Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Kota

Daerah Istimewa Nangroe Aceh Darussalam atau yang sering disebut sebagai Kota
Serambi Mekah merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang diberi status sebagai
daerah istimewa dan juga diberi kewenangan otonomi khusus dengan ibukotanya yaitu Kota
Banda Aceh. Kota Banda Aceh adalah kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan,
kegiatan ekonomi, politik, serta sosial dan budaya.

Kota Banda Aceh memiliki peran penting dalam catatan sejarah Indonesia mulai dari
prasejarah, zaman kerajaan, zaman perjuangan melawan bangsa Barat hingga Indonesia
merdeka. Kota Banda Aceh juga berpengaruh besar terhadap masuknya agama Islam di
Indonesia yang terjadi pada akhir abad pertama Hijriah di pantai-pantai Tanah Aceh
sepanjang Selat Malaka yang dibawa oleh pedagang Arab dan Persia dalam perjalanan
dagang menuju ke Timur dan singgah di Aceh untuk berdagang serta memperbaiki kapal
mereka. Pada akhir abad kedua Hijriah, barulah Islam secara terang-terangan disyiarkan
oleh para pendakwah yang datang dari Teluk Persia yang singgah di Teluk Kambey dan
mendarat di Bandar Perlak pada tahun 173 Hijriah. Pada hari Selasa tanggal 1 Muharram
225 Hijriah, telah diproklamirkan Kerajaan Islam Perlak sebagai Kerajaan Islam pertama di
Asia Tenggara dengan raja pertamanya yaitu Sultan Alaidin Saiyid Maulana Abdul Aziz
Syah. Setelah kerajaan Islam Perlak, barulah berdiri Kerajaan Islam Samudera Pase,
Kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan-kerajaan Islam lainnya di seluruh Indonesia dan
Asia Tenggara.

Berdasarkan naskah tua dan catatan-catatan sejarah, Kerajaan Aceh Darussalam


dibangun di atas puing-puing kerajaan Hindu dan Budha seperti Kerajaan Indra Purba,
Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra dan Kerajaan Indra Pura. Dari penemuan batu-
batu nisan di Kampung Pande, salah satu dari batu nisan tersebut terdapat batu nisan
Sultan Firman Syah cucu dari Sultan Johan Syah. Kemudian terungkap keterangan bahwa
Banda Aceh adalah Ibukota Kerajaan Aceh Darussalam yang dibangun pada hari Jum’at,
tanggal 1 Ramadhan 601 Hijriah (22 April 1205 M) yang dibangun oleh Sultan Johan Syah
setelah berhasil mnakhlukkan Kerajaan Hindu/budha Indra Pura dengan Ibukotanya Bandar
Lamuri.

Pada saat perang berkecamuk antara Belanda dengan Kerajaan Aceh pada akhir
abad ke XIX, pemerintah Kolonial Belanda berhasil merebut Kota Banda Aceh dari tangan
Kesultanan Aceh dan merubah nama Kota Banda Aceh menjadi Kuta Radja. Nama ini
berasal dari nama sebuah tempat pertahanan atau benteng Sultan atau Raja yang terdapat
dalam kraton bagian dari Kota Banda Aceh Darussalam. Kemudian sejak tanggal 21 April
1962, Gubernur Aceh Ali Hasjmy berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pemerintahan
Umum dan Otonomi Daerah, Nomor: Des.52/I/43-43 tanggal 9 Mei !963 nama Kutaraja
dikembalikan kepada nama aslinya yaitu Banda Aceh.

Adapun penduduk Kota Banda Aceh sebelum kedatangan Bangsa Belanda,


sebagian besarnya adalah orang Aceh ditambah dengan permukiman-permukiman orang
Jawa, Keling, Kedah, Cina, Arab, Turki, Melayu, Minangkabau dan lain-lain. Setelah Kota
Banda Aceh dikuasai oleh kolonialisme Belanda, komposisi penduduk berubah yaitu
sebagian besar dari orang-orang Aceh dan para pedagang muslim menyingkir keluar kota
karena mereka memusuhi Belanda yang dianggapnya kafir. Kota ini banyak dihuni oleh
pemukim-pemukim Belanda baik militer maupun sipil serta para imigran yang mendukung
Belanda. Pada zaman Jepang, komposisi penduduknya berubah lagi karena orang-orang
Belanda sudah tidak ada lagi di Kota Aceh sehingga masyarakat Kota Aceh yang tadinya
menyingkir keluar kota mulai mengadakan permukiman baru lagi. Dan terakhir, pada zaman
kemerdekaan orang-orang Jepang mulai angkat kaki dari Kota Aceh.

Kota Banda Aceh berkembang dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu letaknya yang
berada di kawasan pesisir sehingga menyebabkan terjadinya perdagangan dan jasa.
Adapun faktor yang paling mempengaruhi bentuk kota atau morfologi kota adalah religius
yaitu agama Islam. Sejak berdirinya kerajaan Aceh, Kota Aceh didukung oleh banyak
perkampungan tradisional berbasis lahan yang tersebar dengan ragam ekologinya. Salah
satunya yaitu perkampungan tradisional tepi sungai yang mendukung kehidupan kota Banda
Aceh. Pada tahun 2004, terjadi bencana tsunami yang menghancurkan kota Banda Aceh
sehingga dilakukan revisi ulang pada rencana tata ruang wilayah (RTRW) kota Banda Aceh
hingga 2029 yang memasukkan pendekatan mitigasi bencana. Salah satu implementasinya
adalah mengembangkan jalan evakuasi pada jalan arteri kota, sehingga terjadi modifikasi
pada morfologi kota Banda Aceh (RTRW Kota Banda Aceh, 2009-2029). Hal ini mengubah
fungsi-fungsi ruang di beberapa tempat dalam kota, khususnya kawasan perkampungan
tradisional yang berubah cepat dengan tumbuh kawasan perumahan kota secara sporadis.

Pada abad ke-19 saat penjajahan Belanda, invasi Belanda meninggalkan berbagai
pengaruh terhadap kota Banda Aceh. Salah satunya adalah menkonstruksi mulai dari
komplek Keraton, Neusu hingga Taman Pahlawan, serta Kampung Ateuk. Setelah itu, pada
abad ke-20, pola ruang kota ini adalah konsentris. Tetapi setelah terjadinya bencana
tsunami yang terjadi pada tahun 2004, menyebabkan perubahan struktur pola ruang Banda
Aceh yang konsentris menjadi pola Multiple-Nuklei. Hal ini sebagai penanggulanan atau
meminimalkan resiko bencana tsunami.

Anda mungkin juga menyukai