Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KEARIFAN BUDAYA LOCAL 2


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan kearifan local dan etika
lingkungan

Dosen Pengampu:
Alimudin, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 5:

Intan Octaviani : (2101040007)


Dina Wati : (2101041003)
Siti Aisyah : (2101040018)

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO
TAHUN AJARAN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya serta karunianya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini tentu masih banyak kekurangannya. Maka dari itu,kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi menyempurnakan makalah ini. Demikian
yang dapat penulis sampaikan, semoga para pembaca dapat mengambil manfaat dan
pelajaran darimakalah ini.
Wassalamualaikum WarahmatullahiWabarakatuh

Metro, 16 November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER.....................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................1
1.1 Rumusan Masalah.............................................................................................1
1.2 Tujuan Penelitian..............................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................2
A. Budaya Aceh.....................................................................................................
B. Budaya Madura.................................................................................................
C. Budaya Daerah Timur.......................................................................................
BAB III PENUTUP..................................................................................................8
A. Kesimpulan......................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................9

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kearifan budaya lokal terbentuk dari cara berpikir dan bersikap dari suatu
masyarakat ketika mereka merespon masalah-masalah yang timbul di sekitarnya.
Kearifan budaya lokal terbentuk tidak dalam rentang waktu yang (local knowledge), atau
kecerdasan setempat (local genious). Kearifan budaya lokal juga dapat dimaknai sebuah
pemikiran tentang hidup. Pemikiran tersebut dilandasi nalar jernih, budi yang baik, dan
memuat hal-hal positif. Kearifan budaya lokal dapat diterjemahkan sebagai karya akal
budi, perasaan mendalam, tabiat, bentuk perangai, dan anjuran untuk kemuliaan manusia.
Penguasaan atas kearifan budaya lokal akan mengusung jiwa mereka semakin
berbudi luhur. Haryati Soebadio berpendapat bahwa kearifan lokal adalah suatu
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu
menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri.
Menurut Rahyono, kearifan lokal merupakan kecerdasan manusia yang dimiliki oleh
kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat.
Artinya, kearifan lokal adalah hasil dari masyarakat tertentu melalui pengalaman
mereka dan belum tentu dialami oleh masyarakat yang lain. Nilainilai tersebut akan
melekat sangat kuat pada masyarakat tertentu dan nilai itu sudah melalui perjalanan
waktu yang panjang, sepanjang keberadaan masyarakat tersebut

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana kearifan local budaya aceh?
2. Bagaimana kearifan local budaya madura?
3. Bagaimana kearifan local budaya daerah timur?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui kearifan local budaya aceh.
2. Untuk mengetahui kearifan local budaya madura.
3. Untuk mengetahui kearifan local budaya daerah timur.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kearifan Local Budaya Aceh


Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam
budaya yang menarik khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Di
Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu: Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas dan
Tamiang.
Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir
Aceh. Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat
sedikit perbedaan kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan
Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas
diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka
beramilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi
di kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat
dan pemeluk agama islam yang kuat. Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri
seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat istiadat. Kebudayaan Aceh sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-
lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman.
Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan
seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang,
ombak, dan lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan
menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias. Aceh sangat lama
terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi keberadaan kebudayaannya.
Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-benda kerajinan yang
bermutu tinggi.1
1. Tradisi
Sama seperti suku lainnya yang ada di Indonesia, suku Aceh juga
mempunyai beberapa tradisi upacara adat yang masih dilakukan hingga sekarang.
Berikut beberapa di antaranya:

1
Sundana, Lina., Harun, Mohh., Kham, Muhammad., Kearifan Lokal Masyarakat Aceh Dalam
Kumpulan Cerpen Melalui Ilusi Waktu Karya Musmarwan Abdullah, Vol. 2 No. 2, Maret 2017.

2
a. Peusijuek Upacara adat ini dilakukan oleh suku Aceh ketika mereka
melakukan acara perkawinan, kematian, berangkat haji, kelahiran, dan segala
jenis selamatan lainnya. Arti kata peusijuek adalah pendingin, yang berarti
bertujuan untuk mendoakan yang baik-baik agar tujuannya tercapai.
b. Sumang ,Upacara adat ini sering diadakan oleh suku Aceh yang bertujuan
agar manusia jadi makhluk berpendidikan, dengan akhlak yang mulia dalam
masyarakat.
c. Meugang, Upacara adat ini biasanya dilakukan untuk menyambut bulan
Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha. Mereka akan berkumpul bersama-sama
untuk memasak daging dan dimakan bersama-sama.
d. Uroe Tulak Bala, Upacara adat ini dilakukan untuk menolak mara bahaya atau
musibah dan meminta Tuhan agar melindungi mereka.
2. Ciri Khas
Ciri khas dari suku Aceh bisa diketahui dari bahasa daerahnya, senjata
tradisional, dan lain-lain.
a. Bahasa Suku Aceh, Dalam kehidupan sehari-harinya, suku Aceh
menggunakan bahasa daerah yang dinamakan Bahasa Aceh Chamik. Bahasa
ini adalah hasil percabangan dari bahasa Melayu-Polinesia dan Austronesia.
Selain itu, kosakatanya juga banyak yang menyerap dari Bahasa Arab.
b. Pakaian Adat, Meskipun pakaian adat saat ini jarang dipakai, namun biasanya
pakaian adat tetap dipakai ketika acara-acara penting, seperti
pernikahan.mPakaian adat Aceh laki-laki terdiri dari pakaian meukasah dan
celana pendek weasel. Sedangkan, pakaian adat perempuannya, terdiri dari
kemeja kurarm dan celana panjang weasel.
c. Senjata Tradisional, Suku Aceh juga mempunyai senjata tradisional yang
menjadi ciri khas mereka, yaitu rencong. Senjata ini sudah digunakan sejak
masa kesultanan Aceh, yang bentuknya berupa belati panjang. Selain
digunakan untuk melindungi diri, rencong juga menggambarkan identitas dan
keberanian pemiliknya.
3. Kesenian
Berikut ini beberapa kesenian suku Aceh yang masih sering dipertunjukkan.
a. Tari Saman,Tari ini dibawakan berkelompok, minimal terdiri dari 9 orang.
Gerakan tari ini cepat dan dibawakan sambil duduk, dengan menepuk-
nepukkan telapak tangan pada dada serta lantai.

3
b. Ratoh Jaroe , Tari ini hampir mirip dengan tari Saman, namun makna tarian
ini jauh berbeda. Jika Saman maknanya tentang kepahlawanan, pendidikan,
dan keagamaan.Tari Ratoh Jaroe bermakna kalau perempuan Aceh adalah
ornag yang kuat, tangguh, dan berani.
c. Didong, Kesenian ini dibawakan secara berkelompok oleh laki-laki dengan
duduk melingkar. Lalu, mereka akan menyanyikan lagu-lagu daerah Aceh
sambil bertepuk tangan.2
B. Kearifan Local Budaya Madura
Asal muasal konon, perjalanan Arya Wiraraja sebagai adipati pertama di
madura pada abad 13. dalam kitab negara kertagama terutama pada tambang 15,
mengatakan bahwa Pulau Madura semula bersatu dengan tanah Jawa, ini menunjukkan
bahwa pada tahun 1365an orang Madura dan orang Jawa merupakan bagian dari
komonitas budaya yang sama.
Sekitar tahun 900-1500, pulau ini berada dibawah pengaruh kekuasaan
kerajaan Hindu Jawa Timur seperti Kediri, Singhasari dan Majapahit. Diantara tahun
1500 dan 1624, para penguasa Madura pada batas tertentu bergantung pada kerajaan –
kerajaan Islam di pantai utara Jawa seperti Demak, Gresik dan Surabaya.
Pada Tahun 1624, Madura ditaklukkan oleh Mataram. sesudah itu, pada paruh
pertama abad kedelapan belas Madura berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda
(mulai 1882), mula – mula oleh VOC, kemudian oleh pemerintah Hindia – Belanda.
Pada saat pembagian provinsi pada tahun 1920-an, Madura menjadi bagian dari provinsi
Jawa Timur.
Sejarah mencatat Aria Wiraraja adalah Adipati Pertama di Madura, diangkat
oleh Raja Kartanegara dari singosari, tanggal 31 Oktober 1269. Pemerintahannya
berpusat di Batuputih Sumenep, merupakan keraton pertama di Madura. Pengangkatan
Aria Wiraraja sebagai Adipati pada waktu itu, diduga berlangsung dengan upacara
kebesaran kerajaan Singosari yang dibawa ke Madura. Di Batuputih yang kini menjadi
sebuah Kecamatan kurang lebih 18 Km dari Kota Sumenep, terdapat peninggalan –
peninggalan keraton Batuputih, antara lain berupa tarian rakyat, tari Gambuh dan tari
Satria.3

2
Nucifera, Prima., dan Hidayat, Taufik., Analisis Nilai-Nilai Kearifan Lokal Aceh Melalui Literasi
Media.

3
Sadik, A Sulaiman., Kearifan Lokal Dalam Sastra Madura Dan Aplikasinya Dalam Kehidupan
Sehari-Hari, Vol. 1, 2011

4
1. Rumah Adat
Rumah Adat yang dimiliki oleh masyarakat Madura adalah halaman panjang
yang biasa disebut Tanian Lanjang yang membuktikan kekerabatan masyarakat
madura. Rumah adat madura ini memiliki satu pintu didepan rumah, agar pemilik
rumah dapat mengontrol aktifitas keluar masuk keluarga. Pintu yang dihiasi ukir –
ukiran asli madura. dengan warna hijau dan merah yang memiliki lambang kesetiaan
dan perjuangan.
2. Bahasa Madura
Bahasa Madura yang mempunyai bahasa yang unik. Begitu uniknya
sehingga orang luar Madura yang ingin mempelajarinya mengalami kesulitan,
khususnya dari segi pelafalannya. Bahasa Madura sama seperti bahasa – bahasa di
kawasan Jawa dan Bali, kemudian mengenal Tingkat – tingkatan, namun agak
berbeda karena hanya terbagi atas tingkatan yakni : Ja’ – iya (sama dengan
ngoko)Engghi – Enthen (sama dengan Madya)Engghi – Bunthen (sama dengan
Krama).
3. Senjata Tradisional Madura
Senjata yang dimiliki oleh masyarakat Madura bernama Clurit, bentuknya
melengkung seperti arit, mata clurit sangat runcing dan tajam. Gagangnya terbuat
dari kayu atau logam.
4. Pakaian Adat Madura
Pakaian adat masyarakat Madura untuk Pria identik dengan motif garis
horizontal yang biasanya berwarna merah putih dan memakai ikat kepala. Lebih
terlihat gagah lagi bila mereka membawa senjata tradisional yang berupa clurit. Dan
untuk wanita, biasanya hanya menggunakan bawahan batik khas Madura dan
mengenakan kebaya yang lebih simple.
5. Musik Saronen
Musik Saronen ini berasal dari Masyarakat Sumenep. Jika di Madura
mengadakan kesenian, musik saronen inilah yang akan mengiringinya. Musik
saronen merupakan perpaduan dari beberapa alat musik, tetapi yang paling dominan
adalah alat musik tiup berupa kerucut. Nah ini lah alat musik tiup yang disebut
dengan saronen.4
6. Karapan Sapi

5
Karapan Sapi inilah budaya Madura yang sangat terkenal. Kesenian ini
diperkenalkan pada abad ke-15 (1561 M) pada masa pemerintahan Pangeran
Katandur di daerah Keratin Sumenep. Kerapan sapi ini merupakan lomba memacu
sapi paling cepat sampai tujuan. Bertujuan untuk memberikan motivasi kepada para
petani agar tetap semangat untuk bekerja dan meningkatkan produksi ternak sapinya.

7. Upacara Sandhur Pantel


Upacara Sandhur Pantel merupakan sebuah ritual untuk masyarakat
Madura yang berprofesi sebagai petani ataupun nelayan. Upacara ritual ini
meruapkan upacara yang menghubungkan manusia dengan makhluk ghaib atau
sebagai sarana komunikasi manusia dengan Tuhan Pecipta Alam Semesta. Upacara
ini berupa tarian dan nyanyian yang diiringi musik.
8. Tarian Sholawat Badar atau rampak jidor
Tarian yang dimiliki oleh masyarakat madura ini meruapakan tarian yang
menggambarkan karakter orang Madura yang sangat relegius. Seluruh gerak dan
alunan irama nyanyian yang mengiringi tari iini mengungkapkan sikap dan ekspresi
sebuah puji – pujian, do’a dan zikir kepada Allah SWT.
9. Tarian Topeng Gethak
Tarian Topeng Gethak mengandung nilai fisolofis perjuangan warga
Pamekasan saat berupaya memperjuangkan kemerdekaan bangsa, Gerakan Tarian
Topeng Gethak ini mengandung makna mengumpulkan masa dimainkan oleh satu
hingga tiga orang penari. Asal muasal sebelumnya nama tarian ini bernama Tari
Klonoan kata klonoan ini berasal dari kata kelana atau berkelana, bermakna
Bolodewo berkelana, dan pada akhirnya Tari Klonoan ini Berubah nama menjadi
Tari Topeng Gethak.
10. Tarian Rondhing
Tarian Rondhing ini berasal dari “rot” artinya mundur, dan “kot – konding”
artinya bertolak pinggang. Jadi tari rondhing ini memang menggambarkan tarian
sebuah pasukan bagaimana saat melakukan baris – berbaris, yang ditariakan oleh 5
orang. Tarian Rondhing ini juga di angkat dari perjuangan masyarakat Pamekasan.

6
C. Budaya Daerah Timur
Daerah Kawasan dibagian timur Indonesia meliputi Sulawesi, Kepulauan Nusa
Tenggara,Bali, Kepulauan Maluku dan Papua.
1. Budaya Sulawesi
a. Sulawesi Utara

1.  Kearifan lokal Suku Bajo, “Manusia Perahu”.


Di tengah kesibukan para ilmuwan mencari solusi dari perubahan iklim, ternyata
sebagian jawabannya ada pada kearifan suku Bajo. Pasalnya, sejak lahir, keturunan suku Bajo
sudah dikenalkan dengan kehidupan di atas permukaan air. Hal inilah yang ingin dipelajari
dan diterapkan para ilmuwan menghadapi ancaman pulau-pulau tenggelam.
Suku Bajo merupakan sekumpulan orang yang menggantungkan hidupnya di laut.
Seluruh aktivitas mereka dihabiskan di atas perahu. Karena itu, mereka dikenal dengan
julukan suku nomaden laut. Jumlah suku Bajo yang menggantungkan hidupnya di atas perahu
diperkirakan semakin sedikit karena hidup menepi di pesisir pantai dan mendirikan rumah
panggung. Rumah panggung suku Bajo dibangun menggunakan bahan yang terbilang ramah
lingkungan. Dindingnya terbuat kombinasi kayu dan anyaman bambu. Sedangkan bagian atap
dari daun rumbia.
Di Desa Holimombo, Kecamatan Wabula, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara,
suku Bajo sudah dapat beradaptasi dengan kehidupan modern. Di desa tersebut ada semacam
balai-balai tempat berkumpul masyarakat untuk menonton televisi. Mereka menggunakan
antena parabola untuk mendapatkan siaran dari berbagai stasiun televisi. Meski demikian,
cara mereka menonton televisi tergolong hemat energi. Sebab, selalu dilakukan beramai-
ramai. Mereka juga hanya menggunakan listrik pada malam hari saja.
Kehidupan suku Bajo modern juga dapat ditengok di perkampungan Sama Bahari,
Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Di sana terdapat sekolah,
madrasah, tempat peribadatan, pelelangan, dan penyimpanan ikan. Hidup orang bajo di Sama
Bahari masih mengandalkan hasil laut. Mereka juga mendirikan tambak terapung dan bertani
rumput laut.
Melestarikan Laut
Masyarakat bajo berprinsip bahwa laut adalah segalanya. Laut merupakan cermin
dari kehidupan masa lalu, kekinian, dan harapan masa depan. Laut juga dianggap sebagai
kawan, jalan, dan persemayaman leluhur. Karena dekat dengan kehidupan laut, bayi dari
keturunan suku Bajo yang baru lahir sudah dikenalkan dengan laut.
Suku Bajo juga memiliki filosofi tentang kesakralan laut berbunyi, “Papu manak
ita lino bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana”. Artinya,

7
Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, manusia memikirkan bagaimana
cara memperoleh dan mempergunakannya.
Oleh karena itu, orang Baju melestarikan sumber daya laut dengan cara menanam
bakau di kawasan pesisir pantai, seperti yang terjadi di Sinjai Timur, Sulawesi Selatan.
Sepanjang pantai ditanami bakau hingga 800 meter yang menjurus ke laut. Upaya penanaman
hutan bakau ini boleh dibilang siasat mitigasi. Selain itu, etnis bajo juga memiliki kepedulian
yang tinggi terhadap kelestarian terumbu karang sebagai penyangga ekosistem bawah laut,
seperti di Kabupaten Wakatobi. Termasuk dalam menangkap ikan.
2.  Suku Bugis
Suku Bugis merupakan penduduk asli Sulawesi Selatan. Kini suku Bugis menyebar
pula di propinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan
Selatan, bahkan hingga manca negara. Bugis merupakan salah satu suku yang taat dalam
mengamalkan ajaran Islam. Kata "Bugis" berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis.
Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa
kerajaan. Masyarakat ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan
pemerintahan mereka sendiri. Masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan
pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani, nelayan, pedagang,
pendidikan, dan birokrasi pemerintahan. Pada abad ke-16 muncul perkembangan baru dalam
sejarah perjalanan Bugis setelah agama Islam menjadi agama resmi kerajaan. Islam masuk di
wilayah ini tidak melewati perang tetapi lewat jendela kebudayaan, itulah sebabnya
persebaran Islam di Sulawesi Selatan sedemikian cepat dan pesat. Banyak ajaran Bugis yang
sejalan dengan Islam: yang fitrah dan universal. Meskipun begitu, sisa-sisa agama lama
tidaklah dapat dikikis begitu saja oleh Islam.
Meskipun orang-orang Bugis telah menjadi Islam dan beriman, tapi mereka masih
memelihara sejumlah tradisi yang bersumber dari elemen-elemen pra-Islam, seperti bissu dan
kitab suci La Galigo. Berbagai ajaran Islam dan Bugis yang mengandung spirit dan unsur-
unsur yang sama diadaptasikan dan didialogkan yang kemudian memunculkan warna-warni
kebudayaan Islam dengan wajah Bugis, atau kebudayaan Bugis dengan wajah Islam.
Tak heran kelau kemudian kita lantas menemukan doa para Bissu yang menyebut
Patotoqé sebagai Dewata Séuawaé (dewata yang tunggal) yang diadopsi dari konsep Allah
yang Maha Esa - padahal di dalam La Galigo, Dewa tidaklah tunggal, ia beranak-pinak - atau
sebaliknya, kita menemukan konsep siriq yang kemudian diadaptasikan dengan konsep jihad.
Puncak dari semua itu adalah dikukuhkannya Islam dalam sistem Pangngaderreng di
Sulawesi Selatan yang merupakan falsafah hidup manusia Bugis, baik sebagai individu

8
maupun sebagai anggota masyarakat. Ada 5 unsur yang saling mengukuhkan dalam
konsep Pangngaderreng ini yaitu, 1) wariq (sistem protokoler kerajaan), 2) adeq (adat-
istiadat), 3) bicara (sistem hukum), 4) rapang (pengambilan keputusan berdasarkan
perbandingan), dan 5) saraq (syariat Islam). Empat dari yang pertama dipegang oleh
Pampawa Adeq (pelaksana adat), sedangkan yang terakhir dipegang oleh Paréwa Saraq
(perangkat syariat).
La Galigo sebagai kitab suci dan sumber religi bagi penganut agama To ri Olo orang
Bugis mewariskan sejumlah tradisi yang saling kait-mengait dengan berbagai upacara suci
dan sakral. Dalam upacara suci dan sakral itu selalu diiringi dengan pemotongan hewan dan
pembacaan sureq La Galigo. Itulah kemudian yang dikenal dengan upacara: mappano
bine (upacara menidurkan benih padi) menjelang tanam padi.; maccéraq tasiq upacara
persembahan dewa laut, ménréq baruga upacara peresmian balairung tempat berlangsungnya
upacara keduniaan berlangsung; mattemu taung mengunjungi dan menziarahi kuburan
leluhur mereka, dan masih banyak lagi.
Semua upacara itu dibarengi berbagai kesenian dan pembacaan episode-episode La
Galigo yang episodenya disesuaikan dengan isi dan upacara yang berlangsung. Kesenian
yang mengiringinya antara lain séré bissu (joget bissu) maggiriq (para bissu menari sambil
menusuk badannya dengan badik) massureq (membaca La galigo), maggenrang (bermain
gendang), massuling lontaraq (meniup suling diiringi nyanyian La Galigo), mallae-lae, dan
sebagainya.
Seluruh rangkaian upacara ini dilaksanakan oleh tiga komponen yang saling
melengkapi, yaitu: 1) Pendeta Bissu, pendeta banci yang bertugas memimpin upacara ritual,
2) sanro, praktisi di belakang layar yang bertugas menyiapkan seluruh perlengkapan upacara,
dan 3) passureq, pembaca dan penembang La Galigo. Karena itu, Bissu, sanro, passureq, dan
para dewan adat adalah empat warga Bugis yang merupakan pemelihara dan pengawal La
Galigo yang berada di garda paling depan yang siap mempertaruhkan apa saja demi kesucian
ajaran La Galigo. Mereka pernah ditangkap bahkan dibunuh pada zaman DI-TII berkecamuk
di Sulawesi Selatan, mereka pernah dipaksa menjadi Hindu atau dirazia melalui “operasi
tobat” di zaman Orde Baru. Mereka tidak bergeming sedikitpun.
Apa yang telah dipaparkan di atas memperlihatkan bahwa religi, tradisi, dan seni dalam
La Galigo di Sulawesi Selatan memperlihatkan suatu rangkaian sistem yang merupakan satu
kesatuan struktural dan fungsional. Karya La Galigo itu sendiri sebagai teks yang berbentuk
sastra tak perlu lagi diperdebatkan, konvensi sastranya yang 5 suku kata pada setiap larik

9
yang mencapai ribuan bait, alurnya yang datar, kilas balik dan pembayangan, kompleksitas
karakter tokohnya, dan kemasan temanya yang rumit membuat orang susah memahami
bagaimana sebuah karya sastra lama ini memiliki semua dimensi sastra modern. Itulah yang
menempatkannya sebagai warga sastra dunia.
2. Budaya Kepulauan Nusa Tenggara
a. Nusa Tenggara Timur
Nusa Tenggara Timur tidak hanya menyimpan kecantikan alam yang memikat hati
namun juga mempunyai ragam kebudayaan yang tidak kalah menarik untuk ditelusuri.
Provinsi yang terkenal dengan Pulau Komodo ini memiliki budaya khas mulai dari tradisi
kuliner, upacara adat, kesenian, sampai dengan kebahasaan
a. Se’i, Daging Asap Khas Rote
Pengasapan adalah salah satu teknik yang telah dilakukan oleh nenek moyang
masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mempertahankan kualitas daging sapi. Se’i
adalah salah satu hasil olahan daging sapi dengan cara pengasapan yang merupakan hasil
olahan khas dari salah satu kabupaten di wilayah Nusa Tenggara Timur, yaitu kabupaten Rote
Ndao. Se’i berasal dari bahasa daerah Rote, artinya daging yang disayat dalam ukuran kecil
memanjang, lalu diasapi dengan bara api sampai matang. Se’i adalah makanan khas suku
Rote yang kemudian merambah selera masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT). Produk
daging se’i memiliki keunikan dan spesifikasi. Baik aroma, warnanya yang merah, maupun
tekstur yang empuk dan rasanya yang lezat.
b. Aksara Lota
Tidak banyak yang mengetahui apabila di kawasan Nusa Tenggara Timur,
khususnya Kabupaten Ende, Pulau Flores memiliki aksara asli daerah tersebut yang disebut
dengan Lota. Adapun pengguna terbesar aksara Lota di masa lalu yaitu masyarakat etnis
Ende yang beragama Islam. Aksara Lota merupakan turunan langsung dari aksara Bugis.
Sejarah mencatat, aksara Lota masuk ke Ende sekitar abad ke-16, semasa Pemerintahan Raja
Goa XIV, I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alaudin (1593-1639). Kata Lota
berasal dari kata lontar. Terdapat 8 aksara Lota Ende yang tidak ada dalam aksara Bugis,
yaitu bha, dha, fa, gha, mba, nda, ngga dan rha. Sebaliknya ada 6 aksara Bugis yang tidak
terdapat dalam aksara Lota Ende, yaitu ca, ngka, mpa, nra, nyca dan nya.
c. Kesenian Tari Bonet
Tari Bonet menjadi salah satu tarian yang selalu hadir dalam kegiatan-kegiatan
yang bersifat komunal yang berkaitan dengan adat istiadat dan tradisi Suku Dawan di Nusa

10
Tenggara Timur. Tari Bonet dikenal dengan cirinya yang khas yaitu bentuk formasin yang
melingkar dan juga penggunaan puisi atau pantun dimana di dalam liriknya mengandung
kekayaan khasanah sastra lisan Suku Dawan.
Tarian ini nyaris selalu ada di setiap kegiatan maupun peristiwa adat masyarakat
Dawan, seperti upacara kelahiran, pernikahan, kematian, serta upacara pembangunan rumah,
permohonan hujan, dan lain sebagainya. Secara etimologis kata Bonet berasal dari rangkaian
kata dalam bahasa Dawan yaitu Na Bonet yang artinya mengepung, mengurung, mengelilingi
atau melingkari.
d. Upacara Bijalungu Hiu Paana
Bijalungu hiu paana adalah sebuah upacara adat yang diselenggarakan warga
Wanokaka, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Upacara dilaksanakan setiap
akhir Februari. Tanggal pastinya ditentukan oleh para Rato (pemimpin spiritual Marapu)
dengan melihat tanda-tanda alam serta berdasarkan perhitungan bulan gelap dan bulan terang.
Bijal memiliki makna turun atau pergi. Sedangkan Hiu Paana adalah nama sebuah hutan
kecil. Jadi bijalungu hiu paana berarti pergi ke hutan Hiu Paana. Dinamakan demikian karena
puncak upacara yang berpusat di kampung Waigali ini memang dilaksanakan di hutan itu,
tepatnya di sebuah gua kecil tak jauh dari kampung. Dalam upacara ini masyarakat
melakukan tradisi ritual Kabena Kebbo (lempar kerbau) dan ritual Teung (potong kerbau).
b. Nusa Tenggara Barat
Nusa Tenggara Barat merupakan daerah yang kaya dan unik. Selain sumber daya alam
yang mempesona, mulai dari puncak gunung hiingga kedasar lautan yang menyajikan daya
pikat tersendiri, juga seni budaya dan tradisi yang unik. Beragam kekayaan itu menambah
semakin sempurnanya keindahan dan keragaman wisata di pulau seribu masjid ini. Salah satu
tradisi unik yang terus dilestarikan oleh mayarakat NTB saat ini adalah Peresean, yaitu tradisi
pertarungan antara dua lelaki yang bersenjatakan tongkat rotan (penjalin) dan berperisai kulit
kerbau yang tebal dan keras, atau ende.
1. Suku di Nusa Tenggara Barat
Ada banyak suku yang mendiami NTB seperti suku Sasak, Sumbawa, Bali, dan
Jawa. Namun, mayoritas penduduk NTB adalah suku Sasak yang berasal dari Lombok.
Sementara, kelompok etnis terbesar di Nusa Tenggara Barat adalah masyarakat Bima dan
Sumbawa.
2. Bahasa Daerah Nusa Tenggara Barat

11
Tercatat memiliki beberapa bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat Nusa
Tenggara Barat, seperti bahasa daerah Sasak, Mbojo, Bojo dan Bali. Walaupun memiliki
bahasa daerah yang beragam, sehari-harinya masyarakat setempat menggunakan bahasa
Sasak.
3. Rumah Adat Nusa Tenggara Barat
Rumah adat dari Nusa Tenggara Barat yang paling terkenal yakni rumah adat sade
berasal dari suku Sasak. Rumah adat ini terletak di desa Rembitan, Lombok Tengah. Sampai
sekarang, masyarakat sekitar masih memegang teguh tradisi dan kelestarian rumah adat sade.
Suku Sasak percaya bahwa untuk membangun rumah adat terdapat aturan yang harus
dipatuhi. Misalnya waktu yang tepat untuk mendirikan rumah adat. Jika aturan tersebut
diabaikan, akan ada nasib buruk ketika menempati rumah tersebut.
4. Pakaian Adat Nusa Tenggara Barat
Pakaian adat suku Sasak bernama lambung. Pakaian ini dikenakan khusus oleh
wanita pada waktu menyambut kedatangan tamu dan saat upacara adat mendakin atau
nyongkol. Pakaian lambung berwarna hitam dan memiliki bentuk kerah baju “V”. Pakaian ini
dihiasi manik-manik pada tepian jahitan dan dilengkapi dengan selendang yang bercorak
pada bahu kanan dan kiri. Bawahan pakaian lambung merupakan kain panjang yang dililitkan
pada pinggang. Pakaian ini juga dilengkapi aneka ragam aksesori seperti anting berbentuk
bulat, gelang tangan dan bunga mawar yang terselip pada sanggulan rambut.
5. Tarian Daerah Nusa Tenggara Barat
Tari oncer merupakan salah satu tari daerah suku Sasak. Tarian oncer dimainkan oleh
tiga kelompok, di mana masing-masing kelompok terdiri dari 6-8 penari yang bertugas
membaca kencang dan dua orang membawa gendang dan satu orang membawa petuk.
3. Bali
a) Alam Pikiran
Dalam masyarakat Bali, konsepsi alam pikiran ini dianggap relevan dalam tata nilai
dan pelaksanaan upacara tradisional daur hidup. Sampai saat ini upacara ini masih terus
dilestarikan oleh masyarakat Bali. Masyarakat Bali memang selalu memegang teguh tradisi
mereka. Beberapa konsepsi masyarakat Bali yang terdapat dalam buku Upacara Tradisional
Upacara Kematian Daerah Bali (1985:40-42), yaitu5 :
1. Konsepsi Kosmologi Menurut ajaran Hindu kosmologi dibedakan menjadi dua, yaitu
mikrokosmos dan makrokosmos. Keduanya adalah alam semesta dan alam tubuh makhluk
5
Tim Penyusun. 1985. Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Bali. Malang: Balai Pustaka

12
memiliki sifat yang bersamaan, dan selalu eksistensinya dipelihara dalam hubungan yang
harmonis.
2. Konsepsi Rwa Bhineda Konsepsi ini berdasarkan sistem klasifikasi yang bersifat dualistis.
Fenomena yang sesuai dengan klasifikasi dualistik ini yaitu : siang berlawanan dengan
malam, gunung dengan laut, kebaikan dengan kejahatan, sehat dengan sakit, hulu dengan hilir
dan lain-lain. Konsepsi ini manifest dalam sistem penataan dan pelaksanaan upacara
tradisional.
3. Konsepsi Tri Hita Karana Tri Hita
Karana artinya Tiga keharmonisan yang menyebabkan adanya kehidupan yaitu hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, hubungan yang harmonis antara manusia
dengan manusia dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Ketiga
komponen ini selalu terpelihara keseimbangan dan keselarasan antara mikromos dan
makromosnya.
4. Konsepsi Religius
Magis Sebelum manusia mengenal religi, mereka telah mengembangkan kepercayaan yang
bersifat magis. Dalam kehidupan masyarakat, religius magis terkait sangat erat satu sama
lain. Seperti yang dikatakan oleh ahli ilmu antropologi Frazer, bahwa magis berevaluasi ke
arah religi.
5. Konsepsi Kepiutangan (berhutang budi) Dalam pemikiran masyarakat Bali, hubungan orang
tua dengan anak dilatarbelakangi oleh pandangan, bahwa yang satu merasa berhutang budi
terhadap yang lain. Alam pikiran seperti ini sangat dalam melestarikan upacara daur hidup di
kalangan masyarakat Bali. Misalnya adalah sebuah kewajiban orang tua (bapak dan ibu)
untuk melaksanakan upacara potong gigi bagi anak-anak mereka. Semua konsepsi-konsepsi
ini selalu berkesinambungan mulai dari hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan lingkungan sekitar serta hubungan manusia dengan alam. Konsepsi ini masih
terpelihara sampai saat ini. Upacaraupacara daur hidup yang dilaksanakan masyarakat Bali
didasari oleh konsepsikonsepsi tersebut.
b) Sistem Kekerabatan
Dalam buku Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah
Propinsi Bali6 (1978:40-41), sistem kekerabatan di Bali memiliki fungsi-fungsi tertentu yang
meliputi aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan religi baik dalam segi

6
Bambang Suwondo. 1978. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan
Kebudayaan Daerah Propinsi Bali. Jakarta: Balai Pustaka

13
kehidupan tradisional maupun segi kehidupan modern. Kelompok kekerabatan di Bali ini
bermacam-macam, antara lain : keluarga inti, keluarga luas, clan kecil dan clan besar.
Keluarga inti ini memiliki fungsi selain merupakan kesatuan tempat adanya hubungan yang
mesra dan intim juga merupakan kesatuan ekonomi yang mewujudkan suatu kesatuan rumah
tangga, kesatuan dalam pengasuhan, dan pendidikan anak. Upacara daur hidup adalah
serentetan upacara sebagai tingkah laku yang berpola tata kelakuan dan kepercayaan
masyarakat yang berkaitan dengan daur hidup tersebut. Menurut masyarakat Bali yang
menganut agama Hindu,upacara daur hidup tergolong sebagai upacara manusa yadnya
(selama seseorang masih hidup) dan upacara pitra yadnya (setelah seseorang meninggal).
Jenis-jenis upacara daur hidup ini misalnya : upacara saat kelahiran, upacara potong rambut
pertama, upacara mengantar anak menjadi dewasa, upacara potong gigi, upacara perkawinan,
upacara kematian (ngaben). Upacara daur hidup ini dilakukan sejak seseorang lahir, hingga
tumbuh menjadi dewasa kemudian meninggal. Masyarakat Bali masih mempertahankan
tradisi ini sampai sekarang karna masyarakat Bali beranggapan bahwa melaksanakan upacara
ini merupakan kewajiban untuk hubungan kekerabatan, terutama hubungan antara ayah
dengan anak.
c) Sistem Religi dan Kepercayaan
Menurut buku Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Bali, Kepercayaan
yang ada di masyarakat Bali dibedakan atas : kepercayaan yang berasal dari zaman pra Hindu
dan kepercayaan yang berasal dari zaman Hindu. Kepercayaan dari jaman pra Hindu adalah
kepercayaan animisme dan dinamisme. Sedangkan kepercayaan dai zaman Hindu adalah
kepercayaan panca cradha yang mencakup : percaya adanya Tuhan, percaya akan konsepsi
atma (roh abadi), percaya tentang punarbhawa (kelahiran kembali), percaya terhadap hukum
karmapala (buah dari seriap perbuatan), dan percaya adanya moksa (kebebasan jiwa).
Sedangkan dalam buku Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan
Daerah Propinsi Bali, masyarakat Bali juga melaksanakan upacara-upacara keagamaan yang
disebut dengan panca wadnya yaitu : Manusa yadnya, Pitra yadnya, Dewa yadnya, Resi
yadnya, dan Bhuta yadnya. Kepercayaan dan sistem religi masyarakat Bali selalu bersumber
dari agama Hindu yang mereka anut. Masyarakat Bali juga sangat menjaga dan
melaksanakan kepercayaan yang berasal dari Hindu. Sampai saat ini kepercayaan panca
cradha dan upacara panca wadnya masih tetap dilaksanakan di Bali.
d) Budaya Tindakan
1. Hari Raya Galungan dan Hari Raya Nyepi

14
Galungan diambil dari bahasa Jawa Kuna yang berarti bertarung. Biasa disebut juga
“dungulan” yang artinya menang. Galungan adalah salah satu upacara utama yang dirayakan
olah umat Hindu di Bali sebagai pertanda kemenangan Dharma (kebaikan) melawan
Adharma (kejahatan) dan turunnya para leluhur ke dunia. Hari raya Galungan berlangsung
selama 10 hari dan selama 10 hari tersebut akan banyak perayaan seperti tari Barong dari
pura ke pura di setiap desa. Selain itu juga berarti kemampuan untuk membedakan
kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad)
karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk
menguasai kecenderungan keraksasaan. Selama sepuluh hari ini setiap keluarga di Bali akan
melakukan persembahyangan. Perayaan Hari Raya Galungan identik dengan penjor yang
dipasang di tepi jalan, menghiasi jalan raya. (Penjor adalah bambu yang dihias sedemikian
rupa sesuai tradisi masyarakat Bali setempat). Hari Raya Nyepi Adalah upacara menyambut
Tahun Baru Caka atau Tahun Baru dalam perhitungan kalender Bali. Hari raya ini adalah
yang terbesar di Bali dan juga dirayakan oleh seluruh umat Hindu di Indonesia. Pada malam
perayaan tahun baru, setiap desa dibersihkan, masakan disiapkan untuk 2 hari dan sore
harinya seluruh masyarakat membuat suara keras dan mengarak Ogoh-Ogoh untuk mengusir
setan. Keesokan harinya, semua masyarakat Bali tidak ada yang meninggalkan rumah,
memasak atau melakukan kegiatan lainnya. Jalanan sepi dan turis tidak diperkenankan
meninggalkan areal hotel. Tidak ada kedatangan dan keberangkatan di Bandara Ngurah Rai.
Tidak ada aktivitas wisata.
e) Upacara Adat
Dalam buku Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap Perkembangan Kebudayaan Daerah
Propinsi Bali, keseluruhan upacara adat di Bali digolongkan dalam 5 macam upacara yang
disebut dengan panca wadnya, yaitu :
a. Manusa Yadnya Manusa artinya manusia.
Yadnya artinya upacara persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Manusa Yadnya adalah
upacara persembahan suci yang tulus ikhlas dalam rangka pemeliharaan, pendidikan serta
penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak lahir sampai dewasa. Contoh upacara
adat manusa yadnya ini adalah upacara bayi lahir, upacara perkawinan dan lain-lain.
b. Pitra Yadnya Pitra artinya arwah manusia yang sudah meninggal. Yadnya artinya upacara
persembahan suci yang tulus ikhlas. Upacara Pitra Yadnya adalah upacara persembahan suci
yang tulus ikhlas dilaksanakan dengan tujuan untuk penyucian dan penghormatan terhadap
orang yang telah meninggal menurut ajaran Agama Hindu. Sebagai sarana penyucian

15
digunakan air dan tirtha (air suci) sedangkan untuk pralina (kremasi/kembali ke asal)
digunakan api pralina (api alat kremasi). Upacara ini meliputi upacara kematian sampai pada
upacara penyucian ruh leluhur.
f) Seni Tari Tradisional
Sampai saat ini di Bali tarian sakral masih tetap dilestarikan. Hal ini terjadi karena
masyarakat percaya jika meninggalkan tradisi ini maka akan menimbulkan mala petaka bagi
masyarakat sendiri. Tarian sakral ini juga berkaitan erat dengan upacara keagamaan.
Masyarakat juga percaya bahwa tarian ini mempunyai peranan penting untuk mengantarkan
harapan memenuhi kebutuhan hidup yang sangat mendasar baik secara pribadi maupun orang
banyak. Harapan itu tersirat bahwa dengan menarikan tarian sakral dianggap sebagai media
persembahan dan pemujaan terhadap Tuhan. Kemudian Beliau berkenan memberikan
perlindungan, keselamatan, kekuatan, kesejahtraan dan kebahagian hidup.

4. Maluku
Maluku adalah provinsi kepulauan terbesar di Indonesia yang berdiri di timur
NKRI. Ibu kota Maluku adalah Ambon yang bergelar atau memiliki julukan sebagai  Ambon
Manise , kota Ambon berdiri di bagian selatan dari Pulau Ambon yaitu di jazirah
Leitimur. Sejarah Maluku sudah dimulai sejak zaman kerajaan-kerajaan besar di Timur
Tengah seperti kerajaan Mesir yang dipimpin Firaun. Bukti bahwa sejarah Maluku adalah
yang tertua di Indonesia adalah catatan tablet tanah liat yang ditemukan di Persia,
Mesopotamia, dan Mesir menyebutkan “ adanya negeri dari timur yang sangat kaya,
merupakan tanah surga, dengan hasil alam berupa cengkeh, emas dan mutiara . “
a) Rumah Adat
           Rumah adat Maluku bernama Baileo. Baileo dipakai untuk tempat pertemuan,
musyawarah dan upacara adat yang disebut Saniri Negeri. Rumah tersebut merupakan
panggung dan dikelilingi oleh serambi. Atapnya besar dan tinggi terbuat dari daun rumbia,
sedangkan dindingnya dari tangkai rumbai yang disebut.

16
b) Pakaian Adat

Prianya memakai pakaian adat berupa setelann jas berwarna merah dan hitam,
baju dalam yang berenda dan ikat pinggang. Sedangkan wanitanya memakai baju
Cele, semacam kebaya pendek, dan berkain yang disuji. Perhiasannya berupa
anting anting, kalung dan cincin. Pakaian ini berdasarkan adat Ambon.

c) Tarian Daerah Maluku


Tari Lenso, merupakan tarif pergaulan bagi lapisan masyarakat Maluku, Tari
Cakalele, adalah tari perang yang melukiskan jiwa kepahlawanan yang gagah perkasa, Tari
Cakaola, merupakan jenis tarif pergaulan yang digarap berdasarkan unsur gerak tari
tradisional Orlapei dan Saureka reka. Tarif ini biasannya ditarikan untuk memeriahkan pesta
pesta atau dipertunjukkan dalam rangka manjamu tamu terhormat.    

d) Upacara adat maluku

1. Acara Adat Antar Sontong

Antar Sotong yaitu para nelayan berkumpul menggunakan perahu dan lentera untuk
mengundang cumi-cumi dari dasar laut mengikuti cahaya lentera mereka menuju tepi pantai
dimana masyarakat sudah menunggu untuk menciduk mereka dari laut

17
2. Pukul Manyapu

Pukul Manyapu adalah acara adat/tahunan yang di lakukaan di Desa Mamala-Morela, yang
biasanya dilakukan pada hari ke-7 Setelah Hari Raya Idul Fitri

3. Acara Obor Pattimura

Setiap tanggal 15 Mei, di Maluku pemerintah bersama rakyat setem


pat melakukan prosesi adat dan kebangsaan dalam m
emperingati hari Pattimura. Yang paling terkenal adalah lari obor dari Pulau Saparua
menyebrangi lautan menuju Pulau Ambon, untuk selanjutnya diarak-arak sepanjang 25
kilometer menuju kota Ambon. Prosesi ini diawali dengan Pembakaran api obor secara alam
di puncak Gunung Saniri di Pulau Saparua. Gunung Saniri adalah salah satu ritus sejarah
perjuangan Pattimura karena di tempat itulah, awal dari perang rakyat Maluku melawan
Belanda tahun 1817.

Dalam sejarahnya, di Gunung Saniri berkumpul para Latupati atau Raja-Raja dan tokoh
masyarakat Pulau Saparua. Mereka melakukan Rapat Saniri (musyawarah raja-raja) untuk
menyusun strategi penyerangan ke Benteng Durstede di Saparua yang dikuasai Belanda.
Thomas Matulessy dari desa Haria lantas diangkat menjadi Kapitan atau panglima perang
dengan gelar Pattimura.

Penyerangan rakyat ke benteng Durstede melalui Pantai Waisisil tidak menyisahkan serdadu
Belanda termasuk Residen Belanda Van de Berk dan keluarganya. Semuanya tewas terbunuh
dan yang hidup hanyalah putra Van de Berk yang berusia lima tahun. Dia diselamatkan oleh
Pattimura. Belakangan, putra Van de Berk ini diserahkan kembali kepada pemerintahan
Belanda di Ambon.

5. Papua
Adat Istiadat
Adat istiadat orang Papua yang masih dipertahankan sampai saat ini oleh suku-suku yang
mendiami kepulauan Papua, antara lain :
1) Di daerah ini masih banyak orang yang mengenakan holim (koteka)  (penutup penis) yang
terbuat dari kunden kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari
rumput/serat.

18
2) Masyarakat Dani percaya pada kekuatan gaib, roh leluhur dan roh-roh kerabat yang telah
meninggal.
3)  Hubungan antara orang yang masih hidup dengan roh leluhur dan roh orang yang telah
meninggal lainnya dilakukan melalui upacara.
4)  Berduka: Memutus jari dan melumuri muka dengan tanah liat ketika berduka
System  kekerabatannya :
1) Masyarakat Dani tidak mengenal konsep keluarga batih, di mana bapak, ibu, dan anak tinggal
dalam satu rumah. Mereka adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai
suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam
masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.
2)  Pada dasarnya silimo / sili merupakan komplek tempat kediaman yang terdiri dari beberapa
unit bangunan beserta perangkat lainnya.
3)  Perkampungan tradisional di Wamena dengan rumah-rumah yang dibuat bernbentuk bulat
beratap ilalang dan dindingnya dibuat dari kayu tanpa jendela.Rumah seperi ini disebut honai
4) Komplek bangunan biasanya terdiri dari unsur-unsur unit bangunan yang dinamakan: rumah
laki-laki (Honei/pilamo), rumah perempuan (ebe-ae/ Ebei ), dapur (hunila) dan kandang babi
(wamdabu/Wamai ).
Proses  Sosial

Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang-perorangan dan
kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentu-bentuk
hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang
menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang terlah ada. Proses sosial dapat diartikan
sebagai pengaruh timbale-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh-
mempengaruhi antara sosial dengan politik, politik dengan ekonomi, ekonomi dengan
hukum.

Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial(yang juga dapat dinamakan
sebagai proses sosial) karena interasi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-
aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia,
maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara
kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompo tersebut sebagai suatu kesatuan dan
biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.

Sistem Interaksi Sosial Komunikasi

Interaksi sosial merupakan kunci dari semua kehidupan sosial, karena tanpa interkasi
sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi
sosial(yang juga dapat dinamakan sebagai proses sosial) karena interasi sosial merupakan
syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial merupakan hubungan-
hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia. Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi anatara kelompo
tersebut sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi anggota-anggotanya.

19
Interaksi sosial antara kelompok-kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat.
Interaksi tersebut lebih mencolok ketika terjadi benturan antara kepentingan perorangan
dengan kepentingan kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak-pihak apabila
terjadi reaksi terhadap dua belah pihak.

 Interaksi sosial tak akan mungkin teradi apabila manusia mengadakan hubungan
yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali tidak berpengaruh terhadap sistem syarafnya,
sebagai akibat hubungan termaksud.

Sistem Sosial Kehidupan Masyarakat Manokwari

Berbicara mengenai sistem sosial, terkandung sistem nilai sosial budaya.


Koentjaraningrat menganggap nilai sosial budaya sebagai faktor mental yang menentukan
perbuatan seseorang atau sekelompok orang di masyarakat. Sistem nilai budaya terdiri dari
konsep-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai
hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu suatu nilai budaya
biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata
kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum
dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya7.

Semua sistem nilai budaya dalam semua kebudayaan, akan berkisar dalam lingkup
masalah kehidupan (hakekat hidup), kerja, waktu, alam atau lingkungan hidup dan hubungan
dengan sesama manusia. Sedangkan mengikuti klasifikasi Alisyahbana ,berusaha memilah-
milah berbagai macam nilai budaya menjadi enam kelompok: Nilai teori, nilai ekonomi, nilai
solidaritas, nilai agama, nilai seni dan nilai kuasa. Pertama nilai teori mendasari perbuatan
seseorang atau sekeklompok orang yang bekerja terutama atas pertimbangan-pertimbangan
rasional. Nilai ini dilawankan dengan nilai agama, yaitu nilai budaya yang mendasari
perbuatan-perbuatan atas pertimbangan kepercayaan bahwa ‘’sesuatu’’ itu benar. Kedua nilai
ekonomi yaitu pertimbangan utama yang mendasari perbuatan dengan ada tidaknya
keuntungan finansial sebagai akibat dari perbuatannya, dilawankan dengan nilai seni, yakni
nilai budaya yang mempengaruhi tindakan seseorang atau sekelompok orang terutama atas
pertimbangan rasa keindahan atau rasa seni yang terlepas dari pertimbangan material. Ketiga
nilai solidaritas, apabila perbuatan seseorang didasarkan atas pertimbangan bahwa teman atau
tetangganya juga berbuat demikian tanpa menghiraukan akibat perbuatan itu terhadap dirinya
sendiri. Nilai ini dilawankan dengan nilai kuasa, yaitu budaya yang mendasari perbuatan
seseorang atau sekelompok orang terutama atas pertimbangan baik-buruk untuk kepentingan
diri atau kelompoksendiri8.

Keenam jenis nilai tersebut, timbul dari aktivitas budi manusia, yaitu: (1) nilai teori atau ilmu
yang merupakan identitas tiap benda atau peristiwa, terutama berkait erat dengan aspek
penalaran (reasoning) ilmu dan teknologi; (2) nilai ekonomi, yang mencari dan member

7
Koentjaraningrat (1974). Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi
di Indonesia. Jakarta: Bharata.
8
Alisyahbana, ST. 1981. Pembangunan Kebudayaan Indonesian Di Tengah Laju Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Prisma No. II (P3ES)

20
makna bagaimana kegunaan segala sesuatu, berpusat pada penggunaan sumber dan benda
ekonomi secara efektif dan efisien berdasarkan kalkulasi dan pertanggung jawaban; (3) nilai
agama, yang melihat segala sesuatu sebagai penjelmaan kekudusan, dikonsentrasikan pada
nilai-nilai dasar bagi kemajuan kehidupan di dunia dan akhirat; (4) nilai seni, yang
menjelmakan keindahan atau keekspresifan; (5) nilai kekuasaan, yang merupakan proses
vertikal dari organisasi sosial yang terutama terjelma dalam hubungan politik, ditandai oleh
pengambilan keputusan; dan (6) nilai solidaritas sosial, yang merupakan poros horizontal dari
organisasi, terjelma dalam cinta dan kasih sayang, namun lebih berorientasi kepada
kepercayaan diri sendiri.

21
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberhasilan itu merupakan perwujudan nyata dari ketaatan mereka
terhadap nilai-nilai dan norma-norma serta sikap yang mereka kembangkan
dalam kebudayaannya untuk menjaga dan melestarikan alam. Seringkali
norma-norma dan nilai-nilai itu mereka samarkan dalam kepercayaan-
kepercayaan yang mereka anut sehingga bagi kebanyakan orang di zaman
modern ini menganggapnya tidak rasional dan bahkan kadangkala
mencemohkannya. Meskipun demikian jangan lupa, bahwa strategi-strategi
yangmereka gunakan untuk menanamkan dan melaksanakan nilai-nilai dan
norma-norma yang berhubungan dengan pengaturan dan penjagaan terhadap
keseimbangan hubungan mahluk manusia dengan ekosistem dalam rangka
menyiapkan secara lestari kebutuhan manusia itu adalah sangat efektif.

B. Saran
Berbagai sumber daya alam yang dinikmati sekarang sesungguhnya
merupakan bukti nyata keberhasilan masyarakat tradisional pada masa lampau
untuk menjaga, melestarikan dan mewariskannya bagi kita di waktu sekarang.
Persoalan bagi kita sekarang adalah mampukah kita untuk dapat berbuat hal
yang sama bagi generasi mendatang.

22
DAFTAR PUSTAKA

Alisyahbana, ST. 1981. Pembangunan Kebudayaan Indonesian Di Tengah


Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Jakarta: Prisma No. II (P3ES)

Bambang Suwondo. 1978. Pengaruh Migrasi Penduduk Terhadap


Perkembangan Kebudayaan Daerah Propinsi Bali. Jakarta: Balai Pustaka

https://sopigpsite.wordpress.com/2016/10/22/kebudayaan-maluku/

Koentjaraningrat (1974). Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan


Ekonomi di Indonesia. Jakarta: Bharata.

Tim Penyusun. 1985. Upacara Tradisional Upacara Kematian Daerah Bali.


Malang: Balai Pustaka

23

Anda mungkin juga menyukai