Secara garis besar, perjalanan masa lalu kota bogor sebelum kemerdekaan Republik
Indonesia dapat dibagi menjadi dua masa, antara lain adalah masa sebelum kedatangan
bangsa Eropa dan setelah kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia.
Masa Prasejarah
Masa sejarah kota Bogor sebelum bangsa Eropa datang adalah pada zaman prasasejarah yang
ditandai dengan ditemukannya hasil kebudayaan megalitik, yaitu suatu tradisi yang
menghasilkan batu – batu besar, mengacu pada etimologinya “mega” berarti besar dan
“lithos” yang berarti batu (Soejono, 1984: 205). Hasil kebudayaan tersebut antara lain adalah
gunung kapur Ciampea yang tersebar di beberapa lokasi antara lain Museum Situs Pasar
Angin, Leuwiliang Bogor, Kampung Muara, dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, selain
itu ditemukan juga dolmen, sarkofagus, menhir, dan benda prasejarah lainnya.
Pada masa berikutnya yaitu masa Hindu Budha (awal abad ke-5 Masehi) dimana masa
kerajaan Tarumanegara yang meninggalkan sebuah prasasti yaitu Prasasti Ciareteun di
Ciampea, Prasati Koleangkak di bagian barat Kota Bogor, dan Prasasti Tugu.
Masa kerajaan yang paling jaya di Kota Bogor adalah masa Kerajaan Pakuan Pajajaran
berdiri, yaitu sekitar tahun 1482 – 1579 dengan bukti ditemukannya prasasti Batu Tulis,
Prasasti Kebon Kopi II serta naskah kuno Carita Parahyangan (Aris Munandar, 2011 : 2).
Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini
diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak
terdapat pohon Pakujajar.
K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor),
Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta
sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut
Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan
Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
Letak pusat pemerintahan kerajaan Pajajaran berpindah – pindah disebabkan kehadiran orang
Galuh sebagai Raja Sunda di Pakuan, Prabu Darmaraksa, yang belum dapat diterima secara
umum dan kemudian dibunuh oleh salah seorang menteri Sunda. Kejadian ini mengakibatkan
Raja Sunda yang baru selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilih untuk
menjadi pusat pemerintahan dan kemudian berpindah – pindah dari barat ke timur atau
sebaliknya. Namun pada akhirnya dua sub-etnis ini menjadi satu (Danasasmita, 1983: 47).
Pada masa pemerintahan Raja terakhir yaitu Nusiya Mulya kerajaan sudah tidak bias
dipertahankan, kemudian setelah pasukan Banten Islam mengambil alih ibukota kerajaan,
satu persatu wilayah Bogor dikuasai oleh Islam dan status Pakuan sebagai pusat
pemerintahan telah berakhir (Danasasmita 1983: 82). Satu abad setelah hilangnya Pajajaran,
orang – orang Eropa melakukan ekspedisi kembali menemukan daerah yang dahulu
merupakan kerajaan Pajajaran. Ekspedisi ini kemudian menjadi jalan pembuka datangnya
orang Eropa ke Kota Bogor.
Kota Bogor ditemukan kembali oleh tim ekspedisi VOC sebagai puing yang ditutupi hutan
lebat. Beberapa catatan ekspedisi oleh pasukan VOC melaporkan mengenahi sejarah kota
Bogor. Laporan pertama oleh Scipio tahun 1678 menyebutkan bahwa pada tahun 1684
Belanda menyetujui perjanjian dengan Banten dengan ditetapkannya Cisande menjadi batas.
Namun Belanda membuat pengertian Cisande yang seharusnya pembagian alur induk sampai
ke mata air termasuk sungai Cisande, sehingga Gunung Salak yang seharusmya menjadi
wilayah Banten menjadi wilayah VOC (Danasasmita, 1983: 6).
Daftar pustaka
Danasasmita, Saleh. 1983. Sejarah Bogor I. Bogor : Pemerintah Daerah Kota Madya DT II
Bogor
Faes, J. 1902. Geschiednis van Buitenzorg. Batavia : Albrecht
Muhzin, Ahmad, dkk. 1995. “Kota Bogir. Studi tentang perkembangan ekologi kota (Abad
ke-19 sampai 20)
https://kotabogor.go.id/index.php/page/detail/5/sejarah-bogor (Akses 3:23 am 2/282018)