Anda di halaman 1dari 10

Sejarah

Pengembangan
Kota Surakarta
Lusi Damayanti
24-2018-046
Gambaran Umum
Kota Surakarta atau sering disebut Kota Solo adalah
salah satu Kota terbesar di Jawa Tengah yang
menunjang kota-kota lainnya, seperti Semarang dan
Yogyakarta. Luas wilayah Kota Surakarta mencapai
44,04 Km² yang terbagi dalam 5 kecamatan:
1. Kecamatan Laweyan
2. Kecamatan Serengan
3. Kecamatan Pasar Kliwon
4. Kecamatan Jebres
5. Kecamatan Banjarsari

Kota Surakarta dinyatakan sebagai kota besar terbaik kedua


dalam hal penataan ruang. Unggulan dari Kota Surakarta
adalah dapat memindahkan PKL dari kawasan hijau dan
penghuni bantaran sungai dengan cara relokasi
Sejarah Kota Surakarta
Kota Surakarta (Solo) pada mulanya adalah wilayah Kerajaan Mataram.
Sejarah ini dimulai pada masa pemerintahan Raja Paku Buwono II di
keraton Kartosuro. Karena adanya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755)
menyebabkan Mataram Islam terpecah karena propaganda kolonialisme
Belanda. Kemudian terjadi pemecahan pusat pemerintahan menjadi dua
yaitu pusat pemerintahan di Surakarta dan Yogyakarta. Pemerintahan di
Surakarta terpecah lagi karena Perjanjian Salatiga (1767) menjadi
Kasunanan dan Mangkunegaran.

Pemberian nama Surakarta Hadiningrat mengikuti naluri leluhur, bahwa


Kerajaan Mataram yang berpusat di Karta, kemudian ke Pleret, lalu
pindah ke Wanakarta, yang kemudian diubah namanya menjadi
Kartasura. Surakarta Hadiningrat berarti harapan akan terciptanya negara
yang tata tentrem karta raharja (teratur tertib aman dan damai), serta
harus disertai dengan tekad dan keberanian menghadapi segala
rintangan yang menghadang (sura) untuk mewujudkan kehidupan dunia
yang indah (Hadiningrat). Dengan demikian, kata “Karta” dimunculkan
kembali sebagai wujud permohonan berkah dari para leluhur pendahulu
dan pendirian kerajaan Mataram.
Pengembangan Kota Surakarta
Pra-Kolonialisme (1500-1745):
Sketsa Desa Sala 1500an
Masa Pra Pemerintahan Keraton Kasunanan

Masih berupa “Desa Sala” pada tahun 1500an dan


merupakan permukiman dengan lingkungan sosial
yang sangat sederhana dan masyarakat murni agraris
tradisional

Masyarakat agraris tradisional adalah sekelompok


individu yang menetap pada suatu daerah dan
menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian
dengan bercocok tanam disawah atau kebun.
Mata pencaharian masyarakat yang masih seperti itu Struktur internal Desa Sala masih sangat sederhana.
menimbulkan pola penggunaan lahan yang lebih Land use masih berupa pertanian dan lahan hijau, jalan
dominan sebagai lahan pertanian. Kecil yang menuju rumah Ki Gede Sala.

Penataan dan pengaturan Desa Sala menerapkan


Karakter lahan di Desa Sala yang subur karena banyak
Konsep kosmologi dengan pola Macapat, dimana
dilalui sungai dan banyak terdapat rawa maka pertanian
Sebagai titik pusat dimana tempat Ki Gede tinggal.
di Desa Sala telah berkembang. Perkembangan tersebut
Sebelah timur adalah pasar sebagai lambang duniawi
terlihat dengan adanya dua bandar dagang besar yaitu
Dan sebelah barat terdapat jalan lurus yang mengacu
Pelabuhan Beton dan Bandar Nusupan
Pada Gunung Merapi sebagai simbol akhirat
Masa Pemerintahan Keraton Kasunanan

Pada tahun 1744-1745 dimana mulai dibangun keraton Kasunanan


oleh Pakubuwana merubah struktur Desa Sala menjadi sebuah kota,
sehingga pada periode ini merupakan masa transisi. Selain itu dapat
merubah struktur sosial masyarakat Desa Sala menjadi berorientasi
ke arah sosial budaya Keraton yang mengenal stratifikasi sosial di
dalamnya.

Struktur sosial masyarakat meru


b ah
Bentuk struktur penataan ruang

Konsep Kuthonagaran membagi kerajaan menjadi tiga wilayah


Administratif, yaitu:
1. Negara (pusat pemerintahan kerajaan)
2. Negara agung (tanah milik bangsawan kerajaan)
3. Mancanegara (daerah luar yang dipimpin bupati)

Roffaer, 1931:68
Era Kolonialisme (1745-1945):
Pra-Revolusi Industri (1745-1857)

Masuknya Belanda menyebabkan adanya campur tangan dalam hal


perdagangan hingga politik kerajaan yang secara langsung atau
tidak langsung mempengaruhi struktur pola ruang. Landuse
dalam jangka waktu ini didominasi oleh keputusan pemerintah
Belanda yang dimana pusat kotaterdiri dari pemerintahan, industri,
perniagaan, pertahanan; dan luar kota terdiridari pertanian,
permukiman, dan industri. Sementara dalam pusat orientasi dan
aktivitas kota(CBD) terpusat di lingkungan Keraton, Benteng
Vastenburg yang didominasi oleh permukiman bangsawan Keraton
dan Belanda, sedangkan untuk permukiman pribumi mulai tergeser
ke luar kota. Hal ini dilakukan oleh Belanda agar pemerintahan
Hindia-Belanda mampu dengan mudah mengawasi dan
ikut campur dalam pemerintahan Kasunanan dengan mudah.
Pasca Revolusi Industri (1857-1945)
Periode ini telah ditemukannya teknologi transportasi darat dengan kereta api. Sebelum tahun 1857, transportasi Kota Surakarta masih pada
Jalur sungai dengan struktur sosial masyarakat homogen. Akhirnya setelah tahun 1857, mulai berubah menjadi heterogen karena adanya
Campur tangan pihak Belanda.
Adanya teknologi transportasi darat dengan kereta api secara langsung merubah paradigma transportasi masyarakat Kota Surakarta yang
semula memanfaatkan jalur sungai, hingga beralih total ke darat. Perpindahan moda transportasi tersebut ternyata didukung dengan kondisi
sungai Bengawan Solo yang mulai dangkal karena adanya sistem tanam paksa yang diberlakukan Belanda pada tahun 1830. Peristiwa tanam
paksa tersebut ternyata mengakibatkan daerah hinterland Kota Surakarta menjadi gundul yang menyebabkan pendangkalan Sungai Bengawan 
Solo sehingga tidak dapat dilalui kapal-kapal yang akan singgah ke bandar atau pelabuhan kecil setempat (Budi Prayitno,2007:83).
Pasca Kolonialisme (1945-1966)
Pada periode ini terjadi pergolakan politik dan sosial dan
perubahan
Lingkungan alam yang berpengaruh buruk terhadap ruang kota.

Pada perkembangannya tepatnya tahun 1900-an awal Belanda


mulai
membangun berbagai infrastruktur kota(taman, bioskop, sekolah,
gereja, dll) dan jaringan transportasi darat(jalan, dan kereta api)
dengan kerjasama antara pihak pemerintah Belanda dengan
pemerintah Keraton Kasunanan dan berhenti pada 1940-an saat
Indonesia merdeka.

Pada periode ini Pemerintah Indonesia menetapkan peraturan


dalam
hal pertanahan yang dikenal dengan Land Reform dalam bentuk 
UU Pokok Agraria. Undang-undang tersebut berisi bahwa lahan
dan
tanah perkebunan milik Belanda dikembalikan kepada rakyat
Indonesia guna meningkatkan kesejahteraan masyrakat. Adanya
UU tersebut, maka secara langsung berpengaruh pada kebangkitan
aktivitas ekonomi daerah hinterland kota-kota di Jawa dan
berpengaruh secara tidak langsung dalam struktur internal kota di
Jawa khususnya dalam aspek jaringan transportasi dan pusat-pusat
CBD baru.
Era Orde Baru(1966-1998) Pasca Reformasi (1998-2019)

Pola permukiman dan pusat-pusat kegiatan setelah era reformasi hingga saat ini
pada periode ini sudah tidak lagimengikuti Kota Surakarta menjadisemakin modern
struktur yang ada, melainkan beroentasi dan telah berkembang menjadi sebuah
kepada pasar dan membentuk pola baru  kota dengan pusatkebudayaan Jawa,
yang ditumpangkan pada struktur kota lama. kuliner, pariwisata, dan modern. Pasca
tahun 2010 KotaSurakarta mulai
Pasca 1998 inilah KotaSurakarta sudah berubah menjadi kota yang mengarah
mulai bermodel Mutiple Nuclei( Harris- menjadi kawasanmetropolitan, dan hal
Ullman) yang dimana daerah-daerah sekitar ini terlihat dengan adanya perintisan
kota mulai menjadi desa-desa besar dan kota jalur sistem integrasiantar stasiun
kecil (WilayahKarasidenan Surakarta), kereta-bandara-terminal(TOD Kota
sehingga terjadi pemekaran kota dengan Surakarta), dan berbagai pembangunan
pengelempokkan tata guna tanah yang infrastruktur jembatan layang yang
berkesinambungan secara fungsional dalam mulai dibangun oleh Pemkot
periode 1998 hingga saat ini di beberapa titik ruas jalan Kota
Surakarta.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai