Anda di halaman 1dari 11

Daerah Istimewa Aceh

(Tugas PPKN Ke-3)

Disusun Oleh:
Nama: Arya Raihan Hanif
Kelas: X MIA 1

SMA NEGERI 1 TANJUNG PANDAN


Tahun Ajaran 2020/2021
Sejarah Provinsi Aceh Sebagai Daerah Istimewa:
Aceh memperoleh status daerah istimewa pada 26 Mei 1959.
Dengan status tersebut Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam
bidang agama, adat, dan pendidikan.
Status keistimewaan Aceh kemudian dituangkan dalam UU Nomor 18
Tahun 1965.
Dilansir situs resmi Provinsi Aceh, sebelum menjadi provinsi sendiri,
Aceh masuk wilayah Provinsi Sumetera sejak proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari wilayah Indonesia
telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada masa revolusi,
Karesidenan Aceh awalnya pada 1947 dengan berada di daerah
administrasi Sumatera utara. Adanya agresi militer Belanda, Karesidenan
Aceh, Langkat, dan Tanah Karo ditetapkan menjadi Daerah Militer yang
berkedudukan di Kutaraja. Meski dibentuk daerah militer, namun
karesidenan tetap dipertahankan. Pada 5 April 1948 ditetapkan UU Nomor
10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi tiga provinsi, yakni
Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Provinsi
Sumatera Utara meliputi Karesidenan Aceh. Pada akhir 1949 Karesidenan
Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan selanjutnya menjadi
Provinsi Aceh. Sejarah Aceh merupakan daerah penyebaran Islam di
wilayah Indonesia. Di Aceh juga berdiri kerajaan Islam pertama.
Sejarah Aceh:
Daerah Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan
Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas
perniagaan dan kebudayaan yang menghubungkan Timur dan Barat sejak
berabad-abad lampau. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat
persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, sehingga
menjadikan daerah Aceh pertama masuknya budaya dan agama di
Nusantara. Pada abad ke-7 para pedagang India memperkenalkan agama
Hindu dan Budha. Namun peran Aceh menonjol sejalan dengan masuk
dan berkembangnya agama islam di daerah ini, yang diperkenalkan oleh
pedagang Gujarat dari jajaran Arab menjelang abad ke-9.
Menurut catatan sejarah, Aceh adalah tempat pertama masuknya
agama Islam di Indonesia dan sebagai tempat timbulnya kerajaan Islam
pertama di Indonesia, yaitu Peureulak dan Pasai. Kerajaan yang dibangun
oleh Sultan Ali Mughayatsyah dengan ibukotanya di Bandar Aceh
Darussalam (Banda Aceh sekarang) lambat laun bertambah luas
wilayahnya yang meliputi sebagaian besar pantai Barat dan Timur Sumatra
hingga ke Semenanjung Malaka. Kehadiran daerah ini semakin bertambah
kokoh dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan
seluruh kerajaan-kerajaan kecil yang terdapat di daerah itu. Dengan
demikian
Kesultanan Aceh mencapai puncak kejayaannya pada permulaan
abad ke-17, pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa
itu pengaruh agama dan kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Aceh, sehingga daerah ini mendapat julukan “
Seuramo Mekkah” (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama,
karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda para penggantinya tidak mampu
mempertahankan kebesaran kerajaan tersebut. Sehingga kedudukan
daerah ini sebagai salah satu kerajaan besar di Asia Tenggara melemah.
Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan semakin merosot dan mulai
dimasuki pengaruh dari luar.
Kesultanan Aceh menjadi incaran bangsa Barat yang ditandai
dengan penandatanganan Traktat London dan Traktat Sumatera antara
Inggris dan Belanda mengenai pengaturan kepentingan mereka di
Sumatera. Sikap bangsa Barat untuk menguasai wilayah Aceh menjadi
kenyataan pada tanggal 26 Maret 1873, ketika Belanda menyatakan
perang kepada Sultan Aceh. Tantangan yang disebut ‘Perang Sabi’ ini
berlangsung selama 30 tahun dengan menelan jiwa yang cukup besar
tersebut memaksa Sultan Aceh terakhir, Twk. Muhd. Daud untuk mengakui
kedaulatan Belanda di tanah Aceh. Dengan pengakuan kedaulatan
tersebut, daerah Aceh secara resmi dimasukkan secara administratif ke
dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk
propinsi yang sejak tahun 1937 berubah menjadi karesidenan hingga
kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia berakhir. Pemberontakan
melawan penjajahan Belanda masih saja berlangsung sampai ke pelosok-
pelosok Aceh.
Kemudian peperangan beralih melawan Jepang yang datang pada
tahun 1942. Peperangan ini berakhir dengan menyerahnya Jepang kepada
Sekutu pada tahun 1945. Dalam jaman perang kemerdekaan, sumbangan
dan keikutsertaan rakyat Aceh dalam perjuangan sangatlah besar,
sehingga Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Sukarno memberikan
julukan sebagai “Daerah Modal” pada daerah Aceh. Sejak bangsa
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945
sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat, Aceh
merupakan salah satu daerah atau bagian dari negara Republik Indonesia
sebagai sebuah karesidenan dari Propinsi Sumatera. Bersamaan dengan
pembentukan keresidenan Aceh, berdasarkan Surat Ketetapan Gubernur
Sumatera Utara Nomor 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak
Arief sebagai Residen. Kedudukan daerah Aceh sebagai bagian dari
wilayah Negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami
perubahan status.Pada masa revolusi kemerdekaan, Keresidenan Aceh
pada awal tahun 1947 berada di bawah daerah administratif Sumatera
Utara. Sehubungan dengan adanya agresi militer Belanda terhadap
Republik Indonesia, Keresidenan Aceh, Langkat dan Tanah Karo
ditetapkan menjadi Daerah militer yang berkedudukan di Kutaradja (Banda
Aceh sekarang) dengan Gubernur Militer Teungku Muhammad Daud
Beureueh.
Walaupun pada saat itu telah dibentuk Daerah Militer namun
keresidenan masih tetap dipertahankan. Selanjutnya pada tanggal 5 April
1948 ditetapkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi
Sumatera menjadi 3 Propinsi Otonom, yaitu : Sumatera Utara, Sumatera
Tengah dan Sumatera Selatan. Propinsi Sumatera Utara meliputi
keresidenan Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli Selatan, dengan
pimpinan Gubernur Mr. S.M. Amin. Dalam menghadapi agresi militer kedua
yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Negara Republik Indonesia,
Pemerintah bermaksud untuk memperkuat pertahanan dan keamanan
dengan mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
Nomor 21/Pem/PDRI tanggal 16 Mei 1949 yang memusatkan kekuatan
Sipil dan Militer kepada Gubernur Militer.
Pada akhir tahun 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Propinsi
Sumatera Utara dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi Propinsi
Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai
Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi
Gubernur Propinsi Aceh. beberapa waktu kemudian, berdasarkan
Peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950
propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada
awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan gejolak politik yang
menyebabkan terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Keinginan pemimpin dan rakyat Aceh ditanggapi
oleh Pemerintah sehingga dikeluarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun
1956 tentang pembentukan kembali propinsi Aceh yang meliputi seluruh
wilayah bekas keresidenan Aceh.
Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status
Propinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27
Januari 1957 A. Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun
gejolak politik di Aceh belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas
Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana
Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun 1959
dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik,
pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak
lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor
1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat
I atau Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan
lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh
memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan
pendidikan. status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965.
Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa
lalu yang menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai
sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan. Hal ini
ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus
dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46
Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat
Pemerintahan alam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh
tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom,
Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja
Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan
Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah
Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe
Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur " Aceh ". Ini
dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan
Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem
NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.

Dasar Hukum Provinsi Aceh:


Yang menjadi dasar hukum pelaksanaan pemerintahan di Aceh
adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
Aceh (“UU 11/2006”). Salah satu pertimbangan dibentuknya UU ini adalah
Aceh merupakan satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau
istimewa terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan
masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Berikut diuraikan antara lain poin-poin penting yang tercantum dalam
UU 11/2006 seputar Pemerintahan Aceh:

Definisi Pemerintahan Aceh:


Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat
hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang dipimpin
oleh seorang Gubernur.
Sementara itu, Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi
dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD
1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan
oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh
sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.

Wewenang Pemerintahan Aceh:


Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah (pemerintah pusat).
Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi urusan
pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan,
keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam
bidang agama.
Dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, Pemerintah Pusat dapat:
a. melaksanakan sendiri;
b. menyerahkan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota;
c. melimpahkan sebagian kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah
Pusat dan/atau instansi Pemerintah Pusat; dan
d. menugaskan sebagian urusan kepada Pemerintah Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota dan gampong berdasarkan asas tugas
pembantuan.
Lebih lanjut mengenai hubungan pemeritah pusat dengan pemerintahan
Aceh dapat dilihat juga dalam Pasal 11 UU 11/2006 yang mengatur
sebagai berikut:
(1)Pemerintah menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan urusan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota.
(2)Norma, standar, dan prosedur sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan
pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(1).
(3)Dalam menyelenggarakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Pemerintah dapat:
a. melaksanakan sendiri; dan/atau
b. melimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah untuk
melaksanakan
c. pengawasan terhadap kabupaten/kota.

Urusan Pemerintahan yang Berkaitan dengan


Syari’at Islam:
Untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan
syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan
kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh. Qanun Aceh adalah peraturan
perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur
penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.

Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang


Bersifat Wajib:
Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang
merupakan urusan dalam skala Aceh yang meliputi:
a. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
b. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia
potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan
lintas kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah
termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota; dan
o. penyelenggaraan pelayanan dasar lain yang belum dapat
dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota.
Sementara itu, urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan
Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang
antara lain meliputi:
a. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan
syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga
kerukunan hidup antarumat beragama;
b. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;
c. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah
materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;
d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan
e. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang
Bersifat Pilihan:
Urusan Pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata berpotensi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulan Aceh.

Penyelenggara Pemerintah Aceh:


Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan
Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (“DPRA”). DPRA adalah unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah Aceh yang anggotanya dipilih
melalui pemilihan umum.
DPRA mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut antara lain:

a. membentuk Qanun Aceh yang dibahas dengan Gubernur untuk


mendapat persetujuan bersama;
b. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Qanun Aceh dan
peraturan perundang-undangan lain;
c. melaksanakan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah Aceh
dalam melaksanakan program pembangunan Aceh, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta
penanaman modal dan kerja sama internasional;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil
Gubernur kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri;
e. memilih Wakil Gubernur dalam hal terjadinya kekosongan jabatan
Wakil Gubernur;
f. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional
yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh;
g. memberikan pertimbangan terhadap rencana kerja sama
internasional yang dibuat oleh Pemerintah yang berkaitan langsung
dengan Aceh;
h. memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh;
i. memberikan pertimbangan terhadap rencana bidang legislasi Dewan
Perwakilan Rakyat yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan
Aceh;
j. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antardaerah
dan/atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan
daerah;
k. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur dalam
penyelenggaraan pemerintahan untuk penilaian kinerja
pemerintahan;
l. mengusulkan pembentukan KIP Aceh dan Panitia Pengawas
Pemilihan; dan
m. melakukan pengawasan dan meminta laporan kegiatan dan
penggunaan anggaran kepada KIP Aceh dalam penyelenggaraan
pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur.

Kekhususan Provinsi Aceh:


SAAT Aceh berganti nama, dari Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
menjadi Provinsi Aceh, tak banyak pihak yang menyesuaikan hal ini. Di
banyak aplikasi di telepon cerdas, misalnya, Aceh masih ditulis dengan
nama Nanggroe Aceh Darussalam.
Hal-hal lain juga sama. Saat orang Aceh menyebut Dewan
Perwakilan Rakyat Aceh, bukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh,
banyak pihak yang merasa aneh dengan sebutan ini. Karena memang, ada
banyak perubahan nama yang disesuaikan dengan kekhususan Aceh
dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh.
Aceh juga memiliki jabatan Wali Nanggroe, seperti yang dimiliki oleh
Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat; Dewan Adat Papua. Tapi tidak
di daerah lain. Karena itu, banyak hal yang sebenarnya perlu lebih
diperkenalkan kepada orang-orang di luar Aceh.
Tidak hanya dalam urusan penamaan, soal kewenangan juga Aceh
berbeda dengan daerah lain. Sering kali orang luar tak paham dengan hal
ini dan menganggap urusan itu sama dengan daerah lain. Kecuali tentang
jilbab, pakaian ketat dan cambuk. Orang luar umumnya memberikan
perhatian terhadap hal-hal ini.
Dalam urusan kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan
batubara. Orang-orang di Jakarta mungkin lupa bahwa Aceh punya aturan
sendiri yang memberikan hak, yang dilindungi oleh konstitusi, untuk
mengatur sendiri urusan itu.
Dalam Undang-Undang Minerba juga dinyatakan bahwa semua
ketentuan dalam undang-undang tersebut tetap berlaku ke seluruh
Indonesia sepanjang tidak diatur dalam undang-undang khusus. Di Aceh,
aturan khusus itu adalah UUPA.
Namun hal ini perlu dilakukan dengan cara yang beradab. Misalnya,
Pemerintah Aceh rajin-rajin melobi pemerintah pusat, terutama di
Kementerian ESDM, Kementerian Dalam Negeri atau kementerian lain,
agar mereka menyadari bahwa Aceh, walau menjadi bagian dari Republik
Indonesia, adalah daerah spesial yang melaksanakan regulasi di
daerahnya sesuai undang-undang spesial pula.
Pembiasaan-pembiasaan ini harus terus dilakukan agar pemerintah
pusat terbiasa dan semakin mengenali Aceh. Terutama dalam urusan
ketatanegaraan dan hukum. Agar tak ada lagi kesalahpahaman orang-
orang di Jakarta dalam memandang Aceh. Karena sedikit kesalahan itu
berdampak buruk. Memperbaiki kesalahan itu juga menguras banyak
energi.

Anda mungkin juga menyukai