Anda di halaman 1dari 8

Latar belakang

Alasan pertama yang menjadi latar dari gerakan DI/TII Aceh adalah kekecewaan para tokoh
pimpinan masyarakat di Aceh atas dileburnya provinsi Aceh kedalam provinsi Sumatera
Utara yang beribukota di Medan. Peleburan provinsi itu seakan mengabaikan jasa baik
masyarakat Aceh ketika perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia
dimasa revolusi fisik kemerdekaan Indonesia (1945-1950).
Kekhawatiran kembalinya kekuasaan para ulee balang yang sejak lama telah menjadi
pemimpin formal pada lingkup adat dan politik di Aceh[1][2]. Keinginan dari masyarakat Aceh
untuk menetapkan hukum syariah dalam kehidupan mereka.[3]
Sejarawan berkebangsaan Belanda, Cornelis Van Dijk, menyebutkan, kekecewaan Daud
Beureueh terhadap Jakarta semakin berat dengan beredarnya rumor tentang sebuah dokumen
rahasia dari Jakarta. Dokumen itu disebut-sebut dikirim oleh Perdana Menteri Ali
Sastroamidjojo yang isinya berupa perintah pembunuhan terhadap 300 tokoh masyarakat
Aceh. Rumor ini disebut sebagai les hitam. Perintah tersebut dikhabarkan diambil oleh
Jakarta berdasarkan kecurigaan dan laporan bahwa Aceh sedang bersiap buat sebuah
pemberontakan guna memisahkan diri dari negara Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1.

Pemberontakan DI/TII di Aceh


Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa
Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo
pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah
Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947.
Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai
seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan
bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga
berhasil memengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk
beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian
besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi
pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota
besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir
Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel
Jendral Makarawong.
2.2. Kiprah Ulama Aceh di Awal Kemerdekaan
Keterlibatan ulama di Aceh dalam mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, setelah
diproklamasikannya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 sangat besar.
Meskipun berita tentang Proklamasi Kemerdekaan Negara Republik Indonesia di
Aceh agak terlambat. Para pemimpin di Aceh yang mayoritasnya ulama, memperingatkan

rakyat Indonesia bahwa kemungkinan besar Belanda akan menjajah Indonesia kembali.
Kecurigaan tokoh-tokoh pimpinan Aceh tersebut, terbukti pada September 1945 yang mulai
melakukan agresi militernya dan telah berada di Medan (Anthony Reid, 1979 ; 151-152).
Sehubungan dengan situasi seperti itu, beberapa ulama melakukan pertemuan yang
memutuskan untuk memberi dorongan kepada Republik Indonesia terhadap Proklamasi
kemerdekaannya. Pertemuan itu, menghasilkan sebuah kesepakatan yang disebut Deklarasi
Seluruh Ulama Aceh yang ditandatangani oleh empat ulama terkenal, yaitu : Tgk. M. Daud
Beureueh, Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri, Tgk. Jafar Siddiq dan Tgk. Hasan Krueng
Kalee (Hasbi Amiruddin, 2004 ; 55).
Pernyataan politik tersebut berisi tentang perang jihad fisabilillah bagi seluruh ummat
Islam untuk mempertahankan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan kalau
gugur mendapatkan pahala syahid (Ali Hasjmy, 1997 ; 115). Deklarasi ini telah mendorong
rakyat untuk bersatu mendukung Pemimpin Besar Soekarno dalam perlawanan terhadap
Belanda yang ingin kembali ke Indonesia, karena Belanda diyakini akan menghancurkan
kemurnian agama dan juga menindas serta melecehkan kehormatan dan merintangi
kemakmuran rakyat Indonesia.
Keberhasilan Belanda dalam menggempur Surabaya (Jawa Timur), 10 November
1945 membuat sejumlah ulama di Aceh membentuk angkatan perang Islam yang dinamakan
Lasykar Mujahiddin. Pertemuan pembentukan Lasykar Mujahiddin tersebut berlangsung di
Mesjid Raya Baiturrahman pada tanggal 17 November 1945. Lasykar ini dipimpin oleh Tgk.
Daud Beureueh, salah seorang ulama yang menandatangani deklarasi ulama. Organisasi
pasukan militer ini dalam waktu yang singkat telah membangun lasykar di beberapa wilayah.
Selanjutnya Lasykar Mujahiddin berubah namanya menjadi Divisi Tgk. Chik Di Tiro dan di
Aceh Timur diberi nama Divisi Tgk. Chik Paya Bakong. Divisi Tgk. Chik Di Tiro dipimpin
oleh Tgk. Daud Beureueh dan Divisi Tgk. Chik Paya Bakong dipimpin oleh Tgk. Amir
Husein Al Mujahid (Jarahdam, 1972; 1-8).
Patriotisme perjuangan rakyat Aceh yang dibalut dengan semangat jihad fi sabilillah,
membuat Belanda mengurungkan niatnya menyerang Aceh. Kendatipun, Belanda telah
mendirikan markas-markasnya di Medan dan Inggris di Sabang. Agresi pertama Belanda
pada 21 Juli 1947 gagal masuk ke Aceh.
Pada pertengahan tahun 1948, Presiden Soekarno mengunjungi Aceh dan
mengumpulkan para tokoh dan pedagang Aceh untuk membantu perjuangan. Waktu itu
semua anggota masyarakat terutama para pedagang mengumpulkan dana dan emas untuk
membeli sebuah kapal terbang. Tokoh Aceh yang menjadi Gubernur Militer pada waktu itu,
yakni Tgk. M. Daud Beureueh, meminta kepada Bung Karno untuk mengizinkan
diberlakukannya syariat Islam di daerah Aceh setelah merdeka. Bung Karno yang semula
menyatakan setuju, setelah Tgk. M. Daud Beureueh menyodorkan konsep surat untuk
ditandatangani, Bung Karno menangis terisak-isak sambil mengatakan : Kanda tidak
percaya padaku, buat apa aku menjadi Presiden kalau aku tidak dipercaya. Tgk. M. Daud
Beureueh pun mengundurkan niatnya sesudah itu. Hal ini menjadi bukti tentang besarnya
peranan seorang ulama dalam masyarakat Aceh.
Untuk menghargai besarnya peranan ulama di Aceh, Pemerintah Pusat menetapkan
Tgk. Daud Beureueh menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Keputusan
tersebut tertulis dalam Keputusan Presiden pada 26 Agustus 1949, No. 4/WKP/U/47
(Nazaruddin Syamsuddin, 1985; 27).
Latar belakang munculnya kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Aceh,
disebabkan sampai bulan Maret 1950 Pemerintah belum menetapkan Aceh sebagai Provinsi.
Sebenarnya, Provinsi Aceh dibentuk tanggal 31 Januari 1950 melalui Peraturan Perdana
Menteri pengganti Peraturan Pemerintah Nomor : 8/Des/WKPM/1949 yang tidak berlaku
lagi. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah pengganti

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1950, tentang pembentukan Provinsi Aceh dan


memasukkannya kembali menjadi bagian Provinsi Sumatera Utara. Hal ini sangat ditentang
oleh tokoh-tokoh pimpinan Aceh termasuk para ulama, kondisi ini menjadi permasalahan
yang menimbulkan ketegangan hubungan Aceh dengan Pemerintah Pusat (Ramadhan dan
Hamid Jabar, 1995:316).
Penghapusan provinsi Aceh, menyebabkan pembangunan dan perkembangan Aceh
menjadi terhambat. Rasa tidak puas mulai muncul di tengah masyarakat. Sebagai suatu
Keresidenan, banyak hal yang berubah. Para pegawai yang berasal dari Aceh, banyak yang
dinon-aktifkan. Pelabuhan Ulee Lheue ditutup, semua barang dari Aceh harus melalui
Belawan, Medan. Begitu juga halnya dengan penutupan Pelabuhan Lhokseumawe dan
Langsa.
Aceh merasa dianaktirikan dan rasa tidak puas itu akhirnya meledak. Bersamaan
dengan saat Presiden Soekarno meresmikan Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-III di
Stadion Teladan-Medan, tanggal 20 September 1953, pemberontakan di Aceh pecah. Mereka
menamakan gerakannya Darul Islam (DI) dan Pasukan Tentara Islam Indonesia (TII),
dibawah pimpinan Teungku M. Daud Beureueh (Ramadhan dan Hamid Jabar, 1995 : 316317).
Disebut juga pada pertengahan tahun 1953, seorang intel dari Kejaksaan Agung
(bernama Mustafa dengan nama samaran A. Fatah), pergi ke Aceh dan menemui beberapa
tokoh Aceh, antara lain Wedana Kutaraja (Banda Aceh), Tgk. Syeikh Marhaban, dan Tgk. A.
Wahab Seulimum. Mustafa, menginap tiga bulan di rumah Tgk. M. Daud Beureueh untuk
mencari hubungan antara pergerakan yang dipimpin Tgk. Daud Beureueh dengan DI/TII
pimpinan Sekarmaji di Jawa Tengah.
Setelah kepulangan Mustafa ke Jakarta dan rumahnya diperiksa oleh pihak Kejaksaan
Agung, yang kemudian didapatilah surat kuasa yang ditandatangani oleh Tgk. M. Daud
Beureueh, Jaksa Sunaryo dari Kejaksaan Agung berkali-kali mengunjungi Aceh dan
memberikan keterangan pers bahwa tiga ratus pemimpin Aceh akan ditangkap. Setelah
beberapa kali Sunaryo datang ke Aceh, tokoh-tokoh Aceh menjadi gelisah, karena beberapa
orang diantaranya dipindahkan keluar Aceh. Maka timbullah pemberontakan yang
diberinama DI/TII di Aceh .
Untuk menyelesaikan masalah ini, diselenggarakan Musyawarah Aceh di Medan yang
dihadiri oleh seluruh organisasi masyarakat Aceh di luar Aceh dan wakil-wakil dari
kabupaten diseluruh Aceh. Disamping itu para petinggi militer dari Pusat mengadakan
pendekatan dengan tokoh-tokoh DI/TII, termasuk Jenderal Abdul Haris Nasution yang
bertemu dengan Hasan Saleh Panglima Perang DI/TII yang kemudian membentuk Dewan
Revolusi, mengambil alih kekuasaan dari tangan Tgk. M. Daud Beureueh. Wakil Presiden
Mohammad Hatta juga mengirimkan utusan ke pedalaman Aceh menemui Perdana Menteri
DI/TII, Tgk. Hasan Ali.
Akhirnya datang ke Aceh suatu missi resmi dari Pemerintah Pusat dipimpin oleh
Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, Mr. Hardi. Missi ini kemudian terkenal dengan
nama Missi Hardi. Setelah beberapa hari berunding dengan tokoh-tokoh Aceh, termasuk
Gubernur Aceh, Ali Hasymy, dan tokoh-tokoh DI/TII disimpulkan bahwa kepada daerah
Aceh diberikan keistimewaan dalam tiga bidang, yaitu : (1) bidang Agama; (2) bidang Adat;
dan (3) bidang Pendidikan. Pemberian keistimewaan itu dituangkan dalam Keputusan
Peradana Menteri No. 1/Missi/1959, dan sejak waktu itu Propinsi Aceh dinamakan Propinsi
Daerah Istimewa Aceh.
Akan tetapi, Keputusan Wakil Perdana Menteri ini tidak punya efek apa-apa terhadap
daerah Aceh. Setelah Keputusan Wakil Perdana Menteri ini, pada tahun 1962 dilanjutkan
dengan Keputusan Panglima Komando Daerah Militer I/ Iskandar Muda, Kolonel M. Jasin
dengan menetapkan berlakunya syariat Islam di Aceh. Keputusan ini merupakan Keputusan

Penguasa Perang Daerah (Peperda). Tetapi pada waktu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang ini, ternyata ditolak oleh Menteri Dalam
Negeri. Sedangkan peraturan pelaksanaan terhadap Keputusan Wakil Perdana Menteri Hardi,
tidak pernah muncul di tingkat pusat.
Masyarakat Aceh secara keseluruhan telah menjadi penganut agama Islam, dalam
kehidupannya sehari-hari sejauh mungkin dicoba untuk diselaraskan dengan tuntunan ajaran
Islam. Karenanya sistem budaya etnis yang dimilikinya yaitu adat telah disesuaikan dengan
berbagai segi ajaran Islam, sehingga antara keduanya sudah sukar untuk dipisahkan, seperti
telah diutarakan dalam ungkapan tersebut di atas.
2.3.

Kiprah Ulama Aceh pada Masa DI/TII


Adanya perbedaan pendapat yang muncul antara pemimpin Aceh dengan pemerintah
pusat (Jakarta), merupakan salah satu faktor yang menyebabkan munculnya pemberontakan
DI/TII tahun 1953, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Saat itu, rakyat Aceh
mengharapkan daerahnya menjadi salah satu provinsi yang mendapat perlakuan yang
istimewa (Hasbi Amiruddin, 2004:59).
Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang menjadi latar belakang mengapa rakyat
Aceh menentang pemerintah pusat. Pertama, rakyat Aceh sudah lama terlibat perang untuk
mempertahankan negerinya dari jajahan kolonial Belanda. Hampir seratus tahun tidak ada
pembangunan yang dapat dilakukan, ekonomi dan pendidikan tidak dapat dikembangkan.
Rakyat Aceh merindukan pemimpin yang berasal dari daerah Aceh atau putra daerah.
Karena dengan pemimpin yang berasal dari daerah sendiri, maka diharapkan dapat
memahami kebutuhan rakyat dan memahami watak rakyat Aceh yang agak berbeda,
khususnya dipandang dari aspek agama dan budaya, dibandingkan dengan masyarakat dari
wilayah lainnya di Indonesia.
Akan tetapi, Pemerintah pusat mempunyai sisi pandang yang berbeda mengenai
permintaan masyarakat tersebut. Propinsi Aceh yang baru berumur setahun disatukan dengan
Sumatera Utara untuk dijadikan satu provinsi. Sejak saat itu, kekecewaan demi kekecewaan
mewarnai situasi Aceh.
Suasana menjadi semakin panas dengan adanya penangkapan-penangkapan sejumlah
tokoh yang lantang dan bersuara keras, yang dilakukan oleh aparat keamanan.
Karenanya, Tgk. Daud Beureueh, pada 21 September 1953, memutuskan perang
melawan Pemerintah Indonesia. Ia menyatakan bergabung dengan gerakan SM Kartosuwiryo
dibawah bendera DI/TII, yang sudah mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat
pada 17 Agustus 1949.
Sebagian besar Ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA),
ikut berjuang bersama Tgk. Daud Beureueh saat itu yang sudah naik gunung. Ulama yang
ikut mengangkat sejata tersebut, tergabung dalam resimen 5 DI/TII, sekaligus pengawal
paling setia Tgk. Daud Beureueh (Otto Syamsuddin Ishak, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).
Sjafruddin Prawiranegara, sebagai Perdana Menteri Sementara saat itu, memahami
keinginan dari masyarakat Aceh tentang status khusus tersebut, namun keinginan ini ditolak
oleh pemerintah pusat (Soekarno dan Hatta).
Pemberontakan yang terjadi di Aceh pada awal tahun lima puluhan melibatkan
mayoritas masyarakat Aceh, karena digerakkan oleh sejumlah ulama yang terkenal pada
waktu itu, di antaranya yaitu Tgk. Muhammad Daud Beureueh. Pemerintah pusat tidak dapat
meredam pemerintakan tersebut, yang berlangsung selama sembilan tahun yaitu 1953-1962.
Pemberontakan ini berakhir setelah pemerintah pusat menerima status daerah Istimewa Aceh.
Rakyat Aceh diberi hak otonomi, yaitu dalam bidang keagamaan, pendidikan, dan adat
istiadat. Dalam mengakhiri pemberontakan tersebut, ditandai dengan adanya perdamaian
yang juga dipelopori oleh sejumlah ulama Aceh pada waktu itu.

2.4.

Keikutsertaan Ulama Aceh dalam Penumpasan Komunis dan Pembentukan Majelis


Ulama Indonesia
Ideologi Komunis yang telah mewabah di Indonesia pada tahun 60-an, mendapat
kerisauan dari segenap masyarakat dan tokoh-tokoh nasionalis, termasuk kaum agamis.
Kekhawatiran terhadap pengaruh komunis tersebut juga turut dirasakan di Aceh. Penyebaran
pemahaman dan ajaran politik yang berkiblat pada negeri Cina dan Russia tersebut terus saja
membuat pihak pemerintah Indonesia was-was dan meminta fatwa ulama untuk memberantas
komunis di Indonesia. Apalagi setelah penculikan dan pembantaian yang dilakukan terhadap
enam perwira militer di Jakarta (Soe Hoe Gie ;)
Di Aceh, pemahaman ideologi komunis yang berkembang mendapat tantangan keras
dari para ulama. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ali Hasjmy (1997 : 147) sebagai berikut
:
Pada penghujung tahun 1965, dua bulan setengah setelah terjadi pengkhianatan kaum
Komunis Indonesia yang didukung gerakan kaum komunis internasional, di Banda Aceh
berlangsung Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh di bawah pimpinan ulama
besar Teungku Haji Abdullah Ujongrimba. Musyawarah antara lain mengeluarkan fatwa
yang mengharamkan ajaran komunisme dan menyatakan bahwa para penggerak, pelopor
dan pelaksana G-30 S (Gerakan 30 September) adalah kafir harbi yang wajib dibasmi.
Fatwa tersebut ditandatangani oleh Teungku Abdullah Ujongrimba sebagai Ketua Presidium
Musyawarah dan para ulama peserta musyawarah lainnya.

Dalam rangka menumpas kaum komunis tersebut di Aceh, Ishak Juarsa, Panglima
Kodam I Iskandar Muda selaku Penguasa Perang Daerah untuk Daerah Istimewa Aceh,
secara terpisah meminta pendapat berupa Hukum Islam mengenai G 30 S. itu kepada ;
Teungku Haji Abdullah Ujongrimba (Ketua Mahkamah Syariah/Pengadilan Agama Daerah
Istimewa Aceh);
Teungku Haji Hasan (Kepala Kantor Urusan Agama Propinsi Daerah Istimewa Aceh);
Drs. Haji Ismuha (Rektor IAIN Jamiah Ar-Ranirry Darussalam, Banda Aceh).
Meskipun mereka tidak bermusyawarah, bahkan satu sama lain tidak tahu menahu,
namun jawaban mereka sama, yaitu karena masalah ini besar, maka sebaiknya diundang para
ulama seluruh Aceh untuk sama-sama membicarakan masalah tersebut.
Saran tersebut diterima oleh Pangdam Iskandar Muda dengan mengundang seluruh
ulama yang ada di Aceh dalam kegiatan Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh
pada tanggal 17-18 Desember 1965 (23-24 Syakban 1385 H), yang dihadiri oleh sebanyak 56
alim ulama terkemuka dari seluruh Tanah Aceh.
Dalam pertemuan yang dipimpin oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba tersebut,
keluarlah beberapa keputusan yang menyatakan ajaran komunisme kufur/haram hukumnya,
penganutnya yang sadar adalah kafir, pelaku G. 30. S adalah kafir harbi yang wajib ditumpas,
pembubaran PKI wajib hukumnya, orang yang menumpas G. 30. S karena Allah dan
terbunuh mati syahid hukumnya.
Pertemuan ulama se-Daerah Istimewa Aceh tersebut juga memutuskan untuk
mendirikan organisasi ulama yang diberi nama Majelis Permusyawaratan Ulama Daerah
Istimewa Aceh, yang dipimpin dan diketuai oleh Tgk. H. Abdullah Ujongrimba untuk
pertama kalinya.
Setelah keluarnya fatwa ulama tersebut, maka pada tanggal 19 Desember 1965
Panglima Kodam I Iskandarmuda mengumumkan pembubaran Partai Komunis Indonesia dan
organisasi-organisasi bawahannya dalam daerah hukumnya, yaitu Daerah Istimewa Aceh.
2.5.

Keberadaan Ulama dalam Konflik Gerakan Aceh Merdeka

Pada masa lampau, peran dayah tidak hanya sebatas sebagai lembaga pendidikan
keagamaan. Namun, menyentuh ranah sosial politik, kekuasaan, bahkan lebih jauh menjadi
tempat melahirkan panglima perang.
Pada era Kasultanan Aceh, Abdul Rauf As-Singkili merupakan ulama kerajaan yang
membuat kanun atau hukum pemerintahan dan kemasyarakatan. Adapun pada masa perang
Aceh melawan kolonial Belanda, dayah di Aceh menjadi tempat menyusun strategi. Sebagian
dayah menjadi semacam lembaga pemberi ijazah atau legitimasi bagi para panglima dan
prajurit sebelum terjun ke medan perang. Dayah seperti ini biasanya dinamakan zawiyah
(dalam lidah Aceh sering disebutkan sebagai Dayah). Salah satu di antaranya adalah Zawiyah
Tanoh Abee di Aceh Besar.
Tokoh penting dalam perjuangan melawan penjajah, di antaranya, adalah Tgk H Syeh
Abdul Wahab yang merupakan pejuang pada zaman kemerdekaan. Tokoh lainnya adalah
pimpinan generasi kelima, Zawiyah Tgk. Chiek Tanoh Abee, yang menjadi penasihat Perang
Aceh, seperti diutarakan almarhum Tgk. M Dahlan Al Fairussi, pimpinan generasi
kesembilan di zawiyah itu.
Namun, sejak konflik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), hampir semua
dayah di Aceh berupaya memberi jarak pada urusan politik. Dayah berupaya hanya
menjadi pusat pendidikan agama.
Selama masa konflik RI dengan GAM, dayah berada di posisi terjepit di antara dua
kekuatan yang bertikai, sehingga ruang geraknya menyempit. Santri-santri dan ulama tidak
leluasa berdakwah dan melakukan pengajian karena khawatir dicurigai, baik oleh TNI/Polri
maupun oleh GAM. Santri dan abu (pemimpin dayah) seperti terpenjara dalam lingkungan
dayah. Bahkan, untuk menyerukan perdamaian pun bisa dicurigai karena dianggap
melemahkan perjuangan salah satu pihak.
Dayah lambat laun memilih peran dengan berdiam diri dan dengan itu mereka
menjadi pelindung masyarakat dari teror dan tekanan konflik. Mereka harus ekstra hati-hati.
Demi kelangsungan hidup dayah, mereka berjuang untuk tetap berada di garis tengah agar
tidak terseret ke dalam arus konflik.
Setelah Tgk. Daud Beureueh turun gunung dan berdamai dengan Pemerintah RI,
keterlibatan beliau dalam perlawanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), pimpinan Hasan Tiro,
kembali dikait-kaitkan.
Meskipun banyak asumsi yang menuai pro-kontra mengenai keterlibatan beliau (Tgk.
Daud Beureueh) terhadap Perlawanan GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro di
Puncak Gunung Halimun, Pidie, namun perlawanan tersebut mendapat dukungan penuh dari
beberapa tokoh pendukung DI/TII. Diantaranya adalah Teungku Ilyas Leubee dan Daud
Paneuk. Ilyas merupakan ulama yang disegani di Aceh Tengah dan merupakan pendukung
setia Daud Beureueh (Zakaria, tokoh GAM di Thailand, edisi Agustus 2005, Aceh Kita).
Deklarasi pendirian Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diketuai oleh Hasan Tiro,
pada awalnya merupakan sebuah perjuangan kelanjutan dari Republik Islam Aceh (RIA).
RIA lahir melalui sebuah gerakan pembebasan yang ingin membebaskan rakyat Aceh dari
belenggu penjajahan Republik Indonesia. Sang arsitek GAM, Tgk. Daud Beureueh,
menginginkan Aceh harus menjadi Negara Islam yang didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah
Rasulullah. Menurut Tgk. Daud Beureueh, dengan bersandarkan kepada Al-Quran dan Al
hadist, maka rakyat Aceh akan mendapatkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran
sebagaiman sejarah Aceh tempo dulu. Maka dalam perjuangan menegakkan Negara Islam
Aceh, semangat hukum Islam sangat ditonjolkan (Abu Jihad,.. : 45).
Dalam melanjutkan perjuangan tersebut, tentunya Tgk. Daud Beureueh tidak
mempunyai kuasa lagi. Hal itu dikarenakan fisik nya yang mulai melemah dan kontrol yang
sangat ketat dari Intelijen Indonesia. Karenanya, perjuangan menegakkan Negara Aceh yang
berdaulat dengan berlandaskan hukum Islam diberikan kepada Hasan Tiro.

2.6.

Peran Ulama dalam Lahirnya UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan


Aceh
Sebagaimana diketahui bahwa proses lahirnya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan keistimewaan Aceh, juga melibatkan peran ulama sebagai salah satu
komponen masyarakat Aceh. Di samping itu, tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai elemen
juga memiliki andil dalam proses lahirnya undang-undang tersebut.
Di samping itu, para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia
yang mewakili daerah pemilihan Aceh terus bejuang di lembaga legislatif untuk kepentingan
kesejahteraan rakyat pasca Daerah Operasi Militer (DOM), baik lewat Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) maupun lewat departemen terkait terutama
departemen-departemen di bawah koordinasi Menteri Koordinator Kesra/Taskin, bergerak
langsung memberikan bantuan bagi korban DOM, pemugaran rumah-rumah yang terbakar,
penegerian sekolah-sekolah dan madrasah, pengangkatan guru-guru dan pegawai negeri sipil
yang berasal dari putra-putri korban DOM dan sebaginya.
Dalam pembahasan UU tentang Pemerintahan Daerah, para anggota DPR RI dari
daerah pemilihan Aceh berhasil menempatkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan
keistimewaan dalam bidang agama, adat, pendidikan dan peran ulama dalam satu UU
tersendiri. Berbeda dengan UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah yang mencantumkan sebutan Daerah Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan.
Mereka berjuang keras pula memperjuangkan UU No. 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (PKPD) yang dapat
menampung tuntutan daerah terutama dalam memasukkan penerimaan sektor migas menjadi
bagian yang harus diperhitungkan dalam perimbangan keuangan. Puncak dari perjuangan
Anggota DPR-RI periode 1997-1999 dari daerah pemilihan Aceh adalah terbentuknya UU
No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Keistimewaan Aceh yang
selama ini hanya berdasarkan Keputusan Missi Hardi, berkat perjuangan anggota DPR-RI
yang memiliki kepedulian terhadap nasib dan masa depan Aceh, berhasil merumuskan dalam
sebuah UU. Secara tidak berlebihan jika dikatakan ini merupakan lompatan sejarah yang
mesti disyukuri.
UU No. 44 tahun 1999 lahir setelah diadakan berbagai diskusi sesama anggota Dewan
dengan bimbingan para senior, saran Tim Penasihat Presiden Urusan Aceh, masukan dari para
ulama, kaum cendekiawan, Gubernur dan Pemerintah Daerah, desakan Taman Iskandar
Muada (TIM Jakarta) dan mahasiswa Aceh, para anggota DPR RI sampai pada kesimpulan,
dalam era reformasi dan kepemimpinan pemerintahan yang demokratis, sekarang inilah
momentum yang paling tepat untuk mengajukan UU usul inisiatif tentang Pelaksanaan
Keistimewaan Aceh yang merupakan pedoman penyelenggaraan di daerah.
Kesimpulan inilah yang kemudian secara kompak dilaksanakan oleh para anggota
Dewan dengan mengumpulkan 48 tanda tangan dari para anggota yang mencakup semua
Fraksi yang ada di Dewan. Dalam tanggapannya, semua Fraksi menyatakan persetujuannya
untuk menerapkan syariat Islam di Aceh.
Pelaksanaan sebagian syariat Islam di seluruh daerah Republik Indonesia
sesunggunhya telah dimulai tahun 1974 dengan diberlakukannya Undang-undang tentang
Perkawinan khusus untuk umat Islam.
Dengan disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pelaksanaan Keistimewaan
Propinsi Aceh menjadi UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh,
maka terdapatlah landasan yang kuat untuk menyelenggarakan syariat Islam dalam satu
propinsi dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Pelaksanaan syariat Islam di Daerah Istimewa Aceh ditetapkan dalam Peraturan
Daerah setelah mendapat fatwa dari Majelis Pertimbangan Ulama yang independen, yang

dibentuk dengan keputusan DPRD. Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang


bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa pembahasan Undang-Undang tentang
Pemerintahan Daerah, para anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Aceh berhasil
menempatkan Aceh sebagai Daerah Istimewa dengan keistimewaan dalam bidang agama,
adat, pendidikan dan peran ulama dalam satu UU tersendiri. Berbeda dengan UU No. 5 tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang mencantumkan sebutan Daerah
Istimewa Aceh hanya dalam penjelasan. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka sejarah
pelaksanaan sebagian syariat Islam di seluruh NKRI sesunggunhya telah dimulai tahun 1974
dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Perkawinan khusus untuk umat Islam
(Badruzzaman Ismail, 2003:11).

BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
1.1 Eksistensi ulama dalam masyarakat sebelum kehadiran Belanda ke Aceh adalah sangat
besar artinya. Ulama tidak hanya dipandang sebagai orang yang memiliki ilmu keagamaan
semata, melainkan juga dianggap orang yang mampu menguasai adat istiadat serta
pengetahuan lainnya.
1.2 Keterlibatan ulama sangat besar artinya terhadap kondisi sosial dan politik di Aceh.
Secara politis, sejak awal kemerdekaan ulama Aceh sudah memegang peran yang sangat
strategis, seperti yang dilakukan oleh Tgk. Muhammad Daud Beureueh dalam
memperjuangkan status Daerah Istimewa bagi Aceh.
1.3 Pengaruh keterlibatan ulama Aceh dalam kancah politik adalah dapat menjadi pelopor
dalam menyuarakan aspirasi masyarakat Aceh (umat Islam). Ulama juga ikut berperan dalam
menggagas perdamaian di Aceh, seperti halnya dalam penyelesaian DI/TII dan juga ikut pro
aktif dalam mengupayakan perundingan Helsinki, yaitu perundingan antara pemerintah RI
dengan GAM.
2. Saran-saran
2.1 Diharapkan kepada para pembaca kiranya dapat mengambil suri tauladan dari perjuangan
para ulama Aceh dalam menyuarakan aspirasi umat Islam, serta turut pro aktif dalam
menggagas perdamaian di Aceh.
2.2 Diharapkan kepada para guru dan calon guru sejarah dapat lebih giat berupaya untuk
menanamkan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Upaya ini salah satunya adalah
dengan semakin memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.
DAFTAR PUSTAKA
Adi Sudirman ,2014. Sejarah Indonesia lengkap. Diva press. Jakarta
http://ourlz.blogspot.co.id/2013/05/makalah-sejarah-pemberontakan-ditii-di.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_DI/TII_di_Aceh
Asril,2015 Sejarah Indonesia (kontemporer). Hal 129
http://www.acehbooks.org/pdf/ACEH_02539.pdf

Anda mungkin juga menyukai