Pendahuluan
Kota Banda Aceh adalah ibukota dari Provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Pulau
Sumatra. Kota ini memiliki tinggi daratan rata-rata 0,80 meter dari permukaan laut membentang
di antara 05° 16’ 15’ – 05° 36’ 16” LU dan 95° 16’ 15”- 95° 22’ 35” BT. Di sebelah Utara, Kota
Banda Aceh berbatasan dengan Selat Malaka, di sebelah Barat berbatasan dengan Samudra
Indonesia dan di sebelah Timur dan Selatan berbatasan dengan Kabupaten Aceh Besar
(https://aceh.bpk.go.id/kota-banda-aceh). Luas wilayah Kota Banda Aceh adalah 61,36 km². Pada
tahun 2021, jumlah penduduk Kota Banda Aceh mencapai sekitar 255.029 jiwa. Kepadatan
penduduk Kota Banda Aceh pada tahun 2021 adalah sekitar 4.156 jiwa per kilometer persegi
(https://regional.kompas.com).
Banda Aceh adalah salah satu kota tua di Indonesia, sehingga kota ini tergabung
dalam wadah JKPI (Jaringan Kota Pusaka Indonesia). Dahulu, kota ini merupakan ibukota
dari Kerajaan Aceh Darussalam. Keberadaan Kota Banda Aceh, baik sebagai kota tua yang
bersejarah maupun sebagai ibukota dari Provinsi Aceh, tentu menyimpan memori dan
informasi menarik yang patut disajikan kepada publik, terutama masyarakat di luar Kota
Banda Aceh dan luar Aceh. Salah satu memori dan informasi yang dimaksudkan itu adalah
mengenai keberadaan Masjid Raya Baiturrahman sebagai salah satu situs sejarah dan budaya.
Dalam konteks itulah, artikel ini menghadirkan topik tersebut kepada para pembaca
meski secara ringkas dan dalam lingkup yang terbatas. Hal ini juga dilandasi atas permintaan
pengurus Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) Indonesia wilayah 1 & 2
(Sumatera) yang menghendaki agar saya memaparkan materi tentang objek sejarah dan atau
wisata di Kota Banda Aceh.
4
Wawancara dengan Iskandar Norman, pegiat dan penulis sejarah Aceh, pada tanggal 18 Oktober 2020 di
Banda Aceh.
Gambar 1. Bentuk fisik Masjid Raya Baiturrahman pada tahun 1889 M.
Peresmian Masjid Raya Baiturrahman yang baru, menggantikan masjid lama yang
dibakar oleh Belanda, dilakukan pada 27 Desember 1881. Masjid baru yang dibangun oleh
Kolonial Belanda itu awalnya hanya satu kubah. Karena perang Aceh melawan Belanda
belum juga reda, untuk menarik simpati rakyat Aceh, pada tahun 1935 Belanda memperluas
lagi Masjid Raya Baiturrahman dan menambah dua kubah lagi di sisi kanan dan kiri.
Setelah kemerdekaan Indonesia, proses pembangunan dan perluasan Masjid Raya
Baiturrahman terus dilakukan di bawah komando para gubernur Aceh. Pada masa
pemerintahan Gubernur Ali Hasjmy (!957-1964 M), bangunan Masjid Raya Baiturrahman
yang dibangun Belanda itu diperluas lagi menjadi lima kubah ditambah satu menara di
halaman depan. Ketika Prof. Dr. Ibrahim Hasan menjadi Gubernur Aceh (1986-1993 M),
dalam rentang tahun 1991-1993, Masjid Raya Baiturrahman diperluas lagi meliputi bagian
dalam masjid, yaitu bagian lantai tempat salat, perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran,
aula dan tempat wudhuk. Selain itu, halaman depan dan belakang juga diperluas meliputi,
taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret. Dengan
demikian, luas ruangan dalam masjid menjadi 4.760 meter persegi dengan lantai
menggunakan marmer buatan Italia. Dengan perluasan tersebut, Masjid Raya Baiturrahman
sekarang memiliki 7 kubah, 4 menara, dan satu menara induk.
Ketika Provinsi Aceh dipimpin oleh Gubernur Zaini Abdullah (2012-2017 M),
pembangunan Masjid Raya Baiturrahman kembali digulirkan dengan anggaran sekitar 1,4
triliun rupiah. Dana itu digunakan untuk membangun 12 unit payung elektrik, basement
tempat parkir kenderaan roda 2 dan roda 4, tempat wudhuk, dan perbaikan beberapa interior
bangunan. Proyek landscape dan infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman mulai dikerjakan
sejak tahun 2015 dan selesai pada bulan Mei 2017 (https://bangka.tribunnews.com). Payung
elektrik yang dibangun di halaman mesjid itu harganya menjadi 10 miliar rupiah per unit
(https://www.tribunnews.com).
Payung-payung elektrik itu menaungi lantai marmar. Dahulu, sekeliling pekarangan mesjid
dihampari rerumputan hijau. Dengan adanya lantai marmar yang dinaungi oleh payung-
payung elektrik itu, daya tampung jamaah meningkat secara signifikan. Sebelumnya, masjid
ini hanya mampu menampung 9000 jamaah dan di dalam saja, namun sekarang menjadi
24.000 jamaah di dalam dan di luar masjid. Selain itu, keberadaan 12 unit payung elektrik itu
ditambah dengan kolam persegi panjang sebagai taman di tengah pekarangan masjid telah
mengubah wajah kompleks masjid termegah di Aceh itu menyerupai Masjid Nabawi di Kota
Madinah, Arab Saudi (https://bangka.tribunnews.com).
Ringkasnya, kompleks Masjid Raya Baiturrahman didesain menjadi pusat beragam
aktivitas yang mendukung fungsi masjid sebagai sentral kegiatan umat Islam di Aceh. Selain
itu, Masjid Raya Baiturrahman telah menjadi situs sejarah dan budaya serta destinasi wisata
religi bagi para wisatawan yang berkunjung ke Banda Aceh. Pada tahun 2016, Masjid Raya
Baiturrahman berhasil meraih predikat “Daya Tarik Wisata Terbaik” dalam sebuah kompetisi
tingkat nasional bertajuk Pariwisata Halal Nasional 2016 (https://www.republika.co.id).
Sumber: serambinews.com/M.Anshar
Daftar Pustaka
Djamil, M. Junus. (1968). Tawarich Raja-raja Keradjaan Atjeh. Banda Aceh, Adjdam-
I/Iskandar Muda.
Hasymy, A. (1980). “Banda Aceh Darussalam Pusat Kegiatan Ilmu dan Kebudayaan”, dalam
Ismail Suny (Ed.), Bunga Rampai Tentang Aceh. Jakarta, Bhratara Karya Aksara.
Van’t Veer, Paul. (1985). Perang Aceh: Kisah Kegagalan Snouck Hurronje. Jakarta, Grafiti
Pers.
https://regional.kompas.com
https://aceh.bpk.go.id/kota-banda-aceh
https://bangka.tribunnews.com/2017/06/20/dinaungi-12-payung-elektrik-masjid-raya-
baiturrahman-aceh-kini-mirip-masjid-nabawi.
https://www.tribunnews.com/images/regional/view/1685027/payung-elektrik-masjid-raya-
baiturrahman-per-untinya-rp-10-milli
http://perkotaan.bpiw.pu.go.id/v2/kota-sedang/58)
https://www.republika.co.id/berita/odur7s359/aceh-kantongi-banyak-penghargaan-
pariwisata-halal-terbaik-2016
Wawancara dengan Iskandar Norman, pegiat dan penulis sejarah Aceh, pada tanggal 18
Oktober 2020 di Banda Aceh.