Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera
Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik
masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia
dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi
pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh[1][2]. Keinginan dari masyarakat Aceh
untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.[3]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud
Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen
rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat
Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikhabarkan diambil oleh
Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap buat sebuah
pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
rakyat Indonesia bahwa kemungkinan besar Belanda akan menjajah Indonesia kembali.
Kecurigaan tokoh-tokoh pimpinan Aceh tersebut, terbukti pada September 1945 yang mulai
melakukan agresi militernya dan telah berada di Medan (Anthony Reid, 1979 ; 151-152).
Sehubungan dengan situasi seperti itu, beberapa ulama melakukan pertemuan yang
memutuskan untuk memberi dorongan kepada Republik Indonesia terhadap Proklamasi
kemerdekaannya. Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut Deklarasi
Seluruh Ulama Aceh yang ditandatangani oleh empat ulama terkenal, yaitu : Tgk. M. Daud
Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Jafar Siddiq dan Tgk. Hasan Krueng
Kalee (Hasbi Amiruddin, 2004 ; 55).
Pernyataan politik tersebut berisi tentang perang jihad fisabilillah bagi seluruh ummat
Islam untuk mempertahankan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan kalau
gugur mendapatkan pahala syahid (Ali Hasjmy, 1997 ; 115). Deklarasi ini telah mendorong
rakyat untuk bersatu mendukung Pemimpin Besar Soekarno dalam perlawanan terhadap
Belanda yang ingin kembali ke Indonesia, karena Belanda diyakini akan menghancurkan
kemurnian agama dan juga menindas serta melecehkan kehormatan dan merintangi
kemakmuran rakyat Indonesia.
Keberhasilan Belanda dalam menggempur Surabaya (Jawa Timur), 10 November
1945 membuat sejumlah ulama di Aceh membentuk angkatan perang Islam yang dinamakan
Lasykar Mujahiddin. Pertemuan pembentukan Lasykar Mujahiddin tersebut berlangsung di
Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 17 November 1945. Lasykar ini dipimpin oleh Tgk.
Daud Beureueh, salah seorang ulama yang menandatangani deklarasi ulama. Organisasi
pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun lasykar di beberapa wilayah.
Selanjutnya Lasykar Mujahiddin berubah namanya menjadi Divisi Tgk. Chik Di Tiro dan di
Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya Bakong. Divisi Tgk. Chik Di Tiro dipimpin
oleh Tgk. Daud Beureueh dan Divisi Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir
Husein Al Mujahid (Jarahdam, 1972; 1-8).
Patriotisme perjuangan rakyat Aceh yang dibalut dengan semangat jihad fi sabilillah,
membuat Belanda mengurungkan niatnya menyerang Aceh. Kendatipun, Belanda telah
mendirikan markas-markasnya di Medan dan Inggris di Sabang. Agresi pertama Belanda
pada 21 Juli 1947 gagal masuk ke Aceh.
Pada pertengahan tahun 1948, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh dan
mengumpulkan para tokoh dan pedagang Aceh untuk membantu perjuangan. Waktu itu
semua anggota masyarakat terutama para pedagang mengumpulkan dana dan emas untuk
membeli sebuah kapal terbang. Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu,
yakni Tgk. M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk mengizinkan
diberlakukannya syariat Islam di daerah Aceh setelah merdeka. Bung Karno yang semula
menyatakan setuju, setelah Tgk. M. Daud Beureueh menyodorkan konsep surat untuk
ditandatangani, Bung Karno menangis terisak-isak sambil mengatakan : Kanda tidak
percaya padaku, buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya. Tgk. M. Daud
Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu. Hal ini menjadi bukti tentang besarnya
peranan seorang ulama dalam masyarakat Aceh.
Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan
Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan
tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47
(Nazaruddin Syamsuddin, 1985; 27).
Latar belakang munculnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh,
disebabkan sampai bulan Maret 1950 Pemerintah belum menetapkan Aceh sebagai Provinsi.
Sebenarnya, Provinsi Aceh dibentuk tanggal 31 Januari 1950 melalui Peraturan Perdana
Menteri pengganti Peraturan Pemerintah Nomor : 8/Des/WKPM/1949 yang tidak berlaku
lagi. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah pengganti
Penguasa Perang Daerah (Peperda). Tetapi pada waktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang ini, ternyata ditolak oleh Menteri Dalam
Negeri. Sedangkan peraturan pelaksanaan terhadap Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi,
tidak pernah muncul di tingkat pusat.
Masyarakat Aceh secara keseluruhan telah menjadi penganut agama Islam, dalam
kehidupannya sehari-hari sejauh mungkin dicoba untuk diselaraskan dengan tuntunan ajaran
Islam. Karenanya sistem budaya etnis yang dimilikinya yaitu adat telah disesuaikan dengan
berbagai segi ajaran Islam, sehingga antara keduanya sudah sukar untuk dipisahkan, seperti
telah diutarakan dalam ungkapan tersebut di atas.
2.3.
2.4.
Dalam rangka menumpas kaum komunis tersebut di Aceh, Ishak Juarsa, Panglima
Kodam I Iskandar Muda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh,
secara terpisah meminta pendapat berupa Hukum Islam mengenai G 30 S. itu kepada ;
Teungku Haji Abdullah Ujongrimba (Ketua Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama Daerah
Istimewa Aceh);
Teungku Haji Hasan (Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh);
Drs. Haji Ismuha (Rektor IAIN Jamiah Ar-Ranirry Darussalam, Banda Aceh).
Meskipun mereka tidak bermusyawarah, bahkan satu sama lain tidak tahu menahu,
namun jawaban mereka sama, yaitu karena masalah ini besar, maka sebaiknya diundang para
ulama seluruh Aceh untuk sama-sama membicarakan masalah tersebut.
Saran tersebut diterima oleh Pangdam Iskandar Muda dengan mengundang seluruh
ulama yang ada di Aceh dalam kegiatan Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh
pada tanggal 17-18 Desember 1965 (23-24 Syakban 1385 H), yang dihadiri oleh sebanyak 56
alim ulama terkemuka dari seluruh Tanah Aceh.
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba tersebut,
keluarlah beberapa keputusan yang menyatakan ajaran komunisme kufur/haram hukumnya,
penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G. 30. S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas,
pembubaran PKI wajib hukumnya, orang yang menumpas G. 30. S karena Allah dan
terbunuh mati syahid hukumnya.
Pertemuan ulama se-Daerah Istimewa Aceh tersebut juga memutuskan untuk
mendirikan organisasi ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah
Istimewa Aceh, yang dipimpin dan diketuai oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba untuk
pertama kalinya.
Setelah keluarnya fatwa ulama tersebut, maka pada tanggal 19 Desember 1965
Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan
organisasi-organisasi bawahannya dalam daerah hukumnya, yaitu Daerah Istimewa Aceh.
2.5.
Pada masa lampau, peran dayah tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan
keagamaan. Namun, menyentuh ranah sosial politik, kekuasaan, bahkan lebih jauh menjadi
tempat melahirkan panglima perang.
Pada era Kasultanan Aceh, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang
membuat kanun atau hukum pemerintahan dan kemasyarakatan. Adapun pada masa perang
Aceh melawan kolonial Belanda, dayah di Aceh menjadi tempat menyusun strategi. Sebagian
dayah menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan
prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zawiyah
(dalam lidah Aceh sering disebutkan sebagai Dayah). Salah satu di antaranya adalah Zawiyah
Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah, di antaranya, adalah Tgk H Syeh
Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah
pimpinan generasi kelima, Zawiyah Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat Perang
Aceh, seperti diutarakan almarhum Tgk. M Dahlan Al Fairussi, pimpinan generasi
kesembilan di zawiyah itu.
Namun, sejak konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hampir semua
dayah di Aceh berupaya memberi jarak pada urusan politik. Dayah berupaya hanya
menjadi pusat pendidikan agama.
Selama masa konflik RI dengan GAM, dayah berada di posisi terjepit di antara dua
kekuatan yang bertikai, sehingga ruang geraknya menyempit. Santri-santri dan ulama tidak
leluasa berdakwah dan melakukan pengajian karena khawatir dicurigai, baik oleh TNI/Polri
maupun oleh GAM. Santri dan abu (pemimpin dayah) seperti terpenjara dalam lingkungan
dayah. Bahkan, untuk menyerukan perdamaian pun bisa dicurigai karena dianggap
melemahkan perjuangan salah satu pihak.
Dayah lambat laun memilih peran dengan berdiam diri dan dengan itu mereka
menjadi pelindung masyarakat dari teror dan tekanan konflik. Mereka harus ekstra hati-hati.
Demi kelangsungan hidup dayah, mereka berjuang untuk tetap berada di garis tengah agar
tidak terseret ke dalam arus konflik.
Setelah Tgk. Daud Beureueh turun gunung dan berdamai dengan Pemerintah RI,
keterlibatan beliau dalam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pimpinan Hasan Tiro,
kembali dikait-kaitkan.
Meskipun banyak asumsi yang menuai pro-kontra mengenai keterlibatan beliau (Tgk.
Daud Beureueh) terhadap Perlawanan GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro di
Puncak Gunung Halimun, Pidie, namun perlawanan tersebut mendapat dukungan penuh dari
beberapa tokoh pendukung DI/TII. Diantaranya adalah Teungku Ilyas Leubee dan Daud
Paneuk. Ilyas merupakan ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung
setia Daud Beureueh (Zakaria, tokoh GAM di Thailand, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).
Deklarasi pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diketuai oleh Hasan Tiro,
pada awalnya merupakan sebuah perjuangan kelanjutan dari Republik Islam Aceh (RIA).
RIA lahir melalui sebuah gerakan pembebasan yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari
belenggu penjajahan Republik Indonesia. Sang arsitek GAM, Tgk. Daud Beureueh,
menginginkan Aceh harus menjadi Negara Islam yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Menurut Tgk. Daud Beureueh, dengan bersandarkan kepada Al-Quran dan Al
hadist, maka rakyat Aceh akan mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran
sebagaiman sejarah Aceh tempo dulu. Maka dalam perjuangan menegakkan Negara Islam
Aceh, semangat hukum Islam sangat ditonjolkan (Abu Jihad,.. : 45).
Dalam melanjutkan perjuangan tersebut, tentunya Tgk. Daud Beureueh tidak
mempunyai kuasa lagi. Hal itu dikarenakan fisik nya yang mulai melemah dan kontrol yang
sangat ketat dari Intelijen Indonesia. Karenanya, perjuangan menegakkan Negara Aceh yang
berdaulat dengan berlandaskan hukum Islam diberikan kepada Hasan Tiro.
2.6.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.1 Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda ke Aceh adalah sangat
besar artinya. Ulama tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan
semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta
pengetahuan lainnya.
1.2 Keterlibatan ulama sangat besar artinya terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh.
Secara politis, sejak awal kemerdekaan ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat
strategis, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam
memperjuangkan status Daerah Istimewa bagi Aceh.
1.3 Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah dapat menjadi pelopor
dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh (umat Islam). Ulama juga ikut berperan dalam
menggagas perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII dan juga ikut pro
aktif dalam mengupayakan perundingan Helsinki, yaitu perundingan antara pemerintah RI
dengan GAM.
2. Saran-saran
2.1 Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan
para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam
menggagas perdamaian di Aceh.
2.2 Diharapkan kepada para guru dan calon guru sejarah dapat lebih giat berupaya untuk
menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Upaya ini salah satunya adalah
dengan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sudirman ,2014. Sejarah Indonesia lengkap. Diva press. Jakarta
http://ourlz.blogspot.co.id/2013/05/makalah-sejarah-pemberontakan-ditii-di.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_DI/TII_di_Aceh
Asril,2015 Sejarah Indonesia (kontemporer). Hal 129
http://www.acehbooks.org/pdf/ACEH_02539.pdf