PENGANTAR
1.1
juga berkat adanya pasar sebagai tempat transaksi tukar menukar dan jual beli
barang. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik di wilayah milik seorang
bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan transaksi perdagangan guna
memenuhi permintaan. Transaksi dagang hanya dapat terlaksana dengan bekerja
ataupun dengan tukar menukar kemudian jual beli barang. Apabila kondisi demikian
itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajar bila kota itu
menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, bandanda, bhagawanta (keraton, puri)
maupun tempat pasar, bencingah, wantilan, alun-alun dan lain-lainnya (Kartodirdjo,
1977).
Landasan teori penemuan hari jadi kota Denpasar dan untuk memahaminya
mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya dan unsurunsur sosiokultural seperti yang terdapat di pelbagai negeri dan di pelbagai daerah di
Nusantara (Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk mengidentifikasi, menemukan dan
menyoroti sejarah kota Denpasar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kotakota kuno di Asia termasuk munculnya kota-kota kuno atau kota-kota lama di
Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia. Kota-kota di Asia banyak berpusat
pada istana raja, keraton (pura atau puri) sedangkan pelbagai lembaga dan komunitas
terletak di sekeliling kota itu.
Ekotipe kota atau komunitas sosial yang berkembang di kota sangat
ditentukan oleh pembagian pekerjaan antara lain pendeta, prajurit, pedagang, dan
pengrajin. Mereka pada umumnya tinggal di lokasi yang terpisah-pisah. Di kota-kota
kuno pada umumnya keraton (puri) menjadi pusat pemerintahan, perdagangan
(pasar), kesenian dan kebudayaan. Pada masa lampau selama berabad-abad,
permukaan kota hanya merupakan titik yang tidak berarti di tengah-tengah hutan
rimba dan padang belantara. Kota kuno periode klasik Hindu/Budha di Nusantara
pada umumnya didirikan dipedalaman dan dekat muara sungai-muara sungai besar
seperti Mataram, Kediri dan Majapahit di Jawa serta beberapa pulau besar lain
(Mahmud, 2003: 41; Rahman, dkk, 2000: 3). Wertheim (1959) memandang bahwa
semua aspek budaya yang lebih dahulu berakar di Indonesia berperan menentukan
konsep yang diterapkan pada kota kunonya. Kota kuno klasik Hindu/Budha
dikembangkan dan ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa (dewa raja).
Stuterheim menggambarkan mengenai aturan tempat tinggal di lingkungan
sekitar keraton Majapahit. Orang yang diijinkan mendirikan rumah disekitar keraton
hanyalah kerabat raja, abdi dalem (pelayan), sanak keluarga yang dipercayai, dan
pendeta yang memimpin upacara keagamaan. Sementara rakyat jelata bermukim di
luar pusat administrasi (Piagewd, 1962: 8-11). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa pusat kota kerajaan Hindu/Budha adalah keraton (puri). Di sekeliling keraton
(puri) terdapat tempat tinggal pembesar kerajaan dan kerabat raja di Bali dinamakan
jero, geriya, pasar, wantilan dan lain-lain. Dari aspek struktur ideologi kosmologi
kota keraton ditata menurut konsep keseimbangan utara-selatan, timur-barat, ciri
kosmologis itu mengaskan bahwa kota keraton klasik Hindu/Budha di Nusantara
juga bersifat religius-magis, yaitu selain berfungsi sebagai pusat politik dan
kebudayaan juga sebagai pusat keagamaan (Mahmud, 2003: 43). Sifat religius magis
kota keraton klasik Hindu/Budha berhubungan erat dengan pandangan orang Jawa
dan Bali bahwa raja (Dewa Agung, Cokor Dewa menjadi Cokorda) adalah wakil
Dewa dan keraton sebagai pusat dunianya (Mahmud, 2003: 43). Oleh Geertz (2000)
disebutnya suatu struktur halaman di dalam halaman berbentuk persegi yang
berdinding. Tata letaknya menirukan geometri yang dalam dari kosmos (buwana
agung dan buwana alit). Antara arah-arah utama dengan pusat yang tidak berarah
merupakan gabungan dari semua arah itu atau antara bentuk-bentuk maya dari mana
kekuasaan memancar dengan bentuk-bentuk nyata dalam mana kekuasaan itu
nampak. Keraton (puri) mengekspresikan secara arsitektural bahwa tempat duduk
raja adalah poros dunia (Geertz, 2000: 208-209).
Geertz (2000) juga menyatakan bahwa keraton (puri, puri agung) di Bali
sebenarnya hampir sama dengan kahyangan (pura). Jika kahyangan (pura) adalah
tempat persemayaman dewa dalam wujud yang abstrak, maka keraton (puri) adalah
tempat persemayaman raja yang merupakan penjelmaan dewa yang mengejawantah
pada diri manusia. Dengan demikian puri adalah bangunan suci dalam konsep
religi (Geertz, 2000: ibid.; Munandar, 2005: 12). Kesimpulan Geertz ini didasarkan
kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang yang dihormati
dan dimuliakan seluruh rakyatnya sehingga ia tidak boleh tampil sembarangan di
depan umum. Demikian pula keraton (puri) tempat tinggal sang raja dianggap
sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan disakralkan sesuai dengan
kedudukan raja tersebut. Sebab puri adalah bangunan tempat bertemunya dewa-dewa
dengan masyarakat, antara penguasa dengan bangsawan lainnya (Geertz, 2000;
Munandar, 2005: 13).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemunculan kota Denpasar
berawal dari dibangun dan berfungsinya Puri Denpasar yang sejak semula menjadi
pusat pemerintahan, pusat kekuasaan raja Badung, kemudian termasuk pula pusat
aktivitas ekonomi yaitu pasar yang terletak disebelah selatannya (lihat Schets dalam
Gegevens, 1906). Demikian pula menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas lainnya.
Teori terjadinya kota seperti melekat pada kota Denpasar yang berasal dari kota
keraton tidaklah sendirian. Akan tetapi beberapa kota di Nusantara muncul dan
berawal dari dibangunnya sebuah keraton atau pusat aktivitas lainnya, misalnya
pelabuhan, sungai. Beberapa contoh dapat disebutkan dari acuan pustaka.
1.2
dari jadi kota di Nusantara. Hal ini dapat dijadikan pembanding sekaligus landasan
bagi penemuan hari jadi dalam hal ini tanggal dan tahun kelahiran kota Denpasar
dalam proses waktu atau panggung pentas sejarah.
Dalam buku Jakarta Kota Perjuangan, Jakarta kota Proklamasi Januari
1945-Januari 1946, ditulis oleh Susantu Zuhdi, diterbitkan oleh Pemerintah DKI
Jakarta pada tahun 1995 dinyatakan bahwa hari jadi kota Jakarta jatuh pada tanggal
22 Juni 1527 (Susanto Zuhdi, 1995). Tentang jari jadi kota Jakarta, Susanto mengutip
pendapat dan temuan dari Soekanto dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta:
Sedjarah Ibukota Kita, terbit pada tahun 1954 (Soekanto, 1954: 60).
Dari segi ekotipe kota, Jakarta adalah tipe kota bandar atau pelabuhan di
Teluk Jakarta. Kota ini bermula dari sebuah komunitas pada masa kerajaan
merayakan hari jadi kotanya pada tonggak sejarah peranan raja Islam (Sultan) Syarif
Abdurrahman Alkadri (1739-1808) membangun Kasultanan Pontianak pada tanggal
23 Oktober 1771.
Sebuah kajian penelitian yang dilakukan oleh tim dari Jurusan Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tentang hari jadi kota Yogyakarta ditandai
oleh momentum dibangun dan difungsikannya Keraton Ngayogyakarta-Adiningrat
sebagai pusat pemerintahan Kasultanan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (17551792) pada tanggal 7 Oktober 1756, setahun setelah penobatannya. Temuan tim
sejarawan UGM menyimpulkan, apa yang diperingati sebagai hari jadi kota
Yogyakarta yang didasarkan pada keputusan Pemerintah RI tentang Kotapraja
Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 1947 perlu ditinjau ulang. Alasannya ialah kota
Yogyakarta dengan segala kelengkapannya dan dinamikanya sudah ada jauh sebelum
tanggal 7 Juni 1947, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1756. Oleh karena tanggal yang
disebut terakhir ini adalah sebuah momentum yang sangat monumental, yaitu saat Sri
Sultan Hamengku Buwono I masuk dan menempati Keraton NgayogyakartaAdiningrat (Tim Pengkaji, 2003). Dari nama keraton itu, sebelumnya sudah pernah
diterbitkan sebuah buku yang berjudul Kota Jogjakarta 200 Tahun yang diterbitkan
panitia peringatan pada tanggal 7 Oktober 1956. Di dalam buku peringatan Kota
Jogjakarta 200 Tahun dijelaskan bahwa dari nama sebuah keraton pusat
pemerintahan dan ibukota Negara Ngayogyakarta-Adiningrat dijadikan nama ibukota
selanjutnya sesuai dengan perubahan statusnya.
Sejak 5 September 1945 menjadi ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kemudian sejak 4 Januari 1946 menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.
Selanjutnya ibukota Yogyakarta termasuk lingkungan Kabupaten Kota. Dengan
dihapusnya Kabupaten Kota, ibukota Yogyakarta mendapat kedudukan daerah
otonom dengan nama Haminte Yogyakarta. Kemudian sejak tanggal 7 Juni 1947
diubah menjadi Kotapraja Yogyakarta (Panitya Penerbitan, 1956: 31, 33). Dari
gambaran proses perubahan status kota secara yuridis formal tidak mengurangi
peranan dari aspek historis kelahirannya untuk Yogyakarta dikembalikan pada
momentum berdirinya keraton sebagai cikal bakal kotanya.
II
DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL
2.1.
atau bukti-bukti peninggalan masa lampau dapat diketahui, bahwa spasial yang
kemudian menjadi wilayah Kerajaan Badung adalah tempat produk artefak,
diantaranya: Prasasti Blanjong di Sanur berangka tahun 913 Masehi. Pura
Maospahit Grenceng dan Tonja, Sumerta abad ke-14. Bukti tinggalan artefak Pura
dengan langgam arsitekturnya, institusi dan lain-lainnya memberikan fenomena
kehidupan komunitas yang sudah teratur.
Dari sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan
dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan. Oleh karena itu selain pertanian dapat
juga dikatakan aktivitas perdagangan laut cukup tua usianya (Kuta, Sanur).
Pelabuhan ini sering didatangi pedagang-pedagang dari luar, berinteraksi melalui
tukar-menukar barang dagangan dan unsur-unsur sosiokultural antar etnik. Fenomena
yang berlangsung selama 4 abad lebih sebelum dibangunnya institusi kerajaan sangat
menarik untuk direkonstruksi meskipun informasi yang ada belum memadai. Oleh
karena itu masih perlu digali sumber-sumbernya. Akan tetapi disepakati bahwa
institusi dan komunitas kuno telah terbentuk berupa desa dan subak sebagai wadah
berinteraksi para warganya. Artinya kehidupan masyarakatnya lebih menunjukkan
corak agraris yang didukung pula aktivitas bahari karena wilayahnya dikelilingi
lautan di sisi Barat, Selatan hingga di sisi Timur (Kuta, Kedonganan, Jimbaran dan
Sanur). Selain nelayan dikawasan pantai itu juga dikenal produksi garamnya.
Produksi kerajinan seperti gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno
seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang (Boon, 1938: 3-4).
Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh
Anglurah dan kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak
awalnya pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh
Mahapatih Gajah Mada bersama-sama para Arya pada tahun 1343. Salah seorang
Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi kerajaan di badung dan
Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan
yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M.
Suhardana, 2006: 44-45). Ketika ekspedisi Gajah Mada digelar, Arya Kenceng
menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu Bali dari arah Selatan.
Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan, Tabanan
(Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II).
Di dalam Babad Tabanan dijelaskan bahwa Arya Kenceng yang
berkedudukan di Desa Pucangan atau Buahan penguasa Tabanan menurunkan empat
putra putri, buah perkawinannya dari dua ibu. Dua putra beribu seorang putri
Brahmanawangsa dari Ketepeng Reges Majapahit, yaitu Dewa Raka bergelar Sri
Magada Prabu dan adiknya bernama Dewa Made bergelar Sri Magada Nata. Putra
ketiga lahir dari lain ibu diberi nama Kyayi Tegeh atau Tegeh Kori dan adiknya
bungsu adalah seorang putri diberi nama Istri Tegeh Kori. Sri Magada Prabu
menggantikan kedudukan ayahnya berkuasa di Buahan Tabanan. Oleh karena tidak
berputra sampai meninggal, maka kedudukannya digantri oleh adiknya yaitu Sri
Magada Nata yang bergelar pula Sirarya Ngurah Tabanan. Adik Sri Magada Nata
yang bernama Kyayi Tegeh Kori diberi tugas oleh raja Bali (Dalem) di Samprangan
menjadi penguasa di Badung berkedudukan di Desa Tegal disebelah Selatan setra
Badung (Babad Tabanan: 11b-12b).
Kedudukan Sri Magada Nata semasih hidupnya digantikan oleh putranya
yaitu Kyayi Langwang berhak memakai gelar Sirarya Ngurah Tabanan. Kyayi
Langwang pindah dari Buahan membangun tempat tinggal baru di Tabanan. Setelah
kedudukan diserahkan kepada Kyayi Langwang, Sri Magada Nata pergi dari Buahan
membangun tempat peristirahatan di Kubon Tinggu. Disitu sempat menikah dengan
putri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesa
atau Kyayi Ketut Pucangan. Menginjak dewasa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya
yaitu dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang
bernama Kyayi Anglurah Langwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa)
diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker tumbuh
disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut Bendesa diberi
julukan Kyayi Notor Wandira.
Kyayi Ketut Bendesa yang diberi gelar juga Notor Wandira mempunyai
kesukaan melakukan yoga semadi ke pura mengajak pengiring setia bernama Ki
Tambyak. Atas keteguhan hati melakukan yoga semadi di Pura Panorajon
memperoleh petunjuk melanjutkan perjalanan hingga ke Pura di Pelinggih Ida Batari
Danu. Disini yoga semadinya memperoleh berkah sabda agar Kyayi Ketut Bendesa
memandang daerah yang ditunjuk dan dilihatnya gelap (Badeng). Kyayi Ketut
Bendesa diberi anugrah pula berupa cambuk (pecut) dan sumpit (tulup). Semua
pengalaman yoga semadi yang memperoleh berkah dilaporkan kepada ayahnya Sri
Magada Nata kemudian menganugrahkan sebuah keris pusaka bernama Ki Cekle
kepada putranya.
Ketika terjadi kekosongongan penguasa di Puri Penatih maka atas titah
Dalem di Gelgel kepada Arya Magada Nata untuk memperkenankan adiknya yang
bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa. Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi
pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang kemudian
menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Oleh karena itu Kyayi Tegeh Kori
menjadi penguasa di Badung.
Berdasarkan anugrah petunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa
bersama seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta pengiring
setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk mengabdikan
dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi putra angkat diberi nama
Kyayi Nyoman Tegeh dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang
bernama Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh.
Kyayi Ketut Bendesa (Nyoman Tegeh) berputra Kyayi Gede Raka atau Kyayi
Pasak. Kyayi Gede Raka berputra Kyayi Bebed yang ditugaskan oleh Kyayi Tegeh
Kori atas perintah Dalem untuk menumpas pemberontakan Kyayi Ngurah Janggaran
dari Sidemen. Perang tanding antara Kyayi Ngurah Janggaran melawan Kyayi Bebed
berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama menderita luka.
Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah Janggaran mengetahui Kyayi Bebed mampu
menyembuhkan lukanya sendiri, maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan jujur ksatria
menyatakan diri kalah. Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan
kemenangan Kyayi Bebed. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Bebed yang
sembuh mengkerut seperti kayu pule maka Dalem member nama kehormatan kepada
Kyayi Bebed dengan gelar Kyayi Jambe Pule atau Kyayi Biket.
Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri
Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Jambe Merik
membangun Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Gusti Ayu Made Jambe
dengan Dalem Dimade melahirkan putra bernama Dewa Agung Jambe peletak dasar
Kerajaan Klungkung. Permaisuri kedua Istri Penataran melahirkan seorang putra
bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan membangun Puri
Pemecutan. Istri Penawing Wija dari Desa Tumbak Bayuh Badung bernama Niluh
Tameng (Jro Kame) melahirkan seorang putra yaitu Kyayi Ngurah Tumbak Bayuh
atau Kyayi Ngurah Gelogor, membangun Puri Gelogor.
Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung,
Puri Pemecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan penguasa lama di daerah
Badung yaitu Kyayi tegeh Kori di Puri Tegal. Kyayi Tegeh Kori berkeyakinan
bahwa ketiga kekuatan itu lebih mendapat perhatian dan kepercayaan dari
pemerintah pusat di kerato Sweca Linggarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena
ketiga bersaudara itu adalah ipar dari penguasa Bali Dalem Dimade. Untuk
mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyayi Tegeh Kori
mempertunangkan seorang putrinya dengan I Gusti Jambe Mihik (Merik) di Puri
Alang Badung. Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyayi Tegeh Kori
berubah pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyayi Ngurah Agung di Puri
Jero Gede Pupuan Mengwi (Raja Purana Kenceng, Gora Sirikan, II). Persetujuan
atas lamaran penguasa Puri Pupuan Mengwi itu membangkitkan amarah I Gusti
Jambe Mihik karena rasa malu dan dihinakan. I Gusti Jambe Pule bersama putraputranya berunding untuk menyerang Kyayi Tegeh Kori. Akan tetapi sebelum
gerakan laskar Jambe Pule sampai di Puri tegal, Kyayi Tegeh Kori sudah lebih dulu
meninggalkan Purinya mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan
menetap di Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh
dibawah kekuasaan Puri Alang Badung dan Puri Pemecutan.
Berkat kerjasama kedua raja kakak beradik maka dapat dikatakan Kerajaan
Badung mulai berdiri diatas kekuatannya sendiri. Kedaulatan Kerajaan Badung dapat
dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan Gelgel terutama setelah
10
yang riuh rendah menakutkan sekalian musuh yang mendengarkan. Selain itu, raja
Panji Sakti mempersembahkan sebuah Bale Kulkul yang masih berdiri dipojok
perempatan Pemecutan saat ini.
Kemasyuran namanya ditandai pula dengan banyak punya istri yang menjadi
cikal bakal kerabat dan mereka masing-masing membangun puri-puri disekeliling
Puri Pemecutan. Upaya ini dilakukan untuk mendukung sakti kekuasaan Puri
Pemecutan. Salah seorang putranya lahir dari Istri Padmi I Gusti Ayu Bongan
bernama I Gusti Gde Oka pindah dari Puri Pemecutan membangun Puri Kaleran.
Kemudian putranya yang bernama I Gusti Ngurah Gde diangkat manca untuk
memperkuat kekuasaan raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Mereka telah
membawa tahta kekuasaan Kerajaan badung Puri Pemecutan mencapai puncak
kebesarannya (Gora Sirikan, II). Ketika Raja Mengwi wafat pada tahun 1722,
sumber VOC menyebut bahwa pembesar Kerajaan Badung adalah Raja Pemecutan.
Dapat diketahui pula bahwa Raja Pemecutan pada waktu itu telah mengadakan
hubungan perdagangan dengan orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan para
pedagang dari badung sudah memiliki perahu dagang yang mampu mengangkut
barang dagangan dan penumpang para budak, jumlah mereka 60-70 orang sebagai
dagangan (Nordholt, 2006: 37).
Memuncaknya kebesaran Puri Pemecutan juga karena ditopang oleh raja di
Puri Alang Badung disebelah Timur Tukad badung sampai awal abad ke-18. Akan
tetapi setelah raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan wafat, maka cahaya kebesaran
Puri Pemecutan meredup maka kemudi Kerajaan Badung didominasi oleh kendali
Gusti Jambe Ketewel (Gora Sirikan, II). Pemegang kekuasaan di Puri Alang Badung
ialah I Gusti Jambe Ketewel putra I Gusti Jambe Tangkeban atau cucu I Gusti Jambe
Mihik (Merik) pendiri Puri Alang Badung. Pada masa itu pemegang kekuasaan di
Puri Pemecutan adalah I Gusti Gde Rai putra I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan atau
cucu Kyayi Ngurah Pemedilan (Pemecutan). Oleh karena I Gusti Jambe Ketewel
yang bertahta di Puri Alang Badung lebih tua usianya dari pada I Gusti Gde Rai yang
bertahta di Puri Pemecutan. Sebaliknya cahaya kebesaran Puri Alng Badung
memuncak pada decade ketiga abad ke-18.
Ketika I Dewa Agung Anom putra I Dewa Agung Jambe Raja Klungkung
membangun keraton dan mendirikan Kerajaan Sukawati, ternyata I Gusti Jambe
11
Ketewel bertindak atas nama Kerajaan Badung. Raja Jambe Ketewel ikut serta
menegakkan kerajaan itu bersama-sama dengan raja-raja di Kerajaan Mengwi dan
Tabanan. Atas dukungan itu, I Dewa Agung Anom raja Sukawati berkenan
menyrahkan sebuah desa bernama Batubulan untuk menjadi milik Kerajaan Badung.
Hubungan kekerabatan yang sangat akrab antara raja Badung di Puri Alang
Badung dengan I Dewea Agung Anom di Puri Sukawati menyangkut pula pewarisan
kekuasaan pewaris raja I Gusti Ngurah Jambe Ketewel. Seorang putra yang
merupakan titisan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati lahir bernama I Gusti
Jambe Aeng menjadi pewaris tahta di Puri Alang Badung. Sebagai pertanda titisan
Ksatria Dalem kepada I Gusti Jambe Aeng dan keturunannya maka secara turuntemurun berhak menggunakan pengusung jenazah (bade) yang menggunakan dasar
Bedawangnala dan Nagabanda sebagai upakara dalam pitra yadnya (Babad Dalem
milik Puri Sukawati). I Gusti Jambe Aeng pewaris tahta di Puri Alang Badung
memindahkan keratonnya dan membangun keraton baru yang diberi nama Puri Satria
pada tahun 1750. Puri Satria adalah sebuah nama yang dikaitkan dengan raja I Dewa
Agung Anom di Puri Sukawati untuk mengabadikan nama wangsa atau trah Ksatria
Dalem (Gora Sirikan, II).
Pembangunan keraton baru di Puri Satria oleh I Gusti Jambe Aeng tidaklah
menambah kekuasaan baru namun ciri kekuasaan kembar ke dalam dan kekuasaan
tunggal Kerajaan Badung ke luar tetap berlangsung mengikuti jejak pendahulunya.
Dalam praktek nampak bahwa secara bergantian raja-raja di Puri yang ada
memegang kendali Kerajaan Badung. Pada masa raja I Gusti Gde Rai di Puri
Pemecutan dan Raja Gusti Jambe Aeng di Puri Satria secara bergantian memegang
kendali Kerajaan Badung. Keduanya mampu mengendalikan keamanan dan
ketentraman. Mereka senantiasa bersatu dan bekerjasama demi kebesaran dan
kesentosaan kehidupan di Kerajaan Badung.
2.2.
bernama I Gusti Ngurah Jambe Ksatria (sampai 1779) yang sangat lemah dalam
12
13
lahir anak laki-laki maka dia yang berhak menduduki tahta kerajaan (Ida Cokorda
Denpasar IX; Gora Sirikan, II).
Gambar 1
SCHETS VAN DENPASAR EN PAMETJOETAN
14
15
16
III
DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN
3.1.
1940-an sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektorsektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, perdagangan, dan perindustrian.
Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu memiliki ciri khas yaitu menjadi basis
kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi,
kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi putera atau
Pribumi di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu
orang Cina. (Djoko Suryo, 2004: 1). Kelompok-kelompok masyarakat tersebut
merupakan pendukung berkembangnya suatu kota sehingga kota menjadi pusat
modernisasi. Di Indonesia pada masa kolonial berkembang kota-kota besar baik di
Jawa maupun di luar Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial.
Berkembangnya kota kolonial di Bali tidak lepas dari upaya pemerintah
kolonial Belanda dalam mewujudkan cita-cita Pax Neerlandica, yang menginginkan
agar keamanan dan ketertiban dapat diciptakan di seluruh wilayah Hindia Belanda di
bawah naungan alat-alat kekuasaan kolonial Belanda. Perhatian pemerintah kolonial
terhadap daerah luar Jawa termasuk Kerajaan Badung tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan politik internasional pada saat itu dengan munculnya kekuatan Inggris
sebagai salah satu saingan kolonial Belanda di Nusantara terutama di kawasan timur
Nusantara.(Utrech, 1962: 176-179). Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial
Belanda untuk menjalin hubungan dan selanjutnya dapat menaklukkan kerajaankerajaan di Bali. Dalam kurun waktu 1846-1868 pemerintah Belanda dengan susuah
payah dan pengorbanan yang cukup besar telah berhasil menaklukkan Bali Utara
(Nijpels, 1897).
Setelah berhasil menguasai Bali Utara, ekspedisi militer Belanda dilanjutkan
ke Bali Selatan, namun kematian Mayor Jenderal Michiels, seorang jenderal yang
sangat dikagumi oleh pemerintah Belanda tanggal 25 Mei 1849 menghentikan
ekspansi kolonial ke wilayah Bali Selatan untuk sementara waktu. Dalam waktu
17
yang cukup lama akhirnya pemerintah kolonial Belanda melanjutkan lagi ekspasinya
ke Bali Selatan. Pada tahun 20 September 1906 dalam pertempuran yang sangat
heroik yang dikenal dengan peristiwa Puputan Badung, pemerintah kolonial Belanda
dapat mengalahkan Kerejaan Badung. Puri Denpasar sebagai salah satu istana di
Kerajaan Badung luluh lantak karena gempuran prajurit kolonial Belanda. Maka
sejak tahun 1906 Kerajaan Badung telah menjadi wilayah koloni Belanda.
Berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 2 November 1907 nomor
3, maka sejak 11 November 1907 daerah Badung dijadikan onderafdeeling Badung
di bawah asisten residen afdeeling yang berkedudukan di Denpasar (Staatblad 1907
No. 449).
Dalam Lembara Negara No. 638 tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda
kembali mengadakan penataan administrasi terhadap wilayah Keredidenan Bali dan
Lombok yang dikeluarkan pada tanggal 24 Desember 1910 (Staatblad 1910 No.
638). Afdeeling Bali Selatan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang
berkedudukan
Onderafdeeling
di
Denpasar,
Karangasem,
dibagi
menjadi
Klungkung,
lima
Gianyar,
onderafdeeling
Tabanan,
dan
yaitu:
Badung.
18
dipimpin oleh asisten residen untuk wilayah afdeeling Bali Selatan dan oleh kontrilir
untuk wilayah onderafdeeling Badung. Di samping menjadi ibukota afdeeling dan
onderafdeeling, nama Denpasar juga digunakan sebagai nama distrik yakni Distrik
Denpasar. Sebagai salah satu distrik di wilayah onderafdeeling Badung, Distrik
Denpasar membawahi beberapa desa adat seperti: Desa Adat Yangbatu, Denpasar,
Padangsambian, Kerobokan; serta membawahi beberapa desa dinas diantaranya:
Dangin Puri, Dauh Puri, Pemecutan, Padangsambian, dan Kampung Jawa (Boon,
1938).
Kondisi jalan yang belum memadai pada awal pemerintah Bekanda
menguasai Badung, mulai mendapat perhatian agar arus lalu lintas manusia dan
barang menjadi lebih lancar. Pemerintah Belanda mulai mengadakan pelebaran,
perbaikan, dan pengaspalan jalan-jalan baik yang ada di sekitar kota Denpasar
maupun jalan-jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan daerah-daerah lain
di Bali. Pekerjaan dalam bidang pembangunan jalan, kantor, jembatan, dilaksanakan
dengan memobilisasi tenaga masyarakat dalam kerja wajib (rodi). Menurut catatan
L.U van Stenis (1919: 52-53), pemerintah kolonial Belanda telah melakukan
perbaikan jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Sanur, Kuta dan jalanjalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan wilayah diluar daerah Badung
seperti: Tabanan, Gianyar, Mengwi, dan Buleleng. Secara lebih rinci disebutkan
bahwa jalan-jalan yang telah diaspal adalah: Denpasar- Sanur sepanjang tujuh
kilometer, Denpasar- Kuta sepanjang 11 kilometer, Denpasar- Gianyar sepanjang 27
Kilometer, Denpasar Tabanan sepanjang 20 kilometer, dan Denpasar Singaraja
sepanjang 87 kilometer.
Fasilitas jalan yang telah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda
mendorong berkembangnya sarana transportasi. Disamping masih mempertahankan
sarana transportasi tradisional seperti dokar, gerobak, masyarakat di wilayah Badung
telah melirik dan menggunakan sarana transportasi modern seperti: sepeda, mobil
pribadi, truk, bus, dan kendaraan gandengan. Dalam catatan H.J. Hoekstra (1937: 59)
jumlah sarana angkutan yang ada di Denpasar adalah sebagai berikut: sepeda 3.000
buah, dokar 261 buah, gerobak 435 buah, mobil pribadi seperti sedan dan jeep 71
buah, mobil truk 44 buah, mobil bus 46 buah, dan kendaraan gandengan 44 buah.
19
20
memadai. Pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun lapangan
terbang di Desa Tuban sekitar 13 kilometer dari Kota Denpasar. Sejak 1 Mei 1937
jadwal penerbangan Denpasar Surabaya telah dilakukan secara teratur dua kali
seminggu. Jumlah penerbangan dan lalu lintas manusia selama tiga tahun dapat
dilihat pada tabel berikut (Soenaryo, 1989: 48).
TABEL 1
JUMLAH PENERBANGAN ANTARA TAHUN 1935-1937
Banyaknya
Tahun
Berangkat
Datang
Jumlah Penumpang
1935
36 kali
36 kali
288 orang
51 kg
1936
52 kali
52 kali
468 orang
79 kg
1937
85 kali
85 kali
744 orang
172 kg
Barang
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa selama tiga tahun terjadi peningkatan
kedatangan wisatawan ke Bali yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa
pemerintah Belanda telah cukup berhasil untuk memperkenalkan masyarakat Bali
kepada dunia luar. Hal ini akan memberikan keuntungan secara ekonomi kepada
pemerintah dan golongan pengusaha dan diharapkan akan memberi pengaruh positif
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali khususnya bagi masyarakat Kota
Denpasar sebagai pusat pemerintahan wilayah Bali Selatan.
Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial merupakan perpaduan
antara konsep arsitektur modern dengan arsitektur tradisional. Sebagai contoh usaha
pemerintah kolonial memperkenalkan konsep waktu secara modern dengan
menempatkan sebuah jam besar (lonceng) tepat di tengah catuspatha Kota Denpasar
yang berfungsi sebagai titik O kilometer. Pada saat itu masyarakat Bali belum
banyak yang memiliki jam dinding atau arloji dalam menentukan waktu, karena
masyarakat masih berpatokan pada tanda-tanda alam seperti matahari, bulan, bintang
dan juga tanda-tanda yang berasal dari suara binatang seperti kokok ayam.
Penempatan jam besar di pusat Kota Denpasar merupakan salah satu unsur modern
yang diperkenalkan pemerintah Belanda kepada masyarakat Denpasar.
21
22
dekade
ketiga
abad
XX
pemerintah
Belanda
mulai
meningkatnya
tuntutan
23
24
modern
yang
diperkenalkan
oleh
pemerintah
kolonial
25
mempererat persaudaraan di antara para anggota dan saling tolong menolong apabila
di antara pelajar-pelajar Bali ada yang mengalami kesusahan.
Di kalangan kaum perempuan Kota Denpasar khususnya istri guru-guru dan
pegawai kantor juga memiliki inisiatif untuk membentuk perkumpulan. Pada tahun
1934 berdiri perkumpulan perempuan yang bernama Perukunan Istri bertujuan untuk
meningkatkan kerukunan antar anggota yang berasal dari berbagai suku bangsa
terutama istri guru-guru dan pegawai negeri yang tinggal di Kota Denpasar. Dalam
pertemuan yang diadakan seminggu sekali para istri pegawai negeri ini berusaha
untuk meningkatkan ketrampilan para anggotanya dalam mengurus rumah tangga.
Kegiatan lain dari perkumpulan ini adalah membentuk usaha simpan pinjam
sehingga dapat membantu anggotanya yang mengalami kesulitan keuangan.
Pada tanggal 1 Oktober 1936 di Kota Denpasar lahir organisasi Putri Bali
Sadar, atas inisiatif dari kalangan remaja putri Kota Denpasar terutama yang bekerja
sebagai guru. Pengalaman yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Kota
Blitar Jawa Timur memberikan inspirasi untuk mendirikan organisasi sebagai wadah
untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Di bawah pimpinan Gusti Ayu
Rapeg, Putri Bali Sadar mempunyai tujuan yang sangat mulia seperti: (1)
mempererat kerukunan putri-putri Bali; (2) mengusahakan untuk saling menolong
bila ada anggota yang mengalami kesusahan; (3) menambah pengetahuan para
anggota dengan jalan membaca dan belajar pada waktu-waktu lowong; (4)
membantu biaya sekolah murid-murid perempuan Bali yang ditimpa kesusahan; (5)
berusaha memberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada putri-putri
Bali yang tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Untuk memperoleh dana
anggota perkumpulan Putri Bali Sadar diwajibkan membayar iuran sebesar 0,10
tiap bulan.
Pada bulan April 1937 di Kota Denpasar juga berdiri perkumpulan Bali
Darma Laksana. Tujuan perkumpulan Bali Darma Laksana adalah memberikan
bantuan keuangan kepada orang-orang Bali yang sedang belajar di sekolah
menengah atau sekolah tinggi yang nantinya akan ikut membangun masyarakat Bali.
Di samping itu perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara dan memajukan
kebudayaan Bali secara luas. Aktivitas yang dilakukan oleh perkumpulan Bali Darma
Laksana adalah: membangun semangat kedermawanan di kalangan anggota-
26
kembali
penataan
pemukiman
yang
sesungguhnya
sudah
27
28
3.2.
Agustus 1945 merupakan mementum bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan diri
sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berita proklamasi
disambut dengan penuh suka cita di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Bali.
Kedatangan Mr. I Gusti Ketut Pudja di Bali membawa mandat pengangkatannya
sebagai Gubernur Sunda Kecil yang berkedudukan di Singaraja. Di samping itu Mr.
Pudja juga membawa mandat untuk Ida Bgus Putra Manuaba, yang juga telah
diangkat oleh Ir. Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi
Sunda Kecil (Pendit, 2008: 77). Berita yang dibawa oleh Mr. Pudja disambut oleh
masyarakat khususnya para pemuda di berbagai kota Bali. Salah satu kota yang juga
menjadi basis perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Bali adalah Kota
Denpasar. Kota Denpasar yang telah tumbuh menjadi kota modern sejak pemerintah
kolonial menjadikan Kota Denpasar sebagai salah satu pusat pemerintahan di Bali
Selatan tumbuh menjadi kota perjuangan
Pada bulan Agustus 1945 di Kota Denpasar lahir sebuah organisasi pemuda
dengan nama Angkatan Muda Indonesia (AMI) di bawah pimpinan Gusti Ngurah
Sindhu, yang bertujuan untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik
Indonesia yang baru diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam perkembangan selanjutnya di Denpasar lahir organisasi pemuda yang
29
: Made Widjakusuma
Wakil Ketua
: Tjokorda Agung
Seksi Keamanan
30
31
32
33
Belanda melalui topeng Negara Indonesia Timur. Terbakarnya gubuk darurat SLU
yang dibangun di Kaliungu Kelod dan penangkapan terhadap I Gusti Putu Tamba
merupakan tindakan sewenang-wenang, walaupun dengan alasan demi keamanan
dan ketertiban umum. Selanjutnya pemerintah NIT membubarkan Majelis
Pendidikan Rakyat dengan alasan majelis telah melakukan tindakan subversif,
melakukan
usaha-usaha
yang
bertentangan
dengan
ketertiban
umum,
3.3.
Undang-Undang
Nomor
Tahun
1957
tentang
Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, yang memuat ketentuan bahwa pemerintah daerah terdiri atas
34
35
II seluruh Bali pada bulan Maret 1968, maka diubahlah sebutan Daerah Swatantra
Tingkat II menjadi Daerah Tingkat II.
Pelaksanaaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 pada masa Orde Baru
belum mampu mengimbangi perkembangan dan tuntutan terhadap pelayanan kepada
masyarakat yang terus meningkat sebagai dampak dari pembangunan yang
dilaksanakan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itulah
diadakan penyempurnaan aturan perundang-undangan dengan mengeluarkan
undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1974 tentang PokokPokok Pemerintahan di daerah. Ketentuan yang ada di dalam undang-undang
tersebut lebih memperkokoh unsur dekonsentrasi di daerah-daerah demi pengamanan
keutuhan dan kesatuan Negara republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 disebutkan, bahwa pemerintah daerah terdiri atas Kepala Daerah dan
DPRD. Kepala daerah tidak didampingi lagi oleh BPH sebagai badan penasehat
dalam bidang eksekutif tetapi oleh Dinas-Dinas Daerah dan Sekretaris Daerah di
bidang pemerintahan daerah. Sesungguhnya menurut Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1974 diharapkan titik berat otonomi ada di Kabupaten Daerah Tingkat II.
Meskipun otonomi ditekankan pada daerah tingkat II, Provinsi Daerah Tingkat I
masih tetap diperlukan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut lintas daerah
tingkat II.
Sesuai dengan perkembangan pemerintahan yang teah diatur dalam undangundang, proses pemekaran daerah telah terjadi di Nusa Tenggara sebagai salah satu
provinsi di wilayah Neraga Republik Indonesia. Pada tahun 1958 Provinsi Nusa
Tenggara yang pada saat itu ibukotanya Singaraja dimekarkan menjadi tiga provinsi
yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang masingmasing berkedudukan di Singaraja, Mataram,dan Kupang. Untuk mengimbangi
perkembangan yang terjadi di Bali maka DPRD Tingkat I Bali mengajukan resolusi
kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk memindahkan kedudukan
ibukota Provinsi Bali. Atas dasar resolusi tersebut maka Menteri dalam Negeri dan
Otonomi Daerah memutuskan untuk memindahkan kedudukan ibukota Provinsi Bali
dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar sejak tanggal 23 Juni 1960 (Keddy Setiada,
2009: 68). Sejak itulah Kota Denpasar menjadi nama ibukota Pemerintah Daerah
36
37
38
tanggal 13 Maret 1957. Setelah melalui persiapan yang matang akhirnya pada
tanggal 30 September 1960 Kokar Bali secara resmi dibuka walaupun masih
berafiliasi kepada Kokar Solo. Berkat kerja keras panitia dibantu oleh pihak
Pemerintah Bali dan para seniman, akhirnya peresmian Kokar Bali dapat diadakan
pada tanggal 30 September 1960 di aula Perguruan Subsidi Saraswati Denpasar.
Untuk mewujudkan gedung baru Pemerintah Pusat dan Bupati Badung memberikan
bantuan dana untuk membeli tanah di Jalan Ratna sebagai lokasi yang cukup
strategis pada waktu itu.
Dalam perkembangan selanjutnya di Kota Denpasar berdiri Akademi Seni
Tari Indonesia (ASTI) pada tanggal 28 Januari 1967. Pendirian ASTI berdasarkan
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 2/Pem./5/a/1967
atas prakarsa Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya).
Pendirian ASTI Denpasar dilandasi oleh pola dasar pembinaan kebudayaan Daerah
Bali dengan memperhatikan sifat-sifat pertahanan, penggalian, pembinaan, dan
pengembangan kebudayaan Bali. Di samping itu para seniman yang menggeluti seni
tradisional sudah semakin langka karena faktor usia dan ada kekhawatiran di
sebagian pihak bahwa akan meninggalkan seni tradisional. Oleh karena itu sangatlah
mendesak untuk mendirikan lembaga pendidikan seni sebagai tempat untuk
mempelajari, menggali dan mengembangkan kesenian tradisional Bali.
Di samping lembaga pendidikan sebagai tempat untuk menggali, mengkaji
kesenian Bali, juga diperlukan tempat untuk pameran, pementasan dan dokumentasi
karya-karya seniman Bali. Pada tahun 1969 di Kota Denpasar mulai dibangun Pusat
Kesenian (Art Centre) atau Taman Budaya. Pengembangan Pusat Kesenian bertujuan
untuk mengembangkan seni budaya Bali. Taman Budaya yang lokasi di bagian timur
Kota Denpasar mempunyai luas 5 Ha mempunyai berbagai bangunan seperti: gedung
pameran, gedung kriya, gedung studio patung, balai panjang, panggung terbuka
(ardha candra), perpustakaan, balai pepaosan, panggung kecil, wantilan, dan
panggung tertutup. Fungsi dan tugas Taman Budaya Bali (Werdi Budaya) adalah:
a. Melaksanakan
kegiatan
kebudayaan,
seperti
rekreasi
sehat
bagi
39
40
IV
DENPASAR SEBAGAI IBU KOTA DAERAH TINGKAT II
4.1.
Bali Tengah setelah diresmikannya Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali
bersamaan dengan terbentuknya Provinsi Bali pada tanggal 14 Agustus 1958, maka
Kota Denpasar tumbuh sebagai kota yang mengalami perkembangan pesat (Biro
Humas Setwilda Bali, 1989: 5). Secara administrasi, Denpasar yang juga merupakan
ibukota Daerah Tingkat II Badung merupakan satu wilayah kecamatan, yaitu
Kecamatan Denpasar yang membawahi lima buah desa. Kelima buah desa tersebut
adalah Desa Padangsambian, Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Dangin Puri,
dan Kampung Jawa (I Gusti Gde Raka, 1976: 6). Dalam perkembangan lebih lanjut,
Kota Denpasar sejak tahun 1958 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat.
Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan kota
sebagai ibu kota provinsi, seperti fasilitas perkantoran, pertokoan (pasar),
pemukiman, pelayanan sehari-hari masyarakat, kesehatan, sekolah dan sebagainya.
Semua ini merupakan faktor semakin kompleksnya masalah yang harus dihadapi
oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung.
Sejak memasuki masa pembangunan lima tahun (pelita) I, upaya perbaikan
kota Denpasar mulai dilakukan dengan penyusunan program induk pengembangan
Kota Denpasar. Dalam rencana pengembangan Kota Denpasar ini ditetapkan bahwa
Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali, merupakan pusat pengembangan
di daerah Bali Tengah. Oleh karena itu segala fasilitas yang menunjang kegiatankegiatan pemerintahan mulai dibangun, seperti perkantoran, perumahan, dan
sebagainya yang merupakan kebutuhan dasar dalam rangka memberikan pelayanan
yang efektif kepada masyarakat Kota Denpasar.
Pemerintah Daerah Tingkat II Badung dalam melaksanakan urusan
pemerintahannya tampak akan semakin berat dan beragam, sehingga sangat
diperlukan adanya pencarian jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Selain
masalah-masalah pemerintahan di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional pada
41
saat-saat tertentu, Pemda Tingkat II Badung juga menghadapi masalah lain yang
menyangkut masalah kependudukan. Oleh karena itu sejak tahun 1972, upaya
mengatasi masalah ini mulai diketengahkan oleh Pemda Tingkat II Badung untuk
dibahas dalam
42
Sejalan dengan itu pula maka pada tahun 1975 berdasarkan surat Menteri
Dalam Negeri tanggal 28 Pebruari 1975 Nomor: B.K.T. 3/1/12, pemerintah pusat
mengadakan penelitian terhadap Kota Denpasar dan beberapa kota lainnya di
Indonesia. Oleh karena itu Bupati Badung beberapa kali melakukan pertemuanpertemuan
guna
membahas
perencanaan
ini
dengan
jajarannya
untuk
Administratif
43
Tingkat
II
Badung
Nomor:
167/Pem.15/166/79
tentang
beberapa
pertimbangan
setelah
diresmikannya
Kota
44
sehingga perencanaan kota dapat tertata dengan rapi, penuh daya tarik sehingga
mendorong terjadinya perkembangan morfologis kota itu sendiri.
Oleh karena itu perencanaan kota Denpasar secara fisik perlu dilakukan
penataan kembali, karena berdasarkan hasil pemetaan wilayah Pemda Tingkat II
Badung, memperlihatkan belum tersusunnya perencanaan kota secara sempurna. Hal
ini disebabkan oleh terlalu cepatnya tingkat kepadatan wilayah perkotaan.
Pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pemukiman yang kurang teratur,
bahkan cepatnya pembangun pemukiman ini terlihat dari banyaknya perumahan
kumuh, serta adanya pembangunan rumah yang tidak mengikuti aturan yang telah
ada.
Jumlah penduduk Kota Denpasar tampak semakin berlipatganda dengan
meningkatnya perkembangan Kota Denpasar, terutama dalam pembangunan di
sektor pariwisata, sehingga animo masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk datang
ke kota dan menetap dengan mengontrak atau membuat rumah sendiri. Oleh karena
itu dalam upaya menata kembali Kota Denpasar, dilakukan berbagai studi banding
ke berbagai daerah lain di Indonesia. Dengan adanya studi banding ini diharapkan
keberhasilan-keberhasilan di daerah lain dapat diambil hikmahnya untuk dipakai
dasar dalam melakukan penataan Kota Denpasar. Selain itu tujuan studi banding ini
diharapkan dapat memudahkan dalam upaya penyusunan rencana kerja proyek,
sehingga bisa berfungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan
pembiayaan terhadap suatu rencana kerja dalam rangka pengembangan morfologi
Kota Denpasar.
Berdasarkan pola dasar pembangunan Kabupaten Badung, dalam upaya
pembangunan dan pengembangannya, Kabupaten Badung dibagi menjadi empat
wilayah pembangunan sesuai dengan Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor 6
tahun 1984, tentang pola dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Badung adalah:
wilayah pembangunan Badung Utara, dengan pusat pengembangannya adalah
Petang; wilayah pembangunan Badung Tengah, dengan pusat pengembangan adalah
Mengwi,
wilayah
pembangunan
khusus
Denpasar
dengan
sub
regional
45
berbagai
Administratif
sektoral.
Denpasar
Khusus
aktifitas
untuk
perencanaan
pengembangan
pembangunan
dilakukan
dalam
Kota
bidang
perdagangan dan jasa, industri kecil, kerajinan rakyat yang menunjang pembangunan
seni dan budaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Dalam bidang
pendidikan diarahkan pada peningkatan pendidikan non formal dalam rangka
menyiapkan tenaga siap pakai, selain melalui jalur pendidikan formal. Sektor
pariwisata diarahkan pada peningkatan dan terciptanya kondisi yang dapat memberi
kesan positif bagi wisatawan.
Dalam rangka perencanaan perluasan Kota Denpasar, Kota Administratif
Denpasar telah menggariskan bahwa dalam upaya melaksanakan program ini
berbagai usaha dilakukan diantaranya penetapan bentuk-bentuk perumahan serta
merangsang tumbuh dan bekembangnya usaha-usaha perdagangan di wilayah
Kecamatan Denpasar Barat. Selain itu dalam perencanaan perluasan kota juga telah
diupayakan
untuk
menentukan
bentuk
tata
ruang
pemukiman,
sehingga
mencerminkan pola pemukiman yang tertib, nyaman, dan terkendali dan selalu
berorientasi pada kearifan lokal (Wardana, 1980: 32). Hal ini dilakukan karena sesuai
dengan
tugas
pokok
pemerintah
Kota
Administratif
Denpasar,
yaitu
menciptakan
suasana
kota
Denpasar
yang
bersih,
maka
46
Hal ini dimaksudkan karena pada musim hujan dibeberapa wilayah sering
mengalami kebanjiran, sehingga perlu ditata kembali secara lebih cerdas demi
terciptanya lingkungan yang nyaman dan sehat (Suasih, 1992: 42-45).
Dalam penanganan masalah sampah pada umumnya pembuangan sampah di
wilayah Kota Administratif Denpasar telah ditangani oleh Dinas Kebersihan Kota,
akan tetapi karena terbatasnya sarana pengangkut sampah, maka diupayakan untuk
terus merangsang kesadran masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam penanganan
masalah sampah ini (Seksi Kebersihan Kotif Denpasar, 1991: II-4; Suasih, 1992: 74).
Denpasar
yang
menjadi
pusat
kepariwisataan,
maka
perencanaan
pada
munculnya
tempat-tempat
rekreasi
di
dalam
kota
yang
alat
47
hanya sebagian kecil yang telah memiliki saluran. Mengingat pentingnya saluran di
kiri kanan jalan, maka sejak memasuki pertengahan tahun 1985 telah diupayakan
untuk terus membuat saluran. Bahkan upaya ini tidak hanya pada pembangunan
jalan-jalan protokol, tetapi juga pada jalan-jalan sekunder.
Sebagai akibat dari semakin padatnya arus lalu lintas, maka dalam rangka
pelebaran jalan kendaraan dengan tidak merugikan para pemakai jalan, maka
pemerintah Kota Administratif Denpasar berupaya untuk memanfaatkan saluran ini
sebagai tempat pejalan kaki dengan menutup saluran-saluran tersebut dengan beton,
sehingga memudahkan bagi pejalan kaki. Demikian pula kendaraan yang memakai
jalan dengan dimanfaatkannya saluran sebagai tempat pejalan kaki, tidak merasa
terganggu, paling kurang dapat meminimalisir kemacetan lalu lintas di Kota
Administratif Denpasar.
Untuk mengurangi kemacetan-kemacetan lalu lintas, maka di beberapa ruas
jalan juga dilakukan penetapan arus angkutan dalam kota, baik kendaraan roda tiga
maupun kendaraan roda empat. Selain itu juga dilakukan penentuan arus kendaraan
melalui jalur satu arah. Jalan-jalan di Kota Administratif Denpasar yang merupakan
jalan protokol dengan jalur searah seperti Jalan Diponegoro, Jalan Hasanuddin, Jalan
Setiabudi, Jalan Sutomo, Jalan Gajah Mada, Jalan Sutoyo, Jalan Patimura, Jalan
Sumatra dan beberapa jalan lainnya. Pada umumnya penentuan jalur satu arah ini
ditentukan oleh keadaan baik buruknya jalan, sehingga dengan demikian tidak
menimbulkan masalah baru bagi pemakai jalan.
Fasilitas pendukung terselenggaranya perhubungan di Kota Administratif
Denpasar mendapat penanganan serius. Hal ini dilakukan karena fasilitas ini
merupakan ujung tombak kelancaran lalu lintas. Terlebih lagi masalah terminal yang
merupakan tempat naik turunnya penumpang diperlukan pengaturan yang baik. Oleh
karena itu di wilayah Kota Administratif Denpasar telah dibangun sebanyak lima
buah terminal, yang merupakan sarana penting, seperti terminal Ubung, terminal
Kreneng, Terminal Tegal, Terminal Gunung Agung dan Wangaya. Selain kelima
terminal tersebut, juga dibangun sebuah terminal bongkar muat di Ubung Kaja guna
menghindari masuknya kendaraan truk ke dalam kota yang dapat mengganggu
kenyamanan lalu lintas di Denpasar.
48
49
wilayah Kota Administratif Denpasar dan semuanya ini akan membawa perubahan
besar bagi warga masyarakat di Kota Administratif Denpasar karena semua
informasi yang datang dari luar dengan cepat bisa diakses oleh warga.
Secara struktural dalam bidang pemerintahan, Kota Administratif Denpasar
tersusun menurut garis vertikal dan horisontal. Pelaksanaan pemerintahan bergerak
dari ketua kepada bawahannya menurut garis pemerintahan yang ada. Struktur
organisasi pemerintah Kota Administratif Denpasar yang ada sekarang ini
berpedoman pada beberapa kebijaksanaan antara lain: PP Menteri Dalam Negeri
Nomor 5 tahun 1978 tentang Pembentukan pola organisasi pemerintahan Kota
Administratif Denpasar dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 1978
tentang penegasan terbentuknya Kota Administratif Denpasar (Mengenal Kota
Administratif Denpasar, 1988: 2; Suasih, 1992: 59-64).
Pola organisasi Kotif Denpasar sebagaimana digariskan dalam PP Nomor 20
tahun 1978 di atas, dinyatakan unsur pimpinan yang disebut sebagai walikota dibantu
oleh seorang sekretaris dan beberapa suku-suku dinas dan seksi sebagai pembantu
dalam pelaksanaan teknis. Dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya, walikota
Denpasar menganut sistem asas dekonsentrasi pemerintahan. Jadi secara yuridis
formal Kota Administratif Denpasar merupakan bagian dari pemerintahan Kabupaten
Badung. Mengenai tujuan dibentuknya Kota Administratif Denpasar, sebagaimana
disebutkan dalam PP Nomor 20 tahun 1978 dinyatakan:
Tujuan pembentukan Kota Administratif Denpasar adalah untuk
meningkatkan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna
dan berdaya guna, serta merupakan unsur pendorong yang kuat bagi usaha
peningkatan laju pembangunan.
Jadi pengembangan status kota Denpasar menjadi Kota Administratif pada
dasarnya adalah agar kemampuan pengelolaannya meningkat, dengan pengelolaan
khusus untuk meningkatkan kelancaran perkembangan pembangunan Kota
Denpasar. Selain itu seara fungsional kota Administratif berfungsi:
a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan
perkembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan.
b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan
sosial ekonomi serta fisik perkotaan.
50
51
4.2.
menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan bahkan mulai
tahun 1958 Denpasar dijadikan pula pusat pemerintahan bagi Provinsi Daerah
TingkatI Bali. Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II
Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik
dalam artian fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Keadaan fisik Kota Denpasar
menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan,
pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata yang terdiri
dari 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar
Selatan dan Denpasar Utara.
Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar ini dari berbagai sektor
sangat pesat, maka tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah yang berstatus
Kota Administratif. Oleh karena itu sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota
yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah
perkotaan sehingga permasalahan kota dapat ditangani lebihcepat dan tepat serta
pelayanan pada masyarakat perkotaan semakin cepat. Seperti halnya dengan kotakota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Propinsi mengalami
pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala
bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu
52
sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten
Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Propinsi Daerah
Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya. Pertumbuhan
penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula lajunya pertumbuhan
pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan
perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif,
baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang
demikian terus meningkat.Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan
antara Tingkat I dan TingkatII Badung telah dicapai kesepakatan untuk
meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Dan
akhirnya pada tanggal 15 Januari 1992,Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang
Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri
pada
tanggal
27
Pebruari
1992
sehingga
merupakan
babak
baru
bagi
53
Kawat Rapat Persiapan tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi Kota
Administratif pada tanggal 3 Agustus 1976 dan tanggal 22 Januari 1977, Arsip,
koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung). Berdasarkan beberapa hasil rapat yang
berlangsung untuk persiapan-persiapannya, maka diputuskan untuk mengirim surat
usulan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung kepada Pemda Tingat I Bali
melalui surat Nomor: Pem.1/299/77/ tertanggal5 Maret 1977. Atas dasar surat Pemda
Tingkat II Badung itu, Pemda Tingkat I Bali mengirim usulan kepada Menteri Dalam
negeri, dan atas persetujuan Menteri Dalam negeri dikeluarkanlah Peraturan
Pemerintah Nomor: 20 tahun 1978 pada tanggal 1 Juli yang menetapkan dibentuknya
kota Administratif Denpasar yang kemudian peresmiannya dilakukan pada tanggal
28 Agustus 1978 (Kotif Denpasar, 1990: 2-3).
Kota Administratif Denpasar meliputi tiga kecamatan sebagai hasil
pemekaran dari Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman. Ketiga Kecamatan
itu adalah: Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan
Denpasar
Selatan.
Pada
saat
diresmikannya,
kota
Adminitratif
Denpasar
berpenduduk 206.059 jiwa dengan luas wilayah 123, 98 km2. Berdasarkan Peraturan
Mendagri Nomor: 5 tahun 1978, kota administratif adalah bagian dari wilayah
kabupaten yang dilengkapi dengan aparat pemerintahannya dengan dikepalai oleh
seorang wali kota (Depaertemen Dalam Negeri, 1978: 1-3). Wali Kota mempunyai
tugas pokok menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka meningkatkan
dan
mengarahkan
pembangunan
perkotaan,
merangsang pertumbuhan
dan
54
semakin meningkatnya pelayanan pembangunan fisik meupun non fisik yang secara
langsung maupun tidak langsung memerlukan adanya strategi baru dalam upaya
memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga Kota Denpasar mampu menciptakan
suasana kota yang tertib, aman dan terkendali. Pembangunan fasilitas ini terlihat
lebih pesat lagi setelah memasuki tahun 1980, dimana Kota Denpasar mengalami
perubahan yang cukup pesat baik dalam bidang fisik kota, ekonomi, sosial maupun
dalam bidang sosial budaya.
Dalam program pembangunan perkotaan yang menjadi sentra pengembangan
aktifitas manusia, menyebabkan perkembangan kota lebih dituju pada pembangunan
fisik berupa pendirian gedung-gedung perkantoran, kesehatan, pasar dan sekolah.
Dengan demikian Kota Denpasar berkembang sebagai mata rantai kegiatan
masyarakat maupun aparat pemerintahan.Kota Denpasar yang ada sekarang ini
merupakan wilayah swapraja Badung sejak masa pemerintahan Sunda Kecil.
Demikian juga pada masa pemerintahan Nusa Tenggara, Denpasar masih merupakan
wilayah swapraja Badung.
Kota Denpasar adalah wilayah kota termuda di Bali, berusia 13 tahun sejak
diresmikan tanggal 27 Februari 1992. Penetapan Denpasar sebagai pemerintahan
kota dijalani secara bertahap melalui peningkatan status Kota Administratif dan
Kotamadya. Kendati demikian, dari sisi sejarah, Denpasar yang sebelumnya adalah
bagian dari Kabupaten Badung menyimpan peran amat penting bagi perjalanan Bali
kini. Puputan Badung tanggal 20 September 1906, yang melibatkan banyak
kalangan, bukan saja kalangan keluarga Puri, menunjukkan kegigihan warga Bali
dalam mempertahankan kehormatan. Mewilayahi sekitar 12.780 ha Denpasar
mulanya adalah pusat kota kerajaan kian pasti bergerak menjadi kota dagang.
Menerima warisan dari Kabupaten Badung sebagai daerah hunian wisata, Denpasar
mewilayahi daerah hunian wisata utama di kawasan Sanur. Dari sisi utara Sanur
dengan The Grand Bali Beach hingga Sanur Beach Hotel di sisi selatan Sanur
dipadati oleh hotel, restoran, dan berbagai sarana penunjang wisata yang padat.
Menyikapi agar perkembangan Denpasar tidak liar tanpa kendali, memasuki
milenium ketiga, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan rambu Denpasar sebagai
Kota Budaya. Beberapa kawasan kota seperti misalnya kawasan Lapangan Puputan,
daerah aliran sungai Tukad Badung, dan beberapa kawasan terkait ditata untuk lebih
55
pantas menyandang ciri sebagai kota budaya. Paket City Tour pun dikemas sebagai
rambu pendukung untuk menjaga kualitas ruang-ruang tersebut.
56
oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan
babak baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten
Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar. Bagi Provinsi Daerah
Tingkat I Bali adalah merupakan pengembangan yang dulunya terdiri atas 8
(delapan) Daerah Tingkat II sekarang menjadi 9 (sembilan) Daerah Tingkat II.
Sedangkan bagi Kabupaten Badung telah kehilangan sebagian wilayah serta potensi
yang terkandung didalamnya. Sementara bagi Kota Denpasar merupakan babak baru
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang walaupun merupakan
Daerah Tingkat II yang terbungsu di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.
Denpasar, yang kini merupakan ibu kota pemerintahan kota, mengalami
perkembangan pesat baik secara fisik maupun non fisik Dijadikanannya Denpasar
sebagai ibu kota Provinsi Bali, berarti segala kegiatan kepemerintahan berlangsung
di wilayah kota Denpasar. Berdirinya Universitas Udayana pada tahun 1962 juga
menjadi penyebab semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, karena dengan
demikian Denpasar juga akan menjadi pusat pendidikan yang sudah barang tentu
akan menjadi penampung para pelajar yang akan melanjutkan pendidikan ke
perguruan tinggi. Selain itu, perkembangan arus kepariwisataan setelah dibukanya
penginapan-penginapan di daerah Sanur dan sekitarnya, juga menjadi penyebab
pesatnya perkembangan kota Denpasar.
Dengan melihat latar belakang perkembangan Kota Denpasar yang pada
mulanya sebagai pusat istana atau puri, kemudian dewasa ini berkembang sebagai
pusat kota modern dapat dilihat ciri perkembangannya sebagai berikut. Terdapat ciri
fisik kota yang dapat dianggapmenjadi ciri khusus Kota Denpasar yaitu adanya
bangunan-bangunan tradisional seperti pura (bangunan suci bagi umat Hindu di
Bali), puri (tempat kediaman bagi bangsawan Bali) dan bangunan-bangunan lain
yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh
tiap-tiap kelompok masyarakat. Terdapat beberapa pura di Kota Denpasar seperti
Pura Melanting, Pura Gaduh, Pura Ubung dan Pura Suci. Hal ini dapat dimengerti
karena mayoritas penduduk Kota Denpasar sebagai etnis Bali yang beragama Hindu.
Masyarakat Bali pada umumnya sebagai kolektif yang terikat oleh kesadaran akan
kesatuan kebudayaannya, yaitu kebudayaan Bali. Kesadaran ini diperkuat oleh
keberadaan bahasa yang sama yaitu bahasa Bali. Sebagai orang Bali mereka sangat
57
terikat dengan keluarga, klen, banjar, desa, subak, dan sebagainya. Sebagaimana
diketahui bahwa orang Bali terikat pada beberapa hal dalam kehidupan sosialnya
yaitu: kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu, pada suatu
tempat tinggal bersama, pada pemilikan tanah pertanian dalam sistem subak tertentu,
pada suatu status sosial atas dasar kasta, pada ikatan kekerabatan atas hubungan
darah dan perkawinan, pada keanggotaan terhadap sekeha tertentu dan pada suatu
kesatuan administrasi tertentu (Soenaryo, 2003: 198; Ardhana, 2005: 412).
Keterikatan masyarakat dengan puri misalnya dapat kita lihat di Kota
Denpasar sebagai kota budaya, dimana masyarakat terikat dengan empat puri besar
yang berperan penting yaitu Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Satria, dan Puri
Kesiman. Di antara puri-puri itu, terdapat dua puri yang memainkan peranan penting
yaitu Puri Kesiman dan Puri Denpasar (Soenaryo, 2003: 198). Melalui sentra-sentra
kekuasaan itulah kemudian Denpasar berkembang baik dalam aspek ekonomi,
politik, sosial budaya atau pendidikan (Ardhana, 2005: 412).
Perkembangan Kota Denpasar sejak masa kerajaan, kolonial hingga masa
kemerdekaan telah meberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kota
Denpasar dewasa ini. Di samping terdapatnya pelabuhan Benoa, Kota Denpasar
berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Bali secara keseluruhan. Hal ini
sangat berpengaruh terhadap dinamika politik, perdagangan di Kota Denpasar.
Sebagai kota yang memiliki pelabuhan Benoa, menyebabkan terjadinya persainganpersaingan di kalangan para pedagang luar dengan pedagang setempat. Hal ini tentu
menuntut adanya ketegasan dari pemerintah Kota Denpasar untuk mengatur sentrasentra perdagangan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat yang pada akhirnya
bisa menimbulkan konflik kepentingan dari masing-masing pedagang yang pada
gilirannya bisa merusak citra Kota Denpasar sebagai kota budaya.
Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada
umumnya, perkembangan Kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalanpersoalan fisik kota yang sama. Hal ini terlihat dari sulitnya menata dengan baik
masalah infrastruktur kota. Tanpa adanya pembenahan yang maksimal terhadap tata
ruang, menyebabkan Kota Denpasar tampak belum siap menghadapi persoalanpersoalan global. Hal ini dapat dimengerti karena pada awalnya Denpasar hanyalah
sebuah desa. Dengan demikian volume fisiknya tentu setara dengan sebuah desa.
58
59
4.3.
warisan sejarah masa lalunya. Dalam dinamika sejarahnya, kota-kota itu lahir
sebagai akibat dari adanya pergeseran pusat-pusat politik tradisional seperti pusatpusat istana kerajaan, pusat-pusat perkembangan perdagangan di daerah pedalaman
atau wilayah pesisir pantai (pelabuhan). Pergeseran perpindahan itu sering kali
terjadi karena adanya dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan
politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri,
maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Pengalaman sejarah seperti itu
dapat dilihat dari tumbuh dan berkembangnya kota Badung yang kemudian menjadi
Denpasar sebagai pusat perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Bali Selatan
(Ardhana, 2005: 405). Nama Badung juga sering kali dipergunakan untuk menyebut
nama wilayah kerajaan itu, yaitu Kerajaan Badung atau kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Kerajaan Denpasar. Saat ini Badung, selain menjadi nama sungai di
wilayah itu, juga dipergunakan sebagai nama pasar, yakni Pasar Badung yang
merupakan salah satu pasar terbesar di kawasan itu. Nama Badung juga
dipergunakan untuk menyebutkan nama kabupaten yaitu Kabupaten Badung yang
kini beribukota di Mangupura.
Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari pusatpusat kerajaan yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah itu memiliki adatistiadat, sistem pengairan (subak) dan pemerintahan sendiri-sendiri. Struktur
masyarakat di tiap-tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai
wilayah dengan karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan
keagamaan, tetapi juga menyangkut persoalan sosial dan budaya.
Hal semacam ini dapat dilihat dari keadaan dan kondisi yang ada di
Denpasar. Denpasar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten Daerah
Tingkat II Badung. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat
pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik,
melainkan juga secara sosial budaya. Pada periode ini Kota Denpasar diusulkan
untuk menjadi kota Administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah
Kecamatan Denpasar dan Kesiman. Hal ini dilakukan mengingat jumlah penduduk
60
yang semula hanya memiliki enam (6) kecamatan, sekarang menjadi tujuh (7)
kecamatan.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Kota Denpasar
diubah statusnya menjadi Kota Administratif yang membawahi tiga kecamatan yaitu:
Kecamatan Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Kecamatan Denpasar Timur
dengan luas 27,73 km2, dan Kecamatan Denpasar Selatan dengan luas wilayah 46,19
km2. Dilihat dari segi tipologi, Kecamatan Denpasar Selatan dari Timur memiliki
ketinggian antara 0 75 meter dari permukaan laut, sedangkan Kecamatan Denpasar
Barat memiliki ketinggian antara 12 75 meter dari atas permukaan laut. Apabila
dilihat dari segi letak strategis dengan daerah pusat kota, maka masing-masing
kecamatan memiliki jarak yang relatif sama ke pusat kota antara 4 terdapat 35 desa
adat, dimana desa adat ini bisa meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya bisa
juga meliputi dua desa adat. Dengan demikian Kota Denpasar berperan sebagai ibu
kota kabupaten, provinsi dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia
Bagian Timur.
Di era modern ini, jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di
Bali Selatan seperti Tabanan, atau Gianyar, tampak bahwa Denpasar mengalami
perkembangan yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di
sektor perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai
pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah
mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti urbanisasi
(Sjoberg, 1960: 64). Bagi masyarakat pedesaan yang memiliki garapan tanah sangat
minim, telah mendorong untuk mengadakan imigrasi ke wilayah perkotaan seperti ke
Kota Denpasar di Bali Selatan atau ke Singaraja di wilayah Bali Utara dengan
maksud untuk mencari perbaikan nasib. Kondisi alam yang subur menjadi salah satu
faktor perkembangan perekonomian Denpasar. Selain kondisi alam yang demikian,
adanya sistem pengaturan air yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi
tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan
pengairan yang lebih baik. Sistem aliran Sungai Ayung yang melintasi Kota
Denpasar bagian timur dan Sungai Badung yang melintas di Kota Denpasar bagian
barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada
61
masa kerajaan maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda (Soenaryo, 2003:
198).
Secara historis Kota Denpasar merupakan pusat kerajaan (Puri Denpasar).
Puri sebagai pusat kota ditunjang oleh sarana dan prasarana seperti: pasar, alun-alun,
serta komplek perumahan keluarga raja dengan menggunakan konsep catus pata.
Selain Puri Denpasar, di Kota Denpasar terdapat beberapa puri yang pada masa
lampau pernah memainkan peran penting. Puri-puri yang dimaksud adalah: Puri
Pemecutan, Puri Satria, Puri Gerenceng, Puri Kesiman, Puri Jero Kuta, Puri Gelogor,
dan Puri Alang Kajeng. Mengingat potensi dan variasi serta distribusi dari puri-puri
di Kota Denpasar, tampaknya warisan budaya puri yang adiluhung dapat dijadikan
salah satu icon kota sehingga Denpasar identik dengan Kota Puri (Geriya, 2010: 23).
Kota Denpasar memiliki jatidiri sebagai sebuah kota yang secara hakiki
merefleksikan citra kota yang berbasis budaya lokal Bali. Identifikasi diri masyarakat
Kota Denpasar tampak dalam komunitas kecil seperti menjadi anggota banjar
maupun sebagai krama Desa Pakraman.
Meskipun Kota Denpasar telah berkembang dalam dinamika interaksi yang
mengglobal, tetapi citra tradisi masih kental mewarnai penampilan Kota denpasar
sebagai kota budaya. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari pilar-pilar warisan budaya
yang terdapat pada bangunan puri, pura, artefak kuno, dan pemeliharaan bangunanbangunan yang mengandung nilai historis, merupakan satu bukti bahwa masyarakat
Kota denpasar masih tetap mencintai tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek
moyang pendahulunya.
Warisan budaya berupa institusi tradisional seperti banjar, desa adat, subak,
sekeha, merupakan kearifan lokal (local genius) yang telah diakui oleh dunia
internasional. Meskipun institusi-institusi itu mengalami pasang surut sebagai akibat
adanya faktor-faktor internal dan ekternal, tetapi hingga saat ini masih tetap
memainkan peran penting dalam pembangunan Kota Denpasar sebagai kota budaya.
Demikian juga halnya dengan filosofi Tri Hita Karana, desa, kala, patra, karma pala,
jengah, paras-paros, dan nilai keadaban lokal lainnya dipandang sebagai budaya
unggul dan menjadi inspirasi dan kreasi bagi masyarakat kota Denpasar yang
berwawasan budaya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa Kota Denpasar
sesungguhnya secara historis merupakan perkembangan dari Kota Kerajaan (Puri)
62
menjadi kota budaya yang dengan kental telah mengusung kearifan-kearifan lokal
dalam membangun Kota Denpasar.
Denpasar sudah sejak lama dibangun menjadi kota budaya tetapi hal itu
dilaksanakan tanpa dibarengi usaha memadai membangun budaya kota. Pada saat
ini, Denpasar sudah kian padat dan heterogen penduduknya, kian padat lalulintasnya, kian kompleks persoalan yang potensial muncul, maka tidaklah solid
membangun kota budaya tanpa sekaligus membangun budaya kota.
Usaha menjadikan Denpasar sebagai kota budaya sudah tampak sejak
pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berlanjut secara melompat-lompat sampai
dengan sekarang. Segera setelah menguasai keseluruhan Bali pasca-perang Puputan
Badung 1906 dan Puputan Klungkung 1908, Belanda mengambil kebijakan untuk
melestarikan kebudayaan Bali (Balisering), dan menjadikan Bali sebagai daerah
tujuan wisata.
Berbagai usaha ke arah itu diambil termasuk mendirikan Bali Hotel 1928 dan
Museum Bali 1932. Museum Bali menjadi ikon Denpasar sebagai kota budaya.
Konsep pembangunan museum Bali sebagai museum etnografi agak unik karena
inilah museum yang identitasnya tidak hanya bisa dilihat dari koleksi artefak yang
dipajang di dalam gedung tetapi juga sekaligus dari arsitektur bangunannya yang
merupakan campuran dari arsitektur puri dan pura. Pertimbangan Belanda ikut
memuseumkan arsitektur Bali berdasarkan perkiraan bahwa arsitektur itu kelak
akan lenyap antara lain ditenggelamkan bangunan atau gedung-gedung modern
menyerupai arsitektur Belanda. Bayangan tersebut ternyata meleset karena terbukti
arsitektur Bali tumbuh terus, entah lewat pura, puri atau hotel.
Tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru kembali menambah ikon budaya kota
Denpasar dengan mengganti lonceng peninggalan Belanda di pusat kota dengan
Patung Catur Muka dan membangun Taman Budaya yang lebih dikenal dengan Art
Centre. Selain karena sudah tua, lonceng di ujung timur Jalan Gajah Mada itu
dianggap tidak cocok dengan spirit estetika kultural Bali. Patung Catur Muka
menggantikannya dengan pesona yang pas dengan spirit budaya Bali.
Kompleks Art Centre berisi beberapa panggung terutama Ardha Chandra dan
ruangan untuk memamerkan karya seniman Bali, baik lukisan maupun patung. Galeri
seni Art Centre pernah tampil berwibawa dan memikat, tetapi kini dalam usia tiga
63
dekade redup karena berbagai faktor antara lain karena koleksinya tidak terjaga
dengan baik. Peran penting Art Centre sekarang tampaknya sebatas sebagai arena
pelaksanaan tahunan Pesta Kesenian Bali.
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, event PKB memberikan
kontribusi penting mewujudkan Denpasar sebagai kota budaya. Ikon budaya lain
yang dimiliki Denpasar adalah Bhajra Sandhi, yang sesekali juga dijadikan latar
belakang pementasan, baik untuk seni tradisi Bali maupun musik modern. Selain
ikon ini, pemerintah Kota Denpasar secara reguler mementaskan kegiatan kesenian
di taman Puputan Badung sebagai usaha memperkuat langkah menciptakan Denpasar
sebagai kota budaya.
Dalam sebuah artikel di English Cornor Bali Post yang terbit tahun 1991,
Jean Couteau, menuliskan pengamatannya tentang sikap pemuda Kota Denpasar
terhadap seni pertunjukan Bali. Sosiolog asal Perancis yang sudah lama menetap di
Bali itu berpendapat bahwa: The city youth feels increasingly embarresed (lek), to
attend Balinese shows, except in relation to tourists, preferring the pounding
vulgarity of pop music as promoted on their TVs (Couteau 2008: 209). Artinya
bahwa pemuda kota kian merasa malu atau lek (bahasa Bali) menyaksikan
pertunjukan kesenian Bali kecuali yang berhubungan dengan turis, mereka lebih suka
hentakan vulgar musik pop yang ditayangkan di televisi.
Penilaian di atas mungkin ada benarnya ketika ditulis hampir dua dekade lalu,
tetapi perkembangan mutakhir menunjukkan kebalikannya. Rasa bangga generasi
muda Bali terhadap keseniannya kian tumbuh dan ini bisa dilihat dari minat mereka
menonton seni pertunjukan Bali seperti tari-tarian, lagu pop Bali, dan wayang, juga
dalam minat mereka untuk belajar menari dan menembangkan gaguritan, kidung, dan
kakawin. Pelaksanaan PKB dan penggiatan pengenalan kesenian daerah di sekolah
termasuk yang dilaksanakan dan disponsori Pemkot Denpasar merupakan program
yang ikut memberikan andil pada munculnya rasa bangga generasi muda Bali
terhadap keseniannya.
Kini tidak keliru menyimpulkan bahwa kian banyak anak muda Bali yang
bisa makidung dan yang menggemari lagu pop Bali dibandingkan pada masa-masa
sebelumnya. Generasi muda Bali kian bangga menjadikan kesenian daerah sebagai
lambing identitasnya. Walaupun rasa bangga akan kesenian sudah tumbuh, belum
64
berarti bahwa cita-cita menjadikan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya sudah
tercapai final. Perintangnya banyak sekali, selain karena ikon budaya seperti Art
Centre dan Museum Bali kian pudar keberadaaannya secara fisik dan spiritual, juga
karena secara keseluruhan di Denpasar belum ditumbuhkan secara memadai apa
yang dinamakan sebagai budaya kota. Buktinya situasi lalu-lintas, kondisi
lingkungan, dan kepedulian sosial masyarakat kian mencemaskan dalam akselerasi
perubahan kota yang tidak bisa dibendung.
Tidak bisa disangkal lagi, Denpasar dari dulu hingga kini, sudah berubah,
dari kota kerajaan menjadi kota republik, dari daerah agraris menjadi daerah industri
(jasa). Pertumbuhan jumlah penduduk dengan segala kompleksitasnya telah
mengubah lanskap dan perangai Kota Denpasar. Salah satu ciri kota besar yang juga
tampak di Denpasar adalah jumlah penduduk yang kian padat, orang tinggal
berdekatan tetapi belum tentu saling mengenal. Sistem sosial budaya Bali yang
mengikat penduduk dalam ikatan banjar, desa, dadia, dan bentuk komunalitas lainnya
memang tidak membuat proses individualisasi manusia seperti di kota-kota besar di
dunia lainnya, tetapi perasaan individu dan ketidakpedualin juga mulai tumbuh
mewarnai budaya kota yang anomie.
Tahun 1971, sastrawan Made Sanggra dengan menarik melukiskan denyut
perubahan Kota Denpasar lewat sebuah sajak berbahasa Bali berjudul denpasar san
mangkin (denpasar dewasa ini):
denpasar san mangkin
katah umah nyujuh langit
makwh sawah dados umah
umah dados sawah
denpasar san mangkin
pasliwer wong sunantara
solahnyan solh-solh
payasnyan melagndah
melalung mekamen lambih
macukur mabok dawa
luh matingkah muani
muani maambek..
65
Sajak yang ditulis di awal perkembangan Bali menjadi daerah tujuan wisata
massal (mass tourism) bisa disimak lewat dua lapis pemaknaan. Lapis pertama, sajak
ini, mulai dari bagian awalnya melukiskan perubahan lanskap Denpasar dari suasana
agraris persawahan menjadi suasana perkotaan yang ditandai dengan berdirinya
gedung-gedung bertingkat yang menggapai langit (nyujuh langit), termasuk salah
satunya yaitu Hotel Bali Beach di Sanur.
Kebutuhan urbanisasi membuat banyak sawah disulap menjadi rumah dan
rumah-rumah dibangun bertingkat. Ungkapan nyujuh langit agak hiperbolis karena
senyatanya Bali memberlakukan regulasi tinggi maksimal bangunan hanya 15 meter.
Meski
demikian, hadirnya
gedung-gedung bertingkat
mewakili
apa
yang
66
merupakan rahasia lagi, tetapi Denpasar dan Bali secara umum sudah tanpa raguragu menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian.
Akurasi penggambaran fenomena kota atau kehidupan urban (urban life)
sudah banyak diberikan oleh kalangan sosiolog. Keakuratan definisi mereka tentang
kota terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan sisi positif dan negatif kota
sekaligus dalam oposisi biner. Durkheim berpendapat bahwa urban life merupakan
ruang kreativitas, kemajuan, dan tatanan moral baru (creativity, progress and a new
moral order) sekaligus sebagai arena pembusukan moral (moral decay) dan sirnanya
aturan-aturan sosial atau anomi (Barker 2000: 296).
Marx melihat urban life sebagai lambang kemajuan dan lompatan besar
produktivitas yang dibeli oleh kapitalisme, sebaliknya juga sebagai arena
kemiskinan, ketakpedulian, dan penderitaan. Walaupun batasan tentang kehidupan
urban di atas disusun berdasarkan apa yang terjadi di kota-kota di Barat yang berciri
industri yang kental, situasinya sedikit banyak juga tampak di kota-kota di Indonesia.
Pemerintah dan masyarakat pasti mendambakan perkembangan kota
Denpasar bisa menjadi arena produktivitas, kreativitas, dan memberikan kemajuankemajuan serta tidak ingin melihat kota menjadi arena tumbuh suburnya
ketidakpedualian dan pembusukan moral sosial. Atau, setuju kota Denpasar menjadi
arena untuk memacu proses-proses produksi demi keberlanjutan perekonomian tetapi
tidak mau kemajuan itu menyuburkan proses pemiskinan atau kemiskinan. Dengan
kata lain, bagaimana menjadikan Denpasar sebagai kota yang berkembang dengan
ciri positif kehidupan urban sekaligus mencegah dampak negatifnya seperti yang
digariskan oleh Weber dan Marx di atas.
Yang dimaksud dengan budaya kota adalah gaya hidup manusiawi yang
diupayakan untuk memenuhi tuntutan kenyamanan warga kota secara berkelanjutan
dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Mengingat kota
merupakan arena perjuangan berbagai kepentingan dari orang, kelas, golongan untuk
mewujudkan angan-angan atau ambisinya yang tak jarang di luar rasio normal, maka
membangun budaya kota dengan tatanan dan aturan yang kuat merupakan hal yang
utama. Kota budaya akan semakin kuat dan menjadi ideal jika ditopang dengan
pembangunan budaya kota. Banyak hal yang bisa dilaksanakan untuk membangun
67
budaya kota, tiga yang disarankan di sini untuk diadopsi adalah apa yang sudah
pernah digariskan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya adalah:
1. Membangun dan memperkuat kesadaran akan hukum (darkum).
2. Membangun dan memperkuat kesadaran akan lingkungan (darling).
3. Membangun dan memperkuat kesadaran akan kemanusiaan (darman).
Kesadaran warga akan hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial.
Persoalan yang dihadapi Denpasar sekarang ini adalah masih lemahnya kesadaran
masyarakah mematuhi hukum dan aturan sosial, termasuk misalnya dalam lalu-lintas.
Parkir sembarangan atau pemilik ruko sembarangan melarang orang parkir di depan
propertinya membuat Denpasar kehilangan pesona kota berwawasan budaya.
Untuk mencegah agar orang tidak memarkir kendaraan di halaman tokonya,
pemilik toko memasang memancang patok dan rantai. Pemandangan ini membuat
Denpasar sebagai kota yang egois dan gawat. Mengapa tidak dipasang tanda dilarang
parkir saja? Terbatasnya fasilitas parkir memang merupakan kendala yang perlu
dipecahkan tapi penghayatan dan pengalaman masyarakat agar tertib hukum sangat
perlu ditanamkan. Gagal membangun lalu-lintas yang baik tidak saja dapat
menimbulkan penyebab stress bagi warga kota dan menghambat kelancaran
perekonomian tetapi juga akan membuat citra Denpasar sebagai kota budaya akan
ambrol.
Citra Denpasar sebagai kota berwawasan budaya juga sangat ditentukan oleh
lanskap lingkungan yang ada, mulai dari estetika kota sampai dengan ihwal
kebersihan. Kota Denpasar tampak meniru kekeliruan kota-kota lain dengan
membiarkan dirinya terpolusi spanduk dan baliho hanya karena kemauan merebut
retribusi reklame. Pemasangan poster dengan paku-paku dan kawat di batang pohon
tak hanya menyiksa tanaman tetapi juga menodai estetika kota. Ini harus dicegah
untuk mewujudkan kota yang indah dan ramah lingkungan.
Lihatlah toko-toko di Jalan Gajah Mada, khususnya di daerah barat sungai,
semuanya tampak semrawut dengan barang dagangan yang bergelantungan meluber
ke luar merusak pesona kota. Pedestrian yang bermutu rendah juga menjadi noda
bagi pesona Denpasar. Ini juga harus diberikan perhatian serius. Masalah lain yang
berkaitan dengan lingkungan adalah sampah.
68
69
saat berkendaraan, iklan dilarang parkir sembarangan, dan sejenisnya muncul dalam
iklan layanan masyarakat. Iklan sosial ini sangat penting dalam upaya membentuk
pola pikir dan perilaku masyarakat mematuhi aturan dan terpanggil menjaga
kebersihan demi kepentingan bersama. Peran radio Pemkot dalam sosialisasi nilainilai budaya kota untuk taat peraturan, hidup bersih seperti itu patut diteruskan. Agar
pesan-pesan yang mendukung terbentuknya budaya kota itu efektif dan menjangkau
lebih banyak pendengar, pengelola radio harus mampu membuat acara radio yang
menarik baik bagi anak muda maupun orang tua.
Pembangunan Denpasar sebagai kota (berwawasan) budaya tidaklah cukup
dengan menggelar pentas seni budaya atau festival serta membangun ikon fisik
budaya saja tetapi perlu dibarengi usaha strategis dan rekayasa sosial untuk
membangun budaya kota. Pembangunan budaya kota diarahkan pada peningkatan
kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, dan kesadaran kemanusiaan alias sikap
ramah tamah menghormati sesama.
Kota Denpasar yang bercirikan sebuah kota dengan citra tradisi Bali,
tercermin dalam aspek fisik, sosial-budaya, dan spirit warga kota. Pendirian maupun
penataan terhadap bangunan fisik yang dilakukan masyarakat seperti pembangunan
rumah tinggal, bangunan tempat ibadah, dan bangunan untuk publik pada umumnya
tetap mengacu kepada ajaran agama Hindu. Mayoritas penduduk kota adalah warga
etnik Bali yang masih kental dengan aktivitas kesehariannya seperti pelaksanaan
upacara keagamaan, tradisi berkesenian, dan aktivitas sosial di banjar-banjar.
Spiritualitas warga kota dalam upaya pemertahanan nilai kesucian dan kesakralan
tetap menjadi pedoman umum bagi penduduk Kota Denpasar. Melestarikan tradisi
bukan berarti menutup arena relasi dan dialog lintas budaya. Perjalanan sejarah dan
pola interaksi sosial masyarakat Denpasar telah berlangsung sejak masa lampau
hingga sekarang yang senantiasa dihadapkan pada situasi hetrogenitas agama, suku,
bangsa, dan budaya. Dalam dialog tersebut warga Kota Denpasar mengindikasikan
adanya sikap keterbukaan, kerja sama dan kesetaraan sebagai bukti adanya
penghargaan terhadap masyarakat yang multikultural. Representasi masyarakat Kota
Denpasar yang multikultural ini selayaknya terus digelorakan sehingga Kota
Denpasar tetap mampu memainkan peran penting dalam menghadapi globalisasi
70
dengan tetap mengusung Denpasar sebagai kota budaya sebagai aset bangsa yang
bisa mendatangkan devisa demi kepentingan untuk mensejahtrakan masyarakat.
Pembangunan Kota Denpasar telah menempatkan budaya sebagai pondasi
dasar dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan dijalankan dengan selalu
berorientasi pada kesejahtraan, peradaban, dan dinamika dalam konteks lokal,
nasional, dan global dengan selalu mengedepankan segi-segi positif kebudayaan
Bali. Pembangunan yang dilandasi oleh pkebudayaan Bali sebagai satu sosok
kebudayaan yang hidup secara berkelanjutan (Geriya, 2010: 32). Pembangunan
komunitas kota mencakup upaya dinamik untuk merevitalisasi tiga kategori
kemampuan dasar manusia dan masyarakat agar mampu survive secara berkelanjutan
dalam konteks lingkungan yang berubah. Tiga kemampuan dasar tersebut adalah
kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara kreatif-inovatif, kemampuan
untuk tumbuh dan berkembang secara adaptif, dan kemampuan untuk tumbuh dan
berkembang secara akulturatif.
Kebudayaan akan dapat mengintegrasikan tiga wujud dengan tujuh unsur.
Tiga wujud tersebut adalah ide, perilaku, dan fisik; sedang tujuh unsur kebudayaan
terdiri atas sistem peralatan, sistem matapencaharian, sistem organisasi, bahasa,
kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Dalam kepentingan operasional,
substansi kebudayaan mencakup unsur tangible, intangible dan abstrak. Katagori
tangible meliputi unsur-unsur budaya fisik yang dapat diraba seperti: gedung, benda,
kerajinan, benda kesenian, tempat ibadah, patung, topeng, tekstil, dan sebagainya.
Katagori intangible meliputi: banjar, subak, desa adat, sekaa, arsitektur, upacara,
usada, teknologi tradisional, bercocok tanam, simbol-simbol dan sebagainya.
Sementara katagori abstrak mencakup sistem nilai, sistem norma, hukum adat,
filsafat hidup, ideologi. Pemaknaan terhadap berbagai unsur kebudayaan tersebut
mengacu pada paradigma keserasian lokal, nasional, dan global.
Sehubungan dengan pemaknaan tersebut, warga kota Denpasar yang
mayoritas etnik Bali yang beragama Hindu, maka kebudayaan yang tepat dipakai
acuan atau referensi adalah kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu.
Kebudayaan Hindu secara substansi memiliki keragaman, kekhasan, dan berbagai
keunggulan, baik pada tataran nilai, kelembagaan, fisik dan simbol. Berdasarkan hal
tersebut dalam rangka pembangunan Kota Denpasar yang menyejarah, humanis,
71
beragam dan berkualitas yang patut dijadikan kerangka acuan adalah perpaduan
nilai-nilai ekpresif, progresif dan kokoh dalam aras bawah. Konfigurasi nilai terpadu
tersebut terinci atas sembilan nilai utama, yaitu: nilai religius, estetis, etis,
keseimbangan, harmoni, ekonomis, dan keadilan, iptek, supremasi hukum, serta
demokratis partisipatif (Geriya, 2010: 33).
Sebagai destinasi wisata internasional dan kota berwawasan budaya,
Denpasar wajib mengembangkan budaya tata ruang untuk memperkuat nilai
keharmonisan dan keseimbangan yang diamanatkan dalam Visi-Misi Denpasar.
Budaya tata ruang (Bali) mengandung 3 bagian pokok berkaitan dengan filosofi
luan/teben (sakral/profan) yang dijabarkan dalam konsep tri mandala (pembagian
zone jadi tiga): utama mandala (kawasan sakral) untuk tempat pemujaan; madya
mandala (antara/tengah) untuk bagunan hunian; nista mandala (profan/terluar) untuk
ruang terbuka hijau (di Bali biasa disebut jaba sisi/teba/lebuh/telajakan).
Krama Bali memaknai budaya tata ruang dengan perilaku dan tindakan.
Prilaku dan tindakan yang mendorong kebudayaan Bali lebih dinamis dan adaptif
menyikapi nilai luar atau baru yang sekarang makin kendor di Denpasar dan Bali.
Bahkan, cenderung memaksa tata ruang kota kehilangan roh di kawasan
pengembangan (permukiman baru, supermall, ruko, apartemen dan kondotel,
condominium) dan mendesak permukiman lama (desa/banjar tradisional) termasuk
sawah dan subak terancam musnah demi dan untuk pembangunan. Ini akan
berbahaya bila budaya tata ruang diabaikan, ruang horizontal dan vertikal (zone dan
struktur bangunan) tak keruan akibat pengawasan lemah, dasar hukum (legal based)
lembek, penegakkan hukum (law enforcement) kendor. Budaya tata ruang yang
bernarasi di mana boleh ada apa dan di mana tidak boleh ada apa kini cenderung
beresonansi di mana saja boleh ada apa saja. Di kota ini sangat mudah menemukan
bangunan publik tanpa kepala dan menafikan tempat suci (pura). Sebutlah
supermall, ruko dan apartemen bisa lepas dari budaya tata ruang (Bali) sehingga
spirit komunitas Hindu Bali tak terwadahi. Ketika sebuah supermall di Kota
Denpasar saat peluncuran perdana beberapa tahun lalu, jangankan pura, penunggun
karang pun tak ada. Hal yang sama pun terjadi di kawasan wisata belanja Teuku
Umar beberapa bulan lalu. Sebuah bangunan megah, untuk selular, elektronik dan
ruang pameran awalnya mengabaikan bangunan bercorak Bali.
72
Di saat media dan legislatif gencar menyoroti, syukur pemegang otoritas Kota
Denpasar, tergugah dan meminta pengelola supermall dan bangunan IT dan selular
untuk mengamankan budaya tata ruang tradisional warisan leluhur yang adiluhung
itu. Pada era Gubernur IB. Mantra (1978-1988), budaya tata ruang dan zoning
diawasi ketat. Zone pemerintahan dan gerak sejarah perjuangan rakyat Bali
dipusatkan di Renon (Densel); industri di Ubung (Denut); pendidikan di Penatih
(Dentim); permukiman baru di Tulang Ampian (Denbar). Pengaturan zone ini sesuai
dengan rujukan budaya (Bali) yang sangat fundamental. Tapi semua itu kini seakanakan tenggelam di balik Ruko dan supermall dan bangunan-bangunan bertingkat
sejenisnya yang kurang mercerminkan ciri khas budaya Bali.
Kawasan khas yang mencitrakan budaya lokal, makin langka juga di kota ini.
Bypass Ngurah Rai, yang dulu jadi kebanggaan warga kota, kini disesaki pedagang
mebel, pasir dan batu padas, SPBU, restoran, biro perjalanan, pedagang tanaman
hias. Belum lagi serbuan rombong bakso, warung lalapan, soto dan sate mewarnai
sudut kota metro yang beraktivitas entah siang entah malam. Semua itu tidak tertata,
tidak disiplin dan tidak mencerminkan kebersihan dan keindahan Kota Denpasar
sebagai ibukota Provinsi Bali. Gatsu yang dirancang sebagai jalur khas (semasa
Bupati IDG. Oka, Pande Made Latra, dan Gusti Alit Putra, dan Walikota Komang
Arsana), kini apa saja ada di sana. Membangun disiplin, menciptakan kebersihan dan
keindahan. Denpasar telah mendeklarasi kota berwawasan budaya yang punya
program city tour, mestinya bergairah merawat kawasan khasnya. DKI yang
metropolis saja punya Monas, TMII, dll; Yogyakarta punya Malioboro; Malang
punya Slamet Riady-nya; Surabaya punya trading & service city berkultur harmoni.
Kawasan Renon, misalnya, banyak orang sedih melihatnya karena dikurung oleh
Ruko, restoran besar, sehingga karakter Niti Mandala sebagai pusat Pemerintahan
Propinsi Bali tenggelam. Rumah makan milik pelaku budaya (Nang Lecir, Pitik Bali,
dan sejenisnya) yang semula diizinkan beroperasi untuk memenuhi kebutuhan makan
siang pegawai Pemprop, kini mati tertindih Cianjur, Renon, Pawon, Wong Solo,
dan lain-lain. Bahkan dua tahun terakhir sudah tidak kelihatan lagi, entah kemana
dan dimana warung makan Nang Lecir dan Pitik Bali. Keadaan Kota Denpasar hari
ini, sudah jauh dari keinginan almarhum I.B. Mantra yang sejak awal
kepemimpinannya mendesain dan menata ibukota provinsi ini dengan kearifan lokal.
73
Di era kesejagatan mestinya Kota Denpasar tetap gigih mengawal budaya lokalnya.
Ibukota Propinsi Bali ini tidak boleh mengikuti semua kemauan pebisnis kecil/besar,
domestik/asing. Semua ini demi menempatkan kearifan lokal, kepribadian manusia
Bali (Hindu) untuk menghidupkan humanitas warga kota yang cenderung terus
meredup ditiup arus individualistik, konsumerisme, dan hedonis.
74
V
PENUTUP
75
76
DAFTAR PUSTAKA
Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi Pulau Bali. Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian
Rakjat RI.
Rama. Ida Bagus Dkk., 1998. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Biografi Seorang
Budayawan 1928-1995. Denpasar: Upada Sastra.
Sirikan, Gora. 1956. Sejarah Bali.
Sjoberg, Gedeon. 1960. The Preindustrial City; Past and Present. New York,
London: The Free Press.
Soenaryo, F.X. 1989. Sejarah Kota Denpasar 1906-1942, Tesis. Yogyakarta:
Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
Soenaryo, FX. 1989. Sejarah Kota Denpasar 1906-1942, Tesis S 2. Yogyakarta:
Fakultas Pasca Sarjana UGM.
Staatblad Tahun 1907 Nomor 449.
Staatblad Tahun 1910 Nomor 638.
Stenis, L.U. 1919. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok.
Suasih, Ni Made. 1992. Sejarah Kota Administratif Denpasar (1978 1989),
Skripsi S1 Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi
Kota Administratif, Tanggal 3 Agustus 1976.
Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi
Kota Administratif, Tanggal 22 Januari 1977
Surjomihardjo,
Abdurrachman
2000.
Sejarah
Perkembangan
Sosial
Kota
79
LAMPIRAN I
Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar
80
LAMPIRAN II
81
LAMPIRAN III
DATA ARSIP I
82
83
LAMPIRAN IV
DATA ARSIP II
84
LAMPIRAN V
85
86
LAMPIRAN VI
87
88
LAMPIRAN VII
Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26)
89
90
91
92
LAMPIRAN VIII
Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2)
93
94
95
96
97
LAMPIRAN IX
Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02 Goedgekeurd en
Bekrachhtigd
(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1903-1904 No. 201-15)
98
99
100
101
102
103
LAMPIRAN X
Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05)
104
105
106
107
PRAKATA
108
Kota
Denpasar
bekerjasama
dengan
Nopember 2011
ii
109
SAMBUTAN
WALIKOTA DENPASAR
Om Swastiastu
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas Asung Kertha Wara
Nugraha-Nya, buku Sejarah Kota Denpasr: dari Kota
Keraton menjadi Kota (1788 2010) dapat diterbitkan
tepat waktu sesuai dengan yang direncanakan. Untuk itu
Pemerintah Kota Denpasar menyambut baik dan
memberikan apresiasi terhadap usaha-usaha yang telah
dilakukan dalam menunjang dan merealisasikan visi
Pembangunan Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya
Dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan.
Buku ini akan dapat memperkaya referensi, dan sekaligus sebagau bukti akan
komitmen Pemerintah Kota Denpasar, untuk mengetahui bagaimana proses
menjadinya, genesis dan perkembangannya yang menunjukkan keunikan identitas
Kota Denpasar dibandingkan dengan kota-kota lainnya.
Terbitnya buku ini tentunya akan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas untuk pengokohan jati diri masyarakat Kota Denpasar, pengembangan
pariwisata, pendidikan, penelitian dan pembentukan karakter bangsa. Apalagi
didalamnya diuraikan tahap-tahap perkembangan Kota Denpasar, dari Kota Kerajaan
Tradisional Keraton (Puri) Denpasar 1788, kemudian menjadi Kota Modern pada
jaman Kolonial dan akhirnya menjadi Pemerintah Kota Denpasar saat ini.
Buku yang merupakan sumbangan pemikiran dari Tim Peneliti A.A. Bagus
Wirawan, SU dan kawan-kawan, tentu sangat relevan dengan upaya Pemerintah Kota
Denpasar untuk merealisasikan misi pembangunan Penguatan Jati Diri Masyarakat
Kota Denpasar Berlandaskan Budaya Bali.
Sebagai akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti dari
Universitas Udayana Denpasar atas segala usaha yang telah dilakukan sehingga buku
ini bias diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat Kota Denpasar
sebagai pengemban pusaka budaya.
Sekian dan terima kasih.
Om Shanti, Shanti, Shanti Om
WALIKOTA DENPASAR
iii
110
DAFTAR ISI
PRAKATA...........................................................................................................
ii
iii
DAFTAR ISI........................................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................
vi
I PENGANTAR
1.1.
1.2.
2.2.
2.3.
12
15
17
29
34
41
42
44
52
56
60
V PENUTUP........................................................................................................
75
iv
111
77
LAMPIRAN.........................................................................................................
80
112
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
I
Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar ......................
80
II
81
III
82
IV
84
85
VI
VII
87
89
VIII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radjas van Badoeng
(Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2) ..........
IX
93
98
104
vi
113
Tim Penulis
Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, SU.
Ir. IBG. Wirawibawa Mantra, MT.
Drs. I Wayan Tagel Eddy, MS.
Drs. I Wayan Sukiada, M. Hum.
Drs. Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada, M.Hum.
Kerjasama:
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota
Denpasar dan Universitas Udayana
2011
114