Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KEBUDAYAAN

PROVINSI ACEH

Disusun Oleh:
Kelompok Dua (2)
● FERONIKA ALFINE HARTANTI NDRURU
● FIRDA VELA ULWAFA
● FLORA MARIANA SIREGAR
● GABRYELLA SITUMEANG
● HAFSHAH MARDHIAH SITUMORANG
● ISMI ADELVINA
● JIHAN FADHILLAH AL-BANI SIREGAR
● KARIN ATANIA BR.SITEPU
● LADE IRMA YANI SIDABUTAR
● LESTARI
● M. ARIF RAHMAN PASARIBU
● MAWAR MALAU
● MAYKEL STEVEN SIHOMBING
● MEISYTA CAROLINA SIBURIAN
● MIFTHA HULZANNAH
● MITA OLIVIA AMBARITA

POLTEKKES KEMENKES MEDAN


TA. 2023/2024.
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah di hadapan Allah SWT Yang Maha Penyayang, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya, Kami dapat menyusun dan menyajikan Makalah Tentang Kebudayaan
provinsi aceh yang memuat provinsi aceh sebagai salah satu tugas kuliah kami. Tak lupa
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan semangat dan
motivasi. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Makalah kebudayaan provinsi aceh ini
masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan tugas ini dan dapat
menjadi acuan dalam penyusunan makalah atau tugas selanjutnya. Kami juga mohon maaf
jika dalam penulisan Makalah kebudayaan provinsi aceh ini terdapat kesalahan ketik dan
kesalahan yang membingungkan pembaca.
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Aceh adalah salah satu provinsi yang terdapat di Indonesia. Aceh sebelumnya pernah
disebut dengan sebutan Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1959-2001, dan Nanggroe Aceh
Darussalam pada tahun 2001-2009. Aceh adalah provinsi paling barat di Indonesia dengan
Ibu Kota Banda Aceh. Aceh memiliki otonomi yang teratur tersendiri, disebabkan Aceh
berbeda dengan kebanyakan provinsi di Indonesia. Aceh berbatasan dengan Teluk Benggala
di sebelah utara, Samudera Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan
Sumatera Utara di sebelah tenggara dan selatan. Suku bangsa yang mendiami Aceh
merupakan keturunan orang-orang Melayu dan Timur Tengah yang menyebabkan wajah-
wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya. Sebagian besar
masyarakat Aceh bermata pencarian sebagai petani namun tidak sedikit juga yang pedagang.
Aceh memiliki budaya yang unik dan beraneka ragam yang dipengaruhi oleh budaya-budaya
Melayu dan Timur Tengah.

Hal tersebut dikarenakan letak Aceh berada di ujung barat yang merupakan jalur
perdagangan sehingga menyebabkan masuklah kebudayaan lain. Kebudayaan kesenian Aceh
bercorak dengan ajaran Islam yang diiringi dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku. Bentuk kesenian yang terkenal di Aceh antara lain Seudati, Seudati Inong, dan
Seudati Tunang., Kaligrafi Arab, Hikayat Perang Sabil. Aceh terbagi atas 23 kabupaten, salah
satu diantaranya adalah Kabupaten Aceh Tengah. 1 2 Aceh Tengah berdiri tanggal 14 April
1948 berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 1948 dan dikukuhkan kembali sebagai
sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) tahun
1956. Kemudian, pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah kembali dimekarkan menjadi
Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 tahun 2003.
Kabupaten Aceh Tengah beribukota di Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah
beribukota Simpang Tiga Redelong. Oleh sebab itu kebudayaaan yang dimiliki masyarakat
Bener Meriah sama dengan yang dimiliki kabupaten Aceh Tengah.

Aceh Tengah sebagai kawasan naggroe antara, karena dianggap sebagai kawasan
yang terletak diantara langit dan bumi. Penduduk asli kota Takengon adalah suku Gayo.
Sebagian besar masyarakat Kabupaten Aceh Tengah berprofesi sebagai petani. Kabupaten
Aceh Tengah menghasilkan salah satu jenis kopi arabika terbaik, Komoditas penting selain
kopi adalah tebu, serta kakao, kemudian terdapat pula tanaman sayur mayur dan palawija.
Suku Gayo atau "urang gayo" adalah sebuah suku bangsa yang mendiami dataran tinggi
Gayo di Provinsi Aceh bagian. Orang Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah (sekitar 30-45%) dan Gayo Lues (sekitar 50-70%) dan sebagian
wilayah Aceh Tenggara dan 3 Kecamatan di Aceh Timur yaitu Serbejadi, Peunaron, dan
Simpang Jernih.
B.Rumusan Masalah
Beberapa latar beakang di atas, muncul beberapa pertanyaan seputar Provinsi Aceh
dan pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi masalah baru yang menarik untuk jadi pokok
bahasan dalam penelitian ini. Adapun 5 masalah yang timbul dari latar belakang di atas
adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pemerintahan dikota aceh?
2. Apa saja suku yang ada dikota aceh ?
3. Adat istiadat apa yang ada dikota aceh?
4. Apa saja makanan dan minuman khas kota aceh?
5. Apa saja tempat wisata yang menarik di kota Aceh?

C.Tujuan Masalah
Ada pun tujuan kita membahas provinsi aceh yaitu :
1. Kita tau pemerintahan dikota aceh.
2. Suku – suku yang berada dikota aceh.
3. Adat istiadat yang ada dikota aceh.
4. Kita jadi tau makanan dan minuman khas kota aceh.
5. Kita jadi tau tempat wisata yang menarik untuk kita datangi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemerintahan dikota Aceh

Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara


Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi
dan kewenangan masingmasing. Pemerintahan Aceh setingkat dengan pemerintahan provinsi
lainnya di Indonesia dan merupakan kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa
Aceh dan Pemerintahan Provinsi Aceh. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah
Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif.

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan


Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh
sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan memiliki kewenangan
khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki
ketahanan dan daya juang tinggi.

Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang
berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi
salah satu daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
NKRI yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian,
menghendaki adanya implementasi formal penegakan syari’at Islam. Penegakan syari’at
Islam dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di
Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai
dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.

Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan
melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62,
TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum
of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada
tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju
pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan.

UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-undang Pemerintahan Daerah


bagi Aceh secara khusus. Materi UU ini, selain itu materi kekhususan dan keistimewaan
Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11/2006, sebagian besar hampir sama dengan
UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada
UU Pemerintahan Daerah (sepanjang hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan
Aceh). Karena begitu banyak materi mengenai pemerintahan Aceh maka artikel ini hanya
memuat sebagiannya saja. Untuk materi lengkap bisa dilihat di dalam UU 11/2006.

B.Suku Dikota Aceh


Suku Aceh (Aksara Jawoë : ‫ه اورڠ‬H‫( اچي‬atau yang dalam Bahasa Aceh yang ditulis
dengan huruf latin dibaca "Ureuëng Acèh" adalah nama sebuah suku penduduk asli yang
mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh, Indonesia. Suku Aceh
mayoritas beragama Islam. Suku Aceh mempunyai beberapa nama lain yaitu Lam Muri,
Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-tse dan Atse. Bahasa yang dituturkan adalah bahasa Aceh, yang
merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan
bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya
merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh.
Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas
Aceh.

Berdasarkan perkiraan terkini, jumlah suku Aceh mencapai 3.526.000 jiwa, yang
sebagian besar bertempat tinggal di Provinsi Aceh, Indonesia. Sedangkan menurut hasil
olahan data sensus BPS 2010 oleh Aris Ananta dkk., jumlah suku Aceh di Indonesia adalah
sebanyak 3.404.000 jiwa. Selain di Indonesia, terdapat pula minoritas diaspora yang cukup
banyak di Malaysia, Singapura, Arab Saudi, Qatar, Australia, Kanada, Amerika Serikat,
Paraguay, Jerman dan negara-negara Skandinavia.

Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka
tinggal di permukiman yang disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong
membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan
kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai puncaknya pada abad ke-17. Suku
Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh ajaran agama Islam, dan juga sebagai
pejuang.

Legenda rakyat Aceh menyebutkan bahwa penduduk Aceh terawal berasal dari suku-
suku asli; yaitu suku Mante (Mantir) dan suku Lhan (Lanun). Suku Mante merupakan etnis
lokal yang diduga berkerabat rapat dengan suku Batak, suku Gayo, dan Alas sedangkan suku
Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung
Malaya atau Hindia Belakang (Champa, Burma). Suku Mante pada mulanya mendiami
wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. Ada pula dugaan
secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa Funisia di Babilonia atau
Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga, namun hal tersebut belum dapat ditetapkan oleh
para ahli kepastiannya.

Ketika Kerajaan Sriwijaya memasuki masa kemundurannya, diperkirakan sekelompok


suku Melayu mulai berpindah ke tanah Aceh. Di lembah sungai Tamiang yang subur mereka
kemudian menetap, dan selanjutnya dikenal dengan sebutan suku Tamiang. Setelah mereka
ditaklukkan oleh Kerajaan Samudera Pasai (1330), mulailah integrasi mereka ke dalam
masyarakat Aceh, walau secara adat dan dialek tetap terdapat kedekatan dengan budaya
Melayu.

Suku Minang yang bermigrasi ke Aceh banyak yang menetap di sekitar Meulaboh dan
lembah Krueng Seunagan. Umumnya daerah subur ini mereka kelola sebagai persawahan
basah dan kebun lada, serta sebagian lagi juga berdagang. Penduduk campuran Aceh-Minang
ini banyak pula terdapat di wilayah bagian selatan, yaitu di daerah sekitar Susoh, Tapaktuan,
dan Labuhan Haji. Mereka banyak yang sehari-harinya berbicara baik dalam bahasa Aceh
maupun bahasa Aneuk Jamee, yaitu dialek khusus mereka sendiri.

Akibat politik ekspansi dan hubungan diplomatik Kesultanan Aceh Darussalam ke


wilayah sekitarnya, maka suku Aceh juga bercampur dengan suku-suku Alas, Gayo, Karo,
Nias, dan Kluet. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh yang berasal dari berbagai keturunan
itu terutama ialah dalam bahasa Aceh, agama Islam, dan adat-istiadat khas setempat,
sebagaimana yang dirumuskan oleh Sultan Iskandar Muda dalam undang-undang Adat
Makuta Alam.

Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari Hadramaut, Yaman. Di
antara para pendatang tersebut terdapat antara lain marga-marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-
Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier, dan lain-lain, yang semuanya merupakan
marga-marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama penyebar agama Islam
dan sebagai perdagang. Daerah Seunagan misalnya, hingga kini terkenal banyak memiliki
ulama-ulama keturunan sayyid, yang oleh masyarakat setempat dihormati dengan sebutan
Teungku Jet atau Habib. di Seunagan banyak keturunan dari ulama besar Al Qutb Wujud
Habib Abdurrahim bin Sayid Abdul Qadir Al-Qadiri AlJailani yang dikenal dengan Habib
Seunagan. Demikian pula, sebagian Sultan Aceh adalah juga keturunan sayyid. Keturunan
mereka pada masa kini banyak yang sudah kawin campur dengan penduduk asli suku Aceh,
dan menghilangkan nama marganya.

Terdapat pula keturunan bangsa Persia yang umumnya datang untuk menyebarkan
agama dan berdagang, sedangkan bangsa Turki umumnya diundang datang untuk menjadi
ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit, dan serdadu perang kerajaan Aceh. Saat ini
keturunan bangsa Persia dan Turki kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Nama-nama
warisan Persia dan Turki masih tetap digunakan oleh orang Aceh untuk menamai anak-anak
mereka, bahkan sebutan Banda dalam nama kota Banda Aceh juga adalah kata serapan dari
bahasa Persia (Bandar artinya "pelabuhan").

C.Adat istiadat kota Aceh


Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena
bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya. Negara
Indonesia adalah satu Negara yang besar serta terdiri beribu-ribu Pulau serta terdiri dari
bermacam-macam Suku. Diantara sekian banyak Suku-suku yang ada di Negara Indonesia
yang begitu luas, disini Penulis ingin membahas tentang Adat Istiadat satu daerah yang
berada di ujung paling barat pulau sumatera wilayah Indonesia yaitu Nanggroe Aceh
Darussalam. Dan kebetulan juga penulis Sendiri berasal dari suku Aceh.
Aceh adalah sebuah entitas suku dan wilayah, tentunya ini sangat berbeda dengan
suku atau wilayah lainnya di Indonesia. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang pluralistis
dan “terbuka”. Di daerah Nanggroe Darussalam ini terdapat beberapa sub etnis, yaitu Aceh,
Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Diantara sub etnis diatas,
setiap etnis mempunyai adat istiadat yang berbeda, dan ini menjadi sebuah keistimewaan dari
beberapa suku yang ada di indonesia.

Dalam masyarakat Aceh, adat merupakan sesuatu yang tertulis ataupun tak tertulis
yang menjadi pedoman didalam bermasyarakat Aceh. Nah, adat yang dipahami ini
merupakan titah dari para pemimpin dan para pengambil kebijakan guna jalannya sistim
dalam masyarakat. Dalam masyarakat Aceh, adat atau hukum adat TIDAK boleh
bertentangan dengan ajaran agama islam. Sesuatu yang telah diputuskan oleh para pemimipin
dan ahli tersebut haruslah seirama dengan ketentuan syariat.

Dan jika adat ini bertentangan Ajaran Syariat maka hukum adat itu akan dihapuskan.
Inilah bukti bahwa masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi Nilai-nilai keagamaan.
Menurut Mustafa Ahmad, yang dimaksud dengan adat di Aceh adalah aturan hidup. Aturan
yang mengatur kehidupan rakyat, yang diciptakanoleh para cerdik dan pandai Aceh bersama
Poe Meureuhom/Sultan Aceh. Aturan hidup ini mengikat seluruh rakyat Aceh tanpa kecuali.
Dan bagi siapa saja yang melanggarnya, akan mendapat sanksi. Kalau sekarang, aturan hidup
ini dikenal dengan istilah Hukum Adat.

Langsung saja saya bahas, berikut tentang macam-macam Adat Istiadat Masyarakat Aceh :
1. Upacara Perkawinan
Perkawinan adalah sesuatu yang sangat sakral di dalam budaya masyarakat Aceh
sebab hal ini berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan. Perkawinan mempunyai nuansa
tersendiri dan sangat dihormati oleh masyarakat. Upacara perkawinan pada masyarakat Aceh
merupakan serangkaian aktivitas yang terdiri dari beberapa tahap, mulai dari pemilihan jodoh
(suami/istri), pertunangan dan hingga upacara peresmian perkawinan.

Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan,


terlebih dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi
pengantin laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua
belah tangan dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada
malamnya diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan
meuhaba atau kaba (cerita dongeng). Tapi adat ini ada sebahagian daerah di aceh yang tidak
lagi melaksanakannya.

Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini
dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro (Pengantin
Wanita). Qadli didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap
juga sebagai saksi. Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya
kadli membaca do’a (khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh
linto baro (pengantin Pria) dengan fasih pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli
mengangguk minta persetujuan kedua saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto
harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut dengan sempurna. Setelah selesai acara nikah,
linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu
duduk menunggu. Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah
suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot linto. Setelah dara baro
seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang
disebut dengan peng seumemah (uang sembah).

Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek
peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang wanita tua. Kemudian kedua
mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan
besar bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak
keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak
linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro
menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan
melekatkan pulut kuning di telinga temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut
teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang kemudian
disusul oleh orang lain secara bergantian.

Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk
pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak
dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di
rumah dara baro sampai siang.

2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)


Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2
tahun. Dalam jangka waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama
yang sering diadakan upacara cukup besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada
upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang terpandang, baik perangai dan budi
pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-bagus. Waktu turun dari
tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap sisi kain
itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir.
Belahan kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang
keluarga dengan bergegas menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu
perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah seorang keluarga tersebut mencangkul
tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian sejenak bayi itu dijejakkan di
atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu dibawa pulang
kembali ke rumah.

3. Tradisi Makan dan Minum


Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di
dalam tradisi makan dan minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia
adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat
spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk utama masyarakat Aceh dapat
berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah gulai kambing
(Kari Kambing) sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak.
Sedangkan dalam tradisi minum pada masyarakat Aceh adalah kopi. Oleh karena itu,
tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh sesak
orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir
kopi atau pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan
kari kambing, dan sebagainya.

4. Senjata Khas Adat Masyarakat Aceh


Senjata khas Adat masyarakat aceh yang sampai dengan saat ini masih digunakan
oleh masyarakat Aceh adalah Rencong atau Rincong. Rencong atau Rincong adalah senjata
pusaka bagi rakyat Aceh dan merupakan simbol keberanian,keperkasaan,pertahanan diri dan
kepahlawanan aceh dari abad ke abad.
Rencong telah dikenal pada awal Islam Kesultanan di abad ke-13. Di jaman Kerajaan
Aceh Darussalam rencong ini tidak pernah lepas dari hampir setiap pinggang ( selalu
diselipkan dipinggang depan ) rakyat Aceh yang rata-rata punya keberanian luar biasa baik
pria maupun wanita karena rencong ini bagi orang Aceh ibarat tentara dengan bedilnya yang
merupakan simbol keberanian, kebesaran, ketinggian martabat dan keperkasaan orang Aceh
sehingga orang-orang portugis atau portugal harus berpikir panjang untuk mendekati orang
Aceh.

5. Rumah Adat Masyarakata Aceh


Rumah Aceh atau Rumoh Aceh dalam bahasa Aceh adalah rumah adat Aceh yang
berbentuk rumah panggung dengan denah rumah berupa persegi panjang dan diposisikan dari
timur ke barat agar tidak sulit menentukan arah kiblat sedangkan tampak depan menghadap
utara-selatan. Salah satu ciri khas rumoh Aceh ini adalah tiang-tiang penopang rumah yang
sangat tinggi, yaitu sekitar 2,5-3 meter. Luas bangunannya pun minimal 200 m2 dengan
ketinggian dasar lantai hingga atap mencapai 8 m. Walaupun memiliki ukuran yang besar
salah satu kehebatan rumoh aceh ini adalah pembangunannya yang hanya menggunakan tali
ijuk, pasak serta baji dengan material utamanya kayu, papan dan daun rumbia untuk atapnya.
Namun hingga hari ini rumah aceh ini masih berdiri tegak setelah dibangun lebih dari 200
tahun.

D. Makanan dan Minuman khas Aceh


1. Mie Aceh
Mie Aceh, satu jenis kuliner yang menggoda dari Aceh, dapat dicicipi dengan dua cara, yakni
di goreng atau direbus alias menggunakan kuah. Sebagai variasi bisa meggunakan kepiting,
daging atau seafood. Variasi inilah yang nanti menentukan nama mienya. Saat ini Mie Aceh
sudah banyak ditemukan dipenjuru Indonesia, namun tak sama rasanya jika datang langsung
ke Aceh.

2. Sate Matang
Nama sate ini serasa bergelora diseluruh Aceh. Di mana ada masyarakat Aceh bermukim
di kota-kota besar di Indonesia pasti ada gerobak yang bertulis sate “sate matang”.
Dinamakan sate matang karena asalnya dari daerah Matang, Bireuen. Yang membuat special
sate ini karena makannya dengan kuah soto.

3. Ayam Tangkap
Ayam tangkap merupakan makanan khas Aceh Besar, terbuat dari ayam yang di goreng
dengan cabe hijau dan daun Teumuru atau Salam Koja atau Daun Kari (orang Aceh
menyebutnya Teumuru. Rasanya memang seperti ayam goreng biasa ditambahi aroma daun
teumuru dan cabai hijau sehingga mempunyai sensasi rasa tersendiri. Ayamnya dipotong
kecil-kecil sehingga tersembunyi dibalik tumpukan daun teumuru dan cabai hijau goreng
serta taburan bawang goreng di atasnya, mungkin karena tersembunyi itulah maka dinamakan
ayam tangkap.

4. Teh Tarik
Minuman ini juga terdapat di Aceh (Teh Tarek). Minuman ini berupateh yang
dituangkan dari satu gelas ke gelas lainnya (dilempar lempar). Dalam proses penarikan ini,
kandungan-kandungannya menjadi semakin butek dan aromanya keluar. Selain itu proses
penarikan juga membantu mendinginkan suhu minuman dan memberikan lapisan busa
lembut di bagian atasnya yang terbentuk karena kandungan gula di dalam air teh. Teh tarik
dan teh es merupakan minuman yang banyak dijual di rumah makan para mamak, dan
biasanya diminum bersama hidangan seperti nasi lemak, roti canai, roti telur, atau roti
tempayan.

Bubuk teh yang dijual kiloan sering digunakan untuk membuat teh tarik. Setelah diseduh,
teh disaring dengan kain kasa dan dicampur dengan susu kental manis. Teh tarik secara
harfiah berarti "teh ditarik," itulah yang pengrajin di warung mamak India lakukan untuk
membuat minuman. Teh dan susu yang dituangkan melalui udara antara dua cangkir sampai
mencapai tekstur, kaya berbusa - terampil teh tarik seniman tidak pernah menumpahkan
setetes! Lebih dari sekedar kecakapan memainkan pertunjukan dan tradisi, menuangkan teh
tarik melalui udara mendinginkan teh dan menghasilkan busa-busa.

5.Minuman Sanger
Sanger adalah sejenis minuman yang hanya ada di Aceh. Sanger atau juga sering di sebut
kopi sanger ini secara umum mirip dengan capucino, tapi menurut saya jauh lebih nikmat
kopi sanger ini. Selain itu jika kita melihat sekilas maka sanger ini akan sangatlah tampak
seperti kopi susu biasa, tetapi jika kita menilik dari rasanya, kopi sanger ini memiliki rasa
yang sangat khas dan berbeda dari rasa kopi lainnya.
Memang dari dahulu Aceh ini terkenal dengan khas kopi saring/tarik-nya. Bagi para
pecinta kopi sejati pasti akan segera dapat merasakan bedanya, apabila sudah merasakan kopi
Aceh. Warung yang paling terkenal dalam menyajikan jenis minuman ini adalah warung
solong di kawasan Ulee Kareng dan Chek Yuke di kawasan Mesjid Raya Baiturrahman,
Banda Aceh. Selain itu, hampir di setiap ruas jalan di Banda Aceh pasti akan banyak kita
temui warung-warung kopi, tempat nongkrong dari segala usia.

6.Kopi Gayo
Kopi Gayo adalah salah satu jenis kopi yang dihasilkan dari perkebunan kopi di
dataran tingggi Gayo, Aceh. Di sana terdapat dua varietas kopi yang banyak dikembangkan
oleh masyarakat, di antaranya jenis kopi Arabica dan jenis kopi Robusta. Berbeda dengan
jenis kopi di Indonesia lainnya, jenis kopi satu ini memiliki cita rasa dan aroma yang sangat
khas, sehingga banyak digemari oleh para penikmat kopi. Kopi Gayo ini merupakan salah
satu jenis kopi yang terkenal di Indonesia, bahkan kualitasnya sudah diakui oleh dunia.

E. Tempat wisata dikota Aceh


1. Masjid Baiturahmman
Masjid Raya Baiturrahman (Aksara Jawoë : ‫ايتوررحمن‬HH‫جد راي ب‬HH‫ ( مس‬adalah sebuah
Masjid yang terletak di pusat kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, Indonesia. Masjid Raya
Baiturrahman adalah simbol agama, budaya, semangat, kekuatan, perjuangan dan
nasionalisme rakyat Aceh. Masjid ini adalah landmark Banda Aceh sejak era Kesultanan
Aceh dan selamat dari bencana tsunami pada 26 Desember 2004 silam.

2.Museum Tsunami
Museum ini merupakan sebuah struktur empat lantai dengan luas 2.500 m² yang dinding
lengkungnya ditutupi relief geometris. Di dalamnya, pengunjung masuk melalui lorong
sempit dan gelap di antara dua dinding air yang tinggi — untuk menciptakan kembali suasana
dan kepanikan saat tsunami. Dinding museum dihiasi gambar orang-orang menari Saman,
sebuah makna simbolis terhadap kekuatan, disiplin, dan kepercayaan religius suku Aceh. Dari
atas, atapnya membentuk gelombang laut. Lantai dasarnya dirancang mirip rumah panggung
tradisional Aceh yang selamat dari terjangan tsunami. Bagian rooftop bangunan Museum
Tsunami Aceh pun dirancang sebagai escape roof, yakni area evakuasi jika terjadi bencana
banjir atau tsunami di kemudian hari.Bangunan ini memperingati para korban, yang
Namanya dicantumkan di dinding salah satu ruang terdalam museum, dan warga masyarakat
yang selamat dari bencana ini. Selain perannya sebagai tugu peringatan bagi korban tewas,
museum ini juga berguna sebagai tempat perlindungan dari bencana semacam ini pada masa
depan, termasuk "bukit pengungsian" bagi pengunjung jika tsunami terjadi lagi.
4. Rumah cut nyak dien
Museum Rumah Cut Nyak Dhien berlokasi di Desa Lampisang, Kecamatan Peukan Bada,
Kabupaten Aceh Besar.Bila ditempuh dari Kota Banda Aceh, kira-kira jaraknya sekitar 10
kilometer. Posisi Museum Rumah Cut Nyak Dhien persis di sisi jalan raya, sehingga
pengunjung dapat mudah menemukannya.Museum Rumah Cut Nyak Dhien berbentuk rumah
panggung dengan konstruksi kayu dan beratap rumbia, seperti umumnya rumah adat
Aceh.Rumah panggung tersebut disangga oleh sekitar 65 tiang kayu. Ukuran rumah sekitar
25 meter x 17 meter. Warna hitam mendominasi rumah ini.Untuk menuju rumah itu,
pengunjung harus menaiki beberapa anak tangga. Tangga utama masuk terletak di sebelah
kanan rumah. Kemudian, pintu masuk utamanya relatif kecil sehingga siapapun perlu sedikit
membungkukkan badan. Setelah masuk ke dalam rumah, mata akan disajikan oleh suasana
yang lapang. Ada banyak ruangan di rumah tersebut. Masing-masing ruangan terhubung oleh
pintu. Suasananya adem dan sejuk karena dinding rumah terbuat dari papan kayu dan atap
yang dilapisi pelepah daun kelapa tua.Pada dinding ruangan di area depan, orang bisa
menyimak silsilah keturunan keluarga Cut Nyak Dhien. Kemudian, pada area dinding
ruangan yang lain, ada foto-foto yang menggambarkan perjuangan Aceh melawan penjajah
Belanda.

5. Pantai rubiah
Wisata Pulau Rubiah saat ini merupakan sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Walau
begitu jangan khawatir, di pulau ini Anda masih menemukan sebuah warung kecil yang
menjual makanan dan minuman yang bisa Anda beli. Pulau ini selalu ramai dikunjungi oleh
wisatawan, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara terlebih jika hari libur.

Mereka yang datang selain untuk sekedar bermain di bersihnya pasir pantai, ada juga
yang berkeliling pulau menggunakan perahu yang bisa di sewa, bahkan banyak yang
berkunung menjajal snorkeling menikmati pemandangan indah kerajaan bawah laut pulau ini.
Air laut di pulau ini sangat bersih dan jernih. Bahkan pengunjung dengan mudah dapat
melihat pemandangan kerajaan bawah laut dari atas permukaan air sampai dengan kedalaman
15 meter.

Saat Snorkeling, tak jarang pengunjung mudah melihat sekumpulan ikan laut yang
berenang di sela-sela terumbu karang yang menyejukan mata. Jenis ikan yang sering
ditemukan disini beraneka macam antara lain seperti ikan Bendera, ikan Kepe-kepe, ikan
warna, ikan Botana Biru, ikan Sersan, ikan Kerapu, ikan Mayor, kerang, ikan Putri Bali dan
masih banyak jenis ikan lainnya yang terdapat di pulau cantik ini.

6. Danau laut tawar


Air Terjun yang memiliki ketinggian kurang lebih 75 meter ini terletak di Ds. Sidomulyo,
Kec. Kuta Makmur. Kab. Aceh Utara, Aceh. Memakan jarak tempuh kira-kira 21 km dari
pusat kota Lhokseumawe. Bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Tempatnya yang asri nan sejuk membuat siapapun betah berlama-lama di tempat ini.

7. Air terjun suhom


Air Terjun Suhom berada di tengah kawasan hutan Lhoong. Jaraknya sekitar 75 kilometer
dari Banda Aceh melalui jalur Pantai Barat Aceh. Pengunjung harus menggunakan kendaraan
pribadi atau sewa karena belum ada kendaraan umum untuk menuju ke sana. Perjalanan ke
lokasi air terjun harus melewati bukit Paro dan Kulu. Kendaraan akan melintasi jalan
tanjakan, turunan curam, dan tikungan tajam. Di sisi jalan, ada jurang dan tebing tinggi yang
kerap longsor saat musim hujan sehingga pengendara harus hati-hati. Kendati jalurnya
ekstrem, pemandangan di puncak bukit sungguh menawan. Laut biru Samudra Hindia terlihat
jelas. Warnanya kontras berpadu dengan hamparan hijau pepohonan yang terbentang dari
puncak bukit hingga pinggir pantai. Tak jarang, tampak sejumlah monyet liar bergelantungan
dari satu pohon ke pohon lain.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Setelah memahami mengenai provinsi aceh kita dapat memahami bagaimana
pemerintahan, budaya, dan adat istiadat di kota Aceh sehingga kita semua bisa mengetahui
apa saja yang ada di provinsi Aceh darussallam. Dengan adaanya makalah ini saya harap
semua bisa mengerti dan mempunyai ke inginan untuk mengunjungi provinsi Aceh.

B.Saran
Maka dari itu kita harus memahami tentang adat dan budaya kita. Kita juga harus
memahami seberapa penting adat, budaya bagi kehidupan masyarakat, guna tercapai hidup
yang lebih baik, sebagaimana orang-orang sebelum kita menjaga adat budaya, maka dari itu
marilah sama-sama kita menjaga sekitarnya.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201105144456-32-566355/tito-ingatkan-
gubernur-baruaceh-kreatif-hadapi-covid-19

"Taqwallah Sekda Aceh Sore Ini Dilantik"

"Dahlan Jamaluddin Ketua DPRA".

"Kepadatan Penduduk dan Pertumbuhan Penduduk Aceh Tahun 1961 - 2020".


www.aceh.bps.go.id. Diakses tanggal 18 Februari 2021.

"Metode Baru Indeks Pembangunan Manusia 2019-2020". www.bps.go.id. Diakses tanggal


11 Februari 2021.

Anda mungkin juga menyukai