Anda di halaman 1dari 5

Eksistensi Budaya Botram dalam Restoran-Restoran di Indonesia

sebagai Wujud Revitalisasi Kebudayaan Tanah Sunda


oleh:
Aulia Pebrianti Wardani (180110120010)
Chintia Frastica (180110120050)
Diah Islamiati (180110120054)
Nurwitri Prayuni (180110120052)
Pingkan D. Farida (180110120034)
Sastra Indonesia

I. Pendahuluan
Masyarakat Indonesia dengan kebergaman suku yang membentang dari
Pulau We hingga Merauke telah membentuknya secara otomatis menjadi
masyarakat yang hetero dengan kebudayaan. Kebudayaan-kebudayaan yang tidak
saja berkutat dalam lingkup seni, tari daerah, dan sebagainya, melainkan pula
berkatan dengan kebiasaan-kebiasaan semasa hidup pada masyarakat di suatu
geografis tertentu. Di antara berbagai budaya yang terhampar di Indonesia, kami
tertarik untuk menilik budaya botram yang telah dikenal masyarakat luas sebagai
suatu budaya yang berasal dari masyarakat Sunda untuk dianalisis. Istilah botram
menjad mahsyur di Indonesia sejak zaman kolonialisme, meskipun ada
kemungkinan bahwa konsep ngariung dalam botram itu sendiri telah berlangsung
lama di masyarakat bertanah Sunda.
Seperti yang telah disinggung di awal paragraf, bahwa di dalam budaya
botram terdapat konsep ngariung alias berkumpul bersama. Tidak sekadar
berkumpul bersama, botram juga memiliki acara semacam makan-makan bersama
sambil bercengkrama bersama kaluarga, teman-teman dekat, handai taulan, dan
rekan-rekan seperjuangan, yang biasanya dilakukan dengan posisi lesehan di suatu
tempat tertentu. Tempat yang memiliki suasana yang asri, hijau, dan nyaman
untuk dilesehi. Sepintas mungkin konsep makan bersama alias botram ini mirip
dengan konsep angkringan yang dibawa oleh masyarakat Jawa. Namun,
angkringan hanya dilakukan pada malam hari, sedangkan botram biasanya
dilakukan pada jam-jam istirahat di siang hari, sekaligus untuk melepas penat
setelah lama bekerja. Menu makanan yang bisa dihadirkan pun beragam,
meskipun menu utamanya didominasi oleh nasi liwet.
Konsep inilah yang diduga sebagai awal mula munculnya gagasan para
pengusaha untuk menciptakan rumah makan atau restoran-restoran bergaya etnik
dengan menghadirkan budaya botram khas Sunda. Terlepas dari luar biasanya
profit yang diperoleh para pengusaha, melalui tangan-tangan kreatif dan inovatif
para pengusaha tersebut, botram pun dapat diatur dan disajikan sedemikian rupa
sehingga memberikan kesan natural dan membudaya. Tentunya hal ini dilakukan
sebagai salah satu upaya untuk melestarikan kebiasaan-kebiasaan hidup atau gaya
hidup pada masyarakat Sunda. Ciri khas akan budaya tersebut menjadi satu hal
menarik perhatian para pengunjung yang merindukan suasana damai dan asri yang
kini telah jarang ditemukan di kota-kota metropolitan.
Pada finalnya, inilah yang menggiring kami untuk menganalisis budaya
botram ini sebagai suatu fenomena etnik di Indonesia. Analisis kami mencakup
tentang proses awal terciptanya botram, beserta keterhubungannya dengan
maraknya restoran-restoran bergaya etnik Sunda tersebut, sehingga analisis ini
diharapkan dapat meningkatkan eksistensi dari budaya botram itu sendiri. Selain
itu, dengan analisis ini juga diharapkan dapat membentuk pribadi yang peka dan
kritis dalam melihat fenomena budaya di sekitar masyarakat, juga tak memungkiri
bahwa akan bertambahnya wawasan kami khususnya dari sudut pandang sosial,
budaya, dan sejarah, terutama budaya Sunda.

II. Sejarah Lahirnya Botram


Masyarakat di tanah Sunda memiliki banyak kebudayaan yang unik, di
antaranya adalah kebudayaan adat-istiadat, kebudayaan alat-alat perkakas,
kebudayaan dalam bertani dan kebudayaan unik lainnya yang menjadikan suku ini
mempunyai khas tersendiri.
Bertalian dengan judul analisis ini, kami akan menelisik sedikit tentang
budaya botram. Botram merupakan istilah Sunda yang dapat diartikan sebagai
kumpul bersama-sama membawa makanan. Botram dapat diidentifikasi sebagai
suatu budaya, yakni budaya makan bersama baik bersama keluarga maupun orang
lain, botram dilakukan di luar ruangan, disebut luar ruangan karena tempatnya
sendiri tidak ditentukan, ada yang di tempat wisata, sawah, kebun, bahkan
pekarangan. Nilai yang terpenting adalah adanya kegiatan makan bersama-sama
di luar ruangan.
Beberapa analisis menyebutkan bahwa kata botram sendiri berasal dari
bahasa Belanda boterham yang artinya makan irisan roti dioles butter isi ham.
Pada masa kolonialisme Belanda, orang-orang Belanda sering piknik di taman dan
membawa bekal berupa roti, makanan tersebut di makan pada saat piknik.
Mungkin pada saat itu orang-orang Sunda melihatnya persitiwa tersebut dan
akhirnya kata boterham berubah menjadi botram yang pada proses panjangnya
memiliki arti makan bersama di luar rumah sambil menggelar tikar. Namun
jauh dari arti tersebut botram memiliki arti tersendiri bagi orang Sunda, botram
memiliki arti kebersamaan dalam kesederhanaan. Hal ini tercermin dari menu
makanan yang biasanya disediakan untuk botram, menu makanan tersebut di
antaranya dapat berupa nasi timbel (nasi putih dibungkus daun pisang), atau nasi
liwet (nasi yang diberi bumbu dan ikan asin yang dimasak dalam kastrol), sambel,
lalapan, ikan asin, tumisan, tahu, tempe, dan lauk yang dirasa cukup mewah ialah
ayam goreng. Kebersamaan dan kesederhanaan dalam botram tersebut
menunjukkan kesetaraan status sosial dan kebersamaan yang erat dalam
masyarakat Sunda. Budaya botram tersebut mengajarkan masyarakat Sunda untuk
saling berbagi, saling melengkapi, dan bertenggang rasa. Selain itu, kebiasaan
makan bersama ini tentunya dapat mempererat rasa persaudaraan antarsesama.

III. Fenomena Maraknya Restoran-Restoran Indonesia dengan Konsep


Botram
Berdasarkan informasi yang kami telusuri di situs Wikipedia, globalisasi
merupakan proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran
pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya.
Kemajuan infrastruktur, transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan
telegraf dan internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin
mendorong saling ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan
budaya.
Hubungan antara globalisasi dengan budaya di Indonesia sangat berupa-
rupa. Salah satunya yang ada dalam tataran masyarakat Sunda, yaitu budaya
botram. Botram yang ada sebelum terjadinya globalisasi pasti akan berbeda
dengan yang sudah terpengaruh oleh arus globalisasi. Botram yang ada pada
zaman dahulu, sebelum terjadi globalisasi, adalah makan bersama, makanan
disajikan merupakan makanan yang dibawa oleh setiap orang kemudian nantinya
akan dimakan bersama-sama. Makanan yang disajikan biasanya nasi liwet beserta
lauk-pauk sederhana khas Sunda. Biasanya kegiatan tersebut dilakukan di rumah
atau tempat-tempat terbuka, misalnya taman. Dalam kegiatan tersebut, kita hanya
boleh membincangkan hal-hal yang menyenangkan. Mungkin hal tersebut
bertujuan agar kita lebih senang dan melupakan kesedihan untuk sesaat, atau
sekadar refreshing.
Sedangkan pada zaman ini, tentunya yang sudah sedikit-banyak dipengaruhi
oleh globalisasi, terdapat perbedaan-perbedaan, seperti lokasi atau tempat dalam
berkumpul dan makan bersama. Saat ini, kegiatan botram biasanya dilakukan di
tempat makan. Seperti yang telah diulas singkat pada bab pendahuluan, para
pengusaha berusaha untuk menciptakan sebuah tempat makan dengan membawa
budaya Sunda, yakni botram. Konsep botram pada restoran-restoran ini sengaja
diciptakan dengan tujuan yang sama, yaitu sebagai tempat penyegaran. Restoran
ini pun menyajikan makanan khas Sunda. Lokasi restoran-restoran ini pula pada
umumnya terdapat di dataran tinggi di Jawa Barat, hal ini disebabkan oleh konsep
botram itu sendiri yang memang biasanya dilakukan di taman, sawah, dan
sebagainya, sehingga banyak pengusaha yang menjadikan lahan pertanian atau
perkebunan untuk dijadikan sebagai rumah makan bergaya botram yang
memberikan kesan natural. Fenomena ini bisa dilihat dari maraknya restoran-
restoran seperti di objek wisata Dusun Bambu, Kampung Gajah, dan lain-lain.

IV. Simpulan
Adanya fenomena bermunculannya restoran-restoran bergaya Sunda dengan
konsep botram ini menurut analisis kami, tentu dapat meningkatkan eksistensi
budaya botram yang diperkenalkan oleh masyarakat Sunda, sehingga pelestarian
budaya pun dapat terotomatisasi dilakukan. Namun, agaknya kemunculan
restoran-restoran berkonsep botram ini belum dapat menjangkau seluruh lapisan
masyarakat, karena seperti yang dapat dilihat bahwa restoran-restoran ini pada
umumnya diciptakan untuk masyarakat kalangan ekonomi menengah-atas, untuk
masyarakat yang memang merindukan konsep-konsep botram dan suasana yang
hijau-hijau. Beberapa menu makanan pun mungkin sudah mengalami
perkembangan, tidak saja lauk-pauk sederhana, tetapi juga terdapat lauk-pauk
super mewah yang tidak terdapat dalam budaya botram yang asli dan alami. Ini
menjadikannya sebagai suatu yang tidak bisa disebut perkembangan, namun tidak
bisa juga dibilang negatif, karena pada dasarnya budaya selalu menghasilkan
sesuatu yang positif, seperti budaya botram yang pada dasarnya hadir sebagai
suatu rehat keluarga dengan kumpul-kumpul dan makan bersama dalam
kegembiraan.

Anda mungkin juga menyukai