentu
akan menjadi penampung para pelajar yang akan melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Selain itu, perkembangan arus kepariwisataan setelah dibukanya
penginapan-penginapan di daerah Sanur dan sekitarnya, juga menjadi penyebab
pesatnya perkembangan kota Denpasar.
Dengan melihat latar belakang perkembangan Kota Denpasar yang pada
mulanya sebagai pusat istana atau puri, kemudian dewasa ini berkembang sebagai
pusat kota modern dapat dilihat ciri perkembangannya sebagai berikut. Terdapat ciri
fisik kota yang dapat dianggapmenjadi ciri khusus Kota Denpasar yaitu adanya
bangunan-bangunan tradisional seperti pura (bangunan suci bagi umat Hindu di
Bali), puri (tempat kediaman bagi bangsawan Bali) dan bangunan-bangunan lain
yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh
tiap-tiap kelompok masyarakat. Terdapat beberapa pura di Kota Denpasar seperti
Pura Melanting, Pura Gaduh, Pura Ubung dan Pura Suci. Hal ini dapat dimengerti
karena mayoritas penduduk Kota Denpasar sebagai etnis Bali yang beragama Hindu.
Masyarakat Bali pada umumnya sebagai kolektif yang terikat oleh kesadaran akan
kesatuan kebudayaannya, yaitu kebudayaan Bali. Kesadaran ini diperkuat oleh
keberadaan bahasa yang sama yaitu bahasa Bali. Sebagai orang Bali mereka sangat

57
terikat dengan keluarga, klen, banjar, desa, subak, dan sebagainya. Sebagaimana
diketahui bahwa orang Bali terikat pada beberapa hal dalam kehidupan sosialnya
yaitu: kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu, pada suatu
tempat tinggal bersama, pada pemilikan tanah pertanian dalam sistem subak tertentu,
pada suatu status sosial atas dasar kasta, pada ikatan kekerabatan atas hubungan
darah dan perkawinan, pada keanggotaan terhadap sekeha tertentu dan pada suatu
kesatuan administrasi tertentu (Soenaryo, 2003: 198; Ardhana, 2005: 412).
Keterikatan masyarakat dengan puri misalnya dapat kita lihat di Kota
Denpasar sebagai kota budaya, dimana masyarakat terikat dengan empat puri besar
yang berperan penting yaitu Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Satria, dan Puri
Kesiman. Di antara puri-puri itu, terdapat dua puri yang memainkan peranan penting
yaitu Puri Kesiman dan Puri Denpasar (Soenaryo, 2003: 198). Melalui sentra-sentra
kekuasaan itulah kemudian Denpasar berkembang baik dalam aspek ekonomi,
politik, sosial budaya atau pendidikan (Ardhana, 2005: 412).
Perkembangan Kota Denpasar sejak masa kerajaan, kolonial hingga masa
kemerdekaan telah meberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kota
Denpasar dewasa ini. Di samping terdapatnya pelabuhan Benoa, Kota Denpasar
berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Bali secara keseluruhan. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap dinamika politik, perdagangan di Kota Denpasar.
Sebagai kota yang memiliki pelabuhan Benoa, menyebabkan terjadinya persaingan-
persaingan di kalangan para pedagang luar dengan pedagang setempat. Hal ini tentu
menuntut adanya ketegasan dari pemerintah Kota Denpasar untuk mengatur sentra-
sentra perdagangan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat yang pada akhirnya
bisa menimbulkan konflik kepentingan dari masing-masing pedagang yang pada
gilirannya bisa merusak citra Kota Denpasar sebagai kota budaya.
Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada
umumnya, perkembangan Kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalan-
persoalan fisik kota yang sama. Hal ini terlihat dari sulitnya menata dengan baik
masalah infrastruktur kota. Tanpa adanya pembenahan yang maksimal terhadap tata
ruang, menyebabkan Kota Denpasar tampak belum siap menghadapi persoalan-
persoalan global. Hal ini dapat dimengerti karena pada awalnya Denpasar hanyalah
sebuah desa. Dengan demikian volume fisiknya tentu setara dengan sebuah desa.

58
Kemajuan yang tidak terkendali tampak membuat semakin sulitnya melakukan
penataan terhadap masalah-masalah perkotaan, karena Kota Denpasar belum
memiliki urban design (Ardhana, 2005: 420).
Meskipun penataan kota sudah dilakukan,namun karena pemukiman dan
jalan-jalan sudah ada terlebih dahulu, menyebabkan penataan kota kurang bisa
dilakukan secara maksimal. Sebagai akibat pengaruh globalisasi, tampaknya secara
fisik budaya, Kota Denpasar tampak mengalami pergeseran yang kurang
mencerminkan kota budaya. Sebagai contoh dalam peraturan-peraturan daerah sudah
dijelaskan bahwa bangunan penduduk yang menghadap ke jalan raya mestinya
bernuansa khas Bali. Akan tetapi, hal ini baru dalam tingkat perbincangan wacana.
Adanya perkembangan hutan perkotaan seperti pembangunan mall, pertokoan dan
swalayan menyebabkan kota Denpasar identik dengan kota shopping centre. Adanya
pembangunan rumah dan toko (ruko) yang mengabaikan telajakan membuat wajah
Kota Denpasar menjadi berubah dan kurang mencerminkan kebaliannya.
Disadari bahwa Denpasar sebagai ibu kota provinsi, telah dirancang melalui
pembangunan civic centre dengan karakteristik arsitektur tradisionalnya di kawasan
renon, sebagai sebuah kawasan yang dapat mencerminkan ciri khas kebalian orang
Bali. Akan tetapi, di luar wilayah itu telah berdiri berbagai bangunan yang
mengganggu pembangunan tata ruang kota, berkaitan dengan kebijakan menerapkan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam hal ini masih belum ditegaskan
secara pasti mana zonning untuk pelestarian budaya, pemukiman, pusat perbelanjaan
dan sebagainya.
Pengaturan tata kota sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah
kolonial Belanda sebenarnya dapat diambil sebagai pelajaran bagaimana sulitnya
melakukan penataan kota. Oleh karena itu, perlu ada rencana induk kota yang
direncanakan dengan baik berdasarkan potensi dan kepentingan jangka pendek
maupun jangka panjang. Di samping itu, perlu ada konsistensi dan kontrol yang ketat
agar masyarakat dapat terus menaati peraturan yang telah ditentukan oleh pemerintah
sebagai tolak ukur dalam melaksanakan pembangunan, sehingga Kota Denpasar
tidak kehilangan jati diri sebagai kota budaya (Soenaryo, 2003: 219; Ardhana, 2005:
422).

59
4.3. Dari Kota Keraton Menjadi Kota Budaya
Perkembangan kota-kota modern yang muncul banyak dibentuk berdasarkan
warisan sejarah masa lalunya. Dalam dinamika sejarahnya, kota-kota itu lahir
sebagai akibat dari adanya pergeseran pusat-pusat politik tradisional seperti pusat-
pusat istana kerajaan, pusat-pusat perkembangan perdagangan di daerah pedalaman
atau wilayah pesisir pantai (pelabuhan). Pergeseran perpindahan itu sering kali
terjadi karena adanya dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan
politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri,
maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Pengalaman sejarah seperti itu
dapat dilihat dari tumbuh dan berkembangnya kota Badung yang kemudian menjadi
Denpasar sebagai pusat perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Bali Selatan
(Ardhana, 2005: 405). Nama Badung juga sering kali dipergunakan untuk menyebut
nama wilayah kerajaan itu, yaitu Kerajaan Badung atau kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Kerajaan Denpasar. Saat ini Badung, selain menjadi nama sungai di
wilayah itu, juga dipergunakan sebagai nama pasar, yakni Pasar Badung yang
merupakan salah satu pasar terbesar di kawasan itu. Nama Badung juga
dipergunakan untuk menyebutkan nama kabupaten yaitu Kabupaten Badung yang
kini beribukota di Mangupura.
Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari pusat-
pusat kerajaan yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah itu memiliki adat-
istiadat, sistem pengairan (subak) dan pemerintahan sendiri-sendiri. Struktur
masyarakat di tiap-tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai
wilayah dengan karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan
keagamaan, tetapi juga menyangkut persoalan sosial dan budaya.
Hal semacam ini dapat dilihat dari keadaan dan kondisi yang ada di
Denpasar. Denpasar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten Daerah
Tingkat II Badung. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat
pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik,
melainkan juga secara sosial budaya. Pada periode ini Kota Denpasar diusulkan
untuk menjadi kota Administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah
Kecamatan Denpasar dan Kesiman. Hal ini dilakukan mengingat jumlah penduduk

60
yang semula hanya memiliki enam (6) kecamatan, sekarang menjadi tujuh (7)
kecamatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Kota Denpasar
diubah statusnya menjadi Kota Administratif yang membawahi tiga kecamatan yaitu:
Kecamatan Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Kecamatan Denpasar Timur
dengan luas 27,73 km2, dan Kecamatan Denpasar Selatan dengan luas wilayah 46,19
km2. Dilihat dari segi tipologi, Kecamatan Denpasar Selatan dari Timur memiliki
ketinggian antara 0 75 meter dari permukaan laut, sedangkan Kecamatan Denpasar
Barat memiliki ketinggian antara 12 75 meter dari atas permukaan laut. Apabila
dilihat dari segi letak strategis dengan daerah pusat kota, maka masing-masing
kecamatan memiliki jarak yang relatif sama ke pusat kota antara 4 terdapat 35 desa
adat, dimana desa adat ini bisa meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya bisa
juga meliputi dua desa adat. Dengan demikian Kota Denpasar berperan sebagai ibu
kota kabupaten, provinsi dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia
Bagian Timur.
Di era modern ini, jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di
Bali Selatan seperti Tabanan, atau Gianyar, tampak bahwa Denpasar mengalami
perkembangan yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di
sektor perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai
pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah
mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti urbanisasi
(Sjoberg, 1960: 64). Bagi masyarakat pedesaan yang memiliki garapan tanah sangat
minim, telah mendorong untuk mengadakan imigrasi ke wilayah perkotaan seperti ke
Kota Denpasar di Bali Selatan atau ke Singaraja di wilayah Bali Utara dengan
maksud untuk mencari perbaikan nasib. Kondisi alam yang subur menjadi salah satu
faktor perkembangan perekonomian Denpasar. Selain kondisi alam yang demikian,
adanya sistem pengaturan air yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi
tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan
pengairan yang lebih baik. Sistem aliran Sungai Ayung yang melintasi Kota
Denpasar bagian timur dan Sungai Badung yang melintas di Kota Denpasar bagian
barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada

61
masa kerajaan maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda (Soenaryo, 2003:
198).
Secara historis Kota Denpasar merupakan pusat kerajaan (Puri Denpasar).
Puri sebagai pusat kota ditunjang oleh sarana dan prasarana seperti: pasar, alun-alun,
serta komplek perumahan keluarga raja dengan menggunakan konsep catus pata.
Selain Puri Denpasar, di Kota Denpasar terdapat beberapa puri yang pada masa
lampau pernah memainkan peran penting. Puri-puri yang dimaksud adalah: Puri
Pemecutan, Puri Satria, Puri Gerenceng, Puri Kesiman, Puri Jero Kuta, Puri Gelogor,
dan Puri Alang Kajeng. Mengingat potensi dan variasi serta distribusi dari puri-puri
di Kota Denpasar, tampaknya warisan budaya puri yang adiluhung dapat dijadikan
salah satu icon kota sehingga Denpasar identik dengan Kota Puri (Geriya, 2010: 23).
Kota Denpasar memiliki jatidiri sebagai sebuah kota yang secara hakiki
merefleksikan citra kota yang berbasis budaya lokal Bali. Identifikasi diri masyarakat
Kota Denpasar tampak dalam komunitas kecil seperti menjadi anggota banjar
maupun sebagai krama Desa Pakraman.
Meskipun Kota Denpasar telah berkembang dalam dinamika interaksi yang
mengglobal, tetapi citra tradisi masih kental mewarnai penampilan Kota denpasar
sebagai kota budaya. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari pilar-pilar warisan budaya
yang terdapat pada bangunan puri, pura, artefak kuno, dan pemeliharaan bangunan-
bangunan yang mengandung nilai historis, merupakan satu bukti bahwa masyarakat
Kota denpasar masih tetap mencintai tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang pendahulunya.
Warisan budaya berupa institusi tradisional seperti banjar, desa adat, subak,
sekeha, merupakan kearifan lokal (local genius) yang telah diakui oleh dunia
internasional. Meskipun institusi-institusi itu mengalami pasang surut sebagai akibat
adanya faktor-faktor internal dan ekternal, tetapi hingga saat ini masih tetap
memainkan peran penting dalam pembangunan Kota Denpasar sebagai kota budaya.
Demikian juga halnya dengan filosofi Tri Hita Karana, desa, kala, patra, karma pala,
jengah, paras-paros, dan nilai keadaban lokal lainnya dipandang sebagai budaya
unggul dan menjadi inspirasi dan kreasi bagi masyarakat kota Denpasar yang
berwawasan budaya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa Kota Denpasar
sesungguhnya secara historis merupakan perkembangan dari Kota Kerajaan (Puri)

62
menjadi kota budaya yang dengan kental telah mengusung kearifan-kearifan lokal
dalam membangun Kota Denpasar.
Denpasar sudah sejak lama dibangun menjadi kota budaya tetapi hal itu
dilaksanakan tanpa dibarengi usaha memadai membangun budaya kota. Pada saat
ini, Denpasar sudah kian padat dan heterogen penduduknya, kian padat lalu-
lintasnya, kian kompleks persoalan yang potensial muncul, maka tidaklah solid
membangun kota budaya tanpa sekaligus membangun budaya kota.
Usaha menjadikan Denpasar sebagai kota budaya sudah tampak sejak
pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berlanjut secara melompat-lompat sampai
dengan sekarang. Segera setelah menguasai keseluruhan Bali pasca-perang Puputan
Badung 1906 dan Puputan Klungkung 1908, Belanda mengambil kebijakan untuk
melestarikan kebudayaan Bali (Balisering), dan menjadikan Bali sebagai daerah
tujuan wisata.
Berbagai usaha ke arah itu diambil termasuk mendirikan Bali Hotel 1928 dan
Museum Bali 1932. Museum Bali menjadi ikon Denpasar sebagai kota budaya.
Konsep pembangunan museum Bali sebagai museum etnografi agak unik karena
inilah museum yang identitasnya tidak hanya bisa dilihat dari koleksi artefak yang
dipajang di dalam gedung tetapi juga sekaligus dari arsitektur bangunannya yang
merupakan campuran dari arsitektur puri dan pura. Pertimbangan Belanda ikut
memuseumkan arsitektur Bali berdasarkan perkiraan bahwa arsitektur itu kelak
akan lenyap antara lain ditenggelamkan bangunan atau gedung-gedung modern
menyerupai arsitektur Belanda. Bayangan tersebut ternyata meleset karena terbukti
arsitektur Bali tumbuh terus, entah lewat pura, puri atau hotel.
Tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru kembali menambah ikon budaya kota
Denpasar dengan mengganti lonceng peninggalan Belanda di pusat kota dengan
Patung Catur Muka dan membangun Taman Budaya yang lebih dikenal dengan Art
Centre. Selain karena sudah tua, lonceng di ujung timur Jalan Gajah Mada itu
dianggap tidak cocok dengan spirit estetika kultural Bali. Patung Catur Muka
menggantikannya dengan pesona yang pas dengan spirit budaya Bali.
Kompleks Art Centre berisi beberapa panggung terutama Ardha Chandra dan
ruangan untuk memamerkan karya seniman Bali, baik lukisan maupun patung. Galeri
seni Art Centre pernah tampil berwibawa dan memikat, tetapi kini dalam usia tiga

63
dekade redup karena berbagai faktor antara lain karena koleksinya tidak terjaga
dengan baik. Peran penting Art Centre sekarang tampaknya sebatas sebagai arena
pelaksanaan tahunan Pesta Kesenian Bali.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, event PKB memberikan
kontribusi penting mewujudkan Denpasar sebagai kota budaya. Ikon budaya lain
yang dimiliki Denpasar adalah Bhajra Sandhi, yang sesekali juga dijadikan latar
belakang pementasan, baik untuk seni tradisi Bali maupun musik modern. Selain
ikon ini, pemerintah Kota Denpasar secara reguler mementaskan kegiatan kesenian
di taman Puputan Badung sebagai usaha memperkuat langkah menciptakan Denpasar
sebagai kota budaya.
Dalam sebuah artikel di English Cornor Bali Post yang terbit tahun 1991,
Jean Couteau, menuliskan pengamatannya tentang sikap pemuda Kota Denpasar
terhadap seni pertunjukan Bali. Sosiolog asal Perancis yang sudah lama menetap di
Bali itu berpendapat bahwa: The city youth feels increasingly embarresed (lek), to
attend Balinese shows, except in relation to tourists, preferring the pounding
vulgarity of pop music as promoted on their TVs (Couteau 2008: 209). Artinya
bahwa pemuda kota kian merasa malu atau lek (bahasa Bali) menyaksikan
pertunjukan kesenian Bali kecuali yang berhubungan dengan turis, mereka lebih suka
hentakan vulgar musik pop yang ditayangkan di televisi.
Penilaian di atas mungkin ada benarnya ketika ditulis hampir dua dekade lalu,
tetapi perkembangan mutakhir menunjukkan kebalikannya. Rasa bangga generasi
muda Bali terhadap keseniannya kian tumbuh dan ini bisa dilihat dari minat mereka
menonton seni pertunjukan Bali seperti tari-tarian, lagu pop Bali, dan wayang, juga
dalam minat mereka untuk belajar menari dan menembangkan gaguritan, kidung, dan
kakawin. Pelaksanaan PKB dan penggiatan pengenalan kesenian daerah di sekolah
termasuk yang dilaksanakan dan disponsori Pemkot Denpasar merupakan program
yang ikut memberikan andil pada munculnya rasa bangga generasi muda Bali
terhadap keseniannya.
Kini tidak keliru menyimpulkan bahwa kian banyak anak muda Bali yang
bisa makidung dan yang menggemari lagu pop Bali dibandingkan pada masa-masa
sebelumnya. Generasi muda Bali kian bangga menjadikan kesenian daerah sebagai
lambing identitasnya. Walaupun rasa bangga akan kesenian sudah tumbuh, belum

64
berarti bahwa cita-cita menjadikan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya sudah
tercapai final. Perintangnya banyak sekali, selain karena ikon budaya seperti Art
Centre dan Museum Bali kian pudar keberadaaannya secara fisik dan spiritual, juga
karena secara keseluruhan di Denpasar belum ditumbuhkan secara memadai apa
yang dinamakan sebagai budaya kota. Buktinya situasi lalu-lintas, kondisi
lingkungan, dan kepedulian sosial masyarakat kian mencemaskan dalam akselerasi
perubahan kota yang tidak bisa dibendung.
Tidak bisa disangkal lagi, Denpasar dari dulu hingga kini, sudah berubah,
dari kota kerajaan menjadi kota republik, dari daerah agraris menjadi daerah industri
(jasa). Pertumbuhan jumlah penduduk dengan segala kompleksitasnya telah
mengubah lanskap dan perangai Kota Denpasar. Salah satu ciri kota besar yang juga
tampak di Denpasar adalah jumlah penduduk yang kian padat, orang tinggal
berdekatan tetapi belum tentu saling mengenal. Sistem sosial budaya Bali yang
mengikat penduduk dalam ikatan banjar, desa, dadia, dan bentuk komunalitas lainnya
memang tidak membuat proses individualisasi manusia seperti di kota-kota besar di
dunia lainnya, tetapi perasaan individu dan ketidakpedualin juga mulai tumbuh
mewarnai budaya kota yang anomie.
Tahun 1971, sastrawan Made Sanggra dengan menarik melukiskan denyut
perubahan Kota Denpasar lewat sebuah sajak berbahasa Bali berjudul denpasar san
mangkin (denpasar dewasa ini):

denpasar san mangkin


katah umah nyujuh langit
makwh sawah dados umah
umah dados sawah
denpasar san mangkin
pasliwer wong sunantara
solahnyan solh-solh
payasnyan melagndah
melalung mekamen lambih
macukur mabok dawa
luh matingkah muani
muani maambek..

65
Sajak yang ditulis di awal perkembangan Bali menjadi daerah tujuan wisata
massal (mass tourism) bisa disimak lewat dua lapis pemaknaan. Lapis pertama, sajak
ini, mulai dari bagian awalnya melukiskan perubahan lanskap Denpasar dari suasana
agraris persawahan menjadi suasana perkotaan yang ditandai dengan berdirinya
gedung-gedung bertingkat yang menggapai langit (nyujuh langit), termasuk salah
satunya yaitu Hotel Bali Beach di Sanur.
Kebutuhan urbanisasi membuat banyak sawah disulap menjadi rumah dan
rumah-rumah dibangun bertingkat. Ungkapan nyujuh langit agak hiperbolis karena
senyatanya Bali memberlakukan regulasi tinggi maksimal bangunan hanya 15 meter.
Meski demikian, hadirnya gedung-gedung bertingkat mewakili apa yang
digambarkan sajak di atas. Bagian berikutnya melukiskan Denpasar sebagai kota
wisata yang dikunjungi banyak orang asing (wong sunantara). Di mata penyair Made
Sanggra, perilaku dan perangai turis itu agak aneh.
Tahun 1970-an, Denpasar mulai banyak dikunjungi wisatawan dan mereka
biasanya mengenakan sarung dengan baju minim, terkadang singlet saja atau topless,
untuk menyesuaikan diri dengan udara kota yang tropis. Wisatawan yang muncul
biasanya berambut panjang, mirip dengan hippies.
Di mata penyair dan ukuran kesopanan saat itu, penampilan mereka dianggap
aneh untuk ukuran Denpasar saat itu. Tapi, wong sunantara bisa juga dianggap kaum
migran yang kemudian memperhebat urbanisasi di Denpasar, yang selanjutnya
membuat kian meningkatnya konversi sawah menjadi rumah.
Dalam lapis kedua, sajak Made Sanggra ini melukiskan dampak sosial dari
perubahan lanskap kota Denpasar. Ungkapan umah dados sawah menunjukkan
perubahan sumber mata pencaharian masyarakat. Kalau dulu sawah sebagai sumber
pendapatan, kini rumah menjadi sumber penghasilan khususnya bila mengacu pada
rumah-rumah kost yang bermuculan di Denpasar.
Banyak warga kota yang beruntung punya sawah lalu diubah menjadi rumah
kost dan hidup dengan hasil sewa rumah kost. Lukisan perilaku manusia yang aneh-
aneh adalah ekspresi kekhawatiran penyairnya tentang munculnya fenomena
kehidupan kota yang anomie ketika luh matingkah muani (wanita berperilaku seperti
laki-laki) dan merosotnya nilai moral. Dalam konteks sajak Made Sanggra, sumber
anomie ini seolah bersumber dari wong sunantara. Dampak negatif pariwisata bukan

66
merupakan rahasia lagi, tetapi Denpasar dan Bali secara umum sudah tanpa ragu-
ragu menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian.
Akurasi penggambaran fenomena kota atau kehidupan urban (urban life)
sudah banyak diberikan oleh kalangan sosiolog. Keakuratan definisi mereka tentang
kota terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan sisi positif dan negatif kota
sekaligus dalam oposisi biner. Durkheim berpendapat bahwa urban life merupakan
ruang kreativitas, kemajuan, dan tatanan moral baru (creativity, progress and a new
moral order) sekaligus sebagai arena pembusukan moral (moral decay) dan sirnanya
aturan-aturan sosial atau anomi (Barker 2000: 296).
Marx melihat urban life sebagai lambang kemajuan dan lompatan besar
produktivitas yang dibeli oleh kapitalisme, sebaliknya juga sebagai arena
kemiskinan, ketakpedulian, dan penderitaan. Walaupun batasan tentang kehidupan
urban di atas disusun berdasarkan apa yang terjadi di kota-kota di Barat yang berciri
industri yang kental, situasinya sedikit banyak juga tampak di kota-kota di Indonesia.
Pemerintah dan masyarakat pasti mendambakan perkembangan kota
Denpasar bisa menjadi arena produktivitas, kreativitas, dan memberikan kemajuan-
kemajuan serta tidak ingin melihat kota menjadi arena tumbuh suburnya
ketidakpedualian dan pembusukan moral sosial. Atau, setuju kota Denpasar menjadi
arena untuk memacu proses-proses produksi demi keberlanjutan perekonomian tetapi
tidak mau kemajuan itu menyuburkan proses pemiskinan atau kemiskinan. Dengan
kata lain, bagaimana menjadikan Denpasar sebagai kota yang berkembang dengan
ciri positif kehidupan urban sekaligus mencegah dampak negatifnya seperti yang
digariskan oleh Weber dan Marx di atas.
Yang dimaksud dengan budaya kota adalah gaya hidup manusiawi yang
diupayakan untuk memenuhi tuntutan kenyamanan warga kota secara berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Mengingat kota
merupakan arena perjuangan berbagai kepentingan dari orang, kelas, golongan untuk
mewujudkan angan-angan atau ambisinya yang tak jarang di luar rasio normal, maka
membangun budaya kota dengan tatanan dan aturan yang kuat merupakan hal yang
utama. Kota budaya akan semakin kuat dan menjadi ideal jika ditopang dengan
pembangunan budaya kota. Banyak hal yang bisa dilaksanakan untuk membangun

67
budaya kota, tiga yang disarankan di sini untuk diadopsi adalah apa yang sudah
pernah digariskan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya adalah:
1. Membangun dan memperkuat kesadaran akan hukum (darkum).
2. Membangun dan memperkuat kesadaran akan lingkungan (darling).
3. Membangun dan memperkuat kesadaran akan kemanusiaan (darman).
Kesadaran warga akan hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial.
Persoalan yang dihadapi Denpasar sekarang ini adalah masih lemahnya kesadaran
masyarakah mematuhi hukum dan aturan sosial, termasuk misalnya dalam lalu-lintas.
Parkir sembarangan atau pemilik ruko sembarangan melarang orang parkir di depan
propertinya membuat Denpasar kehilangan pesona kota berwawasan budaya.
Untuk mencegah agar orang tidak memarkir kendaraan di halaman tokonya,
pemilik toko memasang memancang patok dan rantai. Pemandangan ini membuat
Denpasar sebagai kota yang egois dan gawat. Mengapa tidak dipasang tanda dilarang
parkir saja? Terbatasnya fasilitas parkir memang merupakan kendala yang perlu
dipecahkan tapi penghayatan dan pengalaman masyarakat agar tertib hukum sangat
perlu ditanamkan. Gagal membangun lalu-lintas yang baik tidak saja dapat
menimbulkan penyebab stress bagi warga kota dan menghambat kelancaran
perekonomian tetapi juga akan membuat citra Denpasar sebagai kota budaya akan
ambrol.
Citra Denpasar sebagai kota berwawasan budaya juga sangat ditentukan oleh
lanskap lingkungan yang ada, mulai dari estetika kota sampai dengan ihwal
kebersihan. Kota Denpasar tampak meniru kekeliruan kota-kota lain dengan
membiarkan dirinya terpolusi spanduk dan baliho hanya karena kemauan merebut
retribusi reklame. Pemasangan poster dengan paku-paku dan kawat di batang pohon
tak hanya menyiksa tanaman tetapi juga menodai estetika kota. Ini harus dicegah
untuk mewujudkan kota yang indah dan ramah lingkungan.
Lihatlah toko-toko di Jalan Gajah Mada, khususnya di daerah barat sungai,
semuanya tampak semrawut dengan barang dagangan yang bergelantungan meluber
ke luar merusak pesona kota. Pedestrian yang bermutu rendah juga menjadi noda
bagi pesona Denpasar. Ini juga harus diberikan perhatian serius. Masalah lain yang
berkaitan dengan lingkungan adalah sampah.

68
Pemerintah memang sudah berusaha terus untuk memecahkan masalah
sampah, tetapi diperlukan usaha lebih keras lagi untuk membuat Denpasar kota yang
benar-benar bersih. Agar peran pemerintah lebih ringan, kesadaran masyarakat akan
kebersihan dan kelestarian lingkungan harus diperkuat. Faktor paling terakhir yang
tidak kalah pentingnya untuk membangun kota berwawasan budaya adalah
menumbuhkan kesadaran warga kota agar menjadi insan-insan yang sopan dan
ramah, menghargai manusia lain dengan ketulusan dan jiwa besar tanpa berarti
merendahkan martabat. Denpasar yang kian lama menjadi kota urban dengan
penduduk heterogen sungguh memerlukan warga yang ramah. Keramahan ini tidak
saja akan membuat warga kota merasa nyaman dalam berinteraksi atau
menyelesaikan urusan di kantor-kantor tetapi juga akan menyenangkan hati para
wisatawan. Kesan baik ini akan memperkuat citra Denpasar sebagai kota budaya.
Langkah pembinaan budaya kota ini harus dilakukan secara terencana,
strategis dan berlanjut. Kalau selama ini program kota Denpasar berwawasan budaya
merupakan program dari pemerintah ke masyarakat alias top down, maka program
pembinaan budaya kota harus dilakukan dari dua arah, yaitu top down dan bottom up,
dengan menggunakan lembaga pendidikan dan media massa serta lembaga-lembaga
pemerintahan desa sebagai arena untuk membangun budaya kota. Anak-anak sekolah
supaya diarahkan untuk ikut aktif mencari formula untuk membangun budaya kota di
jiwa masing-masing.
Manusia memiliki sifat-sifat lahir untuk mencari gampang, keuntungan
sendiri meski dengan melanggar aturan sekalipun, oleh karena itu tidaklah mungkin
mengharapkan kesadaran akan hukum, lingkungan, penghargaan kepada manusia
lain bisa tumbuh secara otomatis. Artinya, diperlukan rekayasa sosial yang
berkelanjutan untuk membangun insan-insan yang memiliki darkum, darling, dan
darman.
Syukurlah Pemkot Denpasar mempunyai media elektronik Radio Pemerintah
Kota Denpasar yang sudah dijadikan media untuk membangun budaya kota. Iklan-
iklan sosial atau layanan masyarakat Radio Pemkot sangat persuasif, mendorong
masyarakat untuk bersama membangun Denpasar menjadi kota budaya, kota yang
bersih, dan nyaman. Pesan-pesan jangan membuang sampah sembarangan, ketertiban
lalu-lintas, iklan yang melarang pengendara motor/mobil menggunakan handphone

69
saat berkendaraan, iklan dilarang parkir sembarangan, dan sejenisnya muncul dalam
iklan layanan masyarakat. Iklan sosial ini sangat penting dalam upaya membentuk
pola pikir dan perilaku masyarakat mematuhi aturan dan terpanggil menjaga
kebersihan demi kepentingan bersama. Peran radio Pemkot dalam sosialisasi nilai-
nilai budaya kota untuk taat peraturan, hidup bersih seperti itu patut diteruskan. Agar
pesan-pesan yang mendukung terbentuknya budaya kota itu efektif dan menjangkau
lebih banyak pendengar, pengelola radio harus mampu membuat acara radio yang
menarik baik bagi anak muda maupun orang tua.
Pembangunan Denpasar sebagai kota (berwawasan) budaya tidaklah cukup
dengan menggelar pentas seni budaya atau festival serta membangun ikon fisik
budaya saja tetapi perlu dibarengi usaha strategis dan rekayasa sosial untuk
membangun budaya kota. Pembangunan budaya kota diarahkan pada peningkatan
kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, dan kesadaran kemanusiaan alias sikap
ramah tamah menghormati sesama.
Kota Denpasar yang bercirikan sebuah kota dengan citra tradisi Bali,
tercermin dalam aspek fisik, sosial-budaya, dan spirit warga kota. Pendirian maupun
penataan terhadap bangunan fisik yang dilakukan masyarakat seperti pembangunan
rumah tinggal, bangunan tempat ibadah, dan bangunan untuk publik pada umumnya
tetap mengacu kepada ajaran agama Hindu. Mayoritas penduduk kota adalah warga
etnik Bali yang masih kental dengan aktivitas kesehariannya seperti pelaksanaan
upacara keagamaan, tradisi berkesenian, dan aktivitas sosial di banjar-banjar.
Spiritualitas warga kota dalam upaya pemertahanan nilai kesucian dan kesakralan
tetap menjadi pedoman umum bagi penduduk Kota Denpasar. Melestarikan tradisi
bukan berarti menutup arena relasi dan dialog lintas budaya. Perjalanan sejarah dan
pola interaksi sosial masyarakat Denpasar telah berlangsung sejak masa lampau
hingga sekarang yang senantiasa dihadapkan pada situasi hetrogenitas agama, suku,
bangsa, dan budaya. Dalam dialog tersebut warga Kota Denpasar mengindikasikan
adanya sikap keterbukaan, kerja sama dan kesetaraan sebagai bukti adanya
penghargaan terhadap masyarakat yang multikultural. Representasi masyarakat Kota
Denpasar yang multikultural ini selayaknya terus digelorakan sehingga Kota
Denpasar tetap mampu memainkan peran penting dalam menghadapi globalisasi

70
dengan tetap mengusung Denpasar sebagai kota budaya sebagai aset bangsa yang
bisa mendatangkan devisa demi kepentingan untuk mensejahtrakan masyarakat.
Pembangunan Kota Denpasar telah menempatkan budaya sebagai pondasi
dasar dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan dijalankan dengan selalu
berorientasi pada kesejahtraan, peradaban, dan dinamika dalam konteks lokal,
nasional, dan global dengan selalu mengedepankan segi-segi positif kebudayaan
Bali. Pembangunan yang dilandasi oleh pkebudayaan Bali sebagai satu sosok
kebudayaan yang hidup secara berkelanjutan (Geriya, 2010: 32). Pembangunan
komunitas kota mencakup upaya dinamik untuk merevitalisasi tiga kategori
kemampuan dasar manusia dan masyarakat agar mampu survive secara berkelanjutan
dalam konteks lingkungan yang berubah. Tiga kemampuan dasar tersebut adalah
kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara kreatif-inovatif, kemampuan
untuk tumbuh dan berkembang secara adaptif, dan kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang secara akulturatif.
Kebudayaan akan dapat mengintegrasikan tiga wujud dengan tujuh unsur.
Tiga wujud tersebut adalah ide, perilaku, dan fisik; sedang tujuh unsur kebudayaan
terdiri atas sistem peralatan, sistem matapencaharian, sistem organisasi, bahasa,
kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Dalam kepentingan operasional,
substansi kebudayaan mencakup unsur tangible, intangible dan abstrak. Katagori
tangible meliputi unsur-unsur budaya fisik yang dapat diraba seperti: gedung, benda,
kerajinan, benda kesenian, tempat ibadah, patung, topeng, tekstil, dan sebagainya.
Katagori intangible meliputi: banjar, subak, desa adat, sekaa, arsitektur, upacara,
usada, teknologi tradisional, bercocok tanam, simbol-simbol dan sebagainya.
Sementara katagori abstrak mencakup sistem nilai, sistem norma, hukum adat,
filsafat hidup, ideologi. Pemaknaan terhadap berbagai unsur kebudayaan tersebut
mengacu pada paradigma keserasian lokal, nasional, dan global.
Sehubungan dengan pemaknaan tersebut, warga kota Denpasar yang
mayoritas etnik Bali yang beragama Hindu, maka kebudayaan yang tepat dipakai
acuan atau referensi adalah kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu.
Kebudayaan Hindu secara substansi memiliki keragaman, kekhasan, dan berbagai
keunggulan, baik pada tataran nilai, kelembagaan, fisik dan simbol. Berdasarkan hal
tersebut dalam rangka pembangunan Kota Denpasar yang menyejarah, humanis,

71
beragam dan berkualitas yang patut dijadikan kerangka acuan adalah perpaduan
nilai-nilai ekpresif, progresif dan kokoh dalam aras bawah. Konfigurasi nilai terpadu
tersebut terinci atas sembilan nilai utama, yaitu: nilai religius, estetis, etis,
keseimbangan, harmoni, ekonomis, dan keadilan, iptek, supremasi hukum, serta
demokratis partisipatif (Geriya, 2010: 33).
Sebagai destinasi wisata internasional dan kota berwawasan budaya,
Denpasar wajib mengembangkan budaya tata ruang untuk memperkuat nilai
keharmonisan dan keseimbangan yang diamanatkan dalam Visi-Misi Denpasar.
Budaya tata ruang (Bali) mengandung 3 bagian pokok berkaitan dengan filosofi
luan/teben (sakral/profan) yang dijabarkan dalam konsep tri mandala (pembagian
zone jadi tiga): utama mandala (kawasan sakral) untuk tempat pemujaan; madya
mandala (antara/tengah) untuk bagunan hunian; nista mandala (profan/terluar) untuk
ruang terbuka hijau (di Bali biasa disebut jaba sisi/teba/lebuh/telajakan).
Krama Bali memaknai budaya tata ruang dengan perilaku dan tindakan.
Prilaku dan tindakan yang mendorong kebudayaan Bali lebih dinamis dan adaptif
menyikapi nilai luar atau baru yang sekarang makin kendor di Denpasar dan Bali.
Bahkan, cenderung memaksa tata ruang kota kehilangan roh di kawasan
pengembangan (permukiman baru, supermall, ruko, apartemen dan kondotel,
condominium) dan mendesak permukiman lama (desa/banjar tradisional) termasuk
sawah dan subak terancam musnah demi dan untuk pembangunan. Ini akan
berbahaya bila budaya tata ruang diabaikan, ruang horizontal dan vertikal (zone dan
struktur bangunan) tak keruan akibat pengawasan lemah, dasar hukum (legal based)
lembek, penegakkan hukum (law enforcement) kendor. Budaya tata ruang yang
bernarasi di mana boleh ada apa dan di mana tidak boleh ada apa kini cenderung
beresonansi di mana saja boleh ada apa saja. Di kota ini sangat mudah menemukan
bangunan publik tanpa kepala dan menafikan tempat suci (pura). Sebutlah
supermall, ruko dan apartemen bisa lepas dari budaya tata ruang (Bali) sehingga
spirit komunitas Hindu Bali tak terwadahi. Ketika sebuah supermall di Kota
Denpasar saat peluncuran perdana beberapa tahun lalu, jangankan pura, penunggun
karang pun tak ada. Hal yang sama pun terjadi di kawasan wisata belanja Teuku
Umar beberapa bulan lalu. Sebuah bangunan megah, untuk selular, elektronik dan
ruang pameran awalnya mengabaikan bangunan bercorak Bali.

72
Di saat media dan legislatif gencar menyoroti, syukur pemegang otoritas Kota
Denpasar, tergugah dan meminta pengelola supermall dan bangunan IT dan selular
untuk mengamankan budaya tata ruang tradisional warisan leluhur yang adiluhung
itu. Pada era Gubernur IB. Mantra (1978-1988), budaya tata ruang dan zoning
diawasi ketat. Zone pemerintahan dan gerak sejarah perjuangan rakyat Bali
dipusatkan di Renon (Densel); industri di Ubung (Denut); pendidikan di Penatih
(Dentim); permukiman baru di Tulang Ampian (Denbar). Pengaturan zone ini sesuai
dengan rujukan budaya (Bali) yang sangat fundamental. Tapi semua itu kini seakan-
akan tenggelam di balik Ruko dan supermall dan bangunan-bangunan bertingkat
sejenisnya yang kurang mercerminkan ciri khas budaya Bali.
Kawasan khas yang mencitrakan budaya lokal, makin langka juga di kota ini.
Bypass Ngurah Rai, yang dulu jadi kebanggaan warga kota, kini disesaki pedagang
mebel, pasir dan batu padas, SPBU, restoran, biro perjalanan, pedagang tanaman
hias. Belum lagi serbuan rombong bakso, warung lalapan, soto dan sate mewarnai
sudut kota metro yang beraktivitas entah siang entah malam. Semua itu tidak tertata,
tidak disiplin dan tidak mencerminkan kebersihan dan keindahan Kota Denpasar
sebagai ibukota Provinsi Bali. Gatsu yang dirancang sebagai jalur khas (semasa
Bupati IDG. Oka, Pande Made Latra, dan Gusti Alit Putra, dan Walikota Komang
Arsana), kini apa saja ada di sana. Membangun disiplin, menciptakan kebersihan dan
keindahan. Denpasar telah mendeklarasi kota berwawasan budaya yang punya
program city tour, mestinya bergairah merawat kawasan khasnya. DKI yang
metropolis saja punya Monas, TMII, dll; Yogyakarta punya Malioboro; Malang
punya Slamet Riady-nya; Surabaya punya trading & service city berkultur harmoni.
Kawasan Renon, misalnya, banyak orang sedih melihatnya karena dikurung oleh
Ruko, restoran besar, sehingga karakter Niti Mandala sebagai pusat Pemerintahan
Propinsi Bali tenggelam. Rumah makan milik pelaku budaya (Nang Lecir, Pitik Bali,
dan sejenisnya) yang semula diizinkan beroperasi untuk memenuhi kebutuhan makan
siang pegawai Pemprop, kini mati tertindih Cianjur, Renon, Pawon, Wong Solo,
dan lain-lain. Bahkan dua tahun terakhir sudah tidak kelihatan lagi, entah kemana
dan dimana warung makan Nang Lecir dan Pitik Bali. Keadaan Kota Denpasar hari
ini, sudah jauh dari keinginan almarhum I.B. Mantra yang sejak awal
kepemimpinannya mendesain dan menata ibukota provinsi ini dengan kearifan lokal.

73
Di era kesejagatan mestinya Kota Denpasar tetap gigih mengawal budaya lokalnya.
Ibukota Propinsi Bali ini tidak boleh mengikuti semua kemauan pebisnis kecil/besar,
domestik/asing. Semua ini demi menempatkan kearifan lokal, kepribadian manusia
Bali (Hindu) untuk menghidupkan humanitas warga kota yang cenderung terus
meredup ditiup arus individualistik, konsumerisme, dan hedonis.

74
V

PENUTUP

Berdasarkan gambaran historis yang dijelaskan di atas dan landasan teori


tentang terbentuknya kota serta didukung pustaka acuan sebagai pembanding, dapat
dikatakan bahwa kota Denpasar lahir dari sebuah keraton (Puri). Keraton Denpasar
dibangun kemudian berfungsi sebagai ibukota pusat pemerintahan pada tahun 1788.
Sejak itu kekuasaan kerajaan Badung memancar dari Puri Denpasar. Upaya ini tidak
bisa dipisahkan dari peranan raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan, raja pertama di
Puri Denpasar (1788-1813).
Hampir satu abad Puri Denpasar berdiri megah member corak kota kerajaan,
kota keraton di kerajaan Badung sebelum dibombardir oleh pasukan Marinir dan
Angkatan Darat Belanda pada tahun 1906 hingga hancur. Selanjutnya di atas puing
keraton (Puri) Denpasar dibangun gedung untuk pusat pemerintahan di Bali Selatan.
Selanjutnya Denpasar diabadikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
menjadi nama ibukota afdeling Bali Selatan pada akhir tahun 1907. Sejak itu
ditetapkan bahwa di Karesidenan Bali dan Lombok daerah-daerah Badung, Tabanan,
Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem membentuk sebuah afdeling Bali
Selatan dengan ibukotanya Denpasar. Setahap demi tahap Kota Denpasar senantiasa
member warna dan ciri sebagai ibukota Daerah Tingkat II (Dati II) Badung, Ibukota
Dati I Bali dan Ibukota Provinsi Bali sampai menjadi kota yang memiliki otonomi
karena perkembangan yang dialami selama usianya 222 tahun. Dari kota keraton
menjadi kota berproses selama 222 tahun (1788-2010) Denpasar tetap eksis menjadi
nama kota dan menjadi kebanggaan warga Kota Denpasar.
Saat ini ketika warga kota Denpasar menanyakan kapan sesungguhnya usia
kota Denpasar? Maka jawabannya berdasarkan penelitian ditemukan pada tahun
1788. Mengenai tanggal dan bulan tidak ditemukan. Berdasarkan atas kesepakatan
peserta seminar muncul tawaran tiga opsi, yaitu:
1. Menggunakan tanggal bulannya saja dari SK Menteri Dalam Negeri RI,
tanpa tahunnya (1992) namun diganti dengan mengacu tahun berdirinya
keraton Denpasar tahun 1788 sebagai pusat pemerintahan kerajaan

75
Badung. Ditemukan 27 Pebruari (SK Mendagri) 1788 (Gora Sirikan).
Keduanya dilampirkan. Jadi, hari jadi kota Denpasar 27 Pebruari 1788.
2. Berdasarkan hari besar, upacara petoyaan, wedalan, petirtaan di
bangunan pemerajan agung yang saat sekarang sudah tidak ada lagi bekas
dan tradisinya karena keraton/puri Denpasar dan bagian-bagian puri
termasuk Merajan Agung hancur rata tanah.
3. Pandangan budaya lokal penganut agama Hindu di Bali tentang
melaksanakan karya Batara Turun Kabeh pada Purnama Kedasa. Tradisi
ini dianut di Pura Nambangan Badung bukan di Merajan Agung Puri
Denpasar.
Dari tiga opsi yang muncul dalam seminar, Tim Peneliti merekomendasikan
opsi 1 (satu) menjadi hari jadi kota Denpasar yaitu 27 Pebruari 1788. Atas
pertimbangan alasan masyarakat dan pemerintah kota telah biasa merayakannya
setiap 27 Pebruari, namun saat sekarang tahunnya ditarik ke masa lampau yaitu dari
tahun 1992 ke tahun 1788. Dengan kota Denpasar seperti juga kehadiran historis
kota-kota di Nusantara maupun Mancanegara, seperti: Jakarta, Yogyakarta, Paris,
Atena dan lain-lain. Dapat dilacak berdasarkan faktor historis yaitu dari kota
keraton/puri tahun 1788 menjadi kota saat ini dibatasi sampai tahun 2010 berusia 222
tahun.

76
DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut, Denpasar: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga kota


Wisata, dalam Freek Colombijn et al., 2005. Kota Lama Kota Baru Sejarah
Kota-Kota di Indonesia. Jogjakarta: Ombak.

Ardhana, I Ketut. 1993. Balinese Puri in Historical Perspective; The Role of the
Puri Satria and Puri Pamecutan in Social and Political Changes in Badung,
South Bali 1906-1950. Thesis Australian National University.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies; Theory and Practice. London: Sage
Publication.

Bonn. 1937. Nota V. Tolichtingen Zelfkesturende Landschap Badoeng.

Couteau, Jean. 2008. Bali today 2. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Dharmawiajaya Mantra, IB Rai. 2009. Denpasar Kota Kreatif Berbasis Budaya


Unggulan. Potensi Ekonomi Berbasis Budya Unggulan Kota Denpasar,
makalah disampaikan dalam seminar tentang Peran Lembaga Keuangan
Mikro dalam Pembangunan Ekonomi Kreatif, di Fakultas Ekonomi
Universitas Udayana.

Flierhaar, H. Te. 1931. De Aanpassing van het Inlandsch Onderwijs op Bali aan de
Eigen Sfeer. Batavia.

Geertz, C., 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton,
NY: Princenton Univ. Press.

Geriya, I Wayan (ed.), 2010. Pusaka Budaya Representasi Ragam Pusaka dan
Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Denpasar: Bappeda Kota
Denpasar.

Geriya, I Wayan. 2001. Sinergi Kebudayaan, Agama, dan Pendidikan dalam


Membangun Jati Diri dan Moral Komunitas Kota Denpasar yang
Berwawasan Budaya, dalam Rumawan Salain (ed), Strategi Pembangunan
Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya. Denpasar: Papedda Kota
Denpasar.

77
Geriya, I Wayan. et al., 2010. Kebudayaan Unggul Inventori Unsur Unggulan
Sebagai Bassis Kota Denpasar Kreatif. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.

Hoekstra, H.J. 1937. Nota van Toelichtingen Betreffende het in de Stellen


Zelfbesturende Landschap Badoeng.

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nonor: 16 Tahun 1970 Tentang Pelaksanaan


Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1970 Tentang Pembentukan Kota
Administratif Denpasar.

Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor: HOT.4/81/1980


Tentang Pelimpahan Tugas Wewenang Pemerintah Kabupaten Daerah
Tingkat II Badung Kepada Pemerintah Kota Administratif Denpasar.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung


Nomor: 3/DPRD/1977 Tentang Pembentukan Kota Administratif Denpasar.

Laporan Panitia Khusus A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Badung


Tentang Proses Rencana Peningkatan Status Kota Denpasar

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 122, Tahun 1958.

Moolenberg, P.E. 1926. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok.

Nijpels, G. 1897. De Expedition naar Bali in 1846, 1848, 1849 en 1868. Haarlem.

Pemerintah Kota Denpasar, 2011. Event Management Kota Denpasar. Denpasar:


Bappeda Kota Denpasar.

Pemerintah Kota Denpasar, 2011. Event Management Kota Denpasar. Denpasar:


Bappeda Kota denpasar.

Pendit, Nyoman S. 2008. Bali Berjuang. Denpasar: Pustaka Larasan.

Penelusuran Sejarah Kota Denpasar. 2009. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.

Putra, I Nyoman Dharma. 2009 Seputar langkah untuk membangun budaya kota
yang menjadi penopang kokohnya langkah strategis membangun Denpasar
sebagai kota budaya atau kota berwawasan budaya. Makalah disampaikan
pada Seminar Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya, 29 Desember
2009, di Inna Bali Hotel, diselenggarakan serangkaian dengan Festival
Denpasar, Desember 2009.

78
Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi Pulau Bali. Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian
Rakjat RI.

Rama. Ida Bagus Dkk., 1998. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Biografi Seorang
Budayawan 1928-1995. Denpasar: Upada Sastra.

Sirikan, Gora. 1956. Sejarah Bali.

Sjoberg, Gedeon. 1960. The Preindustrial City; Past and Present. New York,
London: The Free Press.

Soenaryo, F.X. 1989. Sejarah Kota Denpasar 1906-1942, Tesis. Yogyakarta:


Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Soenaryo, FX. 1989. Sejarah Kota Denpasar 1906-1942, Tesis S 2. Yogyakarta:


Fakultas Pasca Sarjana UGM.

Staatblad Tahun 1907 Nomor 449.

Staatblad Tahun 1910 Nomor 638.

Stenis, L.U. 1919. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok.

Suasih, Ni Made. 1992. Sejarah Kota Administratif Denpasar (1978 1989),


Skripsi S1 Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi
Kota Administratif, Tanggal 3 Agustus 1976.

Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi
Kota Administratif, Tanggal 22 Januari 1977

Surjomihardjo, Abdurrachman 2000. Sejarah Perkembangan Sosial Kota


Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Suryo, Djoko. 2004. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990,


Paper pada The 1st International Conference on Urban History Surabaya.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di


Daerah. 1988. Jakarta: Pustaka Tinta Mas.

Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Bandung.

79
LAMPIRAN I
Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar

80
LAMPIRAN II
Schetskaart van Midden Bali (Peta Bali)

81
LAMPIRAN III
DATA ARSIP I

82
83
LAMPIRAN IV
DATA ARSIP II

84
LAMPIRAN V
Lembaran Negara Hindia Belanda
(Staatsblad van Nederlandsch-Indie)

85
86
LAMPIRAN VI
Bali en Lombok: Ibukota Singaraja
(Bali en Lombok: Hoofdplaats Singaradja)

87
88
LAMPIRAN VII
Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26)

89
90
91
92
LAMPIRAN VIII
Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2)

93
94
95
96
97
LAMPIRAN IX
Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02 Goedgekeurd en
Bekrachhtigd
(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1903-1904 No. 201-15)

98
99
100
101
102
103
LAMPIRAN X
Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05)

104
105
106
107
PRAKATA

Untuk melaksanakan gagasan tentang penulisan sejarah lahirnya kota


Denpasar, telah dibentuk sebuah Tim yang bertugas meneliti dan menyusunnya.
Hasil temuan tim sudah diseminarkan. Melalui musyawarah mufakat hingga tercapai
kesepakatan dari aspek yuridis formal dan dari aspek historis. Temuan yang
direkomendasikan tim kiranya dapat dijadikan pertimbangan keputusan politik oleh
pemerintah Kota Denpasar. Temuan yang direkomendasikan ialah tanggal 27
Pebruari (dari aspek yuridis formal SK Mendagri tahun 1992), tahun 1788 (dari
aspek historis buku Gora Sirikan, II, 1956: 188). Jadi hari lahir kota Denpasar 27
Pebruari 1788.
Selama proses penelitian dan penyusunan menjadi sebuah buku, banyak
perorangan dan lembaga yang membantu. Baik bantuan material finansial maupun
motivasi spirit moral, utamanya Bapak Walikota Denpasar. Ucapan terimakasih
secara tulus dari Tim disampaikan kepada Bapak Ida Bagus Rai Dharmawijaya
Mantra, SE, M.Si, Walikota Denpasar yang mendorong Tim untuk menggali hari jadi
Kota Denpasar. Ucapan terimakasih yang tulus ditujukan kepada segenap wakil
rakyat yang duduk di DPRD Kota Denpasar dan pemuka Puri (Pemecutan, Denpasar,
dan Kesiman). Juga ucapan terimakasih tulus disampaikan kepada para informan,
narasumber, lembaga-lembaga penyimpanan arsip dokumen, Arsip Nasional RI dan
Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi
Yogyakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan,
Kantor Dokumentasi Kebudayaan Bali di Denpasar.
Semoga gagasan dan usaha Bapak Walikota Denpasar yang didukung oleh
tim penyusun kiranya dapat turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sejarah
lahirnya Kota Denpasar. Juga untuk lebih mengenal jati diri kita sebagai bangsa yang
ber-Bhineka Tunggal Ika dalam mewujudkan cita-cita bangsa melalui aktivitas kota
kreatif berwawasan budaya. Kota Denpasar yang menjalankan perjalanan sejarah dari
kota keraton (puri) tahun 1788 menjadi kota yang ada sekarang (2011) berusia dua
abad lebih. Pada hari jadinya yang akan datang genap berusia 224 tahun apabila
disepakati tanggal 27 Pebruari 1788 27 Pebruari 2012.

Denpasar, 28 Oktober 2011


Tim Penyusun

i
108
SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR

Om Swastiastu
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang
Maha Esa, atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, Buku
Sejarah Kota Denpasar: Dari Kota Keraton Menjadi Kota
(1788 2010) dapat diterbitlan, sesuai yang telah direncanakan.
Pemerintah Kota Denpasar bekerjasama dengan
Universitas Udayana Denpasar melaksanakan penelitian ini,
sebagai salah satu upaya untuk mengetahui sejarah dan usia kota Denpasar, yang
lahir dan muncul dari kota keraton/puri yang memiliki ciri-ciri dan unsur budaya
keraton/puri yang bersinergi dengan budaya rakyatnya.
Harapan kami semoga buku ini dapat memberikan pemahaman yang utuh dan
menyeluruh untuk mempertebal kesadaran sejarah dari komunitas kota Denpasar
sehingga dapat memperkuat jati diri masyarakat kota Denpasar berlandaskan budaya
Bali.
Akhirnya pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Tim
Peneliti Bapak A.A. Bagus Wirawan, SU serta Tim Peneliti dari Universitas
Udayana atas dharma baktinya dalam mewujudkan Visi dan Misi Pemerintah Kota
Denpasar.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
Denpasar, Nopember 2011
KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR

Ir. I Gst. Putu Anindya Putra, MSP


Pembina Utama Muda
NIP: 19550413 198703 1 002

ii 109
SAMBUTAN
WALIKOTA DENPASAR

Om Swastiastu
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas Asung Kertha Wara
Nugraha-Nya, buku Sejarah Kota Denpasr: dari Kota
Keraton menjadi Kota (1788 2010) dapat diterbitkan
tepat waktu sesuai dengan yang direncanakan. Untuk itu
Pemerintah Kota Denpasar menyambut baik dan
memberikan apresiasi terhadap usaha-usaha yang telah
dilakukan dalam menunjang dan merealisasikan visi
Pembangunan Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya
Dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan.
Buku ini akan dapat memperkaya referensi, dan sekaligus sebagau bukti akan
komitmen Pemerintah Kota Denpasar, untuk mengetahui bagaimana proses
menjadinya, genesis dan perkembangannya yang menunjukkan keunikan identitas
Kota Denpasar dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
Terbitnya buku ini tentunya akan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas untuk pengokohan jati diri masyarakat Kota Denpasar, pengembangan
pariwisata, pendidikan, penelitian dan pembentukan karakter bangsa. Apalagi
didalamnya diuraikan tahap-tahap perkembangan Kota Denpasar, dari Kota Kerajaan
Tradisional Keraton (Puri) Denpasar 1788, kemudian menjadi Kota Modern pada
jaman Kolonial dan akhirnya menjadi Pemerintah Kota Denpasar saat ini.
Buku yang merupakan sumbangan pemikiran dari Tim Peneliti A.A. Bagus
Wirawan, SU dan kawan-kawan, tentu sangat relevan dengan upaya Pemerintah Kota
Denpasar untuk merealisasikan misi pembangunan Penguatan Jati Diri Masyarakat
Kota Denpasar Berlandaskan Budaya Bali.
Sebagai akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti dari
Universitas Udayana Denpasar atas segala usaha yang telah dilakukan sehingga buku
ini bias diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat Kota Denpasar
sebagai pengemban pusaka budaya.
Sekian dan terima kasih.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
WALIKOTA DENPASAR

RAI DHARMAWIJAYA MANTRA

iii 110
DAFTAR ISI

PRAKATA........................................................................................................... i

SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR ................................. ii

SAMBUTAN WALIKOTA DENPASAR .......................................................... iii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ vi

I PENGANTAR
1.1. Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota ..................................... 1
1.2. Pustaka Acuan dan Pembanding ......................................................... 3

II DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL


2.1. Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung ................................... 6
2.2. Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota
Kerajaan Badung Tahun 1788 ............................................................. 12
2.3. Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar Hingga
Hancurnya Puri Denpasar.................................................................... 15

III DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN


3.1. Menjadi Ibukota Modern Kolonial ....................................................... 17
3.2. Menjadi Ibukota Modern Republik....................................................... 29
3.3. Menjadi Ibukota Pemerintah Dati II (Kabupaten) dan Dati I
(Provinsi) .............................................................................................. 34

IV DENPASAR SEBAGAI IBUKOTA DAERAH TINGKAT II


4.1. Kota Administratif (28 Agustus 1978) ................................................. 41
4.1.1. Terbentuknya Kota Administratif Denpasar .............................. 42
4.1.2. Perencanaan dan Perluasan Kota................................................ 44
4.2. Dari Kota Madya Menjadi Kota (1980-1992) ...................................... 52
4.2.2. Proses Pembentukan Kota Denpasar .......................................... 56
4.3. Dari Kota Keraton Menjadi Kota Budaya ............................................ 60

V PENUTUP........................................................................................................ 75

iv 111
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77

LAMPIRAN......................................................................................................... 80

v
112
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

I Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar ...................... 80
II Schetskaart van Midden Bali (Peta Bali) .................................................. 81
III Data Arsip I ............................................................................................... 82
IV Data Arsip II .............................................................................................. 84
V Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch-Indie) 85
VI Bali en Lombok: Ibukota Singaraja (Bali en Lombok: Hoofdplaats
Singaradja) ................................................................................................ 87
VII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26) ........ 89
VIII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2) .......... 93
IX Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02
Goedgekeurd en Bekrachhtigd (Bijl. Handelingen Staten Generaal
Zitting 1903-1904 No. 201-15) ................................................................. 98
X Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05) ................... 104

vi 113
SEJARAH KOTA DENPASAR:
Dari Kota Keraton Menjadi Kota (1788-2010)

Tim Penulis
Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, SU.
Ir. IBG. Wirawibawa Mantra, MT.
Drs. I Wayan Tagel Eddy, MS.
Drs. I Wayan Sukiada, M. Hum.
Drs. Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada, M.Hum.

Kerjasama:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota
Denpasar dan Universitas Udayana
2011

114

Anda mungkin juga menyukai