NPM : 180310200022
A. Identitas Buku
1. BAB I Pendahuluan
keresidenan Provinsi Sumatera yang dibentuk sejak 3 Oktober 1945 dan sebagai
kota kedudukan residennya adalah Kutaraja atau yang sekarang Banda Aceh. Untuk
perubahan beberapa kali. Pada awal tahun 1947, Keresidenan Aceh berada di bahwa
daerah administratif Sumatera Utara. Kemudian pada Agustus 1947, dengan adanya
dan Tanah Karo ditetapkan menjadi daerah Militer, yang diperintah oleh Gubernur
dipertahankan.
ibukota Keresidenan Aceh dan Daerah Militer, Langkat dan Tanah Karo juga
menjadi ibukota Provinsi Sumatera Utara, sehingga Daerah Aceh umumnya dan
militer Provinsi Sumatera Utara. Akan tetapi, setelah terjadi Agresi Militer II,
sipil dan militer dialihkan kepada satu tangan, yaitu Gubernur Militer, sedangkan
demikian, jabatan pemerintahan sipil saat itu tidak berfungsi lagi. Bekas gubernur
diangkat menjadi komisaris Pemerintah Pusat yang memiliki hak untuk mengawasi
daerah-daerah otonomi.
Setelah PDRI kembali ke Yogyakarta dan diubarkan, pada Agustus 1949,
daerah otonomi. Khusus bagi daerah Aceh yang semula berada di bawa Provinsi
daerah Kabupaten Langkat. Akan tetapi, provinsi Aceh ini kembail menjadi
Pengganti Undang-Undang No. 5 tahun 1950 yang mulai berlaku sejak 15 Agustus
1950.
Pada masa sekarang, Aceh lebih dikenal dengan nama Provinsi Daerah
undang No. 24 tahun 1956 dan sebutan “daerah istimewa” sejak 26 Mei 1959,
Aceh terletak di ujung Barat Laut Pulau Sumatera. Wilayahnya terdiri dari 8
kabupaten dan 2 kotamadya. Selama masa Revolusi, wilayah Daerah Aceh kecuali
kebencian rakyat terhadap Belanda semakin memuncak. Hal ini terlihat dalam
beberapa kegiatan rakyat yang bertujuan untuk melawan Belanda, baik dalam
mendapatkan bantuan. Hal tersebut dilakukan oleh para ulama dan uleebalang
pernyataan sumpah setia mereka kepada agama Islam, bangsa, dan Tanah Air,
dengan pihak Jepang. PUSA atau Persatuan Ulama Seluruh Aceh juga aktif
(saat itu masih Malay). Tuntutan pada Belanda disampaikan oleh Teuku Nyak
Arief dengan Residen Aceh J. Pauw dengan para Panglima Sagi dan uleebalang
di Kutaraja.
Perang Asia Timur Raya membawa harapan dan semangat bagi rakyat
Aceh supaya dapat mengusir Belanda. Perlawanan fisik pun semakin berlanjut.
Pada 19-29 Januari 1942, terjadi sabotase kawat-kawat telepon dan rel kereta
api yang dilakukan rakyat di Seulimeum dan Indrapuri (wilayah Aceh Besar).
Mayor Jenderal R.T. Overakker dan Komando Teritorial Aceh oleh Kolonel
yaitu Krueng Raya (Aceh Besar), Sabang (Pulau Weh), dan Peureulak (Aceh
Timur). Pendaratan Jepang pun terbilang bebas dari hambatan dan disambut
dengan baik oleh rakyat Aceh. Hal ini disebabkan oleh hubungan yang telah
tumbuh. Hal ini berakibat pada organisasi seperti Taman Siswa, PUSA,
Simpatisan Jepang terutama dari PUSA yang menaruh harapan besar terhadap
Jepang sadar akan pentingnya pengaruh ulama di Aceh. Oleh karena itu,
dibentuk Lembaga Majelis Agama Islam Untuk Kemakmuran Asia Timur Raya
penerangan pada umat Islam mengenai pendudukan Jepang dan menjadi wadah
Juni 1942. Koran yang terbit dua kali semiggu (rabu dan sabtu) ini merupakan
Penduduk Aceh Untuk Membina Asia) dan Badan Perlindungan Tanah Air.
berpengaruh. Melalui Lembaga ini, Jepang dapat mengumpulkan dana dan daya
Keisatsutai (polisi khusus) yang dibentuk pada Februrari 1943 dengan tugas
yang dibentuk pada Mei 1943 yang pada awalnya dibentuk untuk mengerjakan
kelamaan mereka diberi latihan militer serta diberi pakaian seragam disertai
sistem kepangkatan. Yang terakhir, Gyu gun (tentara sukarela) yang dibentuk
November 1943 yang diharapkan menjadi barisan kedua setelah tentara regular
c) Kehidupan Sosial-Ekonomi
(Kepala Urusan Ekonomi dan Lalu Lintas Daerah Aceh). Lembaga ini memiliki
pertahanan militer.
beragama juga sangat dipengaruhi kondisi Perang Asia Timur Raya. Dalam hal
Kokumingko (sekolah negara) yang merupakan tingkat dasar, dan dua sekolah
menengah yang terdiri dari dua jenis, yaitu Shu Takko (sekolah lanjutan lima
tahun) dan Sihang Gakko (sekolah guru). Materi pendidikannya pun disesuaikan
dengan kepentingan Jepang. Behasa Belanda dan Inggris dihapuskan dan diubah
menjadi bahasa Melayu dan Jepang. Lembaga pendidikan keagamaan juga tak
luput dari perhatian Jepang. Teungku Ismail Yakub ditunjuk sebagai inspektur
laweut, dan lainnya sudah kurang dipertunjukkan. Hal ini berkaitan denga
menimbulkan perlawanan dari rakyat pula dan telah menimbulkan rasa frustasi
terjadi pada perang Cot Plieng Bayu, Perang Pandrah Jeunieb, dan perlawanan
Berita kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya telah didengar oleh
rakyat Aceh. Kemudian pada Juli 1945, diadakan pertemuan antara pembesar
Jepang dengan Tuanku Hasyim. Jepang menegaskan bahwa mereka pasti akan
meminta untuk mengkoordinir para pemuda sehingga lahir angakatan pemuda yang
kuat di Aceh. Akhirnya rapat pemuda dilangsungkan pada 14 Agustus 1945 di Atjeh
sekutu telah mengejutkan mereka. Hasil dari rapat tersebut adalah dibentuknya satu
Suasana ibukota Aceh Syu menjadi sangat tidak menentu. Para pembesar
Aceh tidak tahu pasti mengenai apa yang sedang terjadi karena tidak ada berita atau
informasi yang dapat dijadikan pegangan. Isu-isu mengenai kekalahan Jepang
semakin terbukti. Karena situasi daerah semakin tidak menentu, maka pada tanggal
Aceh sejak akhir Agustus 1945, namun pemerintahan RI yang definitif baru
terbentuk dan digerakkan di sana sejak tanggal 3 Oktober 1945, yaitu setelah
Negara Repoeblik Indonesia". Akan tetapi, hal ini tidak berarti pada waktu
pemerintah daerah keresidenan Aceh yang telah disusun sebelumnya dan telah
berkuasa atas nama sekutu pada waktu itu mulai menggerakkan roda pemerintahan
disana.
telah mulai terbentuk dan bekerja sebelum keluarnya pengumuman dan penetapan
Rakyat Daerah Aceh yang kemudian diangkat menjadi Residen, pada 4 Oktober
Aceh. Kemudian, Tuanku Mahmud, selaku Ketua Badan Eksekutif KNI daerah
Aceh bersama dengan Teuku Nyak Arief harus menghadapi berbagai masalah yang
pada pecahnya perang saudara atau lebih dikenal sebagai revolusi sosial
Meskipun Teuku Nyak Arief hanya menjabat selama 4 bulan, namun ketiga
organisasi pertahanan dan keamanan rakyat di daerah Aceh. Pada awalnya, inisiatif
ini datang dari beberapa bekas perwira Gyugun di Kutaraja, antara lain Syamaun
Gharu, Nyak Neh Rika, Usman Nyak Gade, Teuku Hamid Anwar, Said Usman,
Gyugun, Heiho, Tokubetsu Hikojo Kinmutai, dan lainnya. Disarankan juga untuk
mengikutsertakan eks KNIL, sehingga mereka dapat menyumbangkan pengalaman
Indonesia (API) diseluruh daerah Aceh. Maka pada permulaan bulan Oktober 1945
tersusunlah secara definitif struktur dan susunan pengurus API di Aceh. Setelah staf
pengurus API daerah Aceh berhasil di susun, pada tanggal 6 Oktober 1945, jam
13.00 waktu setempat, dikeluarkan seruan yang ditujukan kepada seluruh lapisan
masyarakat agar membantu dan menyokong API yang lahir itu. Seruan yang telah
Indonesia) dan akhirnya menjadi TNI (Tentera Nasional Indonesia) sesuai dengan
Sementara itu pada September 1945, eks anggota KNIL juga berinisiatif
persenjataan lengkap rampasan Jepang. Di sisi lain, pemuda yang tidak tergabung
dalam API juga berusaha mendirikan Badan Perjuangan Rakyat dengan tujuan yang
Kemudian pada 12 Oktober 1942, API tekah dilantik secara resmi oleh Residen
Teuku Nyak Arief. Pada 1 Desember 1945, API berubah nama menjadi TKR
(Tentara Keselamatan Rakyat). Kemudian sejak tanggal 24 Januari 1946, sejalan
nama TKR menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), TKR Aceh menjadi TRI
Devisi V Sumatera.
pada 17 Oktober 1945, berganti nama menjadi Pemuda Republik Indonesia (PRI).
Perjuangan (API dan IPI/BPI) di daerah Aceh, maka mulai direncanakan perebutan
senjata dari Jepang secara lebih intensif. Sebelumnya kegiatan pengumpulan senjata
juga telah dilakukan, yaitu senjata-senjata yang berasal dari kesatuan Gyugun,
direbut secara diplomasi atau disembunyikan pada saat organisasi militer itu
dibubarkan oleh Jepang. Ada dua faktor yang juga turut memberi dorongan dan
semangat kepada seluruh rakyat Aceh dalam merebut senjata dari Jepang, yaitu :
Makloemat Oelama Seloeroeh Atjeh dan seruan kepada kaum Muslimin, berasal
dari seorang Ulama Besar di Aceh, Teungku Haji Hasan Krueng Kalee, mengenai
selama revolusi adalah Pulau Weh (Sabang). Dengan didudukinya pulau tersebut,
berarti tentara NICA telah memiliki basis pertahanan yang kuat di ujung Barat Laut
Indonesia, terutama dalam kaitan dengan usaha mereka untuk mendarat ke Aceh
Sementara rakyat Aceh selalu berhasil menembus blokade yang dilakukan Belanda.
yang memiliki corak politik tertentu yang tercermin dalam cara mereka
menganggapi proklamasi.
golongan tersendiri yang berkaitan dengan usia silsilah dengan Sultan Aceh dan
otoriotas politik secara feudal. Kelompok kedua adalah ulama yang secara
dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu elit ulama modernis dan elit ulama
ortodoks. Elit modernis memiliki organisasi yang teratur, yaitu PUSA. Sedangkan
adalah elit pemuda yang dapat digolongkan menjadi dua pula, yaitu pemuda yang
mendapat pendidikan militer Jepang dan elit pemuda yang mendapat pendidikan
Kelompok keempat adalah elit minoritas yang terdiri dari para cendekiawan atau
Indonesia memiliki tafsir yang berbeda antar kelompok. Kelompok elit ulama,
terutama modernis, dan pemuda sangat berusaha untuk memilliki pengaruh yang
dominan. Mereka melihat jalur militer sebagai jalur paling ampuh untuk
atau kelaskaran. Di pihak lain, kelompok elit bangsawan tetap meneruskan tradisi
pemerintah lokal yang pada awalnya tidak membentuk pasukan militer. Mereka
cukup puas dengan hanya membina API. Akan tetapi, adanya laskar-laskar yang
Sikap curiga ini menimbulkan konflik antara satuan BPI dengan uleebalang
Cumbok di Lameulo. Kemudian, insiden Sigli dan Lameulo ini menimbulkan reaksi
luas dalam kalangan elit ulama dan kelaskaran yang mereka tafsirkan sebagai
merasa dirinya terancam oleh reaksi dari pihak elit ulama dan kelaskaran.
para elit uleebalang. Akan tetapi, usahanya tersebut tidak berjalan mulus karena
mereka membentuk laskar lain yaitu Barisan Penjaga Keamanan (BPK) dan
Perhimpunan Indonesia.
Sifat dan tujuan dari pembentukan laskar BPK ini menimbulkan suasana
tidak nyaman dengan laskar lain terutama BPI/ PRI. Suasana tidak nyaman sangat
terasa saat berusaha meraih pengaruh di kalangan masyarakat luas dan tak jarang
menimbulkan konflik.
Perlakuan yang diterima satuan laskar PRI di Lameulo ini segera dilaporkan
wakil ke Lameulo untuk mendamaikan PRI dan BPK. Akan tetapi, suasana sesaa
Dalam suasana tegang itu berkembang isu tentang pembentukan Comité van
Isu tersebut digunakan oleh pihak kelaskaran dan kelompok revolusioner untuk
untuk memperoleh senjata dari serdadu Jepang yang bakal meninggalkan daerah
Aceh. Rencana pihak BPK itu cepat diketahui oleh PRI. Oleh karena itu satuan
mereka juga memasuki kota Sigli untuk menghalang-halangi agar senjata jangan
pada Jepang untuk menyerahkan senjatanya ke TKR. Akan tetapi, pada akhirnya
bentrokan senjata di antara kedua laskar tersebut para permulaan Desember 1945.
Sigli dapat dihentikan. Jalan penyelesaian yang ditempuh yaitu pengosongan kota
Sigli oleh kedua lasykar, penyerahan- keamanan kota Sigli kepada TKR, dan
Luengputu dan Meutareum yang menjadi pusat para pemuda, terutama PRI.
sambutan hangat dari rakyat. Oleh karena itu, Markas Uleebalang meningkatkan
lagi serangannya.
mengancam, terutama dalam kaitan dengan kekuatan perjuangan yang pada waktu
itu sangat dibutuhkan untuk menghadapi kemungkinan tentara NICA, yang telah
tanggal 6 Januari 1946 Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat Daerah
bersama dengan Markas Umum Perjuangan dan Pertahanan Rakyat Daerah Aceh
Lameulo dan di tempat-tempat lain dalam wilayah Pidie adalah "musuh Negara
agar menghindari diri dari mereka, kalau tidak mereka juga akan dikenakan
Negara Republik Indonesia itu, mulai hari Kamis tanggal 10 Januari 1946, jam 12
siang, supaya menghentikan perlawanan dan menyerah. Jikalau tidak, mereka akan
dan kedua, hukuman yang dijatuhkan pada mereka tampak terlalu berat. Dengan
suasana revolusi pada waktu itu. Oleh karena itu mereka bertekad lebih baik
TKR dengan didukung oleh barisan yang berada di bawah komando MBRU
Beureunun dll, dalam waktu yang relatif singkat berhasil dibersihkan dari pengikut
didatangkan dari Kutaraja, akhirnya pada tanggal 13 Januari 1946, TKR berhasil
dengan maksud untuk bergerilya. Namun pada 16 Januari 1946, mereka dapat
ditangkap semua.
Kekalahan pihak cumbok ini disebabkan berbagai faktor, misalnya gerakan
mereka kurang mendapat bantuan dari para elit uleebalang daerah lain, karena
uleebalang saat itu terpecah-pecah. Oleh karena itu, gerakan combok terbatas hanya
paa beberapa daerah keuleebalangan. Yang kedua adalah kelihaian dan kepintaran
Aceh, terutama dalam surat kabar Semangat Merdeka. Kemudian faktor terakhir
adalah keberhasilan mereka merangkul pemerintah daerah baik sipil atau pun
militer.
merupakan ketua pemuda PUSA. Ia berpendapat bahwa masih ada pejabat lokal
tersebut, dibentuklah Tentara Perjuangan Rakyat (TPR) pada Januari 1946 di Idie.
Untuk memperkuatnya, TPR menjalin kerjasama dan TRI. Kemudian pada saat
menuju Kutaraja, TPR berhadapan dengan laskar Teuku Inbrahim Panglima Agung
diganti.
nya itu, rupanya telah menimbulkan kegelisahan dalam masyarakat Aceh, termasuk
dalam kalangan militer sendiri. Hingga pada akhirnya ia berhasil menjadi salah
pernah melakukan penculikan terhadapnya, namun usahanya ini gagal dan Teungku
Amir Husin Al Mujahid berhasil kabur bersama para pengikutnya. Setelah peristiwa
tidak dapat diduduki oleh Belanda. Hal ini disebabkan oleh pengalaman mereka
dalam perang Aceh atau saat pendudukan Jepang di Aceh serta perhatian
Divisi Teuku Chiek Ditiro, Divisi Teungku Chiek Paya Bakong (TPR), dan
dilakukan oleh pihak militer dan kelaskaran saja, tetapi juga dilakukan bersama
kemerdekaannya.
Sebelum agresi militer kedua, telah tersusun TNI tanpa ada ekses-
desa. Oleh karena itu dalam menghadapi agresi militer kedua, Aceh sudah lebih
di Aceh, maka Belanda mencoba menempuh dengan cara lain. Yaitu mereka
Pada awal Januari 1949, Radio Medan menyiarkan bahwa seluruh Aceh
telah dikuasai oleh Tentera Belanda. Kota-kota besar seperti Kutaradja, Sigli,
Langsa dan lain-lain telah direbut oleh tentara Belanda. Berita ini disiarkan pada
siang hari dan ditangkap oleh Kepala Perwartaan Jawatan Penerangan TNI
Divisi X Sumatra, Letnan H. Muchtar Nasution. Akan tetapi berita ini kemudian
dibantah oleh Radio Rimba Raya (Radio Pemerintah RI di Aceh pada masa itu).
Tingkat Nasional
Renville yang membuat RI harus mengakui garis van Mook dan mengenai
Militer Aceh untuk membentuk negara Federal Aceh. Akan tetapi, ajakan
tersebut ditolak oleh Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo dan
Yogyakarta.
d) Usaha Masyarakat Aceh dalam Beberapa Bidang Kegiatan
lokal di Aceh, yang pada periode itu sedang mengalami transisi dalam
sebagainya.
Teuku Daud Syah, segala sesuatu baik yang mengenai pemerintahan dalam arti
administratif, yaitu Sumatra Utara, Sumatra Tengah dan Sumatra Selatan. Pada
Gubernur Muda.
respon yang beragam, ada yang pro dan ada yang kontra. Selain itu,
22 Desember 1948.
Daerah Aceh yang saat itu berada di bawah Provinsi Sumatera Utara,
situasi perang yang dialami saat itu. Daerah Aceh bersama Kabupaten Langkat
dan Karo disatukan kembali menjadi satu daerah militer dengan Gubernur
titular.
berbagai kebingungan baik bagi para aparat pemerintahan maupun bagi rakyat.
resmi dibubarkan.
Daerah Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara. Hal ini
menimbulkan berbagai protes dari masyarakat Aceh, baik dari para elit hingga
pendiriannya.
5. BAB V Situasi Daerah Aceh pada Akhir Revolusi Kemerdekaan
pelajar di Aceh lebih menonjol daripada golongan lain. Mereka berpartisipasi dalam
Akibat dari adanya tekanan emosional dalam diri para pemuda dan pelajar
1945. Kemudian, berbagai organisasi pemuda dan kelaskaran lainnya pun mulai
terlihat dan ikut berkembang. Pada akhirnya, berdasarkan ketetapan presiden RI,
dengan laskar-laskar rakyat, menjadi tentara resmi dengan nama TNI (Tentara
Nasional Indonesia).
terhadap Jepang pada 1942, daerah Aceh mendapat julukan kehormatan sebagai
Ideologi revolusi yang mencakup ide persamaan nasib dan kehidupan telah
Merdeka atau Syahid", dan beberapa yang ditulis dalam bahasa Inggris yang
mungkin ditujukan kepada dunia luar, seperti "Freedom or Death", "Once Free
Forever Free", banyak menghiasi dinding - dinding tembok toko, balai – balai
pemuda, gerbong - gerbong kereta api, dan pada tempat - tempat lainnya. Siapapun
yang tidak menjawab dengan Merdeka atau “tetap”, dicap sebagai antek-antek
NICA.
Aceh pada Juni 1948. Selain itu, pemerintah Aceh pun lebih mengutamakan
misalnya dalam peristiwa Gerakan Said Ali CS pada Agustus 1948. Gerakan ini
memutasikan beberapa pejabat yang memegang posisi penting yang mereka anggap
mengeluarkan dua maklumat pada 20 Agustus 1948 oleh Gubernur Sumut dan
menandakan adanya suatu hubungan dan jalinan kerjasama yang baik. Hubungan
Residen pertama Republik Indonesia untuk daerah Aceh. Hal ini berarti bahwa
mulai sejak itu sebagai satu-satunya pemerintahan yang ada di daerah Aceh adalah
pemerintah Republik Indonesia. Masa antara tahun l945 - 1950 adalah masa penuh
transisi. Berbagai kegiatan telah ditempuh oleh bangsa Indonesia umumnya dan
Ide persatuan tercermin dalam sebuah pidato Gubernur Sumatera Utara, Mr.
S.M. Amin dalam siding pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara
atau lainnya, tidak seharusnya digunakan lagi. Oleh karena itu, pembentukan suatu
Sumatera Utara ini menimbulkan reaksi protes dari masyarakat Aceh. Mereka
mengeluarkan mosi yang berisi alasan mengapa rakyat Aceh keberatan dan ingin
mempersiapkan dirinya dahulu supaya lebih siap mengurus dirinya sendiri di bawah
Akan tetapi, muncul isu yang menyatakan bahwa jika tuntutan Aceh tidak
dipenuhi, maka mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Namun
hal tersebut segera dibantah oleh tokoh masyarakat Aceh. Ia juga mengatakan
bahwa sekalipun tuntutan ekonomi Aceh ditolak, rakyat Aceh akan tetap berdiri di
Sebagai negara yang baru lahir, Indonesia mengalami fase transisi dan krisis
dalam berbagai aspek. Daerah Aceh sendiri tidak luput dari masa ini. Aceh yang
berada cukup jauh dari pusat pemerintahan mengalami krisis juga. Misalnya
kehidupan yang serba kekurangan. Mereka pun berharap akan ada perbaikan, suatu
pemberian catu dan tunjangan. Akan tetapi, usaha yang dilakukan pemerintah pada
meningkat.
Pada masa awal revolusi, alat pembayaran di Aceh adalah uang RI. Akan
tetapi karena sulitnya komunikasi antara pemda dan pusat di Jawa, akhirnya Sumut
uang sendiri yang dikenal dengan nama URIDA (Uang Republik Indonesia Daerah
Aceh). Setelah Aceh bergabung dengan Provinsi Sumut, dikeluarkan lagi uang
URIPSU. Selain itu, terdapat juga alat pembayaran berupa bon contan atau cek yang
pastian, tetapi berbagai pula kehidupan rakyat dalam berbagai bentuk kegiatan
untuk memenuhi kebutuhan hidup nya tetap berjalan. Kegiatan - kegiatan dalam
Sektor pertambangan juga sebagai salah satu sektor penting, yang juga
merupakan pendapat bagi daerah Aceh pada awal revolusi kemerdekaan. Misalnya
tambang minyak Pangkalan Berandan merupakan sumber keuangan utama
akhir tahun 1946. Sesudah peristiwa itu pintu sekolah umum juga mulai terbuka
lebar bagi semua lapisan masyarakat di Aceh. Tetapi karena pada masa itu
merupakan masa revolusi, masa yang penuh dengan berbagai pergolakan, dimana
revolusi, maka sekolah-sekolah yang ada sebagai warisan dari masa kolonial,
banyak yang terbengkalai dan ditutup. Hal ini berkaitan juga karena banyak guru
Belajar) dan Kursus PBH (Pemberantasan Buta Huruf). Akan tetapi pendidikan
berkat perjuangan yang tidak kenal lelah dari tokoh-tokoh bangsa dan rakyat
Indonesia, maka pada 17 Agustus 1950, terbentuklah susunan Negara yang lebih
C. Kesimpulan
beda di setiap daerah. Di daerah Aceh sendiri, para pejuang tak hanya berasal dari masyarakat
sipil, tetapi juga para ulama dan uleebalang yang merupakan golongan elit masyarakat saat itu.
dikuasai sepenuhnya oleh Belanda. Oleh karena itu, sistem pemerintahan di Daerah Aceh
Pada masa revolusi, sistem pemerintaha di Daerah Aceh cenderung berubah-ubah. Hal
ini disebabkan karena kondisi RI saat itu. Bentuk negara yang berubah-ubah juga memberikan
dampak demikian.
Daerah Aceh bersama semangat keagamaan dan republik, tetap bertahan dengan RI dan tidak
tergiur akan tawaran van Mook untuk menjadi negara federal. Meskipun pada masa itu,
tuntutan-tuntutan Daerah Aceh, seperti dalam aspek ekonomi, tidak dikabulkan oleh
pemerintah pusat, masyarakat tetap berada di belakang negara dan siap membantu apabila
diperlukan.
Kecintaan masyarakat daerah Aceh juga tercermin saat Indonesia membutuhkan modal
untuk membeli peralatan perang, seperti kapal dan modal untuk mengembangkan sector-sektor
ekonomi RI. Daerah Aceh yang tergolong memiliki sumber daya alam melimpah,
memanfaatkan hal tersebut untuk membantu kas RI. Dengan demikian, peran masyarakat