Anda di halaman 1dari 20

SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN DIPONEGORO

Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah

SEJARAH PERKEMBANGAN ARSITEKTUR I

Disusun Oleh :
HERMAN NURJAMAN

: 02212021

DEDE LUKMAN NURHAKIM

: 02212008

JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR


ST INTEN
(SEKOLAH TINGGI SAINS DAN TEKNOLOGI INDONESIA)
BANDUNG , 2013

KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah puji syukur kehadirat allah Swt, dengan rahmat dan hidayahnya
makalah ini telah tersusun sebagai bahan tugas persentasi mata kuliah Sejarah
Perkembangan Arsitektur . Penyusun sampaikan terimkasih atas segala partisipasi dari
berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah dengan tema
Kebudayaan Arsitektur Sunda.
Akhir kata semoga dengan pembuatan mkalah ini menjadi pembangkit semangat
pembaca demi mempertahankan dan menjaga kelestarian budaya daerah,serta
arsitekturnya khususnya budaya sunda. Sekian dari penyusun.
Wassalammualaikum Wr. Wb

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
KATA
PENGANTAR ..........................................................
.............. vi
DAFTAR
ISI ........................................................................
............... vii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang ..............................................................
..... 1
1.2. Maksud dan
Tujuan ............................................................ 6
1.3.
BAB 2
2.1. Sejarah kota
bandung .................................................... 11
2.1.1. Bangunan Bangunan
historis ................................................. 11
BAB 3
3.1.KAJIAN
BAB 4

4.1. sejarah jalan


diponegoro........................................................
13
4.2. kondisi jalan
diponegoro ................................... 13
4.2.1. data existing jalan
diponegoro ................................... 13
4.3.perubahan fungsi
bangunan..................................... 14
BAB 5
5.1
Kesimpulan ..........................................................
... 20

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
bangunan baru bermunculan untuk menunjang kegiatan di dalam
perkotaan. Namun, perkembangan kota yang terlalu pesat menyebabkan
tidak terkontrolnya pertumbuhan bangunan bangunan baru. Berbagai gaya
arsitektural muncul dalam kota sebagai bentuk nyata perkembangan kota
yang tidak mau kalah dengan kota kota lain disekitarnya dan sebagai
bentuk modernisasi kota itu. Perkembangan kota yang seperti itu
menyebabkan kecemasan karena bangunan bangunan lama yang memiliki
nilai sejarah atau yang menjadi ciri khas suatu kota bisa hilang karena
adanya bangunan baru dengan keseragaman dan globalisasi dalam desain
yang pada akhirnya merusak karakter lingkungan kota itu.

1.2. Maksud dan Tujuan


Untuk mencegah hilangnya bangunan bangunan dengan nilai
sejarah tinggi pada sebuah kota, para perancang kota mulai bekerja sama
dengan Pemerintah Daerah untuk mempertahankan dan melestarikan kota
lama yang dimiliki pada kota tersebut. Dengan bantuan Pemerintah Daerah
maka kota lama itu dijadikan heritage area, yang diharapkan dapat
diperhatikan dengan lebih sehingga pada akhirnya memiliki nilai lebih pula.
Dengan adanya heritage area ini maka karakter kota tidak akan pudar
walaupun perkembangan kota keluar dari konteks karakter kota yang
sesungguhnya. Kawasan kota lama akan tetap hidup dan memiliki nilai
historis tersendiri bahkan mampu dijadikan sebagai pribadi sesungguhnya
dari sebuah kota.
Dengan adanya heritage area, Pemerintah Daerah mulai serius dalam
usaha menjaga kota lama supaya tidak terkena perubahan globalisasi.
Muncul banyak undang undang untuk melindungi kawasan kota tua itu.
Salah satu undang undang yang paling utama adalah Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Dengan adanya heritage area, Pemerintah Daerah mulai serius dalam
usaha menjaga kota lama supaya tidak terkena perubahan globalisasi.
Muncul banyak undang undang untuk melindungi kawasan kota tua itu.
Salah satu undang undang yang paling utama adalah Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.
Dalam undang undang tersebut dijelaskan bahwa benda cagar
budaya adalah:
benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan
atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang
khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun,
serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan.
benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan , dan kebudayaan.
Disebutkan pula bahwa tujuan dari undang undang ini adalah
melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya untuk memajukan
kebudayaan nasional. Dengan pengertian yang kuat dan tujuan yang jelas

akan benda cagar budaya, maka kawasan heritage akan menjadi lebih
mudah diindentifikasi dan lebih mudah ditindak lanjuti untuk segera
dilestarikan dan dirawat.
Bangunan bangunan yang termasuk dalam heritage kadang kala
mengalami kerusakan akibat termakan usia atau kurangnya perawatan yang
dilakukan.

BAB 2
2.1. Sejarah kota bandung
Kota Bandung secara geografis memang terlihat dikelilingi oleh
pegunungan, dan ini menunjukkan bahwa pada masa lalu kota Bandung
memang merupakan sebuah telaga atau danau. Legenda Sangkuriang
merupakan legenda yang menceritakan bagaimana terbentuknya danau
Bandung, dan bagaimana terbentuknya Gunung Tangkuban Perahu, lalu
bagaimana pula keringnya danau Bandung sehingga meninggalkan
cekungan seperti sekarang ini. Air dari danau Bandung menurut legenda
tersebut kering karena mengalir melalui sebuah gua yang bernama
Sangkyang Tikoro.
Daerah terakhir sisa-sisa danau Bandung yang menjadi kering adalah
Situ Aksan, yang pada tahun 1970-an masih merupakan danau tempat
berpariwisata, tetapi saat ini sudah menjadi daerah perumahan untuk
pemukiman.
Kota Bandung mulai dijadikan sebagai kawasan pemukiman sejak
pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, melalui Gubernur Jenderalnya waktu
itu Herman Willem Daendels, mengeluarkan surat keputusan tanggal 25
September 1810 tentang pembangunan sarana dan prasarana untuk
kawasan ini. Dikemudian hari peristiwa ini diabadikan sebagai hari jadi kota
Bandung.
Kota Bandung secara resmi mendapat status gemeente (kota) dari
Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz pada tanggal 1 April 1906[11] dengan luas
wilayah waktu itu sekitar 900 ha, dan bertambah menjadi 8.000 ha pada
tahun 1949, sampai terakhir bertambah menjadi luas wilayah saat ini.

Kata "Bandung" berasal dari kata bendung atau bendungan karena


terbendungnya sungai Citarum oleh lava Gunung Tangkuban Perahu yang
lalu membentuk telaga. Legenda yang diceritakan oleh orang-orang tua di
Bandung mengatakan bahwa nama "Bandung" diambil dari sebuah kendraan
air yang terdiri dari dua perahu yang diikat berdampingan yang disebut
perahu bandung yang digunakan oleh Bupati Bandung, R.A.
Wiranatakusumah II, untuk melayari Ci Tarum dalam mencari tempat
kedudukan kabupaten yang baru untuk menggantikan ibukota yang lama di
Dayeuhkolot.
Berdasarkan filosofi Sunda, kata "Bandung" berasal dari kalimat "NgaBandung-an Banda Indung", yang merupakan kalimat sakral dan luhur
karena mengandung nilai ajaran Sunda. Nga-"Bandung"-an artinya
menyaksikan atau bersaksi. "Banda" adalah segala sesuatu yang berada di
alam hidup yaitu di bumi dan atmosfer, baik makhluk hidup maupun benda
mati. "Indung" adalah Bumi, disebut juga sebagai "Ibu Pertiwi" tempat
"Banda" berada. Dari Bumi-lah semua dilahirkan ke alam hidup sebagai
"Banda". Segala sesuatu yang berada di alam hidup adalah "Banda Indung",
yaitu Bumi, air, tanah, api, tumbuhan, hewan, manusia
dan segala isi perut bumi. Langit yang berada diluar atmosfir adalah
tempat yang menyaksikan, "Nu Nga-Bandung-an". Yang disebut sebagai
Wasa atau Sanghyang Wisesa, yang berkuasa di langit tanpa batas dan
seluruh alam semesta termasuk Bumi. Jadi kata Bandung mempunyai nilai
filosofis sebagai alam tempat segala makhluk hidup maupun benda mati
yang lahir dan tinggal di Ibu Pertiwi yang keberadaanya disaksikan oleh yang
Maha Kuasa.
Tidak ada informasi yang menyebutkan secara pasti berapa lama Kota
Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa
Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung. Bahkan, pembangunan
kota Bandung langsung dipimpin oleh bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A.
Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota
Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat
keputusan tanggal 25 September 1810

2.1.1. Bangunan Bangunan historis


Gedung Sate

Gedung Sate terletak di Jalan Diponegoro No. 22, Kelurahan


Cihaurgeulis, Kecamatan Coblong. Lingkungan Gedung Sate merupakan
suatu kawasan bersejarah, karena bangunan kuno dari masa Kolonial Hindia
Belanda relatif banyak, seperti Museum Geologi, Museum Pos Indonesia,
Gedung Dwiwarna, Rumah Tinggal dan sebagainya. Secara Geografis
Gedung Sate berada pada koordinat 10737'07,9" BT dan 0654'05,4" LS,
dan sekitar gedung kini telah banyak berdiri bangunan perkantoran,
pemukiman, dan pertokoan. Untuk mencapainya relatif mudah melalui jalan
raya dengan kondisi yang baik, menggunakan kendaraan pribadi roda 4 atau
2 ataupun menaiki kendaraan umum (Bis/Angkot) yang melewati kawasan ini
relatif banyak. Gedung Sate didirikan pada tahun 1920 yang merupakan
hasil perencanaan dari sebuah tim yang dipimpin oleh J. Gerber, Eh. De Roo,
dan G. Hendriks serta Gemeente van Bandoeng yang diketuai V.L. Slors.
Peletakan batu pertama dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops
(puteri sulung B. Coops, Walikota Bandung) dan Nona Petronella Roelofsen
yang mewakili Gubernur Jendral Batavia. Langgam arsitekturnya menyerupai
bangunan Italia di zaman Renaissance, yang anggun, megah dan
monumental. Penataan bangunan simetris, elemen lengkungan yang
berulang-ulang (repetisi) menciptakan ritme yang menyenangkan, indah dan
unik. Gedung Sate memiliki areal kawasan seluas 27.990,859 m dan luas
gedung 10.877,734 m. Gedung Sate ini berbatasan dengan utara: Jalan
Diponegoro/Lapangan Gasibu, timur: Jalan Cilaki/Gedung Museum Pos
Indonesia, selatan: Jalan Cimanggis, barat: Jalan Cimalaya. Bangunan
Gedung Sate dipengaruhi ornamen Hindu dan Islam. Pada dinding fasade
depan terdapat ornamen berciri tradisional, seperti bangunan candi Hindu,
sedangkan ditengah-tengah bangunan induk Gedung Sate, terdapat menara
dengan atap susun (tumpang) seperti Meru di Bali atau atap Pagoda. Bentuk
bangunan ini menjadi unik bentuknya sebagai perpaduan gaya arsitektur
timur dan barat. Gaya seni bangunan yang memadukan langgam arsitektur
tradisional Indonesia dengan kemahiran teknik konstruksi barat disebut IndoEropeesche architectuur Stijl (gaya arsitektur Indo-Eropa). Pada puncak
Gedung Sate terdapat enam tusuk sate yang menyimbulkan enam juta
Gulden yang dihabiskan sebagai biaya pembangunannya. Pada masa perang
mempertahankan kemerdekaan negara RI dari Belanda (Ghurka) yang ingin
kembali menjajah, gedung Sate ini oleh para pemuda dipertahankan sampai
titik darah penghabisan dan pada akhirnya mereka gugur pada tanggal 3
Desember 1945 dan sebagai penghargaan atas jasa mereka dibangun
sebuah monumen peringatan yang berdiri di depan Gedung Sate. Gedung
Sate pada masa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda berfungsi sebagai
kantor pemerintahan Hindia Belanda dan kini, dipergunakan sebagai Kantor

Pusat Pemerintahan Jawa Barat. Gedung ini dapat dikatakan sebagai


Landmark Kota Bandung karena mempunyai bentuk bangunan yang khas
dan kehadiran penampilannya sangat kuat. Sosok bangunan Gedung Sate
dengan menaranya yang beratap susun kini menjadi simbol atau ciri visual
Propinsi Jawa Barat.

BAB 4
4.1. sejarah jalan diponegoro
Jalan diponegoro merupakan jalan bersejarah dikota bandung , karena
pada jaman dahulu jalan ini merupakan akses jalur perdagangan dan juga
jalan menuju gedung sate yg merupakan pusat perkantoran pada jaman
hindia belanda, banyak terdapat bangunan yang bersejarah di sepanjang
jalan tersebut, terdapat pula bangunan - bangunan kolonial yang masih
tersisa. Selain gedung sate, bangunan - bangunan yg memiliki nilai sejarah
dan memiliki nilai arsitektur bergaya kolonial yaitu ada gedung dwi darma,
museum geologi,dan bangunan bangunan lain disekitar gedung-gedung
tersebut.

4.2. kondisi jalan diponegoro


Banyak terdapat bangunan di jalan dipenogoro ,terdapat rumah
tinggal,restoran,bank,tempat beribadah dan juga perkantoran.pada saat ini
hanya gedung sate, museum geologi, gedung dwi warna, yg masih utuh
dalam artian tidak mengalami perubahan bentuk maupun fungsi, sementara
bangunan yg berada disekitarnya itu hampir 80% mengalami perubahan
bentuk maupun fungsi . Hal ini sangat disayangkan karena akan sangat
merusak nilai sejarah jalan diponegoro,dan juga merusak nilai sejarah
arsitektur bangunannya.

4.2.1. data existing jalan diponegoro


4.3.perubahan fungsi bangunan
mengapa bangunan berubah fungsi.
Hal ini dikarenakan jalan dipenogoro merupakan jalan yang strategis dari
segi wilayah maupun segi bisnis oleh karena itu banyak pula bangunan yang
sebelumnya memiliki nilai sejarah kini beralih fungsi menjadi tempat bisnis.

karena tidak ingin sejarah itu hilang, pemerintah memberlakukan


peraturan yang mengharuskan setiap pembangunan disekitar jalan
diponegoro itu harus berorientasi kepada gedung sate dan setiap untuk
pembangunan gedung baru khusunya bangunan berlantai banyak. Dimana
bangunan lain, tidak boleh memiliki tinggi yang melebihi tinggi gedung sate
ini dimaksudkan agar kemegahaan gedung sate tetap terjaga dan tidak
merusak atau mengganggu karisma gedung sate.

BAB 3
3.1.KAJIAN
Gaya Kolonial yang kontekstual
BANGUNAN KOLONIAL DI INDONESIA
Revolusi industri di Eropa pada akhir abad ke-19 ternyata memberikan
dampak pada gaya arsitektur pada masa itu. Pada masa itu sendiri di Eropa
dan Belanda sedang berkembang suatu gaya arsitektur yang memasuki
masa peralihan dari era eklektisisme yang penuh dengan elemen-elemen
dekoratif ke gaya bangunan modern yang menekankan pada fungsi,
teknologi dan kekokohan bangunan. Penekanan terhadap rasionalisme
mendapatkan bobot yang sangat besar.
Semangat ini dibawa oleh pedagang-pedagang Belanda pada abad ke-19 ke
Nusantara. Gaya itu pada awalnya mewakili kelompok-kelompok kalangan
atas yang pada masa penjajahan Belanda sebagai kediaman pejabat-pejabat
dan fasilitas-fasilitas publik yang dirancang oleh arsitek-arsitek Belanda yang
memakai gaya itu. Bangunan Kolonial dalam keberadaannya di Nusantara
mengalami adaptasi dengan iklim, spirit dan budaya lokal. Sebagai contoh :
semangat rasionalisme yang dibawa arsitek-arsitek eropa yang sangat
menekankan pada fungsi bertemu dengan pemahaman ruang di Indonesia
(Nusantara, khususnya Jawa) yang dihubungan dengan spiritualisme, iklim
eropa dengan 4 musim bertemu dengan iklim Indonesia dengan 2
musimnya, dll. Sehingga terjadilah penyesuaian-penyesuaian baik secara
fungsional maupun karakter.
Dalam perkembangan Arsitektur di Indonesia, kemudian gaya Kolonial
menjadi trend tersendiri. Trend itu kemudian tidak hanya masuk di bangunan
publik, tetapi juga masuk ke wilayah yang lebih privat, seperti : hunian.
Sementara itu perkembangan jaman yang ditandai kemajuan teknologi
akhirnya mengawinkan gaya Kolonial dengan sentuhan modern yang
merupakan ciri khas dari kemajuan teknologi itu sendiri. Meskipun demikian
tetaplah ada ciri-ciri khas Kolonial yang berkolaborasi dengan ciri modern.
TATA RUANG
Ciri khas bangunan Kolonial tropis adalah dalam tataruang ada ruang-ruang
perantara antara ruang dalam dengan ruang luar yaitu teras-teras baik itu

didepan, samping maupun belakang. Pada bangunan bertingkat dapat juga


ditampilkan dalam bentuk sebuah balkon.

Teras atau Balkon ini berfungsi untuk mengatasi tampias air hujan dan
isolator udara panas luar ke dalam. Perkawinan filosofi barat yang tertutup
dengan filosofi timur yang terbuka terhadap alam diwujudkan juga melalui
teras atau Balkon ini.
TAMPILAN BANGUNAN
Atap
Salah satu tipologi bangunan Kolonial adalah sudut kemiringan atap yang
besar. Sudut kemiringan yang besar ini di Belanda bertujuan untuk
mempermudah turunnya salju yang menempel di atap bangunan. Di
Indonesia fungsi yang lebih nyata adalah untuk mengkondisikan suhu ruang
didalam bangunan. Lebih jauh lagi atap bangunan Kolonial di Indonesia di
pertegas dengan tritisan yang cukup untuk meminimalkan panas atau
tampias karena hujan pada bangunan. Terkadang juga ditampilkan plat luifel
atau kanopi sebagai pengganti tritisan dengan fungsi yang sama.
Tower
Tower sebagai massa independen dengan struktur yang berdiri sendiri
maupun menjadi satu dengan bangunan sebagai aksen bangunan. Tower ini
dapat merupakan massa massif tetapi juga dapat bersifat transparan sbg
konsekwensi fungsi ruang yang berubah.
Roster
Roster sebagai pelubangan yang dipakai untuk mengalirkan udara . Elemen
ini merupakan adaptasi dengan iklim tropis yang lembab.
ELEMEN-ELEMEN DEKORATIF

Penebalan
Penebalan-penebalan sebagai unsur dekoratif yang mempertegas bentuk
elemen-elemen pendukung bangunan. Elemen penebalan ini juga sebagai
elemen yang memperkuat kesan kokoh pada bangunan.

Sabuk bangunan
Sabuk berupa penebalan horizontal baik pada kaki bangunan (mempertegas
pemisahan bangunan dengan tanah) dan atap (mempertegas pemisahan
pada badan bangunan dengan atap)
Finishing Batu Alam
Pemakaian batu alam pada badan bangunan maupun kolom-kolom
merupakan adaptasi dengan budaya lokal yang yang memberikan
keseimbangan dari kekokohan bangunan dengan melembutkan dengan batu
alam. Batu alam sebagai elemen bangunan Kolonial menunjukkan sisi
natural bangunan sehingga sangat lekat dengan kekayaan alam lokal.

Kota terus berkembang seiring berjalannya waktu. Banyak bangunan


bangunan baru bermunculan untuk menunjang kegiatan di dalam perkotaan.
Namun, perkembangan kota yang terlalu pesat menyebabkan tidak
terkontrolnya pertumbuhan bangunan bangunan baru. Berbagai gaya
arsitektural muncul dalam kota sebagai bentuk nyata perkembangan kota
yang tidak mau kalah dengan kota kota lain disekitarnya dan sebagai
bentuk modernisasi kota itu. Perkembangan kota yang seperti itu
menyebabkan kecemasan karena bangunan bangunan lama yang memiliki
nilai sejarah atau yang menjadi ciri khas suatu kota bisa hilang karena
adanya bangunan baru dengan keseragaman dan globalisasi dalam desain
yang pada akhirnya merusak karakter lingkungan kota itu.

Untuk mencegah hilangnya bangunan bangunan dengan nilai


sejarah tinggi pada sebuah kota, para perancang kota mulai bekerja sama
dengan Pemerintah Daerah untuk mempertahankan dan melestarikan kota
lama yang dimiliki pada kota tersebut. Dengan bantuan Pemerintah Daerah
maka kota lama itu dijadikan heritage area, yang diharapkan dapat
diperhatikan dengan lebih sehingga pada akhirnya memiliki nilai lebih pula.
Dengan adanya heritage area ini maka karakter kota tidak akan pudar
walaupun perkembangan kota keluar dari konteks karakter kota yang
sesungguhnya. Kawasan kota lama akan tetap hidup dan memiliki nilai
historis tersendiri bahkan mampu dijadikan sebagai pribadi sesungguhnya
dari sebuah kota.

Dengan adanya heritage area, Pemerintah Daerah mulai serius dalam


usaha menjaga kota lama supaya tidak terkena perubahan globalisasi.
Muncul banyak undang undang untuk melindungi kawasan kota tua itu.
Salah satu undang undang yang paling utama adalah Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya.

Dalam undang undang tersebut dijelaskan bahwa benda cagar


budaya adalah:
benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan
atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang
khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun,

serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,


dan kebudayaan.
benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan , dan kebudayaan.
Disebutkan pula bahwa tujuan dari undang undang ini adalah
melestarikan dan memanfaatkan benda cagar budaya untuk memajukan
kebudayaan nasional. Dengan pengertian yang kuat dan tujuan yang jelas
akan benda cagar budaya, maka kawasan heritage akan menjadi lebih
mudah diindentifikasi dan lebih mudah ditindak lanjuti untuk segera
dilestarikan dan dirawat.

Bentuk bentuk pelestarian bangunan

Bangunan bangunan yang termasuk dalam heritage kadang kala


mengalami kerusakan akibat termakan usia atau kurangnya perawatan yang
dilakukan. Kerusakan sedikit saja pada bangunan tentu mengurangi nilai
historis pada bangunan itu. Karena itu perlu adanya perbaikan pada bagian
bagian yang rusak sehingga kesan historis bangunan dapat utuh kembali.

Sebuah piagam bernama Charter for the Conservation of Places of


Cultural Significance ( Burra Charter) dari Australia melandasi bentuk
bentuk perbaikan bangunan dengan nilai historis. Batasan batasan istilah
tentang pengerian pelestarian bangunan adalah sebagai berikut :

a. Konservasi, adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna


budayanya tetap terpelihara. Ini meliputi pemeliharaan dan sesuai dengan
keadaan yang meliputi Preservasi, Restorasi, Rekonstruksi dan Adaptasi.

b. Pemeliharaan adalah perawatan yang terus menerus dari bangunan ,


makna dan penataan suatu tenmpat dan harus dibedakan dari perbaikan.

Perbaikan mencakup restorasi dan rekonstruksi dan harus dilaksanakan


sesuai dengannya.

c. Preservasi adalah mempertahankan (melestarikan ) yang telah dibangun


disuatu tempat dalam keadaan aslinya tanpa ada perubahan dan mencegah
penghancuran.

d. Restorasi adalah mengembalikan yang telah dibangun di suatu tempat ke


kondisi semula yang diketahui, dengan menghilangkan tambahan atau
membangun kembali komponen-komponen semula tanpa menggunakan
bahan baru.

e. Rekonstruksi adalah membangun kembali suatu tempat sesuai mungkin


dengan kondisi semula yang diketahui dan diperbedakan dengan
menggunakan bahan baru atau lama.

f. Adaptasi adalah merubah suatu tempat sesuai dengan penggunaan yang


dapat digabungkan.

Dalam SK Gubernur Nomor D/IV/ 6098/d/33/1975 jo Perda Nomor 9


Tahun 1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan Bangunan
Cagar Budaya. Bangunan cagar budaya dibagi dalam empat golongan, A
sampai D. Bangunan golongan A tidak boleh ditambah, diubah, dibongkar,
atau dibangun baru. Untuk golongan B, bangunan di bagian badan utama,
struktur utama, atap, dan pola tampak muka tidak boleh diubah alias harus
sesuai bentuk asli. Pada golongan C, bangunan boleh diubah atau dibangun
baru, tetapi dalam perubahan itu harus disesuaikan dengan pola bangunan
sekitarnya. Bangunan golongan D boleh diubah sesuai dengan keinginan
pemilik, tapi harus sesuai dengan perencanaan kota.

Peran arsitek dalam pelestarian bangunan historis

Arsitek perlu ambil bagian dalam usaha melestarikan bangunan


bangunan dengan bersejarah. Bangunan tersebut menjadi tanggung jawab
arsitek karena arsitek memahami bagaimana sebuah bangunan dibentuk
dan menjadi jiwa bagi lingkungannya. Pemahaman yang dalam akan nilai
sejarah bangunan serta teori yang dianut oleh arsitek aslinya menjadi
penting untuk mempermudah melakukan proses perbaikan. Pembentukan
karakter bangunan juga harus diperhatikan supaya perbaikan bangunan
tidak melenceng dari tujuan dan fungsi lokal. Apabila diperlukan, perbaikan
lingkungan juga dilakukan untuk mempertajam pelestarian.

Selain itu sosialisasi pada masyarakat terutama yang berdomisili di


sekitar lokasi juga sangat penting. Masyarakat harus disadarkan akan
pentingnya bangunan bangunan bersejarah yang ada sehingga mereka
bisa turut membantu untuk memelihara lingkungan sekitar bangunan itu.
Sosialisasi pada masyarakat luas juga perlu supaya bangunan tersebut bisa
dijadikan sebagai obyek pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai