Anda di halaman 1dari 28

Nama : Siti Sarah Nurafifah

NPM : 180310200022

Mata Kuliah : Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1950)

RESUME BUKU REVOLUSI KEMERDEKAAN INDONESIA DI ACEH (1945-1949)

A. Identitas Buku

a. Judul Buku : Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945 – 1949)

b. Penulis : Alfian, T. Ibrahim, dkk.

c. Penerbit : Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh

d. Tahun Terbit : 1982

e. Jml. Halaman : 155 halaman

B. Ringkasan Isi Buku

1. BAB I Pendahuluan

Sejak proklamasi kemerdekaan, wilayah Aceh menjadi salah satu

keresidenan Provinsi Sumatera yang dibentuk sejak 3 Oktober 1945 dan sebagai

kota kedudukan residennya adalah Kutaraja atau yang sekarang Banda Aceh. Untuk

menjalankan pemerintahan Republik Indonesia di Aceh, maka disusunlah para


pejabat pemerintahan. Kemudian, sebagai upaya mempertahankan kemerdekaan

dan mencegah kemungkinan serangan dari musuh, dibentuk pula kesatuan-kesatuan

tentara serta kelaskaran rakyat yang tersebar hingga pelosok daerah.

Selama revolusi, kedudukan Aceh sebagai bagian dari RI telah mengalami

perubahan beberapa kali. Pada awal tahun 1947, Keresidenan Aceh berada di bahwa

daerah administratif Sumatera Utara. Kemudian pada Agustus 1947, dengan adanya

tindakan Agresi Militer I, berdasarkan keputusan Wakil Presiden RI, No.

3/BPKU/47, tanggal 26 Agustus 1947, daerah Aceh bersama Kabupaten Langkat

dan Tanah Karo ditetapkan menjadi daerah Militer, yang diperintah oleh Gubernur

Militer yang berkedudukan di Kutaraja, meskipun status keresidenan masih

dipertahankan.

Kemudian pada 1948, daerah administratif Sumatera Utara ditingkatkan

menjadi Provinsi dengan membawahi tiga keresidenan, yaitu: Keresidenan Aceh,

Keresidenan Sumatera Timur, dan Keresidenan Tapanuli. Kutaraja yang merupakan

ibukota Keresidenan Aceh dan Daerah Militer, Langkat dan Tanah Karo juga

menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, sehingga Daerah Aceh umumnya dan

Kutaraja khususnya menjadi pusat kegiatan administratif pemerintahan sipil dan

militer Provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi, setelah terjadi Agresi Militer II,

berdasarkan ketetapan PDRI No. 21/Pem./PDRI, tanggal 16 Mei 1949, kekuasaan

sipil dan militer dialihkan kepada satu tangan, yaitu Gubernur Militer, sedangkan

jabatan gubernur-gubernur di Sumatera, untuk sementara dihapuskan. Dengan

demikian, jabatan pemerintahan sipil saat itu tidak berfungsi lagi. Bekas gubernur

diangkat menjadi komisaris Pemerintah Pusat yang memiliki hak untuk mengawasi

daerah-daerah otonomi.
Setelah PDRI kembali ke Yogyakarta dan diubarkan, pada Agustus 1949,

Wakil Perdana Menteri menghapuskan jabatan-jabatan Komisaris Pemerintah Pusat

serta Gubernur Militer di seluruh Sumatera dan mengfungsikan kembali daerah-

daerah otonomi. Khusus bagi daerah Aceh yang semula berada di bawa Provinsi

Sumatera Utara, berdasarkan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan

Pemerintah, No. 8/Des/WPM/1949, tanggal 17 Desember 1949, statusnya

ditingkatkan menjadi provinsi tersendiri dengan wilayahnya ditambah sebagian

daerah Kabupaten Langkat. Akan tetapi, provinsi Aceh ini kembail menjadi

keresidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1950 yang mulai berlaku sejak 15 Agustus

1950.

Pada masa sekarang, Aceh lebih dikenal dengan nama Provinsi Daerah

Istimewa Aceh. Sebutan “provinsi” sejak 1 Januari 1957 berdasarkan undang-

undang No. 24 tahun 1956 dan sebutan “daerah istimewa” sejak 26 Mei 1959,

berdasarkan keputusan Perdana Menteri RI No. 1/Missi 1959. Secara geografis,

Aceh terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatera. Wilayahnya terdiri dari 8

kabupaten dan 2 kotamadya. Selama masa Revolusi, wilayah Daerah Aceh kecuali

Sabang, tidak pernah berhasil diduduki kembali oleh Belanda, sehingga

administrasi pemerintah RI di sini relatif lebih teratur.

2. BAB II Masa Pendudukan Jepang 1942-1945

a) Pendaratan dan Penaklukan Belanda oleh Jepang di Aceh

Menjelang berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan Aceh,

kebencian rakyat terhadap Belanda semakin memuncak. Hal ini terlihat dalam

beberapa kegiatan rakyat yang bertujuan untuk melawan Belanda, baik dalam

fisik maupun politik. Di dalam bentuk politik, misalnya dengan mengadakan


rapat-rapat rahasia serta mengadakan hubungan luar negeri supaya

mendapatkan bantuan. Hal tersebut dilakukan oleh para ulama dan uleebalang

(tokoh adat). Hasil dari rapat-rapat rahasia tersebut adalah dikeluarkannya

pernyataan sumpah setia mereka kepada agama Islam, bangsa, dan Tanah Air,

serta menyusun perlawanan bersama melawan Belanda dan bekerja sama

dengan pihak Jepang. PUSA atau Persatuan Ulama Seluruh Aceh juga aktif

mengadakan hubungan dengan pihak Jepang yang telah menduduki Malaysia

(saat itu masih Malay). Tuntutan pada Belanda disampaikan oleh Teuku Nyak

Arief dengan Residen Aceh J. Pauw dengan para Panglima Sagi dan uleebalang

di Kutaraja.

Perang Asia Timur Raya membawa harapan dan semangat bagi rakyat

Aceh supaya dapat mengusir Belanda. Perlawanan fisik pun semakin berlanjut.

Pada 19-29 Januari 1942, terjadi sabotase kawat-kawat telepon dan rel kereta

api yang dilakukan rakyat di Seulimeum dan Indrapuri (wilayah Aceh Besar).

Dalam menghadapi perlawanan ini, Belanda membentuk dua komandi

territorial di Sumatera. Komando Teritorial Sumatera Tengah dan Utara oleh

Mayor Jenderal R.T. Overakker dan Komando Teritorial Aceh oleh Kolonel

G.F.V. Gosenson. Wilayah Sumatera Selatan telah diduduki Jepang.

Jepang sendiri mendarat di Aceh pada 12 Maret 1942 di tiga tempat,

yaitu Krueng Raya (Aceh Besar), Sabang (Pulau Weh), dan Peureulak (Aceh

Timur). Pendaratan Jepang pun terbilang bebas dari hambatan dan disambut

dengan baik oleh rakyat Aceh. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang telah

dijalin dengan PUSA.

Sementara itu, pihak Belanda terus mempertahankan dirinya dengan

memindah-mindahkan markas ke tempat aman dan yang cocok dipakai


bergerilya. Akan tetapi pada akhirnya Overakker dan Gosenson terpaksa

menyerah kepada Jepang di Blangkeujeren pada 28 Maret 1942. Hal tersebut

menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di daerah Aceh.

b) Pembentukan Lembaga-Lembaga Pemerintahan dan Militer

Pada masa pendudukan Jepang, status Aceh sebagai Karesidenan tetap

dipertahankan dan disebut Syu. Aceh bersama dengan 9 keresidenan lain di

pulau Sumatera, berada di bawah Gunseibu, yang berkedudukan di Bukittinggi.

Struktur pemerintahan peninggalan Belanda juga masih dipertahankan, hanya

saja penyebutannya menggunakan bahasa Jepang.

Dengan alasan masih dalam suaasana perang, pemerintah Jepang

menekan partai-partai politik atau organisasi massa yang sebelumnya telah

tumbuh. Hal ini berakibat pada organisasi seperti Taman Siswa, PUSA,

Parindra, dan Muhammadiyah menjadi lumpuh selama masa pendudukan.

Simpatisan Jepang terutama dari PUSA yang menaruh harapan besar terhadap

Jepang merasa kurang senang atas kebijakan tersebut, sehingga timbul

hubungan dingin di antara keduanya.

Jepang sadar akan pentingnya pengaruh ulama di Aceh. Oleh karena itu,

dibentuk Lembaga Majelis Agama Islam Untuk Kemakmuran Asia Timur Raya

(Maikbatra) pada 10 Maret 1943. Lembaga ini bertugas untuk memberi

penerangan pada umat Islam mengenai pendudukan Jepang dan menjadi wadah

konsultasi antara pemerintah Jepang dengan para ulama.

Pemerintah Jepang juga menerbitkan surat kabar Atjeh Shinbun pada

Juni 1942. Koran yang terbit dua kali semiggu (rabu dan sabtu) ini merupakan

salah satu media propaganda politik Jepang.


Pada 1943, dibentuk Syu Min Koa Hookokai (Badan Kebaktian

Penduduk Aceh Untuk Membina Asia) dan Badan Perlindungan Tanah Air.

Pemimpinnya berasal dari tokoh ulama dan uleebalang yang cukup

berpengaruh. Melalui Lembaga ini, Jepang dapat mengumpulkan dana dan daya

bagi keperluan perang.

Jepang juga mebentuk satuan militer yang terdiri dari Tokubetsu

Keisatsutai (polisi khusus) yang dibentuk pada Februrari 1943 dengan tugas

sebagai polisi yang membantu roda pemerintahan, Heiho (serdadu pembantu)

yang dibentuk pada Mei 1943 yang pada awalnya dibentuk untuk mengerjakan

pekerjaan berat bagi keperluan perlengkapan tentara Jepang tetapi lama-

kelamaan mereka diberi latihan militer serta diberi pakaian seragam disertai

sistem kepangkatan. Yang terakhir, Gyu gun (tentara sukarela) yang dibentuk

November 1943 yang diharapkan menjadi barisan kedua setelah tentara regular

Jepang dalam menghadapi sekutu.

c) Kehidupan Sosial-Ekonomi

Situasi peperangan dan pendudukan Jepang sangat memengaruhi

kondisi sosial-ekonomi rakyat Aceh, terutama dalam pertanian dan

perdagangan. Blokade-blokade yang dilakukan oleh sekutu dan pengerahan

tenaga rakyat untuk menyelesaikan proyek-proyek besar milik Jepang menjadi

faktor kemerosotan ekonomi rakyat.

Pada awalnya, Jepang memang bermaksud untuk meningkatkan

perekonomian Aceh dengan membentuk Atjeh Shu Seityo Sangu Kotabutyo

(Kepala Urusan Ekonomi dan Lalu Lintas Daerah Aceh). Lembaga ini memiliki

rencana dalam bidang pengairan, perluasan areal persawahan, kerajianan, dan

peternakan. Akan tetapi, rencana tersebut tidak terwujud sepenuhnya. Banyak


tenaga kerja terutama manusia dipakai untuk tugas kerja rodi ataupun membuat

pertahanan militer.

Dalam perniagaan, kegiatan ekspor-impor berkurang terutama tekstil,

sehingga sangat langka di pasaran. Akibatnya, sebagian besar penduduk

terpaksa menggunakan goni, tikar bahkan kulit kayu sebagai pakaian.

d) Kehidupan Sosial Budaya

Kehidupan sosial budaya, terutama pendidikan, kesenian, dan kehidupan

beragama juga sangat dipengaruhi kondisi Perang Asia Timur Raya. Dalam hal

pendidikan, Jepang mengelompokkan sekolah di Aceh menjadi dua, yaitu

Kokumingko (sekolah negara) yang merupakan tingkat dasar, dan dua sekolah

menengah yang terdiri dari dua jenis, yaitu Shu Takko (sekolah lanjutan lima

tahun) dan Sihang Gakko (sekolah guru). Materi pendidikannya pun disesuaikan

dengan kepentingan Jepang. Behasa Belanda dan Inggris dihapuskan dan diubah

menjadi bahasa Melayu dan Jepang. Lembaga pendidikan keagamaan juga tak

luput dari perhatian Jepang. Teungku Ismail Yakub ditunjuk sebagai inspektur

untuk mengawas dan membina Lembaga keagamaan di Aceh.

Pagelaran kesenian rakyat seperti dalail, dike mulod, seudati, ratoh,

laweut, dan lainnya sudah kurang dipertunjukkan. Hal ini berkaitan denga

kehidupan perekonomian rakyat yang morat-marit dan situasi perang.

e) Impak Pemerintah Pendudukan Jepang Terhadap Rakyat Aceh

Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah

pendudukan Jepang (1942-1945) yang dimaksudkan dalam rangka mewujudkan

persekemakmuran Asia Timur Raya membawa implikasi luas terhadap

kehidupan masyarakat Aceh. Implikasi itu dinyatakan pada struktur


pemerintahan, kekuatan politik, dan partisipasi masyarakat dalam kekuasaan

dengan kadar yang berbeda-beda.

Perluasan partisipasi pada para elit di Aceh dengan memberikan

kesempatan untuk menduduki berbagai macam lembaga memberikan modal

pengalaman dan pelatihan serta keterampilan untuk menjadi administrator.

Demikian juga dalam kemiliteran, satuan-satuan yang telah dibentuk juga

memberikan pengalaman dan pengetahuan akan kemiliteran yang modern.

Tekanan-tekanan yang diterapkan Jepang selama masa pendudukannya

menimbulkan perlawanan dari rakyat pula dan telah menimbulkan rasa frustasi

di kalangan rakyat. Sikap frustasi ini menimbulkan perlawanan seperti yang

terjadi pada perang Cot Plieng Bayu, Perang Pandrah Jeunieb, dan perlawanan

pasukan Gyu gun di bawah pimpinan Teuku Hamid.

3. BAB III Proklamasi Kemerdekaan di Aceh

a) Sambutan Masyarakat Aceh

Berita kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya telah didengar oleh

rakyat Aceh. Kemudian pada Juli 1945, diadakan pertemuan antara pembesar

Jepang dengan Tuanku Hasyim. Jepang menegaskan bahwa mereka pasti akan

memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia. Oleh karena itu, mereka

meminta untuk mengkoordinir para pemuda sehingga lahir angakatan pemuda yang

kuat di Aceh. Akhirnya rapat pemuda dilangsungkan pada 14 Agustus 1945 di Atjeh

Bioskop Kutaraja. Akan tetapi, berita mengenai menyerahnya Jepang kepada

sekutu telah mengejutkan mereka. Hasil dari rapat tersebut adalah dibentuknya satu

barisan pemuda bernama Ikatan Pemuda Indonesia.

Suasana ibukota Aceh Syu menjadi sangat tidak menentu. Para pembesar

Aceh tidak tahu pasti mengenai apa yang sedang terjadi karena tidak ada berita atau
informasi yang dapat dijadikan pegangan. Isu-isu mengenai kekalahan Jepang

semakin terbukti. Karena situasi daerah semakin tidak menentu, maka pada tanggal

23 Agustus 1945 Tyokan S. Iino terpaksa memanggil para pemimpin rakyat ke

tempat kediamannya (pendopo Gubernur sekarang).

b) Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia di Daerah Aceh

Meskipun berita Proklamasi Kemerdekaan telah tersebar luas di Daerah

Aceh sejak akhir Agustus 1945, namun pemerintahan RI yang definitif baru

terbentuk dan digerakkan di sana sejak tanggal 3 Oktober 1945, yaitu setelah

keluarnya pengumuman resmi Gubernur Sumatera yang menyatakan bahwa:

"Pemerintahan Negara Repoeblik Indonesia moelai dengan resmi dijalankan

dengan Poelaoe Soematera, dengan pengangkatan residen-residen seloeroeh dan

staf Goebernoer dengan mempergoenakan kekoeasaan yang diberikan Presiden

Negara Repoeblik Indonesia". Akan tetapi, hal ini tidak berarti pada waktu

sebelumnya para pemimpin di Aceh tidak berusaha ke arah itu, bahkan

pengumuman tersebut lebih merupakan pengesahan dari pihak atasan kepada

pemerintah daerah keresidenan Aceh yang telah disusun sebelumnya dan telah

menyatakan sumpah setia kepada Negara Republik Indonesia, serta meskipun

adanya hambatan-hambatan dari pemerintahan pendudukan Jepang yang masih

berkuasa atas nama sekutu pada waktu itu mulai menggerakkan roda pemerintahan

disana.

Meskipun terdapat hambatan-hambatan dari tentara dan pemerintahan

Jepang, secara tidak resmi unsur-unsur pemerintahan Negara Indonesia di Aceh

telah mulai terbentuk dan bekerja sebelum keluarnya pengumuman dan penetapan

resmi Gubernur Provinsi Sumatera.


Teuku Nyak Arief selaku Atjeh-syu Sangikai-tyo atau Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Aceh yang kemudian diangkat menjadi Residen, pada 4 Oktober

1945 mengeluarkan maklumat yang ditujukkan kepada seluruh rakyat di daerah

Aceh. Kemudian, Tuanku Mahmud, selaku Ketua Badan Eksekutif KNI daerah

Aceh bersama dengan Teuku Nyak Arief harus menghadapi berbagai masalah yang

memerlukan penyelesaian secepat mungkin, misalnya:

1) Masalah pertahanan negara yang menghadapkan pemerintah daerah

dalam waktu singkat harus mengorganisasi kekuatan bersenjata di

seluruh wilayah Aceh

2) Masalah tentara pendudukan Jepang yang belum meninggalkan Aceh

dan kedatangan sekutu

3) Perpecahan antar sesama pemimpin Aceh yang kemudian menjurus

pada pecahnya perang saudara atau lebih dikenal sebagai revolusi sosial

Meskipun Teuku Nyak Arief hanya menjabat selama 4 bulan, namun ketiga

permasalahan di atas dapat diselesaikannya, sehingga penggantinya yaitu Teuku

Muhammad Daudsyah dapat lebih menyempurnakannya lagi.

c) Pembentukan Organisasi Kemiliteran dan Kelasykaran Rakyat

Sejak berita proklamasi diterima di daerah Aceh, khususnya di Kutaraja,

para pemimpin di sana telah memikirkan dan berusaha ke arah pembentukan

organisasi pertahanan dan keamanan rakyat di daerah Aceh. Pada awalnya, inisiatif

ini datang dari beberapa bekas perwira Gyugun di Kutaraja, antara lain Syamaun

Gharu, Nyak Neh Rika, Usman Nyak Gade, Teuku Hamid Anwar, Said Usman,

Bakhtiar Idham, dan lainnya.

Teuku Nyak Arief sangat mendukung ide pembentukan organisasi eks

Gyugun, Heiho, Tokubetsu Hikojo Kinmutai, dan lainnya. Disarankan juga untuk
mengikutsertakan eks KNIL, sehingga mereka dapat menyumbangkan pengalaman

dan keahliannya. Akhirnya diputuskan untuk mendirikan Angkatan Pemuda

Indonesia (API) diseluruh daerah Aceh. Maka pada permulaan bulan Oktober 1945

tersusunlah secara definitif struktur dan susunan pengurus API di Aceh. Setelah staf

pengurus API daerah Aceh berhasil di susun, pada tanggal 6 Oktober 1945, jam

13.00 waktu setempat, dikeluarkan seruan yang ditujukan kepada seluruh lapisan

masyarakat agar membantu dan menyokong API yang lahir itu. Seruan yang telah

mengejutkan pemerintah Jepang di Kutaraja.

Dalam proses selanjutnya API bertukar nama menjadi TKR (Tentara

Keamanan, kemudian Keselamatan Rakyat), lalu menjadi TRI (Tentara Republik

Indonesia) dan akhirnya menjadi TNI (Tentera Nasional Indonesia) sesuai dengan

ketentuan dari pemerintah Pusat.

Sementara itu pada September 1945, eks anggota KNIL juga berinisiatif

membentuk polisi istimewa di Kotaraja. Setelah dibentuk polisi tentara, pada

Februari 1946 dilebur menjadi pasukan meriam yang dilengkapi dengan

persenjataan lengkap rampasan Jepang. Di sisi lain, pemuda yang tidak tergabung

dalam API juga berusaha mendirikan Badan Perjuangan Rakyat dengan tujuan yang

sama, yaitu mempertahankan proklamasi dari musuh luar atau dalam.

Di kantor surat kabar Aceh Sinbun, para pengurusnya telah mendirikan

organisasi pemuda bernama Ikatan Pemuda Indonesia (IPI). Kemudian pada 6

Oktober 1945, berubah nama menjadi Barisan Pemuda Indonesia (BPI).

Dengan adanya API dan BPI, mengindikasikan bahwa dasar-dasar

organisasi kemiliteran dan perjuangan telah mulai dibentuk di wilayah Aceh.

Kemudian pada 12 Oktober 1942, API tekah dilantik secara resmi oleh Residen

Teuku Nyak Arief. Pada 1 Desember 1945, API berubah nama menjadi TKR
(Tentara Keselamatan Rakyat). Kemudian sejak tanggal 24 Januari 1946, sejalan

dengan keputusan Pemerintah Pusat pada 8 Januari 1946 mengenai penggantian

nama TKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), TKR Aceh menjadi TRI

Devisi V Sumatera.

Sementara itu dalam rangka meningkatkan organisasi sebagai Barisan

Kelaskaran, BPI mengadakan konfrensi pertama pada 12 Oktober 1945. Kemudian

pada 17 Oktober 1945, berganti nama menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI).

Setelah terbentuknya Pemerintahan Republik Indonesia dan Badan

Perjuangan (API dan IPI/BPI) di daerah Aceh, maka mulai direncanakan perebutan

senjata dari Jepang secara lebih intensif. Sebelumnya kegiatan pengumpulan senjata

juga telah dilakukan, yaitu senjata-senjata yang berasal dari kesatuan Gyugun,

direbut secara diplomasi atau disembunyikan pada saat organisasi militer itu

dibubarkan oleh Jepang. Ada dua faktor yang juga turut memberi dorongan dan

semangat kepada seluruh rakyat Aceh dalam merebut senjata dari Jepang, yaitu :

Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh dan seruan kepada kaum Muslimin, berasal

dari seorang Ulama Besar di Aceh, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, mengenai

kewajiban mempertahankan Kemerdekaan Indonesia yang baru di proklamirkan itu

d) Kedatangan Tentara Sekutu dan Tentara NICA di Daerah Aceh

Satu-satunya wilayah daerah Aceh yang berhasil diduduki oleh sekutu

selama revolusi adalah Pulau Weh (Sabang). Dengan didudukinya pulau tersebut,

berarti tentara NICA telah memiliki basis pertahanan yang kuat di ujung Barat Laut

Indonesia. Selama revolusi kemerdekaan, mereka selalu melancarkan operasi

militer, melakukan pengawasan ketat di perairan Selat Malaka dan Samudra

Indonesia, terutama dalam kaitan dengan usaha mereka untuk mendarat ke Aceh

dan membendung kegiatan rakyat Aceh dalam mengadakan hubungan perdagangan


luar negeri. Namun, usaha-usaha mereka selalu menemui kegagalan hingga

pengakuan kedaulatan Indonesia. Mereka tidak pernah berhasil mendarat di Aceh.

Sementara rakyat Aceh selalu berhasil menembus blokade yang dilakukan Belanda.

4. BAB IV Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh

a) Peristiwa Cumbok dan Aksi TPR

Pada masa proklamasi kemerdekaan, muncul beberaoa kelompok elit Aceh

yang memiliki corak politik tertentu yang tercermin dalam cara mereka

menganggapi proklamasi.

Kelompok yang pertama adalah uleebalang yang secara tradisional

menduduki pemerintahan lokal di Aceh. Akan tetapi, mereka juga memiliki

golongan tersendiri yang berkaitan dengan usia silsilah dengan Sultan Aceh dan

otoriotas politik secara feudal. Kelompok kedua adalah ulama yang secara

tradisional merupakan pemimpin spiritual dalam masyarakat Aceh. Mereka juga

dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu elit ulama modernis dan elit ulama

ortodoks. Elit modernis memiliki organisasi yang teratur, yaitu PUSA. Sedangkan

elit ulama ortodoks masih meneruskan peran tradisionalnya. Kelompok ketiga

adalah elit pemuda yang dapat digolongkan menjadi dua pula, yaitu pemuda yang

mendapat pendidikan militer Jepang dan elit pemuda yang mendapat pendidikan

sekolah keagamaan modernis. Elit yang pertama umumnya bersatu untuk

membantu API, sedangkan yang kedua membentuk badan-badan kelaskaran.

Kelompok keempat adalah elit minoritas yang terdiri dari para cendekiawan atau

para pemimpin golongan minoritas daerah luar Aceh.

Peristiwa proklamasi kemerdekaan dan adanya vacuum of power di

Indonesia memiliki tafsir yang berbeda antar kelompok. Kelompok elit ulama,

terutama modernis, dan pemuda sangat berusaha untuk memilliki pengaruh yang
dominan. Mereka melihat jalur militer sebagai jalur paling ampuh untuk

mendapatkan kekuasaan dan mereka akhirnya membentuk lembaga kemiliteran

atau kelaskaran. Di pihak lain, kelompok elit bangsawan tetap meneruskan tradisi

pemerintah lokal yang pada awalnya tidak membentuk pasukan militer. Mereka

cukup puas dengan hanya membina API. Akan tetapi, adanya laskar-laskar yang

merupakan tentara bayangan selain API menimbulkan kecurigaan sebagian

kelompok uleebalang, terutama di daerah Aceh Pidie.

Sikap curiga ini menimbulkan konflik antara satuan BPI dengan uleebalang

Cumbok di Lameulo. Kemudian, insiden Sigli dan Lameulo ini menimbulkan reaksi

luas dalam kalangan elit ulama dan kelaskaran yang mereka tafsirkan sebagai

perlawanan terhadap pemerintahan republik. Sebaliknya, para uleebalang di Pidie

merasa dirinya terancam oleh reaksi dari pihak elit ulama dan kelaskaran.

Mengetahui situasi ini, Teuku Umar Keumangan Beureunun, mengadakan

pertemuan uleebalang pada 22 Oktober 1945 di Beureunun, Pidie, yang

membicarakan mengenai konsolidasi kekuatan dan memperkuat solidaritas antara

para elit uleebalang. Akan tetapi, usahanya tersebut tidak berjalan mulus karena

beberapa di antaranya tidak hadir.

Beberapa uleebalang yang tidak menghadiri pertemuan tersebut berhasil

mengambil sikap terhadap gerakan-gerakan revolusioner yang diwujudkan dengan

membentuk Markas Uleebalang di bawah pimpinan Teuku Muhammad Daud

Cumbok dengan berkedudukan di Lameulo. Untuk menandingi laskar-laskar lain,

mereka membentuk laskar lain yaitu Barisan Penjaga Keamanan (BPK) dan

Perhimpunan Indonesia.

Sifat dan tujuan dari pembentukan laskar BPK ini menimbulkan suasana

tidak nyaman dengan laskar lain terutama BPI/ PRI. Suasana tidak nyaman sangat
terasa saat berusaha meraih pengaruh di kalangan masyarakat luas dan tak jarang

menimbulkan konflik.

Perlakuan yang diterima satuan laskar PRI di Lameulo ini segera dilaporkan

ke markas pusat di Kutaraja sehingga menjadi persoalan tersendiri bagi pemerintah

daerah. Tuanku Mahmud, sebagai Ketua Komite Nasional Daerah mengirimkan

wakil ke Lameulo untuk mendamaikan PRI dan BPK. Akan tetapi, suasana sesaa

laskar-laskar di Aceh semakin memburuk.

Dalam suasana tegang itu berkembang isu tentang pembentukan Comité van

ontvangst di Lameulo yang bertujuan untuk mempersiapkan kedatangan Belanda.

Isu tersebut digunakan oleh pihak kelaskaran dan kelompok revolusioner untuk

menyudutkan gerakan Markas Uleebalang.

Kemudian, Markas Uleebalang mengalihkan perhatiannya ke Sigli, yaitu

untuk memperoleh senjata dari serdadu Jepang yang bakal meninggalkan daerah

Aceh. Rencana pihak BPK itu cepat diketahui oleh PRI. Oleh karena itu satuan

mereka juga memasuki kota Sigli untuk menghalang-halangi agar senjata jangan

diserahkan kepada pihak BPK. Untuk menghindari bentrokan, TKR menawarkan

pada Jepang untuk menyerahkan senjatanya ke TKR. Akan tetapi, pada akhirnya

Jepang menyerahkan sebagian senjata ke BPK. Hal ini menyebabkan terjadinya

bentrokan senjata di antara kedua laskar tersebut para permulaan Desember 1945.

Atas inisiatif pemerintah daerah melalui TKR , pertempuran yang berlangsung di

Sigli dapat dihentikan. Jalan penyelesaian yang ditempuh yaitu pengosongan kota

Sigli oleh kedua lasykar, penyerahan- keamanan kota Sigli kepada TKR, dan

penyerahan senjata kepada TKR.

Akan tetapi, perdamaian tersebut tidak bertahan lama karena Markas

Uleebalang mulai melepaskan tembakan terhadap kampung-kampung yang


dipercaya sebagai pusat kekuatan lawan. Kemudian disusul dengan aksi

pembakaran Gedung-gedung yang dipakai sebagai tempat pertahanan. Pada 16

Desember 1945, BPK dengan senjata berat menembaki kampung-kampung sekitar

Luengputu dan Meutareum yang menjadi pusat para pemuda, terutama PRI.

Untuk menghadapi Markas Uleebalang ini, para pemimpin dan pemuda

rakyat mulai mengkoordinir diri. Pada 22 Desember 1945, mereka mendirikan

organisasi Markas Besar Rakyat Umum (MBRU). Organisasi ini mendapatkan

sambutan hangat dari rakyat. Oleh karena itu, Markas Uleebalang meningkatkan

lagi serangannya.

Dengan bertambah luasnya "perang saudara" di wilayah Pidie itu,

Pemerintah Daerah di Kutaraja semakin khawatir akan bahaya yang sedang

mengancam, terutama dalam kaitan dengan kekuatan perjuangan yang pada waktu

itu sangat dibutuhkan untuk menghadapi kemungkinan tentara NICA, yang telah

merencanakan dan melancarkan penyerbuan ke daerah Aceh. Oleh karena itu,

tanggal 6 Januari 1946 Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat Daerah

mengadakan sidangnya yang pertama untuk membahas situasi di Pidie.

Pada tanggal 8 Januari itu Pemerintah Republik Indonesia Daerah Aceh,

bersama dengan Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat Daerah Aceh

mengeluarkan Maklumat dan Ultimatum yang ditujukan kepada Markas

Uleebalang di Lameulo, yang menyatakan bahwa setelah diadakan penyelidikan

secara mendalam, bahwa mereka yang mengadakan perlawanan di daerah Cumbok,

Lameulo dan di tempat-tempat lain dalam wilayah Pidie adalah "musuh Negara

Republik Indonesia". Dan diperingatkan bagi orang-orang yang telah terpengaruh

agar menghindari diri dari mereka, kalau tidak mereka juga akan dikenakan

hukuman sesuai dengan kesalahannya Ultimatum yang mengiringi Maklumat


tersebut, isinya memerintahkan mereka, yang telah dinyatakan sebagai musuh

Negara Republik Indonesia itu, mulai hari Kamis tanggal 10 Januari 1946, jam 12

siang, supaya menghentikan perlawanan dan menyerah. Jikalau tidak, mereka akan

ditundukkan dengan kekerasan.

Akan tetapi ultimatum tersebut tidak dihiraukan Markas Uleebalang.

Setidaknya ada dua faktor yang mendorongnya demikian, yaitu perhitungan

mengenai adanya kemampuan mereka untuk bertempur hingga titik kemenangan

dan kedua, hukuman yang dijatuhkan pada mereka tampak terlalu berat. Dengan

"hukuman" yang dijatuhkan itu mereka telah dapat memperkirakan setelah

menyerah akhirnya juga akan dihadapkan ke "pengadilan revolusi" sesuai dengan

suasana revolusi pada waktu itu. Oleh karena itu mereka bertekad lebih baik

meneruskan perlawanan dan mati di medan pertempuran

TKR dengan didukung oleh barisan yang berada di bawah komando MBRU

mulai bertindak. Satu demi satu kota-kota, seperti Meureudu, Luengputu,

Beureunun dll, dalam waktu yang relatif singkat berhasil dibersihkan dari pengikut

Markas Uleebalang. Dengan didukung oleh satuan-satuan tambahan yang khusus

didatangkan dari Kutaraja, akhirnya pada tanggal 13 Januari 1946, TKR berhasil

merebut kota kedudukan Markas Uleebalang. Pada 13 Januari MBRU

mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa kekuatan Markas Uleebalang

telah dapat dipatahkan dan masyarakat diharapkan tenang.

Sementara itu, sisa-sisa pasukan BPK dengan para pemimpin Markas

Uleebalang, termasuk Teuku Muhammad Daud Cumbok, lari ke gunung-gunung

dengan maksud untuk bergerilya. Namun pada 16 Januari 1946, mereka dapat

ditangkap semua.
Kekalahan pihak cumbok ini disebabkan berbagai faktor, misalnya gerakan

mereka kurang mendapat bantuan dari para elit uleebalang daerah lain, karena

uleebalang saat itu terpecah-pecah. Oleh karena itu, gerakan combok terbatas hanya

paa beberapa daerah keuleebalangan. Yang kedua adalah kelihaian dan kepintaran

golongan laskar rakyat yang menggunakan simbol-simbol kegamaan dan

kemerdekaan untuk menarik perhatian masyarakat Aceh. Faktor ketiga adalah

keberhasilan elit laskar untuk memengaruhi pendapat umum di ibukota keresidenan

Aceh, terutama dalam surat kabar Semangat Merdeka. Kemudian faktor terakhir

adalah keberhasilan mereka merangkul pemerintah daerah baik sipil atau pun

militer.

Penumpasan gerakan combok ini ternyata belum memuaskan hati sebagian

pemuda revolusioner, misalnya Amir Husin Al Mujahid yang sebelumnya

merupakan ketua pemuda PUSA. Ia berpendapat bahwa masih ada pejabat lokal

ataupun daerah yang masih harus dibersihkan. Untuk merealisasikan pembersihan

tersebut, dibentuklah Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pada Januari 1946 di Idie.

Untuk memperkuatnya, TPR menjalin kerjasama dan TRI. Kemudian pada saat

menuju Kutaraja, TPR berhadapan dengan laskar Teuku Inbrahim Panglima Agung

di Cunda, Lhok Seumawe. Akibatnya, terjadi bentrokan antara keudanya. Ia pun

terus melakukan penjarahan kepada uleebalang-uleebalang yang menurutnya harus

diganti.

Tindakan-tindakan Teungku Amir Husin Al Mujahid bersama dengan TPR-

nya itu, rupanya telah menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat Aceh, termasuk

dalam kalangan militer sendiri. Hingga pada akhirnya ia berhasil menjadi salah

seorang yang berpengaruh dalam kemiliteran. Sekelompok orang dalam militer

pernah melakukan penculikan terhadapnya, namun usahanya ini gagal dan Teungku
Amir Husin Al Mujahid berhasil kabur bersama para pengikutnya. Setelah peristiwa

penculikan tersebut, berakhir pula revolusi sosial di Aceh.

b) Masa Agresi dan Pergantian-Pergantian Bentuk Pemerintahan di Aceh

Sejak proklamasi hingga agresi militer I, hampir seluruh wilayah Aceh

tidak dapat diduduki oleh Belanda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman mereka

dalam perang Aceh atau saat pendudukan Jepang di Aceh serta perhatian

Belanda masih terpusat di Yogyakarta.

Adanya reogranisasi tentara yang dilakukan pemerintah pada April

1947, membuat divisi Gajah I digabungkan dengan divisi Gajah II dengan

sebutan Divisi X TRI dan berkedudukan di Bireun. Di samping itu, di Aceh

sendiri telah berdiri beberapa kelaskaran yang bertujuan sama,

mempertahankan kemerdekaan, meliputi Kesatria Pesindo/ Divisi Rencong,

Divisi Teuku Chiek Ditiro, Divisi Teungku Chiek Paya Bakong (TPR), dan

Mujahiddin. Secara bersama-sama, mereka mengambil bagian dalam melawan

Belanda saat merka mendarat du Medan pada Desembe 1946.

Sehari sebelum meletusnya agresi, di Kutaraja sendiri telah dipersiapkan

pertahanan pantai dan pengawalan umum untuk menghadapi setiap

kemungkinan. Perlawanan menghadapi agresi militer ini pun tak hanya

dilakukan oleh pihak militer dan kelaskaran saja, tetapi juga dilakukan bersama

dengan rakyat Aceh yang bersama-sama berjuang mempertahankan

kemerdekaannya.

Sebelum agresi militer kedua, telah tersusun TNI tanpa ada ekses-

eksesnya. Juga pemerintah sipil telah mempunyai aparatnya sampai kedesa-

desa. Oleh karena itu dalam menghadapi agresi militer kedua, Aceh sudah lebih

baik keadaannya bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia.


Karena kegagalan agresinya melalui beberapa serangan laut di beberapa tempat

di Aceh, maka Belanda mencoba menempuh dengan cara lain. Yaitu mereka

mengadakan provokasi melalui Radio Medan yang sudah mereka kuasai.

Pada awal Januari 1949, Radio Medan menyiarkan bahwa seluruh Aceh

telah dikuasai oleh Tentera Belanda. Kota-kota besar seperti Kutaradja, Sigli,

Langsa dan lain-lain telah direbut oleh tentara Belanda. Berita ini disiarkan pada

siang hari dan ditangkap oleh Kepala Perwartaan Jawatan Penerangan TNI

Divisi X Sumatra, Letnan H. Muchtar Nasution. Akan tetapi berita ini kemudian

dibantah oleh Radio Rimba Raya (Radio Pemerintah RI di Aceh pada masa itu).

c) Peristiwa-Peristiwa di Daerah dalam Kaitan dengan Kejadian Bersejarah

Tingkat Nasional

Setelah berbagai peristiwa dilalui dan beberapa perjanjian dilakukan

sebagai usaha untuk mendamaikan RI dengan Belanda, tibalah perjanjian

Renville yang membuat RI harus mengakui garis van Mook dan mengenai

pembentukan Republik Indonesia Serikat. Daerah Aceh menjadi salah satu

incaran van Mook untuk membentuk negara Federal. Ia mengajak Gubernur

Militer Aceh untuk membentuk negara Federal Aceh. Akan tetapi, ajakan

tersebut ditolak oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dan

masyarakat daerah Aceh masih memiliki semangat republik.

Untuk mendukung kekuatan RI, masyarakat Aceh juga menyumbang

biaya-biaya alat bertempur seperti menyumbangkan uang untuk membeli dua

pesawat Dakota dan menyumbang untuk biaya-biaya Pemerintah Pusat di

Yogyakarta.
d) Usaha Masyarakat Aceh dalam Beberapa Bidang Kegiatan

Munculnya bermacam-macam organisasi pertahanan lokal di Aceh pada

periode Revolusi Kemerdekaan juga ikut membantu jalannya pemerintahan

lokal di Aceh, yang pada periode itu sedang mengalami transisi dalam

koordinasinya, yaitu dari sistem birokrasi tradisional seperti dalam bentuk

daerah-daerah Uleebalang atau daerah-daerah yang berpemerintahan sendiri

(Uleebalangschappen atau Zelfbesturende landschappen), ke arah sistem

birokrasi modern seperti dalam bentuk-bentuk Kecamatan, Kabupaten dan

sebagainya.

Berkat adanya kerja sama diantara pemerintah dengan laskar-laskar

rakyat dan kepemudaan, maka Komite Nasional di bawah pimpinan Residen

Teuku Daud Syah, segala sesuatu baik yang mengenai pemerintahan dalam arti

yang terbatas, maupun yang mengenai perekonomian, kesehatan, pertanian,

kepolisian, keuangan dan sebagainya, berlangsung dengan memuaskan.

Pada permulaan tahun 1947, karena kesulitan komunikasi antara

Gubernur Sumatera dengan daerah-daerah di Sumatera, maka untuk

melancarkan roda pemerintahan ini, Sumatra dibagi dalam tiga bagian

administratif, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Pada

masing-masing daerah ini ditempatkan Wakil-Wakil Gubernur dengan sebutan

Gubernur Muda.

Setelah meletusnya agresi militer I, terjadi perubahan-perubahan

lembaga kemiliteran maupun lembaga pemerintahan lainnya yang

menyesuaikan dengan situasi saat itu. Perubahan-perubahan ini mendapatkan

respon yang beragam, ada yang pro dan ada yang kontra. Selain itu,

pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara pun segera dilakukan.


Akibat adanya serangan agresi militer II, yang mengakibatkan jatuhnya

hampir seluruh daerah Indonesia termasuk Yogyakarta ke tangan Belanda,

mengharuskan Syafruddin Prawiranegara mendirikan Pemerintahan Darurat

Republik Indonesia di Sumatera, tepatnya di Bukittinggi, Sumatera Barat pada

22 Desember 1948.

Daerah Aceh yang saat itu berada di bawah Provinsi Sumatera Utara,

terus mengalami perubahan sistem pemerintahan. Hal ini diakibatkan oleh

situasi perang yang dialami saat itu. Daerah Aceh bersama Kabupaten Langkat

dan Karo disatukan kembali menjadi satu daerah militer dengan Gubernur

Militer Teungku Muhammad Daud Beureuh dengan pangkat Jenderal Mayor

titular.

Adanya perubahan struktur pemerintahan daerah, menimbulkan

berbagai kebingungan baik bagi para aparat pemerintahan maupun bagi rakyat.

Pada akhirnya, dengan keputusan Presiden RI tanggal 10 Agustus 1949, PDRI

resmi dibubarkan.

Setelah terbentuk pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS),

susunan pemerintahan kembali berubah. RI dibagi lagi ke dalam 10 Provinsi

dan melahirkan permasalahan baru yang berhubungan dengan kedudukan

Daerah Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Hal ini

menimbulkan berbagai protes dari masyarakat Aceh, baik dari para elit hingga

para pemimpin lainnya. Mereka menginginkan supaya Aceh tetap berstatus

sebagai Provinsi sendiri. Namun, pemerintah tetap berpegang pada

pendiriannya.
5. BAB V Situasi Daerah Aceh pada Akhir Revolusi Kemerdekaan

a) Menjelang Persetujuan KMB

Situasi menjelang Persetujuan KMB, menunjukkan peran para pemuda dan

pelajar di Aceh lebih menonjol daripada golongan lain. Mereka berpartisipasi dalam

berbagai organisasi kelaskaran dan perjuangan. Sementara golongan tua, masih

diselimuti kearguan, kebimbangan, dan ketidakkompakan mereka. Para ulama yang

tergabung dalam PUSA belum memperlihatkan perannya dalam perjuangan

kemerdekaan, terutama pada masa awal revolusi.

Akibat dari adanya tekanan emosional dalam diri para pemuda dan pelajar

untuk menggabungkan diri dengan organisasi kelaskaran, banyak di antaranya

meninggalkan bangku sekolah mereka dan bergabung ke dalam organisasi

bersenjata, misalnya API yang kemudian berubah menjadi TKR (Tentara

Keamanan Rakyat), seuai dengan maklumat Presiden Soekarno pada 5 Oktober

1945. Kemudian, berbagai organisasi pemuda dan kelaskaran lainnya pun mulai

terlihat dan ikut berkembang. Pada akhirnya, berdasarkan ketetapan presiden RI,

tanggal 5 Mei 1947, menginstruksikan Persatuan Tentera Republik Indonesia

dengan laskar-laskar rakyat, menjadi tentara resmi dengan nama TNI (Tentara

Nasional Indonesia).

Berkat koordinasi yang lancar, usaha Belanda dalam kembali menguasai

Indonesia terutama ke Daerah Aceh dapat digagalkan. Sejak kekalahan Belanda

terhadap Jepang pada 1942, daerah Aceh mendapat julukan kehormatan sebagai

“Daerah Modal Perjuangan Republik Indonesia) yang diucapkan Presiden Soekarno

ketika menyampaikan amanatnya pada 16 Juni 1948 kepada Rakyat Aceh.


b) Pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Sikap Masyarakat Aceh

Ideologi revolusi yang mencakup ide persamaan nasib dan kehidupan telah

memberikan harapan-harapan baru. Di Aceh, semboyan - semboyan seperti

"Merdeka" 100%", "Sekali Merdeka Tetap Merdeka", Enyahlah Penjajah", "Hidup

Merdeka atau Syahid", dan beberapa yang ditulis dalam bahasa Inggris yang

mungkin ditujukan kepada dunia luar, seperti "Freedom or Death", "Once Free

Forever Free", banyak menghiasi dinding - dinding tembok toko, balai – balai

pemuda, gerbong - gerbong kereta api, dan pada tempat - tempat lainnya. Siapapun

yang tidak menjawab dengan Merdeka atau “tetap”, dicap sebagai antek-antek

NICA.

Wujud kecintaan rakyat daerah Aceh terhadap kemerdekaan juga terlihat

dalam sambutan yang mereka berikan ketika Presiden Soekarno berkunjung ke

Aceh pada Juni 1948. Selain itu, pemerintah Aceh pun lebih mengutamakan

kepentingan dan keselamatan serta kelangsungan NRI. Hal tersebut terlihat

misalnya dalam peristiwa Gerakan Said Ali CS pada Agustus 1948. Gerakan ini

bertujuan untuk menuntut hak personalia pemerintahan di Aceh, dengan

memutasikan beberapa pejabat yang memegang posisi penting yang mereka anggap

telah melakukan penyelewengan. Dengan adanya gerakan ini, pemerintah

mengeluarkan dua maklumat pada 20 Agustus 1948 oleh Gubernur Sumut dan

maklumat 4 November 1948 oleh Gubernur Militer Aceh. Pemerintah menganggap

gerakan ini menyimpang dari undang-undang dan dapat menimbulkan kekacauan

yang merugikan keselamatan Negara dan rakyat pada uumnya.

Hubugan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah Aceh

menandakan adanya suatu hubungan dan jalinan kerjasama yang baik. Hubungan

ini ikut memengaruhi keberhasilan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Pada tanggal 29 September 1945, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai

Residen pertama Republik Indonesia untuk daerah Aceh. Hal ini berarti bahwa

mulai sejak itu sebagai satu-satunya pemerintahan yang ada di daerah Aceh adalah

pemerintah Republik Indonesia. Masa antara tahun l945 - 1950 adalah masa penuh

transisi. Berbagai kegiatan telah ditempuh oleh bangsa Indonesia umumnya dan

rakyat Aceh khususnya, dalam menegakkan, mempertahankan, mengamankan, dan

mempersatukan Negara Republik Indonesia.

Ide persatuan tercermin dalam sebuah pidato Gubernur Sumatera Utara, Mr.

S.M. Amin dalam siding pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara

pada 13 Desember 1948. Ia menegaskan bahwa adanya pengotak-ngotakan

pemerintahan lokal seperti kesatuan keresidenan yang berdasarkan kelompok etnis

atau lainnya, tidak seharusnya digunakan lagi. Oleh karena itu, pembentukan suatu

Provinsi ini didasarkan atas kesatuan ekonomi, politik, ataupun lainnya.

Ketika RIS terbentuk, daerah Aceh diputuskan berada di bawah Provinsi

Sumatera Utara ini menimbulkan reaksi protes dari masyarakat Aceh. Mereka

mengeluarkan mosi yang berisi alasan mengapa rakyat Aceh keberatan dan ingin

mempertahankan bentuk Aceh sebagai provinsi mandiri. Alasan tersebut di

antaranya adalah Aceh tidak bermaksud memisahkan diri, Aceh ingin

mempersiapkan dirinya dahulu supaya lebih siap mengurus dirinya sendiri di bawah

pengawasan Pemerintah Pusat dan tetap setia kepada RI.

Akan tetapi, muncul isu yang menyatakan bahwa jika tuntutan Aceh tidak

dipenuhi, maka mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Namun

hal tersebut segera dibantah oleh tokoh masyarakat Aceh. Ia juga mengatakan

bahwa sekalipun tuntutan ekonomi Aceh ditolak, rakyat Aceh akan tetap berdiri di

belakang Pemerintah Pusat jika masih diperlukan.


c) Kegiatan Masyarakat dalam Berbagai Bidang Kehidupan

Sebagai negara yang baru lahir, Indonesia mengalami fase transisi dan krisis

dalam berbagai aspek. Daerah Aceh sendiri tidak luput dari masa ini. Aceh yang

berada cukup jauh dari pusat pemerintahan mengalami krisis juga. Misalnya

kehidupan yang serba kekurangan. Mereka pun berharap akan ada perbaikan, suatu

pemberian catu dan tunjangan. Akan tetapi, usaha yang dilakukan pemerintah pada

Desember 1949 tersebut tidak cukup, sementara keperluan hidup semakin

meningkat.

Pada masa awal revolusi, alat pembayaran di Aceh adalah uang RI. Akan

tetapi karena sulitnya komunikasi antara pemda dan pusat di Jawa, akhirnya Sumut

terpaksa mengeluarkan uangnya sendiri. Keresidenan Aceh juga mengeluarkan

uang sendiri yang dikenal dengan nama URIDA (Uang Republik Indonesia Daerah

Aceh). Setelah Aceh bergabung dengan Provinsi Sumut, dikeluarkan lagi uang

URIPSU. Selain itu, terdapat juga alat pembayaran berupa bon contan atau cek yang

dikeluarkan markas-markas pertahanan setempat di Aceh.

Meskipun situasi pada masa Revolusi Kemerdekaan diliputi suasana ketidak

pastian, tetapi berbagai pula kehidupan rakyat dalam berbagai bentuk kegiatan

untuk memenuhi kebutuhan hidup nya tetap berjalan. Kegiatan - kegiatan dalam

bidang pertanian, perdagangan, pertambangan, pertukangan, perikanan dan

sebagainya berjalan sebagai mana lazimnya. Malah beberapa sektor seperti

perdagangan , perkebunan dan pertambangan merupakan sumber pendapatan utama

pemerintah daerah dan ikut menunjang perbelanjaan buat kepentingan kelancaran

roda pemerintahan dan revolusi pada waktu itu.

Sektor pertambangan juga sebagai salah satu sektor penting, yang juga

merupakan pendapat bagi daerah Aceh pada awal revolusi kemerdekaan. Misalnya
tambang minyak Pangkalan Berandan merupakan sumber keuangan utama

pemerintah daerah Aceh pada masa itu.

Lapangan pendidikan pun tampak sesudah pecahnya revolusi sosial pada

akhir tahun 1946. Sesudah peristiwa itu pintu sekolah umum juga mulai terbuka

lebar bagi semua lapisan masyarakat di Aceh. Tetapi karena pada masa itu

merupakan masa revolusi, masa yang penuh dengan berbagai pergolakan, dimana

perhatian pemerintah lebih diarahkan kepada hal-hal yang berhubungan dengan

revolusi, maka sekolah-sekolah yang ada sebagai warisan dari masa kolonial,

banyak yang terbengkalai dan ditutup. Hal ini berkaitan juga karena banyak guru

dan murid-muridnya yang meninggalkan bangku sekolah masuk ke dalam barisan

- barisan kepemudaan dan kelaskaran.

Meskipun demikian, ada juga usaha-usaha dari pemerintah untuk mengatasi

masalah pendidikan pada masa itu. Misalnya dengan mendirikan beberapa

pendidikan guru, seperti KPKPKB (Kursus Pengajar Kursus Pengantar Kewajiban

Belajar) dan Kursus PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Akan tetapi pendidikan

agama lebih menonjol di Aceh pada masa revolusi.

Kegiatan-kegiatan dalam rangka untuk menggalakkan peningkatan

kecerdasan rakyat pun tidak dilupakan oleh pemerintah. Dalam perkembangannya,

berkat perjuangan yang tidak kenal lelah dari tokoh-tokoh bangsa dan rakyat

Indonesia, maka pada 17 Agustus 1950, terbentuklah susunan Negara yang lebih

memuaskan perasaan bangsa Indonesia, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

C. Kesimpulan

Sejarah Revolusi Kemerdekaan Indonesia memiliki corak perjuangan yang berbeda-

beda di setiap daerah. Di daerah Aceh sendiri, para pejuang tak hanya berasal dari masyarakat
sipil, tetapi juga para ulama dan uleebalang yang merupakan golongan elit masyarakat saat itu.

Kontribusi pemikiran-pemikiran serta pengorbanan mereka membuat Aceh tidak dapat

dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Oleh karena itu, sistem pemerintahan di Daerah Aceh

umumnya telah berjalan cukup baik.

Pada masa revolusi, sistem pemerintaha di Daerah Aceh cenderung berubah-ubah. Hal

ini disebabkan karena kondisi RI saat itu. Bentuk negara yang berubah-ubah juga memberikan

dampak demikian.

Meskipun Belanda membentuk RIS dengan negara-negara federalnya, masyarakat

Daerah Aceh bersama semangat keagamaan dan republik, tetap bertahan dengan RI dan tidak

tergiur akan tawaran van Mook untuk menjadi negara federal. Meskipun pada masa itu,

tuntutan-tuntutan Daerah Aceh, seperti dalam aspek ekonomi, tidak dikabulkan oleh

pemerintah pusat, masyarakat tetap berada di belakang negara dan siap membantu apabila

diperlukan.

Kecintaan masyarakat daerah Aceh juga tercermin saat Indonesia membutuhkan modal

untuk membeli peralatan perang, seperti kapal dan modal untuk mengembangkan sector-sektor

ekonomi RI. Daerah Aceh yang tergolong memiliki sumber daya alam melimpah,

memanfaatkan hal tersebut untuk membantu kas RI. Dengan demikian, peran masyarakat

daerah Aceh sangat berharga bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai