Segala puji dan syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan hidayatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Kebudayaan
Aceh. Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Budaya
Nusantara yang diajarkan oleh Ibu Susi Purwati.
Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu kami baik langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dalam waktu yang ditentukan. Tiada balasan yang setimpal yang diberikan oleh penulis selain ucapan
terima kasih dan harapan agar makalah ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa karya makalah ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis tugas akhir ini bermanfaat bagi para pembaca
dan pihak yang berkepentingan.
Penyusun
DAFTAR IS
KATA PENGANTAR.........................................................................................................................................1
DAFTAR ISI......................................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................................3
A.
Latar Belakang....................................................................................................... 3
B.
Rumusan Masalah................................................................................................... 4
C. Manfaat.................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................................5
1.
LETAK GEOGRAFIS.................................................................................................. 5
2.
SISTEM BUDAYA...................................................................................................... 7
3.
SISTEM SOSIAL....................................................................................................... 7
4.
KEBUDAYAAN FISIK................................................................................................. 9
1.
2.
SISTEM RELIGI................................................................................................... 10
3.
4.
BAHASA............................................................................................................. 12
5.
MATA PENCAHARIAN.......................................................................................... 14
6.
KESENIAN.......................................................................................................... 15
1.
2.
3.
Sastra Aceh.................................................................................................... 18
4.
Senjata Tradisinonal....................................................................................... 19
5.
Rumah tradisional.......................................................................................... 21
6.
Makanan khas................................................................................................ 21
7.
Kesenian Lain................................................................................................. 24
7.
UPACARA ADAT.................................................................................................. 25
1.
Perkawinan..................................................................................................... 25
2.
Keumaweueh.................................................................................................. 28
3.
4.
Peusijuek Dapu............................................................................................... 29
5.
Peutron Aneuk................................................................................................ 29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita mengetahui bahwa Indonesia memiliki begitu banyak penduduk yang tersebar di
berbagai pulau di Indonesia. Setiap penduduk tersebut memiliki suatu kebudayaan yang
bersifat khas di daerahnya, yang mengakibatkan adanya keanekaragaman budaya di
Indonesia. Keanekaragaman tersebut meliputi cara berbicara, cara berpakaian, mata
pencaharian dan lain-lain.
Keanekaragaman Budaya Indonesia ini jangan dijadikan suatu perbedaan yang
mengurangi jiwa kesatuan, namun hendaknya kita sebagai bangsa Indonesia menjadikan
keanekaragaman budaya tersebut sebagai suatu kekayaan Indonesia. Sehingga menjaga,
memelihara dan melestarikan budaya tersebut adalah kewajiban bagi semua rakyat indonesia.
Di samping itu, dengan mendalami kebudayaan yang beraneka ragam tersebut,
wawasan kita akan bertambah sehingga kita tidak akan menjadi bangsa yang kerdil. Kita
dapat menjadi bangsa yang mau dan mampu menghargai kekayaan yang kita miliki, yang
berupa keanekaragaman kebudayaan tersebut.
Sikap saling menghormati budaya perlu dikembangkan agar kebudayaan kita yang
terkenal tinggi nilainya itu tetap lestari, tidak terkena arus yang datang dari luar. Melestarikan
kebudayaan nasional harus didasari dengan rasa kesadaran yang tingi tanpa adanya paksaan
dari siapapun.
Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki budaya, mulai dari
pakaian tradisional, tari tradisional, senjata aceh, sastra aceh, dan sebagainya. Budaya ini
dapat menjadi suatu identitas bagi masyarakat Aceh pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya. Makalah ini dibuat untuk memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai
budaya yang terdapat di Provinsi Aceh, sehingga budaya ini dapat dikenal, dikembangkan
dan dilestarikan oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana letak geografis Provinsi Aceh ?
2) Bagaimana sistem budaya Provinsi Aceh ?
3) Bagaimana sistem sosial yang terdapat di Provinsi Aceh ?
4) Apa saja kebudayaan fisik yang dimiliki Provinsi Aceh ?
5) Upacara adat apa saja yang terdapat di Provinsi Aceh ?
C. Manfaat
1. Mengetahui letak geografis Provinsi Aceh
2. Memahami sistem budaya Provinsi Aceh
3. Mengetahui sistem sosial yang terdapat di Provinsi Aceh
4. Mendapatkan wawasan mengenai saja kebudayaan fisik yang dimiliki Provinsi Aceh
5. Mengetahui Upacara adatyang terdapat di Provinsi Aceh
BAB II
PEMBAHASAN
1. LETAK GEOGRAFIS
Provinsi Aceh yang sebelumnya disebutDaerah Istimewa Aceh (1959-2001) adalah
sebuah provinsi paling barat di Indonesia, yaitu terletak antara 01o 58' 37,2" - 06o 04' 33,6"
Lintang Utara dan 94o 57' 57,6" - 98o 17' 13,2" Bujur Timur dengan ketinggian rata-rata 125
meter di atas permukaan laut. Pada tahun 2012 Provinsi Aceh dibagi menjadi 18 Kabupaten
dan 5 kota, terdiri dari 289 kecamatan, 778 mukim dan 6.493 gampong atau desa.
Luas Provinsi Aceh 5.677.081 ha, dengan hutan sebagai lahan terluas yang mencapai
2.290.874 ha, diikuti lahan perkebunan rakyat seluas 800.553 ha. Sedangkan lahan industri
mempunyai luas terkecil yaitu 3.928 ha.
Aceh memiliki 119 pulau, 73 sungai besar, dan 2 buah danau.. Provinsi ini berbatasan
dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibukota Aceh adalah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Sabang,
Lhokseumawe dan Langsa.
2. SISTEM BUDAYA
Budaya
Aceh merupakan
kumpulan
budaya
dari
berbagai
suku
Suku Aceh (76% dari populasi provinsi aceh sensus tahun 2010)
Suku Singkil (Di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam sekitar 40%)
Suku Aneuk Jamee dan Suku Kluet (Di Kabupaten Aceh Selatan sekitar 35%).
Suku Gayo (di Kabupaten Aceh Tengah 20%, Kabupaten Bener Meriah 20% dan
Kabupaten gayo Lues sekitar 40%)
yang umum digunakan adalah Bahasa Aceh (76%) selain Bahasa Indonesia.Di sana hidup
adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat
bersendikan hukum Syariat Islam. Penerapan syariat Islam di provinsi ini bukanlah hal yang
baru. Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri, tepatnya sejak masa kesultanan, syariat Islam
sudah meresap ke dalam diri masyarakat Aceh.
Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan,
ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh
ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan
bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal
ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang
sebagai ragam hias.
3. SISTEM SOSIAL
Penduduk Aceh merupakan keturunan berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur
orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochin China, Kamboja.
Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu:
Suku Aceh
Suku Gayo
Suku Alas
Tamiang
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh.
Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit
perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan
Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas
diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka
berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di
kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan
pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian,
arian, musik dan adat istiadat.
Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan
India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab
yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman),
dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri Badjubier,
Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal
Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang
sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan
penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan
Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan
India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan
maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan
bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan
menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama
Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara
Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai
pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka
pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih
prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka
kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai
namanama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh
pun adalah warisan bangsa Persia (Banda/Bandar arti: Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No
(pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan
nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah
dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan
menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511.
4. KEBUDAYAAN FISIK
1. SISTEM ORGANISASI SOSIAL
Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan
kaidah-kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai berikut :
1. Sistem Kekerabatan
Dalam sistem kekerabatan, bentuk kekerabatan yang terpenting adalah
keluarga inti dengan prinsip keturunan bilateral. Adat menetap sesudah menikah
bersifat matrilokal, yaitu tinggal di rumah orangtua istri selama beberapa waktu.
Sedangkan anak merupakan tanggung jawab ayah sepenuhnya.
Dalam sistem kekerabatan tampaknya terdapat kombinasi antara budaya
Minangkabau dan Aceh. Garis keturunan diperhitungkan berdasarkan prinsip
bilateral, sedangkan adat menetap sesudah nikah adalah uxorilikal (tinggal dalam
lingkungan keluarga pihak wanita). Kerabat pihak ayah mempunyai kedudukan yang
kuat dalam hal pewarisan dan perwalian, sedangkan ninik mamak berasal dari
kerabat pihak ibu. Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga inti yang
disebut rumah tangga. Ayah berperan sebagai kepala keluarga yang mempunyai
kewajiban memenuhi kebutuhan keluarganya. Tanggung jawab seorang ibu yang
utama adalah mengasuh anak dan mengatur rumah tangga.
2. Sistem Pelapisan Sosial
Pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan sosial. Di
antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan Keluarga Sultan,
Golongan Uleebalang, Golongan Ulama, dan Golongan Rakyat Biasa. Golongan
keluarga sultan merupakan keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa.
Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan ini adalah ampon untuk laki-laki, dan
Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli
yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam. Agama
lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang dianut oleh
pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan bersuku Hakka.
Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.
Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi
yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam. Syariat Islam :
berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
manusia, baik Muslim maupun non Muslim
Sumber: Al-Qur'an (sumber hukum Islam yang pertama), Hadis (seluruh
perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad yang kemudian dijadikan
sumber hukum), Ijtihad (untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan
Hadis). Oleh sebab itu segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya tidak
bolehberlawanan dengan ajaran Islam.
3. SISTEM ILMU PENGETAHUAN
Aceh pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan di nusantara dengan hadirnya
jamiah Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) lengkap dengan berbagai fakultas,para
mahasiswa yang menuntut ilmu di aceh datang dari berbagai penjuru dunia,dari Turki,
Palestina,Bangladesh, Pattani, Mindanau,Malaya,Brunei Darussalam dan Makassar, hal
ini juga merupakan salah satu alasan Aceh dikenal dengan sebutan Serambi Mekah.
Pengetahuan yang terdapat dalam suku aceh, juga meliputi tentang tradisi bahasa
tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawoe,
Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa Kerajaan Aceh banyak
kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi.
Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah
datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf
Jawi. Selain pengetahuan mengenai tulisan yang ditulis dengan menggunakan huruf arabmelayu daerah
Namun, dalam segi pendidikan saat ini kualitas pendidikan di Provinsi Aceh
dinilai masih sangat buruk dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, karena masih
menduduki peringkat 32 dari 34 provinsi. Padahal Aceh memiliki dana otonomi khusus
yang sangat besar. Pendidikan di Aceh sudah empat kali berturut-turut kalah dari Papua
dalam pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tingkat SMA sederajat.Padahal Papua, memiliki
keterbatasan anggaran dibandingkan Aceh. Namun mampu menunjukan grafik yang
mengalami peningkatan tiap tahunnya.
4. BAHASA
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia, termasuk
dalam rumpun bahasa Austronesia. Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni :
a. Bahasa Aceh
Bahasa Aceh sering digunakan dalam kegiatan sehari hari, terutama digunakan
oleh masyarakat aceh di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi NAD. Penutur asli
bahasa Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda Aceh,
kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Aceh Timur,
kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Selain itu, kita jumpai pada komunitas
masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia serta Sydney
di Australia.
b. Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan bahasa
Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo yang telah bercampur
dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa ibu bagi masyarakat Aceh yang
mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah
Lokop di kabupaten Aceh Timur. Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa
ini mengingatkan mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.
c. Bahasa Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan oleh
masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami kabupaten Aceh
Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan penduduk di sekitar hulu sungai
Singkil di kabupaten Singkil, merupakan masyarakat penutur asli dari bahasa Alas.
Penduduk kabupaten Aceh Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang
berdomisili di lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel,
Babussalam, dan Bandar.
d. Bahasa Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng) merupakan
variant atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh masyarakat kabupaten Aceh
Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur), kecuali di kecamatan Manyak Payed
(yang merupakan wilayah bahasa Aceh) dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa
campuran, yakni bahasa Indonesia, bahasa Aceh dan bahasa Tamiang).
e. Bahasa Aneuk Jamee
Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh) dengan bahasa
Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya bahasa ini
merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang mendiami wilayah-wilayah kantung suku
Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh,
sebagian Blang Pidie dan Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang
paling banyak dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua,
Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya, bahasa
ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat di kabupaten Singkil dan
Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo (Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang,
Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan
(khususnya di desa Padang Seurahet). Bahasa Aneuk Jamee adalah bahasa yang lahir dari
asimilasi bahasa sekelompok masyarakat Minang yang datang ke wilayah pantai baratselatan Aceh dengan bahasa daerah masyarakat tempatan, yakni bahasa Aceh. Sebutan
Aneuk Jamee (yang secara harfiah bermakna anak tamu, atau bangsa pendatang) yang
dinisbahkan pada suku/bahasa ini adalah refleksi dari sikap keterbukaan dan budaya
memuliakan tamu masyarakat aceh setempat. Bahasa ini dapat disebut sebagai variant
dari bahasa Minang.
f. Bahasa Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami daerah
kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan. Masyarakat Aceh
secara luas, terkecuali penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang
seluk-beluk bahasa ini.
g. Bahasa Singkil
Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian masyarakat di kabupaten Singkil.
Dikatakan sebahagian karena kita dapati ada sebagian lain masyarakat di kabupaten
Singkil yang menggunakan bahasa Aceh, bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan
bahasa Minang, dan ada juga yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa
Pakpak) khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.
Selain itu masyarakat Singkil yang mendiami Kepulauan Banyak, mereka menggunakan
bahasa Haloban. Jadi sekurang-kurangnya ada enam bahasa daerah yang digunakan
sebagai bahasa komunisasi sehari-hari diantara sesama anggota masyarakat Singkil selain
bahasa Indonesia. Dari sudut pandang ilmu linguistik, masyarakat Singkil adalah satusatunya kelompok masyarakat di provinsi NAD yang paling pluralistik dalam hal
penggunaan bahasa.
h. Bahasa Haloban
Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan oleh
masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami Kepulauan Banyak,
terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini kedengarannya sangat mirip dengan bahasa
Devayan yang digunakan oleh masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa
Haloban sangat sedikit .
i. Bahasa Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang merupakan bahasa
ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah penuturnya sekitar 60.000 orang.
Namun, di Kabupaten Simeulue kita tidak hanya menjumpai Bahasa Simeulue tetapi juga
terdapat bahasa Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan.
5. MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian pokok
orang Aceh adalah bertani di sawah
dan ladang, dengan tanaman pokok
berupa padi, cengkeh, lada, pala,
kelapa, dan lain-lain. Masyarakat
yang bermukim di sepanjang pantai
pada umumnya menjadi nelayan.
Sebagian besar orang Alas
hidup dari pertanian di sawah atau
ladang, terutama yang bermukim di
kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di Daerah Istimewa Aceh. Di
samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan kambing, untuk dijual atau
dipekerjakan di sawah.
Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan
berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di samping
itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya dengan
cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung (penggaleh).
Mata pencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun,
terutama tanaman kopi.
Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah atau
di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan membuat aran
dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau pedagang.
6. KESENIAN
1. Pakaian Tradisional Aceh
a. Pakaian Pria :
1) Baju Meukeusah
Baju tenunan berbahan
sutra
berwarna
hitam
adalah
hitam.
Wana
perlambangan
kebesaran.
Selain itu ada sulaman
benang di baju berwarna emas
dan kerah yang mirip budaya
Tionghoa
yang
dibawa
oleh
Sileuweu
juga
1) Baju Kurung
Bentuk dari baju ini gombor panjang menutupi seluruh lekuk tubuh
atau aurat sesuai syariat islam, selain itu ada unsur tionghoa dari sulaman
benang emas. Sehingga bajunya sepertian perpaduan Melayu, Arab, dan
Tionghoa
2) Celana Cekak Musang
Secara umum celana yang digunakan sama dengan pria. Dilengkapi
sarung sepanjang lutut.
3) Penutup Kepala
Penutup kepala wanita seperti biasa menutupi aurat wanita dengan
ditutupi oleh kerudun bertahtakan bunga-bunga segar yang disebut patham
dhoi. Juga dilengkapi perhiasan-perhiasan yang terdapat di tutup kepala atau
bagian tubuh lain seperti kalung gelang Antung dan sebagainya.
2. Tari Tradisional Aceh
1. Tari Bines
Tarian tradisional aceh yang berkembang di daerah aceh tengan dan
dibawa ke aceh timur. Tari ini dilakukan oleh wanita dengan cara duduk sejajar
dengan sambil menyanyikan syair dakwah atau informasi pembangunan. Para
penari melakukan gerkan perlahan dan lama-lama menjadi cepat dan berhenti
seketika secara serentak. Tari ini bagian dari tari saman
2. Tari Saman
Tari ini dimainkan oleh belasan atau puluhan pria dengan jumlah ganjil
dengan pemimpin(disebut: syekh) sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi
syair-syair lagu saman yang disebut ganit.
3. Didong
Didong biasanya erdiri dari ceh dan para anggoranya yang
disebut penunung. Jumlahnya dapat mencapai 30 orang dan terdapat 4-5
rang ceh. Ceh adalah yang menciptakan puisi-puisi dan mampu menyanyi.
Seiring perkembangan yang biasanya hanya berisi laki-laki dewasa kini
bisa remaja perempuan atau bahkan campur. Peralatan yang digunakan
tepuk bantal dan tangan. Selain itu pada zaman sekarang dapat
jugamenggunakan seruling, harmonika atau alat lainnya.
4. Tari Tarek Pukat
Tari tradisional Aceh dari kabupaten Ace besar ini menggambarkan
nelayan di Aceh sesuai dengan namanya, tari tarek (tarik) pukat(alat
penangkap ikan) yang digunakan nelayan menangkap ikan di laut.
5. Tari Seudati
Tari Seudati berkembang saat penyebaran Agama Isalm berasal dari
Arab Saudi. Bahasa atau istilah yang dititikberatkan menggunakan bahasa
arab. Syahadari yang menjadi seudati.
Tari ini menggambarkan semangat pemuda aceh untuk melawan
penjajah sehingga sempat di larang oleh koloni belanda. Tari ini terdiri dari
8 orang satu sebagai pemimpin (syekh) dan wakil pemimpin (Apet Syekh).
Dan dibantu dua orang penyanyi sebagai pengiring.
6. Tari Pho
Tari ini berasal dari kata Pho peube, yang berarti meratoh atau
meratap. Pho adalah panggilan atau sebutan penghormatan dari hamba
kepada Yang Mahakuasa yaitu Po Teu Allah.
Tari ini awalnya untuk kematian orang besar atau raja-raja sebagai
mengeluarkan isi hati yang sedih. Namun pada sekarang tidak sebatas
hanya untuk kematian orang besar tapi pada upacara-upacara adat.
7. Tari Guel
8. Tari Mesekat
9. Tari Ula Ula Lembing
10. Tari Ratoh Duek
11. Tari Rampai Geleng
12. Tari Ranup Lampuan
13. Dan masih banyak lainnya
3. Sastra Aceh
a. Hadih Maja (Peribahasa atau Petuah)
Narit maja ini berfungsi sebagai pengendalian pranata sosial dan sebagai
sarana penyampaian pesan moral. Biasanya berisikan nilai-nilai pendidikan islam.
Contohnya hana patot murid lawan gure/nyo kon suede teunte gila. Terjemahan
bebasnya : seorang murid melawan gurunya, kalau tidak senu tentu gila.
b. Neurajah (Mantra)
Neurajah ini biasa digunakan dalam acara debus, pawang mmengucapkan
mantra-mantra untuk menjinakkan hewan buas.
c. Hiem (teka-teki)
Sebagai hiburan yang mengasah otak namun unsur humor lebih dominan
d. Pantin (Pantun)
Pantun sama seperti pantun Indonesia pada umum nya dengan sajak ab ab.
Namun pantun ini membicarakan corak sastra ke-Aceh-an
e. Cae atau Syair
Jenis puisi liris
f. Hikayat
Jenis prosa lama namun ada juga yang berpendat bahwa hiikayat itu jenis pusi
liris karena tipografinya seperti syair dan bersajak
g. Legenda
Jenis pusi turun temurun bercerita tentang asal-usul suatu geografis daerah,
asal muka sebuah pulau dan sebagainya.
h. Fabel
Cerita yang ditokohkan oleh binatang
i. Haba Jameun
Kabar zaman yang diriwayatkan dari mulut ke mulut. Secara turun temurun.
4. Senjata Tradisinonal
a. Rencong
Rencong
tradisional
adalah
Aceh,
senjata
bentuknya
dekat
bentuknyamerupakan
logal
emas
diatas
rencong
ini
memiliki
gagang yang pendek dan lurus. Sehingga terkesan belum selesai. Pudoi di
Aceh merupakan istilah untuk sesuatu yang dianggap kurang sempurna.
4. Rencong Meukuree, yaitu rencong yang memiliki hiasan pada matanya.
Hiasan tersebut bisa berupa gambar ular, lipan, bunga dan lainnya.
b. Siwah
Siwah adalah senjata tajam sejenis dengan rencong yang juga
merupakan
senjata
untuk
menyerang.
Aceh
ini
memiliki
dibedakan menjadi :
5. Rumah tradisional
Rumah Krong Bade adalah rumah adat dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Rumah Krong Bade juga biasa dikenal dengan nama rumoh Aceh. Rumah adat ini
bertipe rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian
utama dari rumah Aceh yaitu seuramo keu (serambi depan), seuramo teungoh
(serambi tengah) dan seuramo likt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian
tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat
penyimpanan pusaka keluarga.
Gambar: Bhoi
c. Keukarah atau karah adalah salah satu jajanan khas Aceh yang mirip dengan
serabut atau sarang burung. Penyajiannya pada pesta pernikahan sebagai hantaran
dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Selain itu menjelang hari raya atau
acara adat dan Kenduri Aceh, serta sebagai kudapan.
Gambar: Keukarah
d. Meuseukat adalah Penganan khas Aceh sejenis dodol dikarenakan tekstur yang
lembut dan rasanya manis. Penyajian kue ini dihadirkan pada saat penyambutan
tamu, pernikahanyaitu sebagai hantaran serta Idul Adha dan Idul Fitri
Gambar: Meuseukat
e. Kopi Aceh yang telah menjadi andalan Indonesia dalam hal produksi dan
keunggulan mutu
Gambar: Timphan
g. Sanger merupakan campuran kopi hitam, susu kental dan gula. Secara fisik,
sanger memang mirip kopi susu atau caffee latte.
Gambar: Sanger
h. Kopi Gayo (bahasa Inggris: Gayo Coffee) merupakan varietas kopi arabika yang
menjadi salah satu komoditi unggulan yang berasal dariDataran tinggi
Gayo, Sumatra, Indonesia. Kopi Gayo sebagai Kopi Organik terbaik di dunia.
Di beberapat tempat,
masakan ini dijuluki juga dengan istilah ayam tsunami dikarenakan masakan ini
biasanya disajikan dengan ditebarkan di piring seperti ketidakteraturan setelah
bencana tsunami.
Jak Keumalen artinya mencari calon istri/suami. Dimana pihak mempelai pria
datang bersilaturahmi sambil memperhatikan calon mempelai perempuan,
suasana rumah, dan perilaku keluarga tersebut
2) Jak Ba Ranub
Jak Ba Ranub atau upacara meminang calon pasangan. Dalam acara ini,
orangtua linto baro (mempelai pria) mengirim utusan untuk membawa sirih,
kue, dan lain-lain ke keluarga dara baro (mempelai wanita) serta
mengungkapkan maksud mereka.
3) Jak Ba Tanda
Jak Ba Tanda adalah upacara memperkuat tanda jadi. Pihak calon pengantin
laki-laki akan membawa sirih lengkap dengan makanan kaleng, seperangkat
pakaian yang disebut lapek tanda, dan perhiasan emas. Barang-barang
tersebut ditaruh dalam talam atau dalong. Kemudian mempelai wanita
mengosongkan talam tersebut dan mengisinya dengan kue sebagai balasan.
Pembahasan mas kawin (jeulamei), uang hangus (peng angoh), rencana hari
dan tanggal pernikahan, serta jumlah rombongan pihak pengantin laki-laki
dilakukan pada upacara ini.
b. Upacara Menjelang Perkawinan
1) Malam Peugaca
Malam Peugaca adalah
malam
menjelang
pesta
pernikahan
badannya bersih dan kulitnya halus. Namun upacara ini dilaksanakan juga
untuk calon pengantin pria.
disebut
peunganjo,
peunganjo
dara
baro
ke
pelaminan.
2) Linto baro melakukan hal yang sama dengan dara baro. Kemudian bersama
rombongan pengantar pria (peutren linto) menuju rumah dara baro dengan
melantunkan shalawat.
3) Setelah mempelai bertemu, pihak linto baro dan dara baro saling berbalas
pantun (seumapa). Kemudian dilanjutkan dengan tukar-menukar sirih oleh
kedua orangtua mempelai.
4) Sebelum linto baro memasuki rumah dara baro, linto baro dibimbing
peunganjo untuk membasuh kaki. Hal ini bermakna, untuk memasuki jenjang
rumah tangga harus suci lahir batin
5) Dara baro didampingi peunganjo menyambut linto baro dan sungkem kepada
mempelai pria sebagai tanda hormat dan pengabdian. Linto baro menyelipkan
amplop yang berisi uang ke dara baro yang melambangakn tanggung jawab
untuk menafkahi sang istri.
setelah upacara woe linto. Pada upacara ini, dara baro menginap di rumah
orangtua linto baro selama tujuh hari dengan ditemani oleh satu atau dua
peungajo. Kemudian setelah tujuh hari dara baro pulang kembali ke
rumahnya dan disambut dengan upacara jamuan makan yang menandakan
berakhirnya seluruh rangkaian upacara.
2. Keumaweueh
Pada waktu hamil pertama seorang istri, waktu hamil 5 bulan, oleh pihak
orang tua perempuan yang hamil tersebut diadakan sedikit kenduri dengan disertai
nasi ketan dan dipanggil ahli famili dari pihak istri yang hamil. Upacara (keumaweuh)
meunieum ini ada juga dilakukan sewaktu seorang istri hamil setelah 7 bulan. Maksud
tujuan dari upacara adat Meunineum ini pada mulanya ialah lebih menguatkan rasa
persaudaraan antara kedua belah pihak (suami-istri) dan untuk lebih menguatkan
silaturrahmi antara sesama keluarga. Makanan yang dibawa ini dibagi-bagikan juga
kepada keluarga pihak istri.
4. Peusijuek Dapu
Upacara peusijuek dapu (setawar sedingin tempat berdiang) dilakukan oleh
orangtua dan keluarga orangtua suami, yaitu orangtua pihak suami menyunting ketan
kepada menantunya yang perempuan dengan uang Teumeutuek dan disertai dengan
sepersalinan pakaianpada hari ke 44 setelah anak dilahirkan yaitu setelah madeueng.
5. Peutron Aneuk
Anak yang telah berumur 44 hari tersebut diturunkan kehalaman dengan
dipayungi dan kaki anak tersebut diinjakkan ke tanah (peugiho tanoh). Pada upacara
ini diatas kepala si anak dibelah Buah Kelapa dengan alas kain putih yang dipegang
oleh 4 orang.
Kelapa yang telah dibelah tersebut, sebelah diberikan kepada pihak orangtua
suami dan sebelah lagi diberikan kepada pihak orangtua si istri, dengan tujuan supaya
kedua belah pihak tetap kekal dalam persatuan, rukun damai, kompak dan teguh
dalam persaudaraan.
BAB III
KESIMPULAN
Rangkuman :
Aceh pernah menjadi kiblat ilmu pengetahuan di nusantara dengan hadirnya jamiah
Baiturrahman, namun kualitas pendidikan di Provinsi Aceh dinilai masih sangat buruk
dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, karena masih menduduki peringkat 32 dari
34 provinsi. Provinsi Aceh memiliki Bahasa yang beraneka ragam yaitu Bahasa Aceh,
Bahasa Gayo, Bahasa Alas, Bahasa Tamiang, Bahasa Aneuk Jamee, Bahasa Kluet, Bahasa
Singkil, Bahasa Haloban, Bahasa Simeulue.
DAFTAR PUSTAKA
Sufi, Rudi. 1997. Sejarah Kotamadya Banda Aceh. Banda Aceh. Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional.
http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/05/pakaian-adat-aceh-nama-gambar-dan.html
http://www.tradisikita.my.id/2015/05/12-tari-tradisional-aceh.html
http://atjehliterature.blogspot.co.id/2013/04/macam-macam-karya-sastra-aceh.html
http://abijama.blogspot.co.id/2012/06/aceh
http://www.tradisikita.my.id/2015/05/3-senjata-tradisional-aceh.html
http://acehdalamsejarah.blogspot.com
http://id.wikipedia.org