Anda di halaman 1dari 12

TUGAS I

M.K : Filsafat Ilmu


DOSEN PENGAMPU : Dr. Batara Surya MT.MSi

TELAAH NILAI BUDAYA BUGIS MAKASSAR DALAM PEMBENTUKAN RUANG


TERBUKA PUBLIK
(KAJIAN ONTOLOGI, EPISTOMOLOGI, DAN AKSIOLOGI)

Oleh : Ary Kenan Paranoan


NIM : MPW 4514005
Program Pasca Sarjana
Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota
Universitas Bosowa 45, Makassar

I.

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Lapangan Karebosi merupakan ikon kota Makassar, Lapangan ini telah
hadir ratusan tahun yang lalu bahkan sebelum masa penjajahan. Wilayah
sekitar Lapangan Karebosi dahulu merupakan sebuah pelataran benteng
Rotterdam yang berupa sawah yang luas, di areal persawahan tersebut
sering dijadikan sebagai lokasi acara adat bagi raja-raja pada jaman
Kerajaan Goa-Tallo. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, keberadaan
lapangan Karebosi tetap di pertahankan bahkan secara tidak langsung
Karebosi perlahan-lahan menjadi pusat pembangunan, berdirinya gedung
gedung dan fasilitas di sekitar lapangan karebosi yang bergaya
arsitektur Belanda masih dapat kita lihat hingga saat ini. Setelah jaman
kemerdekaan Karebosi tetap menjadi titik pusat kota Makassar yang
memiliki fungsi sebagai pusat aktivitas warga, tempat upacara, RTH, serta
kegiatan-kegiatan lain
Revitalisasi Karebosi sekitar sepuluh tahun yang silam sempat
menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat yang pada
akhirnya Karebosi mengalami perubahan fungsi yang cukup signifikan,
pembangunan pusat perbelanjaan tepat di bawah tanah menjadi
persoalan yang sangat pelik, hingga akhirnya pusat perbelanjaan tersebut
berdiri dengan perizinan yang sah, kompensasi dari proses tersebut
adalah kewajiban investor untuk menata kembali lapangan karebosi
menjadi ruang publik yang lebih baik, hingga saat ini kita dapat melihat
wujud lapangan Karebosi yang jauh lebih tertata di bandingkan beberapa
tahun yang lalu.
Melihat lapangan karebosi yang mengalami perubahan fungsi yang
signifikan setelah melalui proses revitalisasi yang telah dilakukan oleh
investor. Fungsi lapangan karebosi dari hanya sekedar lapangan olahraga
publik saat ini juga memiliki fungsi pusat perbelanjaan tepat di bawah
lokasi lapangan tersebut. Perubahan fungsi lapangan Karebosi juga di ikuti
oleh perubahan aksesibiltas masyarakat. Pagar besi yang terpasang di
sekeliling Karebosimembuat akses masyarakat menjadi terbatas pada saat
malam hari, alasan lapangan karebosi terkunci pada malam hari adalah
demi alasan ketertiban, hal ini disebabkan pengalaman masa lalu di mana
karebosi akrab dengan praktek asusila di malam hari. Pagar-pagar besi
juga membatasi ruang antar kegiatan yang ada di lapangan Karebosi.
Lapangan olahraga, lapangan upacara, tempat perbelanjaan semuanya di
kelilingi oleh pagar besi yang membuat ruang ruang publik menjadi
tersegmentasi dan terbatas.
Mencermati fenomena diatas kita perlu melihat kembali posisi lapangan
karebosi sebagai ruang publik sekaligus ikon kota makassar. Sejarah
lapangan yang telah ratusan tahun berdiri sekaligus menjadi saksi dari
berbagai peristiwa bersejarah haruskah menjadi sebuah ruang yang
terbatas keberadaannya bagi masyarakat kota makassar.
Fenomena
perubahan yang terjadi di Karebosi sering kali hanya di kaitkan dengan
posisi pemerintah yang membuat kebijakan revitalisasi pada saat itu,
sebuah kebijakan yang diambil dengan tujuan untuk memperbaiki wajah
karebosi yang akrab dengan kegiatan asusila dan lapangan yang tidak
terurus. Perlu di cermati keberadaan karebosi yang telah berusia ratusan
tahun serta memiliki makna awal sebagai sawah kerajaan sangat terkait
erat dengan kebudayaan makassar baik sebagai tempat pertemuan para
raja-raja maupun sebagai tempat berlangsungnya upacara adat terkait
dengan pemujaan dewa-dewa agar masyarakat dapat berhasil dalam
bercocok tanam (masa sebelum islam diterima sebagai agama) . Pada
masa penjajahan VOC dan Belanda peran dan fungsi karebosi pun

mengalami perubahan dengan perubahan nama menjadi Koningsplein


(lapangan kerajaan), VOC pada awal abad 17 sampai dengan awal abad 19
menjadikan karebosi sebagai lambang kekuasaan bagi kaum asing dengan
menjadikannya sebagai daerah elite hal ini ditandai dengan berbagai
bangunan arsitektur Belanda. Artinya keberadaan Karebosi dari jaman
kejaman memiliki keterikatan erat secara budaya manusia di sekitarnya
seiring dengan perkembangan jaman. Masa pasca kolonial belanda atau
setelah jaman kemerdekaan peran karebosi sebagai ruang publik perlahan
-lahan tergerus oleh globalisasi, arus urbanisasi dengan segala
aktivitasnya membuat karebosi perlahan-lahan terlupakan, kesakralan
budaya gowa-tallo maupun budaya utopianism ala barat dirasakan tidak
lagi menjadi suatu hal penting bagi masyarakat perkotaan, hal inilah yang
membentuk karebosi menjadi terlantar dan tidak terurus sehingga
akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan revitalisasi. Dapat kita duga
bahwa perubahan karebosi yang ada sekarang ini tidak hanya di sebabkan
kebijakan pemerintah, akan tetapi juga di sebabkan oleh memudarnya
budaya kearifan lokal bugis makassar pada masyarakat modern terkait
interaksi antara manusia dengan alam.
1.2

1.3

II.

Rumusan Masalah
1. Apakah ada budaya kearifan lokal bugis-makassar yang terkait interaksi
manusia dengan alam yang dapat di jadikan pedoman dan dapat
dikembangkan di masa mendatang. (Ontologi)
2. Bagaimakah nilai budaya tersebut bisa dibuktikan sebagai budaya atau
sosiokultur yang ikut berperan dalam pembentukkan ruang publik
(Epistomologi)
3. Apakah yang menjadi tujuan perlunya nilai-nilai budaya tersebut di
kembangkan kembali? (Aksiologi)
Tujuan
1. Mengidentifikasi nilai nilai budaya kearifan lokal yang ada pada
masyarakat bugis makassar terkait interaksi manusia dengan alam
2. Memberikan gambaran mengenai fungsi lapangan karebosi dari masa
ke masa sehingga bisa didapatkan gambaran lapangan karebosi
memiliki nilai vital yang tidak bisa di pisahkan dari sejarah
perkembanga kota makassar dan sosiokultur masyarakat bugismakassar
3. Memaparkan pentingnya
pelestarian nilai budaya terkait dengan
pelestarian dan pengembangan ruang terbuka hijau di kota Makassar.
SEJARAH LAPANGAN KAREBOSI
Lapangan Karebosi yang terletak di jantung kota Makassar saat ini dan
merupakan ikon kota Makassar keberadaanya tidak dapat di pisahkan dari
sejarah kerajaan Goa-Tallo yang mulai berdiri pada abad ke 13.
Perkembangan lapangan Karebosi secara sederhana dapat di bagi
kedalam 3 era yang berbeda yaitu.
a. Jaman Kerajaan Goa-Tallo sekitar abad ke 13 sampai abad ke 17
b. Jaman Kolonial VOC (abad 17) dan Kerajaan Belanda (abad ke 19
sampai awal abad 20)
c. Jaman Pasca Kemerdekaan RI (1945-sekarang)

a. Jaman Kerajaan Goa-Tallo sekitar abad ke 13 sampai abad ke 17

Kerajaan Goa-Tallo merupakan kerajaan maritim yang besar dan berjaya


pada sekitar abad ke 16. Makassar pada jaman itu terkenal sebagai
pelabuhan dagang yang sangat vital bagi perdagangan rempah-rempah
yang berasal dari daerah timur Indonesia seperti Maluku dan Ternate yang
juga merupakan daerah kekuasaannya. Sebagai sebuah kerajaan besar,
kerajaan Goa-Tallo sangat di segani oleh bangsa-bangsa eropa karena
kegagahan dan keberanian masyarakatnya. Interaksi perdagangan dengan
bangsa asing khususnya Portugis dan Inggris juga dimanfaatkan oleh
Kerajaan Goa-Tallo dalam peningkatan kekuatan militer melalui transfer
teknologi kemiliteran, hal ini dilakukan oleh bangsa Portugis dan Inggris
untuk melindungi kepentingan bisnis rempah-rempah mereka, terkait
dengan persaingan dagang dengan Belanda. Maka tidaklah mengherankan
pada masa itu Kerajaan Goa-Tallo memiliki peradaban yang sangat maju
ditandai dengan berdirinya belasan benteng yang terbentang dari muara
sungai jeneberang hingga muara sungai tallo. Salah satu dari benteng
tersebut adalah benteng jumpandang atau yang lebih dikenal saat ini
dengan benteng rotterdam adalah benteng yang terletak di pertengahan
jajaran benteng-benteng tersebut atau bisa di sebut terletak diantara
pusat dua buah kerajaan kembar Goa-Tallo yang biasa disebut sebagai
kampung Bontoala. dimana dibalik benteng tersebut adalah sebuah
hamparan sawah kerajaan yang luas yang di beri nama kanrobosi yang
berarti hujan yang membawa berkah (Nurkasim, 2012), Satu hal yang
perlu dicatat adalah sebelum berdirinya benteng jumpandang pada tahun
1524 terdapat satu benteng tua yang terletak disebelah timur dari
benteng jumpandang, benteng ini di ketahui bernama benteng toa, yang
selanjut nya dikenal sebagai benteng Vredeburg pada masa kolonial
belanda bukti mengenai keberadaan benteng ini sangat minim, lokasi
benteng ini sekarang merupakan gedung Bank BNI yang terletak di Jalan
Sudirman, Makassar. Jadi dapat kita duga bahwa morfologi lapangan
karebosi yang ada saat ini terbentuk dari berdirinya dua massa bangunan
tersebut. Adapun bangunan Benteng Ujung Pandang dikelilingi selokan
menuju ke laut dan menurut cerita bahwa mempunyai terowongan bawah
tanah berbentuk setengah lingkaran menuju Benteng Toa melewati di
bawah Lapangan Karebosi. Di sebelah utara Benteng Ujung Pandang
terdapat jalan lurus dari Benteng Ujung Pandang ke timur menuju
Bontoala (sekarang Jln.A.Yani dan Jln.G.Bulusaraung). Pemberian nama
menjadi Benteng Ujung Pandang, menurut Dr.B.F.Matthes, bahwa di
tempat didirikan benteng banyak tumbuh nenas, yang dalam bahasa
Bugis dan Makassar disebut "pandang", sehingga benteng ini disebut
Benteng Jumpandang (Ujung Pandang). Sedangkan menurut orang-orang
tua, bahwa di tempat Benteng Ujung Pandang didirikan banyak terdapat
pohon pandang yang daunnya dapat dibuat anyaman menjadi tikar,
topi, dan kerajinan lainnya. Kampung Bontoala yang menurut
Dr.Abd.Rachman Dg.Palallo dalam Varia Makassar, disebutkan bahwa Jauh
sebelum agama Islam memasuki Bontoala, menjadi adat kebiasaan bagi
raja Gowa dan raja Tallo pada tiap-tiap tahun sehabis upacara "appalili"
(upacara adat yang bertujuan menolak bala sebelum proses menanam
padi pada sawah kerajaan yang bernama kanrobosi' (karebosi)
mengadakan pesta makan minum dengan memakan lawara paccalli, ialah
kelelawar, anak tikus yang baru lahir. Sesudah makan minum di sawah
kerajaan, barulah menuju Bontoala menyabung ayam dan bermain judi
sepuas-puasnya. Jadi pada dewasa itu kampung Bontoala adalah sebuah
tempat
beramai-ramai
dan
bersuka-sukaan.
Dengan berdasarkan hal-hal tersebut, selain Sombaopu, Makassar pada

waktu itu sudah membentuk suatu kota menurut ukuran masa itu, dengan
pusat keramaian terletak di Bontoala dan Benteng Ujung Pandang yang
dihubungkan jalan antara Benteng Ujung Pandang, Benteng Toa, dan
Kampung Bontoala, serta adanya taman-taman yang dibuat orang Portugis
di Kampung Pattunuang.
b. Jaman Kolonial VOC abad ke 17 dan Belanda abad ke 18 s/d abad ke 19
Seperti yang tertulis dalam berbagai literatur sejarah pada akhirnya
kejayaan Kerajaan Goa-Tallo mulai mengalami kemunduran setelah di
kalahkan oleh VOC dibawah pimpinan Cornelis Spellman yang dibantu oleh
sekutunya. Kekalahan ini ditandai dengan ditandatanganinya Perjanjian
Bungaya yang sangat merugikan bagi pihak Kerajaan Goa-Tallo. VOC
mendominasi perdagangan di wilayah Makassar, akan tetapi perlawanan
rakyat Makassar tetap berlangsung walaupun tidak dalam skala yang
besar. VOC mengambilalih benteng Ujung Pandang sebagai pusat
kekuasaan, dan membuat pusat kekuasaan Goa-Tallo yang berada di
benteng Sombaopu menjadi redup. Pusat kegiatan berlangsung di dalam
benteng sementara itu Belanda tetap mengakomodasi para pedagang dari
berbagai wilayah dengan memberikan lokasi di sekitar benteng dengan di
batasi oleh pagar kayu (palisade). VOC pun menggunakan benteng toa/
Vredeburg sebagai benteng pengamanan dari serangan darat dengan
membuat kanal sekelilingnya untuk menghalau serangan dari masyarakat
asli yang kerap terjadi. Lapangan Karebosi yang telah berubah nama
menjadi Koningsplein saat itu berfungsi sebagai tempat latihan militer.
Kekuasaan VOC hampir selama 1 abad tidak membawa banyak perubahan
fisik terhadap wilayah disekitar Karebosi dan Benteng Rotterdam. Aktivitas
perdagangan yang di kuasai oleh VOC tetap berlangsung dan fungsi
pelabuhan Makassar saat itu otomatis hanya berfungsi sebagai pendukung
kepentingan penyokong ekonomi bagi Belanda, pengembangan wilayah
justru banyak terjadi didaerah luar wilayah benteng, hal ini ditandai
dengan berkembangnya kampung kampung etnis yang terlibat dalam
aktivitas perdagangan diantaranya kampung melayu, kampung tionghoa,
kampung ambon. Arung Palaka yang merupakan sekutu VOC saat
menaklukkan Makassar (dan kemudian diangkat menjadi raja Bone
menempati sebuah istana raja yang terletak di wilayah Bontoala yang
sekarang diduga ada disekitar Jalan Mesjid Raya dan Jalan Bulusaraung.
Pada awal abad 18 terjadilah sebuah perubahan yang disebabkan perang
antara Belanda dan Inggris, tidak hanya perang militer tetapi persaingan
ekonomi di berbagai daerah taklukan kedua negara tersebut. Inggris yang
membangun pelabuhan niaganya di Singapura di bahwa pimpinan Raffles
membuat peran Makassar sebagai pelabuhan niaga semakin redup.
Ditambah lagi perlawanan dari rakyat makassar membuat yang terus
mengakibatkan kerugian bagi VOC. Pada akhirnya pemerintah Belanda
mengambil keputusan untuk men non-aktifkan keberadaan VOC sehingga
kewenangan di wilayah-wilayah taklukan diatur langsung oleh Pemerintah
Belanda. Hal ini sama tidak meringankan bagi rakyat Makassar maupun
berbagai wilayah di Indonesia, justru pemerintah Belanda menerapkan
berbagai kebijakan yang makin menyengsarakan rakyat Indonesia seperti
kebijakan tanam paksa, dan demi memaksimalkan keuntungan ekonomi
bandar Makassar pun kembali dibuka untuk pasar bebas. Pada era inilah
kekejaman penjajahan Belanda betul betul dirasakan oleh bangsa
Indonesia hingga akhirnya terjadi pergerakan kaum progresif dari
masyarakat Belanda yang dipelopori oleh Van der Venter pada sekitar
pertengahan abad 18, pergerakan ini bermaksud untuk menekan

pemerintah Belanda agar tidak melakukan kekejaman semata pada


daerah-daerah jajahannya akan tetapi juga harus ikut membangun
daerah-daerah tersebut karena daerah-daerah jajahan ini juga telah ikut
andil dalam mencapai kemakmuran bagi negara Belanda , hal ini
kemudian dikenal sebagai politik balas budi. Berawal dari titik inilah mulai
dapat dirasakan pembangunan fisik yang dilakukan oleh negara Belanda.
Di kenal sebagai negara arsitektur yang handal, Belanda pun mulai
membangun berbagai infrastruktur di Makassar, beberapa gedung
sekolah, pemerintahan, fasilitas ibadah dan juga pendidikan kejuruan
kedokteran hadir di makassar demikian pula gedung gedung kesenian .
Pada masa ini daerah lapangan Karebosi mulai berkembang. Belanda
menjadikan daerah sekitar karebosi menjadi daerah pusat pembangunan,
jalan utama yang sekarang dikenal dengan jalan Ahmad Yani dahulu diberi
nama Hogepad (jalan tinggi) yang berarti jalan elit atau jalan yang
memiliki status tinggi. Rancangan kota Makassar saat itu dibuat sesuai
dengan desain kota-kota eropa saat itu, taman-taman yang indah serta
pepohonan yang rimbun di kiri kanan jalan menghiasi kota Makassar hal
ini juga dimaksudkan untuk memberikan iklim yang lebih sejuk bagi para
warga asing yang menetap di Makassar. Lapangan Karebosi pada saat itu
mulai berubah fungsi sebagai pusat berbagai kegiatan termasuk untuk
rekreasi dan terminal bendi/delman, dimasa ini pula lah Karebosi mulai
berfungsi sebagai lapangan olahraga sepakbola.
c. Masa Pra-Kemerdekaan
Pasca kemerdekaan Indonesia lapangan fungsi lapangan karebosi mulai
mengalami pergeseran yang signifikan, peran sebagai taman kota maupun
alun-alun yang indah mulai tergeser oleh fungsi sebagai lapangan
olahraga, sepak bola menjadi olahraga yang bisa di nikmati semua
kalangan masyarakat, Awal tahun 1950an tercatat bahwa karebosi
menjadi lapangan yang menjadi markas dari PSM, sebuah klub sepakbola
kecintaan warga makassar, hai ini kemudian dipertegas pada saat
Sulawesi Selatan menjadi tuan rumah penyelenggaraan PON ke IV tahun
1957, selain berdirinya stadion Mattoangin, Karebosi pun di jadikan
lapangan untuk beberapa cabang olahraga, hal ini lah yang dapat kita
lihat sampai saat ini di sisi barat lapangan karebosi berdiri beberapa
lapangan basket dan lapangan tennis.
Berkembangnya wilayah sekitar lapangan Karebosi tidak dapat dihindari,
terlebih lagi pada masa pra kemerdekaan, seiring pertumbuhan kota
Makassar kawasan ini menjadi sentral pusat bisnis dan perdagangan
terutama dari sisi sebelah utara benteng yang memang merupakan
tempat bagi para etnis tionghoa yang bermata pencaharian sebagai
pedagang. Perkembangan pasar sentral yang ada saat ini bermula pada
kira kira tahun 1960 an di mana para warga etnis tionghoa mulai
mendirikan pasar kaget disebelah pekuburan tionghoa yang sekarang
menjadi tempat berdirinya hotel baru bernama Karebosi Condotel &
Junction. Perkembangan pasar tersebut juga di dukung dengan
perkembangan terminal kota yang tidak jauh dari lokasi tersebut dan di
kenal dengan nama terminal pasar sentral.
Fungsi lapangan karebosi sebagai ikon kota makassar pada masa pra
kemerdekaan masih terasa vital pada masa itu dari berbagai dokumen
foto-foto masa lalu kita bisa melihat lapangan karebosi secara rutin
menjadi tempat berbagai kegiatan penting seperti sholat ied, upacara
militer maupun hari-hari kenegaraan, tempat pidato presiden Soekarno
dan masih banyak lagi.

Dari masa ini lah peran dan fungsi lapangan karebosi sebagai lapangan
olahraga sekaligus ruang publik dapat kita rasakan hingga saat ini. Tidak
banyak perubahan yang terjadi pada lapangan rakyat ini selama puluhan
tahun sementara daerah sekitar lapangan ini terus berkembang dengan
pesat, hingga pada tahun 2004 Walikota Makassar saat itu mencetuskan
ide revitalisasi dengan menambahkan nilai ekonomi kedalam lapangan
karebosi. Pengerjaan revitalisasi membuat lapangan karebosi terhubung
melalui jalur bawah tanah dengan sebuah Mall Elektronik di sebelah timur
karebosi. Area bawah tanah sekitar 2,89 Ha dijadikan lahan parkir
sekaligus los bagi para pedagang elektronik dengan komposisi 60% lahan
parkir dan 40% area perdagangan, melalui mekanisme kerjasama BOT
(build operate and transfer) dengan komitmen bahwa bagian atas
lapangan karebosi akan tetap menjadi ruang publik. Belakangan ini
mencuat sebuah polemik
bahwa pihak investor mulai mendirikan
berbagai gerai makanan yang berada di atas lapangan.
III.

KAJIAN BUDAYA BUGIS MAKASSAR DALAM PEMBENTUKAN RUANG


Kehidupan Masyarakat Bugis-Makassar di masa lampau begitu erat
dengan berbagai kearifan lokal di masyarakatnya. Kearifan lokal ini di
pegang turun temurun sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari masyarakatnya. Kearifan lokal inilah yang membentuk karakter
masyarakat Bugis-Makassar sehingga dikenal sebagai suku yang berani
dan memegang teguh pendiriannya. Keberanian dalam mengarungi lautan
samudera serta keteguhan akan nilai-nilai budaya membuat Kerajaan GoaTallo menjadi kerajaan yang disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Dalam berinteraksi dengan alam terdapat banyak sekali falsafah dan
kearifan lokal yang menjelaskan serta mengatur kehidupan masyarakat
bugis makassar. Akil (2010) menjabarkan bahwa nilai-nilai budaya bugis
makassar sangat mempengaharui pembentukkan kota makassar di masa
lampau. Kearifan lokal tersebut antara lain:
a. Filsafat Sulapa eppa
Mattulada (1995) mengemukakan bahwa aksara Lontara berpangkal
pada kepercayaan dan pandangan mitologis orang Bugis Makassar,
yang memandang bahwa alam semesta ini sebagai Sulapa Eppa'
Walasuji (segi empat belah ketupat). Sarwa alam ini, adalah satu
kesatuan, dinyatakan dalam simbol / s / = sa yang berarti / esw / =
seua (tunggal atau esa. = sa
Simbol / s / ini menyimbolkan
mikrokosmos atau sulapa eppa'na taue (segi empat tubuh manusia).

Pada puncak huruf ini terletak kepalanya, di sisi kiri dan kanan adalah
tangannya dan ujung bawah adalah kakinya. Huruf ini juga
mengsimbolisasikan bahwa pada bagian kepala terdapat sw yang
berarti mulut atau tempat keluarnya suara. Menurut mereka, dari
mulutlah segala sesuatu dinyatakan yang berupa sd atau bunyi. Bunyibunyi itu selanjutnya disusun sehingga mempunyai makna-makna

(simbol) yang disebut ad = ada (kata, sabda, titah). Dari kata ad inilah
segala sesuatu yang meliputi seluruh tertib kosmos (sarwa alam) diatur
melalui ad =ada (kata atau logos).
Selain itu simbol s juga memaknakan empat sifat manusia yang di
simbolkan melalui angin, air, api dan tanah yang masing masing
diwakili oleh empat warna. Warna angin kuning, warna air putih, warna
api merah dan warna tanah hitam. Banyak kearifan-kearifan tradisional
lokal yang terdapat dikalangan orang-orang Bugis Makassar, kearifan
tersebut senantiasa menganjurkan adanya keselarasan hidup manusia
dengan alam, Tuhan dan langit (atmosfer). Jika keempat unsur tersebut
tidak selaras, harmonis dan seimbang maka petaka akan menimpa
seluruh buana termasuk manusia. Karena manusia adalah pengelola
utama semesta raya yang bertanggung jawab terhadap pemanfaatan
bumi beserta isinya, maka wajarlah jika hampir seluruh kearifan yang
diciptakan oleh manusia mengarah kepada keselarasan hidup dengan
alam semesta. Pemanfaatan alam semesta oleh manusia yang diiringi
oleh peningkatan jumlah manusia dan peningkatan keragaman
kebutuhan mengakibatkan timbulnya eksploitasi pada alam. Akibatnya
manusia banyak memanfaatkan alam tanpa dibarengi dengan
kebijakan-kebijakan. Resiko seakan menjadi hal yang lumrah demi
memperoleh kebutuhan tersebut. Sementara di pihak lain, anak cucu
kita hanya bisa menanti semesta bagaimana yang kita berikan kelak
kepada mereka. Kita seharusnya merasa tersindir karena kita seakan
egois memanfaatkan alam untuk kepentingan kita tanpa memikirkan
bumi yang kelak akan kita wariskan kepada anak cucu. Karena itulah
dalam beberapa pertemuan-pertemuan mengenai lingkungan, digagas
perlunya ada etika lingkungan. Menurut Keraf (2005) Etika lingkungan
itu adalah disiplin ilmu yang berbicara mengenai norma dan kaidah
moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan
alam serta nilai dan prinsip norma yang menjiwai perilaku manusia
dalam berhubungan dengan alam tersebut. Beberapa prinsip etika
lingkungan tersebut. Hurupu Sulapa eppa diatas menyimbolkan
keseimbangan yang tidak berat ke kiri ataupun ke kanan. Hal itu
memaknakan bahwa pemanfaatan alam ini harus selaras dan
seimbang. Menghormati alam harus dengan pertimbangan akal (rasio)
bukan pada keinginan hawa nafsu
b. Nilai Siri Pesse/Pacce dan Were
Pengertian Siri bagi masyarakat Makassar menurut Abdullah, H.
(1985) bukanlah sekedar perasaan malu, tetapi menyangkut masalah
yang paling peka yang merupakan jiwa dan semangat dalam diri
mereka, menyangkut faktor martabat atau harga diri, reputasi, dan
kehormatan, yang kesemuanya harus dipelihara dan ditegakkan. Siri
menempatkan eksistensi manusia di atas segala-galanya. Siri
merupakan wujud harga diri (Wahid S, 2007). Dalam Lontara Makassar
dikemukakan bahwa hanya untuk siri kita hidup di dunia, saya pegang
teguh adat karena siri kita dijaga oleh adat, adapun siri jiwa
imbalannya, nyawa perkiraannya (Mattulada, 1975). Dalam petuah
Makassar bahwa tiga hal yang dijadikan prinsip utama yaitu: takut
pada Tuhan, malu pada diri sendiri, dan m alu kepada sesama manusia
(Machmud, 1978). Betapa tingginya makna nilai siri dalam hidup
orang Makassar, sehingga dipahami bahwa seseorang dianggap
memiliki martabat di dunia hanya jika memiliki siri. Wahid, S (2007)
bahwa tidak ada tujuan hidup lebih tinggi bagi orang Makassar, dari
pada menjaga siri-nya. Pacce berarti kesetiakawanan atau solidaritas.

Pacce merupakan suatu tanggapan perasaan iba hati dari orang


Makassar terhadap suasana di sekitarnya, sehingga mereka cenderung
untuk bertindak atau mengabdi atas rasa kasih kepada sesama
mahluk Tuhan. Menurut Hamid (2003) Pacce adalah suasana
masyarakat dalam hati individu. Menurut Abidin (2003) Pacce adalah
rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, yang dapat menyalakan
semangat rela berkorban, bekerja keras pantang mundur.
Makassar yang telah menjadi masyarakat kota pada beberapa tempat
telah mengalami banyak perubahan dalam gaya hidupnya sesuai
dinamika sosial perkotaan. Nilai pacce dalam masyarakat Makassar
menjamin terjadinya kohesi internal dalam suatu keluarga atau
kelompok sosial (Pelras, 2006). Menurut Mahmud Tang (1996)
walaupun mereka menyebar di perantauan, namun jika salah seorang
kerabatnya melaksanakan hajatan seperti: perkawinan, kelahiran,
kematian, atau naik haji, maka segenap anggota keluarga datang
memberikan doa restu, sumbangan materi atau tenaga. Nilai pacce
juga memiliki makna yang terkait dengan nilai siri yaitu hakekat atau
makna yang mengandung persamaan derajat, hak/kewajiban sesama
manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, tenggang rasa, berani
membela kebenaran dan keadilan. Wahid S (2007) mengemukakan
bahwa orang Makassar memiliki sikap yang bersahabat, tegas,
konsisten, menjunjung tinggi kehormatan diri dan masyarakat
sekitarnya. Were, mengajarkan bagi orang Bugis dan Makassar bahwa
nasib seseorang tidak menjadi baik, bila tidak berusaha untuk
memperbaiki. Dalam hal ini, jangan menyandarkan diri pada rahmat
Allah, tetapi upayakan dahulu memperbaiki nasib itu.
c. Falsafah Sipakatau
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang
universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam
kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat
ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya
adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai tau (manusia),
dimana dalam pergaulan sosial, amat di junjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep tau inilah sebagai esensi pokok yang mendasari
pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas
sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui
sikap budaya sipakatau. Artinya, saling memahami dan menghargai
secara manusiawi atau kejiwaan. Dengan pendekatan sipakatau, maka
kehidupan orang Makassar dapat mencapai keharmonisan, dan
memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan
sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan
derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan, rakyat biasa, dan
sebagainya.
Sikap budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke
dalam konsepsi Sirik na Pacce, Mattulada. 1991. (Manusia dan
Kebudayaan Bugis-Makassar dan Kaili di Sulawesi. Jurnal Antropologi
Sosial dan Budaya Indonesia No. 43 Th. XV Januari-April 1991). Dengan
menegakkan prinsip Sirik na Pacce secara positif, berarti seseorang
telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan
kemasyarakatan. Hanya dalam lingkungan orang-orang yang
menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang
dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan.

3.1.

Karebosi sebagai Ruang Bentukan Budaya Bugis-Makassar


Dari paparan sejarah secara singkat diatas dapat kita bayangkan fungsi
dan peranan karebosi sebagai ruang publik dari masa ke masa, banyak
presepsi masyarakat yang menkategorikan karebosi sebagai alun-alun
kota hal ini tidaklah sepenuhnya tepat, karena terminologi alun-alun itu
sendiri seperti yang di sebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah tanah lapang yg luas di muka keraton atau di muka tempat
kediaman resmi bupati, dsb. Kata alun-alun itu sendiri berarti
gelombang atau ombak yang besar yang melambangkan banyaknya
masyarakat yang datang untuk menghadiri acara atau upacara
kerajaaan di masa kerajaan jawa, jadi dapat kita artikan terminologi
alun-alun merupakan produk asli budaya jawa. Seiring perkembangan
jaman penggunaan kata alun-alun sering di pakai untuk berbagai ruang
publik di berbagai perkotaan yang berarti lapangan yang berada di
tengah kota dan menjadi tempat aktivitas warga.Kesamaan
pembentukkan ruang publik di Indonesia khususnya dan Asia pada
umumnya seperti dijelaskan Zahnd (1999) bahwa konsep ruang kota di
Barat berbeda dengan yang ada di Timur, terutama Asia. Konsep Eropa
menjadikan ruang kota sebagai tujuan dari pembentukan massa-massa
bangunan yang melingkupinya, sedangkan konsep Asia cenderung
menjadikan ruang kota adalah akibat dari pembentukan massa
bangunan. Hal ini cukup menjelaskan mengapa kota-kota tradisional
kita tidak mengenal bentuk-bentuk ruang publik yang menaruh fokus
pada estetika dan enclosure nya seperti plaza atau boulevard. Akil
(2010) lebih jauh menjelaskan pembentukkan ruang kota Makassar di
masa lampau khususnya di daerah sekitar benteng rotterdam dan
lapangan karebosi sangat terpengaruh oleh budaya makassar yaitu
budaya siri dan pesse yang sangat melekat pada masyarakat bugis
makassar sampai saat ini. Implikasi nilai siri pada pembentukkan kota
makassar dapat dilihat dari pola jalan yang terbentuk, pola jalan yang
terbentuk secara sederhana berupa segi empat yang merupakan
aplikasi dari sulapa eppa. Hal ini bertujuan untuk menjaga hubungan
kekeluargaan di antara masyarakat bugis Makassar.

IV.

KESIMPULAN
Kerajaan Goa-Tallo yang merupakan cikal bakal kota Makassar saat ini
merupakan sebuah kerajaan besar yang kaya akan adat istiadat,
berbagai kearifan lokal yang menjadi bagian dari adat istiadat tersebut
diantaranya falsafah sulapa eppa, siri pesse dan were serta budaya
sipakatau telah ikut membentuk kehidupan kota Makassar sejak jaman
dahulu. Budaya yang membentuk kota Makassar memang terasa hilang
dengan masuknya kolonial VOC dan Belanda yang menjajah Indonesia
selama ratusan tahun akan tetapi bahwa walaupun kota Makassar
mengalami westernisasi besar-besaran pada awal abad 20 nilai-nilai
tersebut tidak sepenuhnya hilang. Kaum kolonial dengan budaya yang
mereka pahami juga memberikan sentuhan artistik melalui bangunanbangunan arsitektur khas eropa dan taman-taman kota yang indah.
Tetapi seiring perkembangan jaman nilai-nilai kebudayaan dari 2 jaman
tersebut perlahan-lahan menghilang. Pembangunan di pusat kota
Makassar telah memberikan ruang untuk berbagai aktivitas ekonomi
tanpa bisa di kendalikan hal ini mengakibatkan situasi di sekitar
lapangan karebosi menjadi padat dan seringkali terjadi kemacetan,

belum lagi melihat polusi kendaraan yang begitu tinggi di wilayah


tersebut.
Memahami hal tersebut maka pelestarian budaya dan nilai-nilai
sosiokultur masyarakat bugis-makassar dalam pembangunan kota. Kota
Makassar harus bisa lebih dibangun dengan memahami nilai-nilai
tersebut bukan hanya meniru gaya pembangunan yang terpengaruh
budaya lain hingga nantinya Makassar bisa lebih tampil sebagai kota
Dunia yang memiliki citra kota yang khas
PUSTAKA
1. Akil.A dan Darjosanjoto (2011) Socio-Cultural-Data Presentation and
Interpretation Technique in Studying the Formation of Makassar, Indonesia
2. Abidin, A.Z. and Sabang, S. (2003), Nilai Budaya Siri, Pesse, Were, dan
Konsep Demokrasi Kerajaan
3. Daeng, H.J. (2008), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Tinjauan
Antropologis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
4. Hamid, Abu (2003), Siri Butuh Revitalisasi, in Siri dan Pesse, Harga Diri
Orang Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, ed. Mustafa, Yahya, Pustaka
Refleksi, Makassar.
5. Rapoport, A. (2005), Culture,Architecture, and Design, Locke Science
Publishing Company, Inc.
6. Rapoport, A. (1994), Thirty Three Papers in Environment-Behaviour
Research, The Urban International
7. Sumalyo, Y. (2002), Sejarah Perkembangan Arsitektur dan Kota Makassar,
Research Department of Architecture, Hasanuddin University, Makassar.
8. Yunus, H.S. (2001), Struktur Tata Ruang Kota, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai