Disusun Oleh :
HERMAN NURJAMAN
: 02212021
: 02212008
KATA PENGANTAR
Assalammualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji syukur kehadirat allah Swt, dengan rahmat dan hidayahnya
makalah ini telah tersusun sebagai bahan tugas persentasi mata kuliah Sejarah
Perkembangan Arsitektur . Penyusun sampaikan terimkasih atas segala partisipasi dari
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah dengan tema
Kebudayaan Arsitektur Sunda.
Akhir kata semoga dengan pembuatan mkalah ini menjadi pembangkit semangat
pembaca demi mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya daerah,serta
arsitekturnya khususnya budaya sunda. Sekian dari penyusun.
Wassalammualaikum Wr. Wb
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ..........................................................
.............. vi
DAFTAR
ISI ........................................................................
............... vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang ..............................................................
..... 1
1.2. Maksud dan
Tujuan ............................................................ 6
1.3.
BAB 2
2.1. Sejarah kota
bandung .................................................... 11
2.1.1. Bangunan Bangunan
historis ................................................. 11
BAB 3
3.1.KAJIAN
BAB 4
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
bangunan baru bermunculan untuk menunjang kegiatan di dalam
perkotaan. Namun, perkembangan kota yang terlalu pesat menyebabkan
tidak terkontrolnya pertumbuhan bangunan bangunan baru. Berbagai gaya
arsitektural muncul dalam kota sebagai bentuk nyata perkembangan kota
yang tidak mau kalah dengan kota kota lain disekitarnya dan sebagai
bentuk modernisasi kota itu. Perkembangan kota yang seperti itu
menyebabkan kecemasan karena bangunan bangunan lama yang memiliki
nilai sejarah atau yang menjadi ciri khas suatu kota bisa hilang karena
adanya bangunan baru dengan keseragaman dan globalisasi dalam desain
yang pada akhirnya merusak karakter lingkungan kota itu.
akan benda cagar budaya, maka kawasan heritage akan menjadi lebih
mudah diindentifikasi dan lebih mudah ditindak lanjuti untuk segera
dilestarikan dan dirawat.
Bangunan bangunan yang termasuk dalam heritage kadang kala
mengalami kerusakan akibat termakan usia atau kurangnya perawatan yang
dilakukan.
BAB 2
2.1. Sejarah kota bandung
Kota Bandung secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh
pegunungan, dan ini menunjukkan bahwa pada masa lalu kota Bandung
memang merupakan sebuah telaga atau danau. Legenda Sangkuriang
merupakan legenda yang menceritakan bagaimana terbentuknya danau
Bandung, dan bagaimana terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu, lalu
bagaimana pula keringnya danau Bandung sehingga meninggalkan
cekungan seperti sekarang ini. Air dari danau Bandung menurut legenda
tersebut kering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama
Sangkyang Tikoro.
Daerah terakhir sisa-sisa danau Bandung yang menjadi kering adalah
Situ Aksan, yang pada tahun 1970-an masih merupakan danau tempat
berpariwisata, tetapi saat ini sudah menjadi daerah perumahan untuk
pemukiman.
Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu
itu Herman Willem Daendels, mengeluarkan surat keputusan tanggal 25
September 1810 tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk
kawasan ini. Dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota
Bandung.
Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari
Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906[11] dengan luas
wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha pada
tahun 1949, sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.
BAB 4
4.1. sejarah jalan diponegoro
Jalan diponegoro merupakan jalan bersejarah dikota bandung , karena
pada jaman dahulu jalan ini merupakan akses jalur perdagangan dan juga
jalan menuju gedung sate yg merupakan pusat perkantoran pada jaman
hindia belanda, banyak terdapat bangunan yang bersejarah di sepanjang
jalan tersebut, terdapat pula bangunan - bangunan kolonial yang masih
tersisa. Selain gedung sate, bangunan - bangunan yg memiliki nilai sejarah
dan memiliki nilai arsitektur bergaya kolonial yaitu ada gedung dwi darma,
museum geologi,dan bangunan bangunan lain disekitar gedung-gedung
tersebut.
BAB 3
3.1.KAJIAN
Gaya Kolonial yang kontekstual
BANGUNAN KOLONIAL DI INDONESIA
Revolusi industri di Eropa pada akhir abad ke-19 ternyata memberikan
dampak pada gaya arsitektur pada masa itu. Pada masa itu sendiri di Eropa
dan Belanda sedang berkembang suatu gaya arsitektur yang memasuki
masa peralihan dari era eklektisisme yang penuh dengan elemen-elemen
dekoratif ke gaya bangunan modern yang menekankan pada fungsi,
teknologi dan kekokohan bangunan. Penekanan terhadap rasionalisme
mendapatkan bobot yang sangat besar.
Semangat ini dibawa oleh pedagang-pedagang Belanda pada abad ke-19 ke
Nusantara. Gaya itu pada awalnya mewakili kelompok-kelompok kalangan
atas yang pada masa penjajahan Belanda sebagai kediaman pejabat-pejabat
dan fasilitas-fasilitas publik yang dirancang oleh arsitek-arsitek Belanda yang
memakai gaya itu. Bangunan Kolonial dalam keberadaannya di Nusantara
mengalami adaptasi dengan iklim, spirit dan budaya lokal. Sebagai contoh :
semangat rasionalisme yang dibawa arsitek-arsitek eropa yang sangat
menekankan pada fungsi bertemu dengan pemahaman ruang di Indonesia
(Nusantara, khususnya Jawa) yang dihubungan dengan spiritualisme, iklim
eropa dengan 4 musim bertemu dengan iklim Indonesia dengan 2
musimnya, dll. Sehingga terjadilah penyesuaian-penyesuaian baik secara
fungsional maupun karakter.
Dalam perkembangan Arsitektur di Indonesia, kemudian gaya Kolonial
menjadi trend tersendiri. Trend itu kemudian tidak hanya masuk di bangunan
publik, tetapi juga masuk ke wilayah yang lebih privat, seperti : hunian.
Sementara itu perkembangan jaman yang ditandai kemajuan teknologi
akhirnya mengawinkan gaya Kolonial dengan sentuhan modern yang
merupakan ciri khas dari kemajuan teknologi itu sendiri. Meskipun demikian
tetaplah ada ciri-ciri khas Kolonial yang berkolaborasi dengan ciri modern.
TATA RUANG
Ciri khas bangunan Kolonial tropis adalah dalam tataruang ada ruang-ruang
perantara antara ruang dalam dengan ruang luar yaitu teras-teras baik itu
Teras atau Balkon ini berfungsi untuk mengatasi tampias air hujan dan
isolator udara panas luar ke dalam. Perkawinan filosofi barat yang tertutup
dengan filosofi timur yang terbuka terhadap alam diwujudkan juga melalui
teras atau Balkon ini.
TAMPILAN BANGUNAN
Atap
Salah satu tipologi bangunan Kolonial adalah sudut kemiringan atap yang
besar. Sudut kemiringan yang besar ini di Belanda bertujuan untuk
mempermudah turunnya salju yang menempel di atap bangunan. Di
Indonesia fungsi yang lebih nyata adalah untuk mengkondisikan suhu ruang
didalam bangunan. Lebih jauh lagi atap bangunan Kolonial di Indonesia di
pertegas dengan tritisan yang cukup untuk meminimalkan panas atau
tampias karena hujan pada bangunan. Terkadang juga ditampilkan plat luifel
atau kanopi sebagai pengganti tritisan dengan fungsi yang sama.
Tower
Tower sebagai massa independen dengan struktur yang berdiri sendiri
maupun menjadi satu dengan bangunan sebagai aksen bangunan. Tower ini
dapat merupakan massa massif tetapi juga dapat bersifat transparan sbg
konsekwensi fungsi ruang yang berubah.
Roster
Roster sebagai pelubangan yang dipakai untuk mengalirkan udara . Elemen
ini merupakan adaptasi dengan iklim tropis yang lembab.
ELEMEN-ELEMEN DEKORATIF
Penebalan
Penebalan-penebalan sebagai unsur dekoratif yang mempertegas bentuk
elemen-elemen pendukung bangunan. Elemen penebalan ini juga sebagai
elemen yang memperkuat kesan kokoh pada bangunan.
Sabuk bangunan
Sabuk berupa penebalan horizontal baik pada kaki bangunan (mempertegas
pemisahan bangunan dengan tanah) dan atap (mempertegas pemisahan
pada badan bangunan dengan atap)
Finishing Batu Alam
Pemakaian batu alam pada badan bangunan maupun kolom-kolom
merupakan adaptasi dengan budaya lokal yang yang memberikan
keseimbangan dari kekokohan bangunan dengan melembutkan dengan batu
alam. Batu alam sebagai elemen bangunan Kolonial menunjukkan sisi
natural bangunan sehingga sangat lekat dengan kekayaan alam lokal.