Anda di halaman 1dari 7

Pada September 1945, Aceh mendapatkan informasi

tentang adanya kemerdekaan dan proklamasi memang


Aceh telat mengetahuinya. Aceh yang mayoritasnya
adalah ulama, mengadakan pertemuan “Deklarasi Ulama
Aceh” yang di sepakati oleh Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk.
Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Ja'far Siddiq dan Tgk.
Hasan Krueng Kalee.PAda tanggal 21 Juli 1947 Belanda
mengurungkan niat untuk menyerang Aceh karena
kekuatan Aceh yang sangat besar, bisa di bilang fii
sabilillah. LAlu orang-orang Aceh mengumpulkan uang,
harta dan lain-lain untuk membuat kapal. Tokoh Aceh
yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu, yakni Tgk.
M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk
mengizinkan diberlakukannya syari'at Islam di daerah
Aceh setelah merdeka. Untuk menghargai besarnya
peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan
Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh,
Langkat dan Tanah Karo. Keputusan tersebut tertulis
dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No.
4/WKP/U/47.
Akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan
yang bulat untuk bergabung dengan organisasi Negara
Islam Indonesia (NII) yang di pimpin oleh Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada
tanggal 20 September 1953 bersamaan dengan saat
Presiden Soekarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional
(PON) ke-III di Stadion Teladan-Medan. Mereka
menamakan gerakannya Darul Islam (DI) dan Pasukan
Tentara Islam Indonesia (TII), dibawah pimpinan Teungku
M. Daud Beureueh. Setelah Daud Beureuh bergabung
dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk
menguasai kota-kota yang berada di Aceh, selain itu
mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh
citra pemerintahan Republik Indonesia. Tidak lama
setelah pemberontakan pecah, Pemerintah Republik
Indonesia melalui Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
segera memberikan penjelasan secara runut tentang
peristiwa tersebut di depan Dewan Perwakilan Rakyat
pada tanggal 28 Oktober 1953.
Setelah beberapa tahun dikepung, baru pada tangggal 21
desember 1962 tercapailah "Musyawarah Kerukunan
Rakyat Aceh".
Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut,
maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-
kota yang di tempatinya. Tentara Nasional Indonesia-pun
memberikan pencerahan kepada penduduk setempat
untuk menghindari kesalah pahaman dan
mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan
Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember
1962, atas nama Prakasa Panglima Kodami Iskandar
Muda, kolonel M.Jasin mengadakan Musyawarah
Kerukunan Rakyat Aceh, yang musyawarah tersebut
mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh
dan musyawarah yang di lakukan tersebut berhasil
memulihkan keamanan di Aceh.

Akhirnya datang ke Aceh suatu missi resmi dari


Pemerintah Pusat dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri
Republik Indonesia, Mr. Hardi. Missi ini kemudian terkenal
dengan nama Missi Hardi. Setelah beberapa hari
berunding dengan tokoh-tokoh Aceh, termasuk Gubernur
Aceh, Ali Hasymy, dan tokoh-tokoh DI/TII disimpulkan
bahwa kepada daerah Aceh diberikan keistimewaan
dalam tiga bidang, yaitu : (1) bidang Agama; (2) bidang
Adat; dan (3) bidang Pendidikan. Pemberian
keistimewaan itu dituangkan dalam Keputusan Peradana
Menteri No. 1/Missi/1959, dan sejak waktu itu Propinsi
Aceh dinamakan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. [5]
Latar Belakang

Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan


DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya
provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera
Utara yang beribukota di Medan. Peleburan
provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik
masyarakat Aceh ketika perjuangan
mempertahankan kedaulatan Negara Republik
Indonesia dimasa revolusi fisik kemerdekaan
Indonesia (1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee
balang yang sejak lama telah menjadi pemimpin
formal pada lingkup adat dan politik di Aceh.
Keinginan dari masyarakat Aceh untuk menetapkan
hukum syariah dalam kehidupan mereka.
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van
Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud Beureueh
terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya
rumor tentang sebuah dokumen rahasia dari
Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo yang isinya
berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh
masyarakat Aceh. Rumor ini disebut sebagai les
hitam. Perintah tersebut dikabarkan diambil oleh
Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa
Aceh sedang bersiap untuk sebuah pemberontakan
guna memisahkan diri dari negara Indonesia.
DI/TII :
Didirikan : 7 agustus 1949 oleh sekarmadji maridjan kartosoewirjo, tasikmalaya

Tujuan : menjadikan republik indonesia sebagai sebuah negara berdasar agama islam

Pemberontakan dimulai tgl 20 september 1953 dimulai dengan proklamasi daud beureuh bahwa aceh
sebagai bagian dari negara islam indonesia

Latar belakang munculnya kesenjangan antara pemerintah dengan aceh yaitu karena pemerintah belum
menetapkan aceh sebagai provinsi sampai bulan maret 1950

Oleh karena itu daud beureuh bergabung dengan NII. Lalu mereka melakukan sebuah operasi untuk
menguasai kota kota di aceh

Pada 21 desember 1962 akhirnya tercapai musyawarah rakyat aceh

Anda mungkin juga menyukai