Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

KEBUDAYAAN ACEH, KEBUDAYAAN BATAK, DAN


KEBUDAYAAN BETAWI

Untuk Memenuhi Mata Kuliah Masyarakat dan Budaya Nusantara

Dosen Pengampu : Taswirul Afkar, S.S.,M.Pd

Disusun Oleh :

Ach. Mughni Darmawan (52102030002)

Amalia Puspitasari (52102030013)

Dian Novitasari (52102030023)

Lutviana Devi Rahmawati (52102030054)

Fabrian Caesar Perdana (52102030027)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI

UNIVERSITAS ISLAM MAJAPAHIT

TAHUN AKADEMIK 2021/2022

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 1


KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
taufik serta hidayah-Nya. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Kebudayaan Aceh, Kebudayaan Batak, dan Kebudayaan Betawi” ini
dengan sebaik – baiknya.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Sejarah
Peradaban Islam. Dalam menyelesaikan makalah ini, penyusun banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penyusun
bermaksud mengucapkan terima kasih kepada :

1. Taswirul Afkar, S.S.,M.Pd selaku dosen pembimbing mata kuliah


Masyarakat dan Budaya Nusantara yang telah banyak memberi masukan.
2. Serta semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyusunan
makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak untuk mengevaluasi makalah ini. Penyusun
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semuanya.

Mojokerto, 18 September 2021

Penyusun

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 2


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ................................................................. 4


1.2 Rumusan Masalah ............................................................ 7
1.3 Tujuan .............................................................................. 7
1.4 Manfaat ............................................................................ 7

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sistem Bahasa .................................................................. 8


2.2 Sistem Pengetahuan ......................................................... 11
2.3 Sistem Kemasyarakatan ................................................... 16
2.4 Sistem Peralatan dan Teknologi ....................................... 21
2.5 Sistem Mata Pencaharian ................................................. 23
2.6 Sistem Religi .................................................................... 25
2.7 Kesenian ........................................................................... 29

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ..................................................................... 37

3.2 Kritik dan Saran ............................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA iv

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 3


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu
buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal)
diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia.
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem bahasa,
pengetahuan, kemasyarakatan, peralatan dan teknologi, mata pencaharian,
religi, dan kesenian.
Indonesia merupakan salah satu Negara yang mempunyai banyak
keanekaragaman budaya yang sangat menarik dan unik. Seperti kebudayaan
Aceh, Batak, dan Betawi yang akan kita bahas kali ini.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas, kami
akan membahas unsur-unsur kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi
diantaranya :
1. Bagaimana asal usul kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi?
2. Bagaimana sistem bahasa yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
3. Bagaimana sistem pengetahuan yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
4. Bagaimana sistem kemasyaraatan yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
5. Bagaimana sistem peralatan dan teknologi yang ada di Aceh, Batak, dan
Betawi?
6. Bagaimana sistem mata pencaharian yang ada di Aceh, Batak, dan
Betawi?
7. Bagaimana sistem religi yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
8. Apa saja kesenian yang ada di Kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi?

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 4


1.3 Tujuan
Dari makalah ini, diharapkan para mahasiswa mengerti lebih dalam
tentang seluk beluk kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi. Serta mengetahui
apa saja unsur-unsur yang terdapat pada kebudayaan-kebudayaan tersebut,
Seperti :
1. Bagaimana asal usul kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi?
2. Bagaimana sistem bahasa yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
3. Bagaimana sistem pengetahuan yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
4. Bagaimana sistem kemasyaraatan yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
5. Bagaimana sistem peralatan dan teknologi yang ada di Aceh, Batak, dan
Betawi?
6. Bagaimana sistem mata pencaharian yang ada di Aceh, Batak, dan
Betawi?
7. Bagaimana sistem religi yang ada di Aceh, Batak, dan Betawi?
8. Apa saja kesenian yang ada di Kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi?

1.4 Manfaat
1. Meningkatkan rasa cinta mahasiswa terhadap kebudayaan di Indonesia
Khususnya Aceh, Batak, dan Betawi.
2. Memperluas pengetahuan dan wawasan mahasiswa tentang sistem-
sistem kebudayaan Aceh, Batak, dan Betawi

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 5


BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sistem Bahasa


i) Bahasa Aceh
Provinsi Aceh memiliki 13 buah bahasa asli yaitu bahasa Aceh, Gayo,
Aneuk Jamee, Singkil, Alas, Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak,
Haloban, Lekon dan Nias. Selain itu dikenal pula bahasa Simeulue.
a) Bahasa Aceh
Di antara bahasa-bahasa daerah yang terdapat di provinsi Aceh, bahasa
Aceh merupakan bahasa daerah terbesar dan yang paling banyak penuturnya,
yakni sekitar 70 % dari total penduduk provinsi Aceh. Penutur bahasa Aceh
tersebar di wilayah pantai Timur dan Barat provinsi Aceh. Penutur asli bahasa
Aceh adalah mereka yang mendiami kabupaten Aceh Besar, kota Banda
Aceh, kabupaten Pidie, kabupaten Aceh Jeumpa, kabupaten Aceh Utara,
kabupaten Aceh Timur, kabupaten Aceh Barat dan kota Sabang. Penutur
bahasa Aceh juga terdapat di beberapa wilayah dalam kabupaten Aceh
Selatan, terutama di wilayah Kuala Batee, Blang Pidie, Manggeng, Sawang,
Tangan-Tangan, Meukek, Trumon dan Bakongan.
Bahkan di kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara dan Simeulue, kita
dapati juga sebagian kecil masyarakatnya berbahasa Aceh. Selain itu, di luar
provinsi Aceh, yaitu di daerah-daerah perantauan, masih ada juga kelompok-
kelompok masyarakat Aceh yang tetap mempertahankan bahasa Aceh
sebagai bahasa ibu mereka. Hal ini dapat kita jumpai pada komunitas
masyarakat Aceh di Medan, Jakarta, Kedah dan Kuala Lumpur di Malaysia
serta Sydney di Australia.

b) Bahasa Gayo
Bahasa ini diyakini sebagai suatu bahasa yang erat kaitannya dengan
bahasa Melayu kuno, meskipun kini cukup banyak kosakata bahasa Gayo
yang telah bercampur dengan bahasa Aceh. Bahasa Gayo merupakan bahasa

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 6


ibu bagi masyarakat Aceh yang mendiami kabupaten Aceh Tengah, sebagian
kecil wilayah Aceh Tenggara, dan wilayah Lokop di kabupaten Aceh Timur.
Bagi kebanyakan orang di luar masyarakat Gayo, bahasa ini mengingatkan
mereka akan alunan-alunan merdu dari syair-syair kesenian didong.

c) Bahasa Aneuk Jamee


Bahasa ini sering juga disebut (terutama oleh penutur bahasa Aceh)
dengan bahasa Jamee atau bahasa Baiko. Di Kabupaten Aceh Selatan dan
Aceh Barat Daya bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi penduduk yang
mendiami wilayah-wilayah kantung suku Aneuk Jamee. Di Kabupaten Aceh
Barat Daya bahasa ini terutama dituturkan di Susoh, sebagian Blang Pidie dan
Manggeng. Kabupaten Aceh Selatan merupakan daerah yang paling banyak
dituturkan sebagai lingua franca, antara lain Labuhan Haji, Samadua,
Tapaktuan, dan Kluet Selatan. Di luar wilayah Aceh Selatan dan Aceh Barat
Daya, bahasa ini juga digunakan oleh kelompok-kelompok kecil masyarakat
di kabupaten Singkil dan Aceh Barat, khususnya di kecamatan Meureubo
(Desa Peunaga Rayek, Ranto Panyang, Meureubo, Pasi Meugat, dan Gunong
Kleng), serta di kecamatan Johan Pahlawan (khususnya di desa Padang
Seurahet).

d) Bahasa Singkil
Informasi tentang bahasa Singkil, terutama dalam bentuk penerbitan,
masih sangat terbatas. Bahasa ini merupakan bahasa ibu bagi sebagian
masyarakat di kabupaten Singkil. Dikatakan sebagian karena ada sebagian
lain masyarakat di kabupaten Singkil yang menggunakan bahasa Aceh,
bahasa Aneuk Jamee, ada yang menggunakan bahasa Minang, dan ada juga
yang menggunakan bahasa Dairi (atau disebut juga bahasa Pakpak)
khususnya di kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 7


e) Alas
Bahasa ini kedengarannya lebih mirip dengan bahasa yang digunakan
oleh masyarakat etnis Karo di Sumatera Utara. Masyarakat yang mendiami
kabupaten Aceh Tenggara, di sepanjang wilayah kaki gunung Leuser, dan
penduduk di sekitar hulu sungai Singkil di kabupaten Singkil, merupakan
masyarakat penutur asli dari bahasa Alas. Penduduk kabupaten Aceh
Tenggara yang menggunakan bahasa ini adalah mereka yang berdomisili di
lima kecamatan, yaitu kecamatan Lawe Sigala-Gala, Lawe Alas, Bambel,
Babussalam, dan Bandar.

f) Tamiang
Bahasa Tamiang (dalam bahasa Aceh disebut bahasa Teumieng)
merupakan varian atau dialek bahasa Melayu yang digunakan oleh
masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang (dulu wilayah kabupaten Aceh Timur),
kecuali di kecamatan Manyak Payed (yang merupakan wilayah bahasa Aceh)
dan kota Kuala Simpang (wilayah bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia,
bahasa Aceh dan bahasa Tamiang). Hingga kini cita rasa Melayu masih terasa
sangat kental dalam bahasa Tamiang.

g) Kluet
Bahasa Kluet merupakan bahasa ibu bagi masyarakat yang mendiami
daerah kecamatan Kluet Utara dan Kluet Selatan di kabupaten Aceh Selatan.
Informasi tentang bahasa Kluet, terutama kajian-kajian yang bersifat
akademik, masih sangat terbatas. Masyarakat Aceh secara luas, terkecuali
penutur bahasa Kluet sendiri, tidak banyak mengetahui tentang seluk-beluk
bahasa ini.

h) Haloban
Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang digunakan
oleh masyarakat di kabupaten Singkil, khususnya mereka yang mendiami
Kepulauan Banyak, terutama sekali di Pulau Tuanku. Bahasa ini

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 8


kedengarannya sangat mirip dengan bahasa Devayan yang digunakan oleh
masyarakat di pulau Simeulue. Jumlah penutur bahasa Haloban sangat sedikit
dan jika tidak ada upaya-upaya untuk kemajuan, pengembangan serta
pelestarian tidak segera dimulai, dikhawatirkan suatu saat nanti bahasa ini
hanya tinggal dalam catatan-catatan kenangan para peneliti bahasa daerah.

i) Devayan
Bahasa Devayan adalah suatu bahasa yang digunakan oleh suatu suku
yang mendiami wilayah pulau Simalur (Simeulue) bagian selatan yaitu di
Kecamatan Simalur Timur, Simalur Tengah, Teluk Dalam, Teupah Barat dan
Teupah Selatan. Bahasa Devayan ini sangat erat keterkaitannya dengan
bahasa dari pulau Nias, kemiripan kata dan arti sangat banyak ditemukan. Di
tempat asal bahasa ini yaitu di pulau Simalur (Simeulue) masih terdapat
bahasa-bahasa lain yang ternyata masih memiliki hubungan kekerabatan.
Bahasa-bahasa lain tersebut adalah bahasa, seperti bahasa Lekon, bahasa
Sigulai, bahasa Haloban dan bahasa Nias.

j) Sigulai
Bahasa Sigulai atau Sikule merupakan sebuah bahasa yang dituturkan
oleh suku Sigulai yang terdapat di Pulau Simeulue bagian utara. Bahasa ini
terdapat di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan Salang
Sigulai adalah nama sebuah kerajaan kecil di kecamatan Simeulue
Barat dahulu yaitu Bano Sigulai. Sigulai juga nama sebuah desa di kecamatan
Simeulue Barat. Beberapa orang menyebutnya bahasa Lamamek, yaitu nama
sebuah kampung di kecamatan Simeulue Barat juga yang juga memiliki
bahasa yang sama.

k) Pakpak
Bahasa Pakpak digunakan penduduk yang bermukim di sebagian
wilayah Kabupaten Aceh Singkil. Disebut juga dengan bahasa Dairi dan
dipakai kalangan pedagang dan pelaku bisnis di wilayah Subulussalam.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 9


l) Lekon
Bahasa Lekon, merupakan bahasa yang diucapkan oleh suku bangsa
Lekon, yang mendiami Kecamatan Alafan, Pulau Simalur (Simeulue) yang
berada di lepas pantai sebelah barat provinsi Aceh. Suku Lekon ini bermukim
di desa Lafakha dan desa Langi. Bahasa Lekon masih berkerabat dengan
bahasa-bahasa lain yang ada di Pulau Simalur (Simeulue), seperti bahasa
Devayan, Sigulai, Haloban dan Nias.

m) Nias
Bahasa Nias dipakai masyarakat Nias yang mendiami pulau Siumat dan
pulau Teupah. Selain itu juga dipakai di Pulau Tuanku, khususnya di Desa
Ujong Sialit.

n) Simeulue
Bahasa Simeulue adalah salah satu bahasa daerah Aceh yang
merupakan bahasa ibu bagi masyarakat di pulau Simeulue dengan jumlah
penuturnya sekitar 60.000 orang. Dalam penelitian Morfologi Nomina
Bahasa Simeulue, menemukan bahwa kesamaan nama pulau dan bahasa ini
telah menimbulkan salah pengertian bagi kebanyakan masyarakat Aceh di
luar pulau Simeulue: mereka menganggap bahwa di pulau Simeulue hanya
terdapat satu bahasa daerah, yakni bahasa Simeulue. Padahal di kabupaten
Simeulue dapat dijumpai tiga bahasa daerah, yaitu bahasa Simeulue, bahasa
Sigulai (atau disebut juga bahasa Lamamek), dan bahasa Devayan. Ada
perbedaan pendapat di kalangan para peneliti bahasa tentang jumlah bahasa
di pulau Simeulue. misalnya, mengatakan bahwa di pulau Simeulue hanya
ada satu bahasa, yaitu bahasa Simeulue. Akan tetapi bahasa ini memiliki dua
dialek, yaitu dialek Devayan yang digunakan di wilayah kecamatan Simeulue
Timur, Simeulue Tengah dan di kecamatan Tepah Selatan, serta dialek
Sigulai yang digunakan oleh masyarakat di wilayah kecamatan Simeulue
Barat dan kecamatan Salang.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 10


ii) Bahasa Batak
Bahasa Batak merupakan rumpun bahasa yang berkerabat di Sumatera
Utara, bahasa batak dapat dikategorikan sebagai berikut :
a) Bahasa Batak Utara, terbagi atas:
 Bahasa Alas, adalah sebuah bahasa yang dituturkan di provinsi
Sumatera Utara dan Aceh oleh suku bangsa Alas.
 Bahasa Karo, adalah bahasa yang digunakan oleh suku Karo yang
mendiami Dataran Tinggi Karo (Kabupaten Karo). Langkat, Deli
Serdang, Dairi, Medan, hingga Aceh Tenggara.
b) Bahasa Batak Selatan, terbagi atas:
 Bahasa Angkola, bahasa yang digunakan suku Batak angkola
meliputi daerah Padang Sidempuan. Batang Toru, Sipirok, Seluruh
bagian Tapanuli Selatan.
 Bahasa Mandailing, merupakan rumpun Bahasa Batak, dalam
pengucapan yang lebih lembut dari bahasa Angkola. Mayoritas
pengunaannya berasala dari kabupaten Mandailing-Natal tapi tidak
termasuk bahasa Natal.
 Bahasa Pakpak, merupakan bahasa yang digunakan masyarakat
Batak yang mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba samapai
perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh.
 Bahasa Simalungun, merupakan rumpun Bahasa yang digunakan
masyarakat Batak yang mendiami daerah bagian pinggir Danau
Toba.
 Bahasa Toba, merupakan bahasa yang digunakan masyarakat Batak
yang bertempat tinggal di kabupaten Tapanuli Utara, yang
wilayahnya meliputi Ajibata (perbatasan dengan parapat), Pulau
Samosir, Pakkat, serta Sarulla.

Perbedaan bahasa Batak Utara dan Batak Selatan adalah pemakaian


bahasa Batak Purba (bahasa Batak tradisonal dari nenek moyang) oleh bahasa
Batak Utara dalam berkomunikasi, seperti contoh adalah telu. Bentuk ini

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 11


sampai sekarang diwariskan oleh rumpun Batak Utara, sedangkan rumpun
Batak Selatan mengalami pergeseran dari [e] menjadi [o], sehingga tělu
berubah menjadi tolu. Namun banyak contoh lainya pula di mana bentuk
aslinya dipertahankan oleh rumpun selatan.

iii) Bahasa Betawi


Bahasa yang dipakai untuk alat komunikasi antara penduduk Jakarta
dan sekitarnya adalah dialek Melayu Jakarta. Dialek Melayu Jakarta ini
dipakai antara penduduk yang mempunyai latar belakang etnik dan bahasa
yang beraneka ragam. Perbendaharaan dan warna bahasanya menunjukkan
identitas bahasa kelompok etnisnya yang terpengaruh unsur-unsur Jawa,
Sunda atau Bali. Bahasa Melayu Jakarta diucapkan oleh masyarakat yang
sangat heterogen. Ciri khas tersebut dianggap satu variasi dengan bahasa yang
dipakai penduduk asli Jakarta pada abad 19 dan terdapat di pusat kota. Bahasa
yang dapat dibedakan berdasarkan penelitian beberapa ahli adalah:
a) Variasi geografis:
 Bahasa Betawi Pinggiran,
 Bahasa Betawi Tengah.
b) Variasi Sosial:
 Bahasa Betawi dialek Melayu Jakarta, dipakai oleh kebiasaan orang tua
yang lahir di Jakarta.
 Bahasa Betawi dialek Melayu Jakarta, yang dipakai oleh sekelompok
anak-anak muda dan pendatang.

2.2. Sistem Pengetahuan


i) Sistem Pengetahuan Aceh

Suku Aceh memiliki sistem pengetahuan yang mencangkup tentang


fauna, flora, bagian tubuh manusia, gejala alam, dan waktu. Mereka
mengetahui dan memiliki pengetahuan itu dari dukun dan orang tua adat.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 12


Pengetahuan yang terdapat dalam suku Aceh, yaitu tentang tradisi
bahasa tulisan yang ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa
Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada
masa Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan
kesusasteraan ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh
terdapat juga huruf Jawi. Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh.
Banyak orang-orang tua Aceh yang masih bisa membaca huruf Jawi.

ii) Sistem Pengetahuan Batak

Sistem pengtahuan masyarakat Batak tampak pada perubahan-


perubahan musim yang diakibatkan oleh siklus alam, misalnya musim hujan
dan musim kemarau. Perubahan dua jenis musim tersebut dipelajari
masyarakat Batak sebagai pengetahuan untuk keperluan bercocok tanam.
Selain pengetahuan tentang perubahan musim, masyarakat suku Batak
juga menguasai konsep pengetahuan yang berkaitan dengan jenis tumbuh-
tumbuhan di sekitar mereka. Pengetahuan tersebut sangat penting artinya
dalam membantu memudahkan hidup mereka sehari-hari, seperti makan,
minum, tidur, pengobatan, dan sebagainya. Jenis tumbuhan bambu misalnya
dimanfaatkan suku masyarakat Batak untuk membuat tabung air, ranting-
ranting kayu menjadi kayu bakar, sejenis batang kayu dimanfaatkan untuk
membuat lesung dan alu, yang kegunaannya untuk menumbuk padi.
Pengetahuan tentang beberapa pohon, kulit kayu (lak-lak), serta batu,
yang dimanfaatkan masyarakat Batak untuk keperluan makam raja-raja.
Sedangkan dari kulit kayu biasanya masyarakat Batak memanfaatkannya
untuk menulis ilmu kedukunan, surat menyurat dan ratapan. Kulit kayu (lak-
lak) tidak ditonjolkan tetapi secara tersirat ada, karena yang menggunakan
lak-lak tersebut hanya seorang Datu. Masyarakat Batak mengetahui dan
menguasai kegunaan bagian-bagain tumbuhan dan bebatuan secara efektif
dan memanfaatkan untuk acara tergambar pemakaman raja-raja. Upacara
pemakaman itu hanya untuk raja-raja, tetua adat, dan para tokoh yang

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 13


mempunyai kedudukan saja. Hal itu disebabkan pelaksanaan upacara
pemakaman membutuhkan dana yang cukup besar.

iii) Sistem Pengetahuan Betawi

Kebanyakan pendidikan formal masyarakat Betawi hanya mencapai


tingkat SD. Karena masyarakat Betawi jaman dulu lebih mementingkan
pendidikan agama darpada mempelajari ilmu pengetahuan (keduniawian).
Hal ini yang menyebabkan masyarakat Betawi sangat taat pada agama Islam
dan taraf hidupnya sederhana. Sehingga mereka cukup puas anak-anaknya
hanya bersekolah di madrasah saja. Tetapi dengan berjalannya waktu dan
jaman, diantara mereka juga sudah ada yang memperhatikan pendidikan
hingga ke tingkat yang lebih tinggi lagi yaitu sampai ke perguruan tinggi dan
saat ini juga tidak sedikit anak Betawi yang sudah berhasil menjadi sarjana
dan menduduki pekerjaan di pemerintahan.
Dalam bertani mereka sangat menonjol, akan tetapi dalam prakteknya,
mereka tidak didasarkan pada teori dan metode yang efektif yang dapat
meningkatkan hasil produksinya. Mereka lebih banyak menggunakan
pengalaman saja.

2.3. Sistem Kemasyarakatan


i) Sistem Kemasyarakatan Aceh

Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong


(kampung atau desa) yang dikepalai oleh seorang geucik atau kecik. Dalam
setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang dipimpin seorang
imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang
dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada
sultan. Kehidupan sosial dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh
pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum meunasah, teungku khatib,
tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 14


Sistem Kekerabatan
a) Keluarga Batih
b) Keluarga Luas
c) Kien kecil

a) Keluarga Batih
Sistem kelompok keluarga masyarakat Aceh pada umumnya menganut
sistem keluarga batih. Rumah-tangga terdiri atas keluarga kecil yaitu ayah,
ibu dan anak-anak yang belum kawin. Apabila seseorang anak sudah
menikah, ia akan mendirikan rumah tangga sendiri sebagai keluarga batih
pula. Seseorang yang baru menikah, tidak terlalu lama menetap bersama
keluarga batih dari ayah atau mertuanya. Ada yang menetap beberapa bulan
saja atau sampai lahir seorang anak.
Seseorang yang sudah memisahkan diri dari keluarga batih ayahnya
atau mertuanya disebut dengan peu meukleh atau jawe di Gayo. Keluarga
batih dalam masyarakat Aceh tidak mempunyai istilah tersendiri, kecuali
dalam masyarakat Gayo istilah keluarga batih disebut dengan sara ine. Ayah
dan ibu dalam keluarga batih, mempunyai peranan penting untuk mengasuh
keluarga sampai dewasa.
Peranan ini sudah menjadi tanggung-jawab ayah dan ibu meliputi
segala kebutuhan keluarga seperti kebutuhan sandang-pangan, kesehatan,
dan pendidikan. Kebutuhan terhadap pendidikan anak-anaknya sangat
penting bagi masyarakat Aceh. Karena menurut sudut pandang agama, orang
tua tidak boleh mengabaikan pendidikan anaknya, baik pendidikan
agama maupun pendidikan umum.
Kegiatan dalam keluarga batih merupakan kegiatan bersama. Kegiatan
ini tampak pada waktu tron u blang (turun ke sawah) atau turunku urne di
Gayo, maupun saat meulampoh (berkebun), semua anggota keluarga batih
menjadi tenaga pelaksana. Pembagian kerja antara anggota keluarga sesuai
menurut kemauan mereka masing-masing. Biasanya anak-anak diberikan

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 15


pekerjaan yang lebih ringan, karena ia belum mampu mengerjakan pekerjaan
yang berat.

b) Keluarga Luas
Sistem keluarga luas hanya terdapat pada masyarakat Gayo di Aceh
Tengah. Ukuran keluarga dalam masyarakat Gayo hanya ditentukan oleh
tempat tinggal dan hidup dalam satu kesatuan ekonomi. Keluarga luas di
Gayo ini bisa disebut sara dapur (satu dapur) atau sara kuren (satu periuk).
Mereka tinggal dalam suatu rumah besar (rumah belah rang atau rumah timeu
ruang) bersama-sama dengan keluarga luas lainnya. Keluarga-keluarga luas
seperti itu sering juga disebut sara berine.
Apabila salah satu anggota keluarga sudah kawin, ia akan pindah ke
dalam satu bilik (kamar), tetapi masih dalam rumah itu juga, dan masih dalam
kesatuan ekonomis dengan keluarga batih senior. Pada satu saat keluarga
batih ini berdiri sendiri secara ekonomis (jawe) dan terpisah dari keluarga
luasnya. Kesatuan keluarga luas yang mendiami satu rumah besar ini sering
disebut sara kuru atau saudere. Kelompok seperti ini kadang-kadang tidak
harus dalam satu rumah, tetapi berada pada beberapa rumah. Setiap rumah di
Gayo pada masa lalu mempunyai nama-nama tersendiri seperti: Umah
Melige, Kuli, Berukir, Genuren, Kul, Nangka, Kedeusa dan lain-lain.
Perkembangannya pada saat sekarang, menunjukkan suatu gejala akan
lenyapnya umah timeu ruang sebagai tempat tinggal saudere. Sekarang ini
kelihatan banyak bangunan perumahan di pedesaan meniru pola perumahan
perkotaan. Rumah tidak lagi berbentuk memanjang yang terdiri atas kamar-
kamar dalam bentuk panggung (tinggi). Pola yang baru ini tidak seberapa
membutuhkan kayu-kayu sebagai bahannya. Lagi pula keluarga sara ine tadi
berkeinginan untuk memisahkan diri dari umah timeu ruang.

c) Kien kecil
Lama-kelamaan perkembangan saudere, tidak mungkin tertampung
lagi di dalam umeh timeu ruang tadi, karena jumlahnya semakin besar dan

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 16


semakin banyak pula membutuhkan tempat tinggal. Maka terjadilah
pemisahan tempat dengan mendirikan rumah baru. Rumah baru ini kemudian
berkembang pula menjadi rumah besar seperti di atas tadi. Walaupun timbul
pemisahan tempat tinggal, akan tetapi tali kekerabatan tetap tidak berubah.
Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih diikat oleh pertalian
saudere. Dari ikatan pertalian ini terjadilah kien kecil dalam masyarakat Gayo
yang disebut dengan belah. Anggota dari satu kien kecil (belah) ini
memelihara adat eksogami.
Pada saat-saat tertentu mereka mengadakan aktivitas bersama, misalnya
dalam pertanian atau upacara adat (resam) yang lain. Pada belah tertentu
rupanya pada masa lalu memiliki binatang totem. Setiap belah biasanya
mempunyai nama tersendiri seperti cebero, jongok, melala, gunung, beno,
munte, bukit, linge, dan lain-lain.
Pada masa kini kehidupan belah di Gayo mulai tidak berfungsi lagi
seperti di masa lalu. Namun pada beberapa kampung tertentu tampak masih
bertahan. Di pihak lain di kampung seperti itupun sudah sering terjadi
pelanggaran terhadap norma belah itu, misalnya adanya pelanggaran terhadap
eksogami belah itu.

ii) Sistem Kemasyarakatan Batak

Sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal, yaitu menurut garis


keturunan ayah.Dalam berhubungan antara yang satu dengan yang lain pada
masyarakat Batak, mereka harus mampu menempatkan dirinya dalam
struktur itu sehingga mereka selalu dapat mencari kemungkinan hubungan
kekerabatan di antara sesamanya dengan cara martutur. Hubungan antara satu
marga dengan marga lainnya sangat erat, setelah terjadinya beberapa
kelompok kecil yang diakibatkan sebuah perkawinan.
Memang benar, apabila seorang Batak menyebut anggota marga-nya
dengan sebutan dongan-sabutuha (mereka yang berasal dari rahim yang
sama). Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki, dan menjadi

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 17


punah kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkan. Sistem kekerabatan
patrilineal ini yang menjadi tulang punggung masyarakat Batak, yang terdiri
atas turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling
dihubungkan menurut garis laki-laki. Laki-laki itulah yang membentuk
kelompok kekerabatan, sedangkan perempuan menciptakan hubungan besan
(affinal relationship), karena ia harus kawin dengan laki-laki dari kelompok
patrilineal yang lain.

iii) Sistem Kemasyarakatan Betawi

Dalam sistem masyarakat terdapat pelapisan sosial di antara anggota-


anggota masyarakat. Dalam masyarakat Betawi pada masa lalu ada beberapa
tokoh masyarakat dengan kedudukan dan jabatan tertentu, seperti pencalang
(yang menguasai suatu wilayah).
Mandor/bek (yang menguasai suatu lingkungan tertentu), merinyu
(membantu mandor dalam menjalankan tugas sehari-hari), juragan (sesorang
yang memiliki banyak harta benda yang disewakan kepada masyarakat),
kemetir (orang yang bertugas memungut pajak atas pohon-pohon yang
ditebang).
Selain itu ada juga potiah, amil (yang bertugas dalam bidang
keagamaan, terutama yang berkaitan dengan perkawinan dan kematian), upas
(pemimpin masyarakat dalam bidang keamanan); disertai dengan atribut-
atributnya yang melambangkan kekuasaan mereka.
Mereka merupakan lapisan pegawai pemerintahan penjajahan Belanda,
yang dianggap sebagai lapisan atas dalam masyarakat. Mereka inilah yang
mengatur dan memerintah rakyat jelata yang berada di bawah kekuasaan
mereka.
Pada masa kini sistem pelapisan sosial seperti tersebut di atas sudah
mengalami pergeseran nilai. Pemerintah telah menetapkan bahwa lurah
merupakan pemimpin masyarakat dalam suatu desa.
Lurah membawahi beberapa orang seperti ketua RT (Rukun Tetangga)
dan ketua RW (Rukun Warga). Mereka merupakan bagian dari masyarakat,

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 18


karena mereka dipilih oleh dan dari masyarakat. Dengan demikian mereka
diharapkan dapat menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah.
Sementara itu, selain berkaitan dengan struktur pemerintahan,
pelapisan sosial orang Betawi itu sendiri lebih berdasarkan pada senioritas
umur, artinya orang muda menghormati orang yang lebih tua.
Hal ini dapat diamati dalam keseharian hidup orang Betawi. Misalnya
ketika seorang anak muda berjumpa dengan orang tua atau orang yang lebih
tua, ia harus mencium tangan orang yang dianggap tua itu. Pada hari-hari raya
seperti Lebaran, orang yang didahulukan adalah orang tua atau orang yang
dituakan.

2.4. Sistem Peralatan dan Teknologi


i) Sistem Peralatan dan Teknologi Aceh

Orang Aceh mengenal teknologi persenjataan. Orang Aceh terkenal


sebagai prajurit-prajurit tangguh penentang penjajah, dengan bersenjatakan
rencong, ruduh (kelewang), keumeurah paneuk (bedil berlaras pendek),
peudang (pedang), dan tameung (tameng). Senjata-senjata tersebut umumnya
dibuat sendiri.

ii) Sistem Peralatan dan Teknologi Batak

Masyarakat Batak telah mengenal dan mempergunakan alat-alat


sederhana yang dipergunakan untuk bercocok tanam dalam kehidupannya.
Seperti cangkul, bajak (tenggala dalam bahasa Karo), tongkat tunggal (engkol
dalam bahasa Karo), sabit (sabi-sabi) atau ani-ani. Masyarakat Batak juga
memiliki senjata tradisional yaitu, piso surit (sejenis belati), piso gajah
dompak (sebilah keris yang panjang), hujur (sejenis tombak), podang (sejenis
pedang panjang). Unsur teknologi lainnya yaitukain ulos yang merupakan
kain tenunan yang mempunyai banyak fungsi dalam kehidupan adat Batak.
Masyarakat Batak juga memiliki rumah adat Batak. Rumah Batak
biasanya didirikan di atas tiang kayu yang banyak, berdinding miring, beratap

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 19


ijuk. Letaknya memanjang kira kira 10 – 20 meter dari timur ke barat.
Pintunya ada di sisi barat dan timur pada rumah Karo dan Simanuwun, atau
pada salah satu ujung lantai pada rumah Toba ( masuk dari kolong). Pada
bagian puncaknya yang menjulang ke atas di sebelah barat dan timur dipasang
tanduk kerbau atau arca muka manusia dan puncak yang melengkung
membentuk setengah lingkaran ( kecuali rumah empat ayo pada Karo). Pada
bagian depan (barat dan timur) rumah Karo yang disebut ayo ada ornamentasi
geometris dengan warna warna merah , putih , kuning dan hitam. Pada sisi
kanan kiri pada kedua mukanya rumah batak menggunakan lukisan (arca).
Kepala orang atau singa (Kalamakara). Dindingnya diikat dengan tali ijuk
yang disusun sedemikian rupa sehingga menyerupai gambar cecak ( Reret ).
Satu bagian yang merupakan keistimewaan dari rumah Karo dan yang
tidak ada pada rumah Batak yang lainadalah semacam teras dari bamboo yang
disusun di serambi muka. Teras ini disebut Ture yang pada malam harinya
digunakan sebagai tempat pertemuan gadis dan pemuda yang menemuinya.
Satu rumah Batak itu biasanya dihuni oleh beberapa keluarga – batih yang
satu dengan lain, terikat dengan hubungan kekerabatan secara patrilinear.

iii) Sistem Peralatan dan Teknologi Betawi

Kelengkapan hidup sebagai unsur kebudayaan universal mencakup


perumahan tempat tinggal, mata pencaharian, busana, kuliner, alat-alat kerja,
dan alat-alat transportasi. Pertama adalah perumahan, terdapat beberapa
model perumahan; model gudang, model bapang, dan model joglo. Ada pula
tentang tata ruang dan perabot rumah, seperti: tempayan atau gentong, bale
atau ta’pang, pendaringan atau tahang, katrol untuk menimba di sumur. Selain
itu ada pula peralatan masak, seperti: dandang, kukusan, kenceng, atau
periuk, penggorengan dengan sodetnya, klakat, lumpang batu, cobek dan
ulekannya. Busana betawi sehari-hari aadalah baju sadaria atau baju koko,
bercelana panjang batik atau kain sarung dan memakai peci atau kopiah.Ada
pula busana pengantin Betawi, alas kaki, dan tutup kepala. Ada makanan khas

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 20


Betawi, minuman khas Betawi, peralatan kerja, senjata khas Betawi, alat-alat
angkut dan transportasi.

2.5. Sistem Mata Pencaharian


i) Sistem Mata Pencaharian Aceh

Setiap orang yang hidup memerlukan makanan untuk menyambung


hidupnya. Dalam suku Aceh, untuk mendapatkan makanan sebagian besar
dari mereka bekerja sebagai petani dan beternak. Namun, masyarakat yang
bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan, dan tidak
sedikit juga yang berdagang.
Mata pencaharian pokok suku Aceh adalah bertani di sawah dan ladang
dengan tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa dan lain-lain.
Di samping bertani, masyarakat suku Aceh juga ada yang beternak kuda,
kerbau, sapi dan kambing yang kemudian untuk dipekerjakan di sawah atau
dijual.
Untuk masyarakat yang hidup di sepanjang pantai, umumnya mereka
menjadi nelayan dengan mencari ikan yang kemudian untuk menu utama
makanan sehari-hari atau dijual ke pasar. Bagi masyarakat yang berdagang,
mereka melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah satunya
dengan menjajakan barang dagangannya dari kampung ke kampung.

ii) Sistem Mata Pencaharian Batak

Orang Batak bercocok tanam padi di sawah dengan irigasi, tetapi masih
banyak juga, terutama diantara orang Karo, Simalungun dan Pakpak yang
masih bercocok tanam di ladang. Yang dibuka di hutan dengan cara di bakar
dan menebang pohon.

Pada sistem bercocok tanam di ladang , Huta atau Kutalah yang


memegang hak Ulaya tanah. Sedangkan hanya warga Huta atau Kuta yang
berhak untuk memakai wilayah itu. Mereka menggarap tanah itu seperti

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 21


menggarap tanahnya sendiri, tetapi tak dapat menjualnya tanpa persetujuan
dari Huta yang diputuskan dengan musyawarah. Tanah yang dimiliki individu
juga ada. Pada orang batak toba misalnya ada tanah panjaenan, tanah
pauseang dan tanah parbagian.
Didalam masyarakat orang Batak Karo dan Simalungun ada perbedaan
antara golongan yang merupakan keturunan dari para pendiri Huta, dengan
golongan yang merupakan keturunan dari penduduk Kuta yang datang
kemudian. Golongan para pendiri Kuta, ialah para Marga Taneh. Memiliki
tanah yang paling luas sedangkan golongan lainnya biasanya hanya memiliki
tanah yang hanya sekedar hidup. Di daerah Dairi disamping menanam padi ,
luas juga tanah yang di Tanami kopi. Dalam bercocok tanam baik di ladang
maupun di sawah , orang perempuan batak mengambil peranan yang amat
penting, terutama dalam tahap-tahap menanam.
Orang Batak juga mengenal system gotong royong kuno dalam hal
bercocok tanam. Dalam bahasa Karo activated itu disebut Raron , sedangkan
dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga
atau kerabatat dekat , bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing
anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan suatu pranata yang ke
anggotaannya sangat suka rela dan lamanya berdiri tergantung kepada
perstujuan pesertanya walaupun minimal selama jumlah pesertanya satu hari.
Alat-alat yang digunakan dalam bercocok tanam adalah, cangkul,
tongkat tugal. Bajak biasanya ditarik oleh kerbau , atau oleh sapi. Orang
Batak umumnya memotong padi dengan sabit ( Sabi-sabi ) , atau dengan ani-
ani. Selain itu peternakan juga suatu penghasilan yang penting pada orang
Batak umumnya. Mereka memelihara kerbau, sapi, babi, kambing, ayam,
bebek. Kerbau banyak di gunakan sebagai binatang penghela dan untuk
upacara adat, sedangkan babi dimakan dan untuk pemberian adat. Sapi,
kambing, ayam di jual untuk melayani kota-kota terutama Medan.
Di daerah tepi danau Toba dan di pulau Samosir menangkap ikan
merupaka suatu mata pencaharian yang penting. Penangkapan ikan dilakukan
dengan amat intensif dalam musim tertentu, misalnya dalam bulan Juli

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 22


sampai Agustus. Pekerjaan dilakukan eksklusif laki-laki dalam prahu lesung
( Solu ) dengan jala , pancing dan perangkap-perangkap ikan. Ikan di jual di
pasar-pasar untuk dibawa ke kota-kota seperti ke Baligo.

iii) Sistem Mata Pencaharian Betawi

Mata pencaharian orang Betawi ada yang sebagai petani atau peladang
yang dulu ada di daerah Pejompongan dan Setia Budi. Selain petani dan
peladang ada pula sebagai peternak yang biasanya menernak ayan negeri,
kambing, ikan, dan lindung (belut). Ada pula sebagai pekebun yang banyak
ditumbuhi sayur-mayur dan buah-buahan. Orang Betawi ada yang sebagai
pengrajin, pengrajin pun bermacam-macam barangnya. Ada yang melakukan
pembuatan pager dan jaro, tikar, topi, keneron, sepatu, sandal, tas kulit, tahu,
kecap, tauco, dan tapai. Orang Betawi pada masanya juga pernah sebagai
pengusaha susu,pemilik dan kusir delman atau gerobak, pedangang keliling,
penjual jasa, tukang rumah, dan sebagai pegawai.

2.6. Sistem Religi


i) Sistem Religi Aceh

Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13


suku asli yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk
agama Islam.Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama
Kristen yang dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa
yang kebanyakan bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap
menganut agama Konghucu. Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan
dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini syariat Islam
diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Orang Aceh adalah penganut agama Islam yang taat. Meskipun
demikian, di antara mereka ada yang masih menjalankan praktek kepercayaan
animisme dan dinamisme. Ada orang–orang tertentu yang biasa
mempraktekkan guna-guna atau ilmu gaib dan kelompok masyarakat yang

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 23


menjalankan beberapa uapacara tradisional yang bukan berasal dari agama
Islam, seperti kenduri blang dan kenduri laut. Kenduri blang adalah upacara
kesuburan yang biasa dilakukan setiap tahun oleh masyarakat petani Aceh
dan Gayo. Sedangkan kenduri laut atau upacara turun ke laut diadakan para
nelayan Aceh dalam rangka meminta restu kepada penguasa laut. Upacara ini
masih dapat ditemukan pada masyarakat desa Ujong Pusong dan Ujong Blang
di kabupaten Aceh Barat. Biasanya seekor kerbau, kepalanya dibuang ke laut,
sedangkan dagingnya dimasak untuk kenduri setelah upacara selesai. Orang
Aceh menganggap dirinya identik dengan Islam. Oleh sebab itu dalam
kehidupan mereka hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan agama
merupakan suatu hal yang paling sensitif, sehingga bagi masyarakat Aceh
pada umumnya, yang paling menyinggung perasaan atau dianggap sebagi
penghinaan adalah kalau seseorang disebut” kafir”. Kendati yang
bersangkutan belum tentu taat beribadah atau bahkan tidak bertingkah laku
sebagai seorang muslim, namun kalau disebut kafir pasti akan berakibat
panjang.

ii) Sistem Religi Batak

Batak telah dipengaruhi oleh beberapa agama, yaitu agama Islam dan
Kristen Protestan yang masuk sejak permulaan abad ke-19. Agama Islam
masuk di Minangkabau sejak tahun 1810 dan sekarang dianut oleh sebagian
besar dari orang Batak selatan (Mandailing dan Angkola). Sedangkan agama
Kristen disiarkan ke daerah Toba dan Simalungun oleh organisasi penyiar
agama dari Jerman sejak tahun 1863 dan ke daerah Karo oleh organisasi
Belanda pada masa yang sama. Di samping itu juga ada agama-agama lain
dan agama pribumi.
Walaupun sebagian besar orang Batak telah menganut agama Kristen
atau Islam, namun banyak konsep-konsep agama aslinya masih hidup
terutama di pedesaan. Hal ini dapat diketahui lewat buku-buku kuno (pustaha)
yang berisi silsilah Batak dan dunia makhluk halus.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 24


Orang Batak punya konsepsi bahwa alam ini beserta segala isinya
diciptakan oleh Debata (Ompung) Mulajadi na Bolon. Dia berada di atas
langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat
kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi na Bolon, ia tinggal di langit dan
merupakan maha pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat
tinggal di dunia ini dan bernama Silaon na Bolon (Toba) ,atau Tuan Padukah
ni Aji (Karo). Sebagai penguasai dunia makhluk halus ia bernama Pane na
Bolon. Selain daripada pencipta, Debata Mulajadi na Bolon juga menciptakan
dan mengatur kejadian gejala-gejala alam, seperti hujan, kehamilan,
sedangkan Pane na Bolon mengatur setiap penjuru-mata angin.
Dalam hubungan dengan jiwa dan roh orang Batak mengenal tiga
konsep,yaitu Tondi, sahala dan begu.Tondi itu adalah jiwa atau roh orang itu
sendiri dan sekaligus juga merupakan kekuatan. Sahala adalah jiwa atau roh
kekuatan yang dimiliki seseorang.Bedanya dengan tondi ialah bahwa tidak
semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kwalitasnya juga berbeda-
beda.Sahala dari seorang raja atau datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang
biasa dan begitu pula sahala dari orang hula-hula lebih kuat dari sahala orang
boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan
seseorang.Berkurangnya sahala menyebabkan seseorang kurang disegani,
atau ke- datuannya menjadi hilang.
Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada di dalam
rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat (Karo). Demikian
tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon
manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud
dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya.Seperti halnya dengan sahala
,yang dapat berkurang atau bertambah,tondi itu dapat pergi meninggalkan
badan. Bila tondi meninggalkan badan untuk sementara, maka orang yang
bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya,orang itu mati. Keluarnya tondi
dari badan disebabkan karena ada kekuatan lain(sambaon) yang
menawannya.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 25


Konsep yang ketiga ialah begu, adalah seperti tingkah laku manusia,
hanya secara kebalikannya,yaitu misalnya apa yang dilakukan oleh manusia
pada siang hari di lakukan begu pada malam hari. Orang batak mengenal begu
yang baik dan yang jahat.Sesuai dengan kebutuhannya,begu di puja dengan
sajian (pelean).
Di kalangan orang batak toba,begu yang terpenting ialah sumangot ni
ompu (begu dari nenek moyang). Di kalangan orang Batak Karo dikenal
adanya beberapa macam begu, ialah:
1. Batara guru atau begu parkakun jabu
2. Bicara guru
3. Begu mate sada wari
4. Mate kayat-kayaten
Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang batak toba juga percaya
kepada kekuatan sakti dari jimat, tongkat wasiat, atau tunggal panaluandan
kepada mantra-mantra yang mengandung kekuatan sakti.Semua kekuatan itu
menurut kitab-kitab ilmu gaib orang batk toba(pustaha),berasal dari si Raja
Batak.

iii) Sistem Religi Betawi

Sistem religi biasanya terkait dengan kepercayaan dan agama. Agama


orang-orang Betawi secara keseluruhan adalah Islam, ada pula beberapa
komunitas masyarakat Betawi yang beragama Kristen. Maka dari itu, Betawi
selalu identik dengan Islam yang kental. Dikatakan kental dengan Islam
karena sejak usia dini anak-anak Betawi diajarkan iqro’, juz amma, bahkan
al-quran. Selain itu, orang tua Betawi zaman dahulu menyekolahkan anaknya
lebih ke madrasah bahkan pesantren dibanding dengan sekolah umum. Selain
peran orang tua, peran guru ngaji juga membuat anak-anak gemar mengaji
bersama teman-temannya.
Kaitannya dengan religi maka kepercayaan orang-orang Betawi terlihat
dari pantangan dan larangan yang identik dengan takhayul. Takhayul dapat
berbentuk dalam makanan, minuman, binatang, tanda alam, benda, bahkan

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 26


sampai perilaku orang itu sendiri. Selain itu kepercayaan makhluk halus juga
begitu kental dalam mempercayai dan melakukan kegiatan sehari-hari.

2.7. Kesenian
i) Kesenian Aceh

Corak kesenian Aceh memang banyak dipengaruhi oleh kebudayaan


Islam, namun telah diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang
berlaku.
a) Seni Lukis
 Kaligrafi Arab
Seni kaligrafi Arab merupakan salah satu kesenian yang ada dalam suku
Aceh. Melukis kaligrafi ini biasanya dilukis di atas kanvas yang bertujuan
sebagai hiasan dinding di dalam rumah atau mesjid dengan melukiskan
Asmaul Husna dan sebagainya. Kesenian ini banyak terlihat pada berbagai
ukiran mesjid, rumah adat, alat upacara, perhiasan, dan sebagainya.

Gambar 3.1 Kaligrafi Arab


Sumber : https://images.app.goo.gl/UmuL6hFFqKuoFpwz9

b) Seni Pahat
 Memahat Rumah Adat dan Nisan
Seni pahat yang ada pada suku Aceh adalah memahat hiasan pada
rumah adat atau nisan. Seni pahat yang diaplikasikan pada rumah adat

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 27


menunjukkan kepemilikan dan status sosial pemiliknya. Sedangkan seni
pahat yang diaplikasikan pada nisan menunjukkan status sosial yang
dikuburkan, dan juga memberikan informasi nama dan tahun serta tanggal
wafat dari tokoh yang dikuburkan.

c) Seni Musik
 Rapai Geleng
Rapai geleng merupakan seni musik yang dilakukan oleh tiga belas
laki-laki/perempuan yang duduk berbanjar, seperti duduk diantara dua sujud
ketika melaksanakan shalat. Masing-masing memegang alat tabuh sambil
bernyanyi bersama. Antara musik dan gerak yang dimainkan bersenyawa.
Awalnya lambat, sedang, setelah beberapa detik berubah cepat diiringi
dengan gerakan kepala yang digelengkan ke kiri dan ke kanan. Mereka
menepuk-nepuk tangan dan dada, juga menepuk tangan dan paha. Ada yang
bertindak sebagai pemain biasa, syech dan aneuk dhiek.

Gambar 3.2 Rapai Geleng


Sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/8/8d/Rapa%27i_Geleng.jpg

d) Seni Tari
Seni tari yang terkenal dari Aceh antara lain saman, seudati, seudati
inong, dan seudati tunang.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 28


 Tari Saman
Tarian ini berasal dari dataran tinggi Gayo. Syair saman
mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Aceh. Tarian ini merupakan salah
satu media untuk pencapaian dakwah. Tarian ini mencerminkan pendidikan,
keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan irama dan gerak yang
dinamis. Pada masa lalu, Tari Saman biasanya ditampilkan untuk merayakan
peristiwa – peristiwa penting dalam adat dan masyarakat Aceh. Selain itu
biasanya tarian ini juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi
Muhammad. Pada kenyataannya nama “Saman” diperoleh dari salah satu
ulama besar Aceh, Syech Saman. Tari Saman biasanya ditampilkan
menggunakan iringan alat musik, berupa gendang dan menggunakan suara
dari para penari dan tepuk tangan mereka yang biasanya dikombinasikan
dengan memukul dada dan pangkal paha mereka sebagai sinkronisasi dan
menghempaskan badan ke berbagai arah. Tarian ini dipandu oleh seorang
pemimpin yang lazimnya disebut Syech.

Gambar 3.3 Tari Saman


Sumber : https://images.app.goo.gl/QX8i8gUzGvXAnzn36

 Tari Seudati
Tari Seudati berasal dari kabupaten Pidie. Tari Seudati berasal dari kata
Syahadat, yang berarti saksi/bersaksi/pengakuan terhadap Tiada Tuhan selain
Allah, dan Nabi Muhammad utusan Allah. Selain itu, ada pula yang

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 29


mengatakan bahwa kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti
harmonis atau kompak. Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam
masuk ke Aceh. Penganjur Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media
dakwah untuk mengembangkan ajaran agama Islam. Tarian ini cukup
berkembang di Aceh Utara, Pidie dan Aceh Timur. Tarian ini dibawakan
dengan mengisahkan pelbagai macam masalah yang terjadi agar masyarakat
tahu bagaimana memecahkan suatu persoalan secara bersama.

Gambar 3.4 Tari Seudati


Sumber : https://www.google.com/imgres?imgurl

e) Seni Sastra
Berkembang seni sastra dalam bentuk hikayat yang bernafaskan Islam,
seperti Hikayat Perang Sabil.

ii) Kesenian Batak

Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi, seni sastra, seni musik,
seni tari, seni bangunan, seni patung, dan seni kerajinan tangan. Terdapat
beberapa seni masyarakat Batak, antara lain:
a. Margondang
Upacara margondang diadakan untuk menyambut kelahiran anak
mereka dan sekaligus mengumumkan kepada warga kampung bahwa dia
sudah mempunyai anak. Kata margondang merupakan bentukan dari kata
dasar gondang (gendang) yang mendapat awalan me- atau ber-. Margondang

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 30


menyatakan kata kerja yakni bergendang atau memainkan alat musik
gendang. Margondang merupakan suatu kebiasaan masyarakat Batak yang
dilakukan dalam suatu upacara tertentu. Tujuan filosofinya adalah untuk
mengukuhkan muatan religi acara tersebut karena merupakan kebiasaan yang
diwarisi dari leluhur.

Gambar 3.5 Upacara Margondang


Sumber : https://images.app.goo.gl/ZqnxY5RhvBEtjqaCA

b. Seni Tari (Tor-tor)


Tortor adalah tarian Batak yang selalu diiringi dengan gondang
(gendang). Tortor pada dasarnya adalah ibadat keagamaan dan bersifat sakral,
bukan semata-mata seni. Tortor dan gondang diadakan apabila upacara
penting kehidupan masyarakat Batak, misalnya melaksanakan horja (kerja
adat) antara lain: mengawinkan anak, martutuaek memandikan atau memberi
nama anak), memasuki rumah baru, mengadakan pesta saring-saring (upacara
menggali kerangka jenazah), pesta bius (mangase Taon); upacara tahunan,
dan pesta edangedang (pesta sukaria).

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 31


Gambar 3.6 Tari Tor-tor
Sumber : https://id.m.wikipedia.org/wiki/Tari_Tortor

c. Seni Patung
Dulu, biasanya para raja-raja memesan patung untuk makam.
Kehadiran patung pada suku Batak diduga sudah ada sejak lama sekali.
Menurut sejarahnya patung pada mulanya dibuat dari tumpukan –tumpukan
batu yang berwujudkan nenek moyang dengan dasar kepercayaan.
Tumpukan-tumpukan batu itu dibuat menjadi sakral yang kepentingannya
erat sekali dengan kepentingan kepercayaan masyarakat. Kemudian
tumpukan batu itu berkembang terus dan berubah menjadi sebuah bentuk
patung. Sesuai dengan perkembangannya dari wujud sakral beralih kepada
bentuk yang simbolis memberi rupa wajah manusia atau binatang. Di Tomok,
Pulau Samosir, terdapat jalan setapak kecil yang hanya bisa dilalui pejalan
kaki. Bapak Charles Sidabutar, salah satu keturunan raja yang kini menjaga
makam, menjelaskan bahwa sesuai kepercayaan setempat pada saat itu,
jenazah tidak boleh dimakamkan di tanah, melainkan harus di dalam batu.

d. Kerajinan Tangan (Ulos)


Ulos adalah kain tenun khas suku Batak. Tak hanya sebatas hasil
kerajinan seni budaya saja, kain Ulos pun sarat dengan arti dan makna.
Sebagian besar masyarakat Tapanuli menganggap kain tenun Ulos adalah
perlambang ikatan kasih sayang, lambang kedudukan, dan lambang

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 32


komunikasi dalam masyarakat adat Batak. Oleh karena itu, kain tenun Ulos
selalu digunakan dalam setiap upacara, kegiatan dan berbagai acara dalam
adat Suku Batak. Misalnya, untuk perkawinan, kelahiran anak, punya rumah
baru, sampai acara kematian.
Tiap-tiap kain tenun Ulos yang dihasilkan memiliki arti dan makna
tersendiri, baik bagi pemilik ataupun bagi orang yang menerimanya.
Misalnya saja Ulos Ragidup. Ulos ini adalah kain tenun yang tertinggi
derajatnya. Sebab, pembuatannya sangatlah sulit. Kain tenun ulos jenis ini
terdiri dari tiga bagian, yaitu 2 sisi yang ditenun sekaligus, dan 1 bagian
tengah yang ditenun sendiri dengan motif yang rumit. Motif Ulos Ragidup ini
harus terlihat seperti benar-benar lukisan hidup. Karenanya, ulos jenis ini
sering diartikan sebagai ulos yang melambangkan kehidupan dan doa restu
untuk kebahagian dalam kehidupan.

Gambar 3.7 Kerajinan Ulos


Sumber : https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/0/07/Tenun_Ulos.jpg

Ulos Ragihotang. Ulos ini derajatnya 1 tingkat di bawah ulos ragidup.


Pembuatannya tidak serumit Ulos Ragidup. Namun, Ulos Ragihotang punya
arti dan keistimewaan yang berhubungan dengan pekerjaan. Ulos ini pun
sering dipakai dalam upacara adat kematian sebagai pembungkus atau
penutup jenazah yang akan dikebumikan. Ulos jenis ini mengartikan bahwa
pekerjaan seseorang di dunia ini telah selesai.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 33


Selain kedua jenis ulos tersebut, ada satu jenis ulos yang disebut Ulos
Sibolang. Ulos ini digunakan sebagai tanda jasa penghormatan. Biasanya
dipakai oleh orangtua pengantin atau diberikan oleh orangtua pengantin
perempuan buat menantunya. Oleh karena itu, Ulos Sibolang dijadikan
sebagai lambang penyambutan anggota keluarga baru. Ulos Sibolang juga
diberikan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya. Ulos ini
diberikan sebagai tanda menghormati jasanya yang telah menjadi istri yang
baik, sekaligus sebagai tanda bahwa ia telah menjadi janda.

iii) Kesenian Betawi

Kesenian Betawi begitu banyak ragamnya mulai yang masih sering


dijumpai ataupun jarang. Ada seni sastra Betawi, sastra tulis Betawi. Sastra
sebagai sebuah karya seni dapat berupa sastra lisan maupun tulisan. Selain
sastra, ada seni suara ada lagu-lagu khas Jakarta. Ada pula seni rupa baik
dalam bentuk patung, lukis, kaligrafi maupun hias. Seni musik juga begitu
banyak jenisnya, seperti; gambang kromong, tanjidor, gambus, samrah,
rebana, marawis, gamelan ajeng, gamelan topeng, dan keroncong tugu. Seni
tari juga tak kalah dengan seni musik, memiliki berbagai macam tarian
seperti; tari samrah, zafin, topeng Betawi, Blenggo, uncul, pencak silat, dan
cokek. Seni lakon Betawi juga bisa dinikamati seperti; lenong dan jinong,
topeng Betawi dan Jiping, Blantek, wayang kulit, dan wayang golek.

Gambar 3.8 Gambang Kromong


Sumber : https://www.tribunnewswiki.com/amp/2019/07/10/gambang-kromong

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 34


Gambar 3.9 Pencak Silat
Sumber : https://sports.okezone.com/amp/2021/08/04/43/2450527/mantap-terus-
berkembang-pencak-silat-indonesia-kini-digemari-warga-as

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Aceh adalah salah satu bagian dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia paling barat, yang memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya
suku di Aceh banyak dipengaruhi kebudayaan Islam yang sudah ada sejak
berabad-abad yang lalu dan tetap bertahan sampai sekarang. Bahkan Aceh
dikenal sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat
Islam. Budaya suku di Aceh sangat beragam, tergantung dari lokasinya.
Contohnya bahasa yang dipakai penduduk di Aceh Barat dan Simeulue bisa
saja berbeda karena di Provinsi Aceh terdapat lebih dari 10 bahasa meskipun
yang paling banyak digunakan adalah bahasa Aceh. Kesenian yang terkenal
dari Aceh antara lain adalah seni tarinya di mana tentunya kita sudah sering
mendengar tentang tari Saman.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 35


Suku atau masyarakat Batak hidup di kawasan Sumatra Utara. Sebagian
masyarakat yang tinggal di daerah ini adalah masyarakat Batak. Suku Batak
pertama sekali mendiami daerah karodan kawasan danau Toba. Sebagian
masyarakat batak bercocok tanam di irigasi dan ladang. Dismping bercocok
tanam, pertenakan juga merupakan suatu mata pencaharian yang penting bagi
orang batak umumnya. Di daerah pinggiran danau toba, biasanya masyarakat
Batak menangkap ikan dengan perahu lesung. Masyarakat Batak pada
umumnya beragama kristen dan hanya sedikit yang memeluk agama Islam.
Walaupun demikian masyarakat perdesaan suku Batak tetap
memepertahankan agama aslinya. Orang batak percaya bahwa, yang
menciptakan alam semesta ini adalah debata(ompung) mula jadi na bolon.
Dia tinggal diatas langit dan mempunyai nama-nama seseui tugasnya. Walau
terjadi unifikasi hukum nasional buat seluruh masyarakat Indonesia, namun
budaya Batak tetap akan terus dijaga.
Kebudayaan yang dimiliki suku Batak ini menjadi salah satu kekayaan
yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga kelestariannya.
Dengan membuat makalah suku Batak ini diharapkan dapat lebih mengetahui
lebih jauh mengenai kebudayaan suku Batak tersebut dan dapat menambah
wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam
dunia kependidikan.

Begitu banyak pendapat mengenai asal-usul suku Betawi. Dari yang


menyebut bahwa suku Betawi bukan penduduk asli yang telah lama tinggal
di Jakarta, tapi merupakan hasil persilangan dari berbagai suku dan menamai
mereka sebagai orang Betawi. Dan ada yang menyebut bahwa orang Betawi
telah lama ada sebelum Belanda datang ke Batavia.
Dahulu Batavia merupakan kota yang terkenal sebagai kota
perdagangan, itulah yang menyebabkan Batavia di datangi oleh orang-orang
asing yang berdagang, dan mereka juga ada yang tinggal lalu beranak-pinak,
sehingga banyak sekali etnis di Batavia, mulai dari etnis Arab, Tionghoa,
Portugis, serta suku-suku di Indonesia seperti Sunda, Jawa, dan Melayu.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 36


Dari persilangan tersebutlah yang menyebabkan kebudayaan Betawi
sangat beragam, karena kebudayaan Betawi juga merupakan hasil akulturasi
dari beberapa kebudayaan. Seperti tanjidor yang merupakan musik
percampuran antara budaya Cina, dan Portugis. Selain musik, terdapat pada
pakaian kebaya yang mengandung budaya cina. Dan masih banyak budaya
Betawi hasil akulturasi lainnya.
Dan penting bagi kita generasi muda untuk melestarikan kebudayaan
daerah kita masing-masing. Terima kasih telah membaca makalah mengenai
"Keberagaman Budaya Betawi" yang saya buat, maaf apabila terdapat
kekurangan dan kesalahan.

3.2. Kritik dan Saran


a) Pemerintah terutama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata masih terlihat
pasif dan tidak kreatif dalam mengelola budaya asli Indonesia.
b) Pemerintah harus berperan lebih aktif lagi dalam mengelola budaya asli
nusantara seperti mendokumentasikan lebih banyak lagi budaya-budaya
yang belum terekpos. Dimulai dari yang paling sederhana yaitu
mempromosikan budaya Indonesia melalui media sosial seperti facebook,
instagram, youtube, dan lain sebagainya
c) Pemerintah harus segera menyelamatkan budaya asli nusantara agar tidak
tergerus oleh zaman, yang mana masyarakat zaman ini lebih menyukai
budaya barat daripada budaya sendiri.
Kebudayaan yang dimiliki Aceh, Batak, dan Betawi ini menjadi salah
satu kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang perlu tetap dijaga
kelestariannya. Dengan membuat makalah ini diharapkan dapat lebih
mengetahui lebih jauh mengenai kebudayaan tersebut dan dapat menambah
wawasan serta pengetahuan yang pada kelanjutannya dapat bermanfaat dalam
dunia.

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 37


DAFTAR PUSTAKA

Koentjaraningrat. 1987. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:


Djambatan.
Melalatoa, M. Junus.1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan kebudayaan.
http://syitrarahayu.blogspot.com/2011/03/tujuh-unsur-kebudayaan-
universal.html
http://achmadfahmi489.blogspot.com/2011/10/7-unsur-kebudayaan-universal-
dan.html
http://4jipurnomo.wordpress.com/kebudayaan-aceh/
http://zulfaidah-indriana.blogspot.com/2012/11/unsur-unsur-kebudayaan-
aceh.htm
http://meukeutop.blogspot.com/2011/05/sistem-kekerabatan-masyarakat-
aceh.html
http://narutoiain.blogspot.com/2010/11/suku-aceh.html
http://ragam-budaya.blogspot.com/2009/09/kebudayaan-aceh.html
http://hanumskamyta.blogspot.com/2011/05/kebudayaan-aceh.html
http://muhammadfajrisigli.blogspot.com/2013/01/unsur-unsur-budaya-pada-
masyarakat-aceh.html
http://nabilberri.wordpress.com/2010/02/14/bahasa-bahasa-di-pulau-simeulue/
http://word-dialect.blogspot.com/2012/01/bahasa-devayan.html
http://nahulinguistik.wordpress.com/2012/12/26/bahasa-bahasa-aceh/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Sigulai 26
http://word-dialect.blogspot.com/2013/03/bahasa-lekon.html
http://atjehpost.com/read/2012/11/28/29462/3/3/Bahasa-Bahasa-Aceh 26
http://bahasa.kompasiana.com/2012/12/30/aceh-punya-bahasa-519923.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak_Pakpak
http://www.g-excess.com/637/pengertian-dan-penjelasan-kesenian-tari-saman/
http://tarianaceh.blogspot.com/2012/04/sejarah-tari-seudati.html

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 38


https://detdickaydb.home.blog/2019/09/19/tujuh-unsur-kebudayaan-masyarakat-
betawi-refleksi-masa-kini/
https://123dok.com/document/qorn9gmq-makalah-batak.html

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak

https://id.scribd.com/document/374793641/Makalah-Kebudayaan-Betawi

“Masyarakat dan Budaya Nusantara” | 39

Anda mungkin juga menyukai