Anda di halaman 1dari 10

Machine Translated by Google

DIMENSI: Jurnal Arsitektur dan Lingkungan Buatan, Vol. 47, No.2, Desember 2020, 99-108 DOI: 10.9744/dimensi.47.2.99-108
ISSN 0126-219X (cetak) / ISSN 2338-7858 (online)

TRI HANAKARA SEBAGAI KONSEP PERSISTENSI TATA RUANG


PERMUKIMAN BALUWARTI DI SURAKARTA

Tri Hartanto1,3* ,Tony Atyanto Dharoko1 , Yoyok Wahyu Subroto2


1.2Department of Planning and Architecture Engineering, Engineering Faculty, UGM Yogyakarta
Grafika Street No.2 UGM Campus, Yogyakarta 55281 Phone 0274 542973
3
Architecture Study Program, Engineering Faculty, Tunas Pembangunan University of
Surakarta Walanda Maramis Street No.31 Cengklik Surakarta 57135 Phone 0271
853824 *Corresponding author; Email: tri.hartanto23@yahoo.com

ABSTRAK

Unsur tata ruang permukiman (aspek fisik) dan kehidupan sosial budaya masyarakat dengan berbagai ritus (aspek non fisik) masih
dilakukan oleh sebagian masyarakat di Permukiman Baluwarti hingga saat ini, sehingga menimbulkan kekhasan tersendiri. Kekhasan
inilah yang membuat lingkungan Permukiman Baluwarti yang berada di dalam lingkungan keraton (keraton) berbeda dengan lingkungan
permukiman lain (di luar keraton) yang ada di Surakarta. Dengan melihat paradigma penelitian kualitatif dan metode pembacaan sejarah,
penelitian ini dapat menemukan konsep tata ruang Permukiman Baluwarti yaitu Tri Hanakara. Di mana raja-raja yang memerintah setelah
Paku Buwana III membangun pemukiman Baluwarti ini untuk meneruskan keinginan Raja sebelumnya.

Kata kunci: Konsep; tata ruang; Pemukiman Baluwarti.

PENGANTAR Dalam tahap pembangunan, setelah masa Paku


Buwana III dengan permukiman Baluwarti, kelompok
Bangunan utama Kasunanan Surakarta Hadiningrat permukiman lain mulai dibangun: (a) Sekullanggen, (b)
dibangun oleh Paku Buwana II (1742-1749). Setelah Hordenasan, dan (c) Gambuhan. Ada juga kelompok
pelataran utama selesai dibangun, Paku Buwana II wafat, penghuni Lumbung Wetan dan Lumbung Kulon yang
dan digantikan oleh Paku Buwana III (1749-1788), dengan bertugas mengurus persediaan makanan saat itu. Selain
gelar Sinuwun Kanjeng Susuhunan Prabu Amang kurat tempat tinggal abdi dalem dan sentana dalem, juga
Jawa Senapati Ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panata dibangun dalem pangeran di kawasan pemukiman Baluwarti.
Gama Khalifatullah Ingkag Kaping III Ing Negari Surakarta Jumlah dalem pangeran cukup besar di wilayah Baluwarti,
Hadiningrat (Purwadi, 2007:405). Kemudian pada awal dan keberadaan dalem pangeran masih dapat disaksikan
pemerintahannya mulai dibangun pemukiman Baluwarti hingga saat ini meskipun dalam kondisi rusak. Ada kelompok
(sebagai tempat tinggal sentana dalem dan abdi dalem) tempat tinggal abdi dalem yang melayani pangeran di
sekaligus sebagai benteng pertahanan. sekitar wilayah dalem pangeran . Kemudian, masjid Para
masana juga dibangun di Baluwarti, tepatnya di sebelah
barat Kori Brajanala Utara di sebelah utara kawasan
Latar belakang pembangunan permukiman Baluwarti tersebut. Selain mesjid juga dibangun bangunan pasar dan
berangkat dari ikatan formal masyarakat terhadap kandang kuda yang disebut Langensari.
pengadilan. Ikatan formal ini merupakan status sebagai
abdi dalem istana, dengan gelar atau kekancingan yang
diberikan oleh Sinuwun. Keberadaan pemukiman ini Kawasan permukiman Baluwarti yang terletak di
awalnya berfungsi sebagai kota kerajaan (kuthagara) dalam benteng Baluwarti mengelilingi kawasan utama
sebagai pusat pemerintahan keraton Kasunanan Surakarta Keraton Surakarta Hadiningrat secara konsentris. Saat ini
Hadiningrat. Tempat tinggal di pemukiman ini diklasifikasikan kondisi permukiman Baluwarti (masa PB.XIII) sangat padat.
menurut status, peran, dan pangkat (kedudukan) individu Pemukiman Baluwarti mulai dibangun oleh Paku Buwana
penghuni. III, pada saat itu pemukiman yang dibangun adalah untuk
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan prajurit Tamtama, Carang, dan Wireng . Jadi, dalam kondisi
sumber kebudayaan Jawa atau Kejawen sebagai warisan aslinya, banyak lahan kosong di Pemukiman Baluwarti.
nenek moyang Ratu Jawa, sejak zaman Keraton Mataram. Baru-baru ini, banyak masjid, sekolah, dan kantor Kelurahan
Oleh karena itu, Keraton Surakarta memiliki nilai budaya Baluwarti telah dibangun di sana. Kantor Kelurahan
dan nilai sejarah yang telah melewati jejak sejarah yang Baluwarti dibangun pada masa pasca kemerdekaan. Dan
panjang. Keraton Surakarta Hadiningrat tetap eksis baik fungsi kantor Kelurahan hanya sebatas melayani
secara de facto maupun de jure, sebagai wujud negara masyarakat Baluwarti dan warga keraton dalam hal
Indonesia asli warisan Budaya Jawa dalam perjalanan kependudukan dan administrasi pemerintahan.
sejarahnya selama 270 tahun (Winarti, 2002: 61).

99
Machine Translated by Google

Tri H. dkk.

Ara. 1. Kawasan Permukiman Baluwarti sebagai bagian dari kawasan Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber: Sastra Keraton Surakarta, 2004:
38)

Gambar 2. Skema Strata Sosial Masyarakat di Baluwarti (Sumber: Farkhan, 2002)

trasi. Kemudian jumlah tempat tinggal abdi dalem Kehidupan sosial budaya masyarakat Baluwarti
bertambah, karena banyak kerabat/keluarga abdi dalem tidak terlepas dari latar belakang sejarah terbentuknya
yang datang untuk tinggal di lingkungan pemukiman lingkungan permukiman. Sebagai wahana mewadahi
Baluwarti. Seperti dikemukakan KGPH Dipokusumo, kehidupan masyarakat Baluwarti awalnya merupakan
pihak Istana tidak bisa menutup kemungkinan bagian tak terpisahkan dari Keraton Kasunanan Surakarta.
meningkatnya jumlah orang yang datang dan menginap di Baluwarti.
Anggota masyarakat Baluwarti sangat erat kaitannya
Sebagian besar warga Baluwarti masih memiliki dengan kondisi sosial budaya masyarakat yang berada
hubungan dengan Keraton, baik sebagai abdi dalem di wilayah tersebut. Anggota masyarakat disini tidak
maupun sentana dalem. Masyarakat yang berhubungan terlepas dari keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta.
dengan keraton tetap selalu menjalankan adat dan tradisi Di sisi lain, Istana adalah warga dunia. Meskipun
sesuai dengan kemampuannya. Dengan demikian, tradisi demikian, masih ditemukan lokus genius yang menjadi
dan budaya keraton tidak dapat hilang begitu saja, salah ciri lingkungan permukiman Baluwarti.
satunya sistem magersari yang masih menjadi pengikat
antara abdi dalem dengan keraton.

100
Machine Translated by Google

Tri Hanakara sebagai Konsep Persistensi Tata Ruang Baluwarti

METODE STUDI TEORITIS

Dengan mempertimbangkan latar belakang, Wikantiyoso dalam Krisna (2005: 17) menjelaskan
pertanyaan, dan tujuan penelitian, untuk mengetahui konsep bahwa permukiman tradisional merupakan aset daerah
tata ruang permukiman Baluwarti, maka metode penelitian yang dapat memberikan ciri dan identitas lingkungan.
yang dipilih dalam penelitian ini adalah yang dapat Identitas daerah tersusun dari pola lingkungan, bentukan
merumuskan konsep lokal (idiografis). Dalam hal ini, desa binaan, ciri kegiatan sosial budaya, dan ciri khas
penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tidak hanya kegiatan ekonomi.
tata ruang Permukiman Baluwarti secara fisik tetapi juga Pola tata ruang permukiman mengandung tiga unsur: a)
konsep yang mendasari perwujudan fisik tata ruang ruang dengan unsur penyusunnya (bangunan dan ruang
Permukiman Baluwarti. Konsep tersebut diyakini dipengaruhi sekitarnya), b) bentukan dengan makna susunan, dan c)
oleh nilai-nilai tradisional dan budaya Keraton Surakarta.
pola atau model susunan. Pola permukiman tradisional,
Konteks nilai-nilai adat dan budaya keraton dapat ditangkap
berdasarkan pola sebarannya, juga terbagi menjadi dua,
tidak hanya dengan panca indera dan logika, tetapi juga
yaitu pola persebaran dan koloni.
akal/perasaan (etika) dan dengan akidah atau kepercayaan
(transendental).
Dalam budaya tradisional, bentuk permukiman
Metode penelitian kualitatif, menurut Sugiono,
(2014:1), adalah yang berpijak pada post positivisme, dihadapkan pada latar belakang organisasi ritual, yang
digunakan untuk mempelajari kondisi objek yang alamiah pada dasarnya bertujuan untuk menata tatanan secara
(kebalikannya adalah eksperimen) dimana penulis adalah harmonis. Putra (2005:5) mengemukakan dua sistem
instrumen kunci, sumber data ( informan) pengambilan organisasi dasar dalam konsep ruang tradisional, yaitu
sampel dilakukan secara purposive, teknik pengumpulan organisasi geometris yang berkaitan dengan hal-hal ritual dan kosmologis.
data dilakukan dengan triangulasi (campuran), analisis data Konsep kosmologi diartikan sebagai kepercayaan
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih akan adanya hubungan yang harmonis antara jagad cilik
menekankan pada makna daripada generalisasi. Menimbang (mikrokosmos) dan jagad gede (makro kosmos). Mikrokosmos
pendekatan metode penelitian dengan mempertimbangkan adalah cerminan dunia manusia, sedangkan makrokosmos
kondisi empiris objek penelitian dan rumusan masalah adalah alam semesta. Dalam kaitannya dengan arsitektur
penelitian, maka penelitian yang dilakukan ini mengacu tradisional (termasuk pemukiman), sebagian besar
pada paradigma post positivisme. Sedangkan metode
bangunan adalah representasi sekuler dengan citra surgawi,
penelitian yang digunakan adalah studi sejarah dengan
menyatukan sumbu jagad cilik dan jagad gede,
pembacaan sejarah. Kajian sejarah digunakan untuk
mengungkapkan arah orientasi magis, dll (Rapoport, 1969).
mengetahui konsep awal tata ruang permukiman Baluwarti
Kemudian, bangunan dijelaskan sebagai metafora situasi
yang dibangun, melalui buku atau babad yang menceritakan
kondisi saat itu, dokumen/arsip/majalah/artikel, dan surat sosial, konteks, dan bagan, dalam bentuk simbolisme,
kabar, gambar pada masa itu, serta artefak yang masih tercermin pada aspek energi objektif dan terukur,
ada. Dengan demikian dapat digunakan untuk melihat unsur- berdasarkan komunitas penghuninya.
unsur tata ruang Permukiman Baluwarti yang masih
bertahan hingga saat ini. Selanjutnya, pendekatan kualitatif Masyarakat tradisional Jawa masih mempercayai
induktif dengan wawancara mendalam digunakan untuk adanya “pusat” kekuasaan berupa Istana (Court), tempat
mengungkap faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat tinggal Raja. Raja dan istananya secara simbolis dianggap
yang masih memegang teguh nilai-nilai adat dan budaya sebagai tempat mengikat diri. Masyarakat adat Jawa
sebagai unsur pembentuk ciri khas tata ruang Permukiman merasa tidak memiliki eksistensi diri jika tidak mengikatkan
Baluwarti. diri pada kerajaan. Kerajaan dalam ikatan semacam itu
sering disebut sebagai pusat kebudayaan. Wujud keterikatan
diri masyarakat Jawa dapat diwujudkan dalam mengikuti
segala sesuatu yang dianut, dilakukan, dan menjadi tata
kehidupan dan tatanan nilai di lingkungan kerajaan,
misalnya bahasa, tata cara adat memperingati kelahiran,
pernikahan, kematian. , fashion, dan bahkan membangun
rumah. Dengan mempertimbangkan latar belakang
kepercayaan tersebut, maka terciptalah “permukiman” Jawa
dengan pusat imajiner (Junianto, 2016). Pusatnya adalah
raja atau manifestasi simbolis dari seorang raja.
Gambar 3. Paradigma, Pendekatan, dan Metode Penelitian

101
Machine Translated by Google

Tri H. dkk.

Gambar 4. Wujud Penataan Ruang Permukiman Baluwarti, Penyusunan Elemen, dan Landasan Konsep

Gambar 5. Proses Perumusan Konsep Utama yang Mendasari Perwujudan Tata Ruang Permukiman Baluwarti di
Surakarta (Sumber: Analisis, 2017)

102
Machine Translated by Google

Tri Hanakara sebagai Konsep Persistensi Tata Ruang Baluwarti

Berdasarkan teori Kostof, menurut Kusu mastuti, kekerabatan dengan raja, dan orang-orang yang melayani
(2016:33), bentuk organisasi ruang kota sebagai pusat raja, (3) sosial dan budaya; status sosial masyarakat
kerajaan Keraton Jawa menunjukkan ciri-ciri model Kota Baluwarti secara umum, selain diturunkan secara turun-
Suci, antara lain (1) sumbu monumental dalam konsep temurun dari silsilahnya, status sosial bangsawan Keraton
Keraton Jawa yang terwujud ke dalam konsep Kiblat Papat Surakarta. Setiap anggota masyarakat memiliki hak dan
Lima Pancer , (2) dinding dan gerbang melingkar dalam kewajibannya masing-masing sesuai dengan status dan
konsep Keraton Jawa diwujudkan menjadi benteng dan derajat yang ditentukan oleh Pengadilan (Raja), (4) ekonomi;
tiang, (3) landmark dominan dalam konsep Keraton Jawa sebagian anggota masyarakat adalah pedagang, sebatas
diwujudkan menjadi alun-alun (alun-alun kota), masjid memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jadi, rakyat (kawula)
(masjid), istana, dan pasar, dan (4) pola grid teratur dan bekerja seperlunya saja. Sistem ekonomi terbatas pada
hirarkis dalam konsep keraton Jawa diwujudkan ke dalam pemenuhan kebutuhan primer/hidup.
struktur kosmologis ruang kota dengan hierarki berbasis Meskipun pemukiman Baluwarti pada waktu itu adalah kota
struktur sosial. kerajaan (kuthagara), namun sistem ekonominya masih
sangat sederhana, (5) nilai-nilai tradisional dan budaya;
bahwa pada prinsipnya kebudayaan Keraton Surakarta
HASIL DAN DISKUSI adalah Islam, akan tetapi dalam harta yang digunakan untuk
pelaksanaan ritus atau tradisi keraton tidak terlepas dari
Proses perumusan konsep tata ruang permukiman kebudayaan Hindu yang masih ada sampai sekarang,
Baluwarti merupakan abstraksi dari perwujudan tata ruang kepercayaan akan persamaan dan hubungan timbal balik
permukiman Baluwarti yang dipertahankan sejak periode antara makrokosmos dan mikrokosmos, dengan raja adalah pusat mikrokosm
Paku Buwana III – Paku Buwana XIII beserta konsep-konsep Elemen fisik kawasan penyusun tata ruang permukiman
lain yang mendasari perwujudannya. Proses perumusan ini Baluwarti adalah (1) bangunan dan ruang sekitarnya, terdiri
didasarkan pada pembahasan pada bab sebelumnya, yang
dari benteng Baluwarti, jaringan jalan berbentuk grid,
telah mengidentifikasi perwujudan tata ruang permukiman
orientasi kedhaton , kori brajanala lor dan kori brajanala
Baluwarti beserta berbagai elemen tata ruangnya, sebagai
kidul, permukiman abdi dalem diklasifikasikan menurut
landasan untuk merumuskan konsep-konsep yang melandasi
profesi dan tugas, dan makam Ki Gede Sala. (2) komposisi;
perwujudan tata ruang permukiman. Konsep asli tata ruang
komposisi wilayah dipengaruhi oleh konsep sedulur papat
permukiman Baluwarti yang dibangun pada masa
lima pancer . Komposisi kawasan permukiman terdiri dari
pemerintahan Paku Buwana III adalah manunggaling kawula
Utara (depan), Timur dan Barat (samping), dan Selatan
- gusti. Konsep ini merupakan perwujudan pengabdian
(belakang). Sedangkan kedhaton sebagai pusat/ pancer
kepada raja, melestarikan tradisi dan budaya, serta
empat arah (sedulur papat). (3) model (pola); pola bentuk
menciptakan keselamatan yang dapat terwujud ketika ada
model permukiman Baluwarti adalah melingkar dan
integrasi dan kebersamaan antara raja dan rakyat/ kawulanya.
berorientasi pada kedhaton, sebagai kedudukan raja. Hal ini
menunjukkan hubungan yang erat antara kawasan
permukiman dan kedhaton. Dengan demikian, pembangunan
permukiman ini dirancang untuk melingkari permukiman
Konsep tata ruang permukiman Baluwarti dapat dilihat
kawasan kedhaton secara konsentris. (4) tanah/kawasan
dari unsur penyusunnya. Secara keseluruhan unsur tata
pemukiman Baluwarti terletak pada lingkaran kedua; wilayah
ruang permukiman terbagi menjadi dua yaitu non fisik dan
keraton terbagi secara konsentris, menurut Behrend (1982),
fisik. Unsur non fisik kawasan terdiri dari (1) akidah/agama;
di mana lingkaran kedua masih memiliki aura magis yang
Meski nuansa Islam telah mewarnai simbol-simbol budaya
tinggi, karena jaraknya yang cukup dekat dengan lingkaran
keraton Kasunanan Surakarta, ternyata perilaku dan sikap
keagamaan masyarakatnya masih menunjukkan ciri Islam pertama, kedhaton. Lokasi di lingkaran kedua menunjukkan
bahwa pemukiman ini memiliki aura magis yang kuat karena
yang sinkretis.
dekat dengan raja. (5) masyarakat; orang yang tinggal di
Berbagai akidah Pra-Islam seperti percaya pada kekuatan pemukiman Baluwarti adalah orang-orang yang diinginkan
pusaka, pada roh nenek moyang, pada makhluk gaib, dan oleh raja, dan mereka mengabdikan hidupnya untuk Raja.
ritus pra-Islam lainnya merupakan bagian integral dari
kehidupan keagamaan Baluwarti, (2) politik dan keamanan; Konsep yang melatarbelakangi kelangsungan tata
untuk mendukung kekuasaan raja, Paku Buwana III ruang Permukiman Baluwarti merupakan perwujudan dari
menjadikan daerah sekitar Keraton sebagai daerah kesadaran masyarakat akan gagasan untuk mencapai
pertahanan. Daerah sekitar Kraton disebut Baluwarti, kerukunan hidup dan kesesuaian yang bersumber dari nilai-
berfungsi sebagai pemukiman penduduk dengan sistem nilai budaya Jawa (keraton) yang diilhami oleh ajaran agama
magersari , khususnya yang berpenduduk Islam. Nilai-nilai konsep dasar tersebut antara lain

103
Machine Translated by Google

Tri H. dkk.

hablum minnallah, hablum minannas, and hablum minna skala upacara/tradisi, sebagian besar masyarakat
alam called Tri Hanakara. Baluwarti masih melakukan yang berskala kecil yang
Keberadaan pengadilan adat dan berasal dari keraton, merupakan kepercayaan yang
Nilai-nilai budaya dalam konsep Tri Hanakara masih masih dipegang teguh hingga saat ini antara lain: -
dipertahankan hingga saat ini terlihat dari terpeliharanya Caos dhahar; meletakkan bunga ke dalam cawan kecil di
unsur-unsur penyusun tata ruang Permukiman Baluwarti tempat-tempat keramat, seperti di tiang rumah joglo ,
pada periode Paku Buwana III – Paku Buwana XIII. dan di makam Ki Gede Sala.
Berdasarkan hasil analisis diakronis, dapat diketahui - Bucalan; sesaji/ sajen (sesajen) yang disiapkan pada
bahwa konsep asli tata ruang Baluwarti dilanjutkan dan saat acara pernikahan, diletakkan di empat sudut area
dipertahankan oleh raja-raja berikutnya. pemukiman, dan di pertigaan dan pertigaan yang
dianggap keramat.
Kesadaran akan kebersamaan dan persatuan antara - Mubeng beteng; mubeng beteng (cempuri) dilakukan
raja dan rakyatnya dalam menjaga hubungan antara oleh orang tua yang menginginkan sesuatu untuk
manusia dengan kebaikan, antar manusia, dan antara anaknya, dengan harapan agar anaknya mencapai
manusia dengan alam sekitarnya diyakini oleh masyarakat cita-citanya (yang diinginkan). Hal itu dilakukan karena
Baluwarti akan menciptakan keharmonisan dan keselarasan adanya kepercayaan dan di dalam Keraton terdapat
hidup di dunia dan akhirat. beberapa benda pusaka yang bertuah sebagai
Suparno, (2017) menjelaskan bahwa budaya hukum perantara kepada Tuhan.
PN Surakarta tetap eksis hingga saat ini, meskipun banyak - Dhudhuk lumpur; untuk menjaga ikatan dengan raja,
tantangan di era sekarang ini. Setidaknya sentana dalem dengan membayar pajak, melakukan pisowanan pada
dan abdi dalem masih menjalankannya. Bahkan generasi hari Kamis dan Hari Besar Islam (Idul Fitri).
tua yang pernah merasakan keberadaan keraton pun pasti
masih mempercayainya. Keyakinan akan kesetaraan dan Ritual yang masih dilakukan masyarakat Baluwarti
hubungan timbal balik antara makrokosmos dan hingga saat ini merupakan akidah/kepercayaan terhadap
mikrokosmos, dengan raja sebagai pusat mikrokosmos, nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi dan budaya.
telah melahirkan tradisi upacara adat di keraton Surakarta Akidah dan keyakinan ini dilakukan dalam upaya mencapai
yang bersifat resmi seperti Grebeg, Kirab, dan Jamasan keharmonisan hidup dan kenyamanan di dunia dan untuk
Pusaka, Labuan, Nya dran, Mahesalawung, Tingalan mencapai kebahagiaan sejati di akhirat. Tradisi budaya
Jumenengan Dalem, dan Pasowanan Ngabekten. Upacara Jawa dan ajaran Islam dijalankan secara sadar, tulus, dan
adat yang diciptakan pujangga Keraton Surakarta ini beriman.
menyiratkan berbagai makna dalam setiap detailnya. Konsep yang melandasi kelangsungan tata ruang
Tujuan utama upacara adalah untuk menempatkan setiap permukiman Baluwarti adalah Tri Hanakara. Konsep tata
anggota masyarakat pada posisi sosial tertentu sebagai ruang ini tidak terlepas dari konsep-konsep yang
raja, sentana, abdi dalem dan kawula (Kuntowijojo, mendasarinya seperti 1) kosmologi, 2) sedulur papat lima
1987:40-41). pancer, 3) hirarki, 4) dualisme, 5) pola hunian, dan 6) radya
Berikut adalah upacara-upacara atau ritus-ritus yang laksana. Kemudian, mencermati hasil analisis, konsep-
menyangkut hubungan raja, sentana dalem, abdi dalem konsep tersebut dibangun di atas manifestasi nilai-nilai
dan orang kawula/ Baluwarti (Santoso, 2017): - Grebeg/ memelihara dan menegakkan keselarasan hidup yang
sekaten; tradisi ini dipertahankan dan dilakukan secara dapat diwujudkan karena terjaganya hubungan antara
terus menerus dalam upaya menekan tradisi leluhur manusia dengan Allah SWT (hablum minnaallah), dan
yang bermakna. antara manusia dengan Allah SWT (hablum minnaallah).
- Kirab dan Jamasan Pusaka; kirab dan jamasan pusaka manusia (hablum minnannas), dan antara manusia dengan
bagi masyarakat Baluwarti adalah untuk menjalankan alam. Raja dan sebagian besar masyarakat Baluwarti
tradisi dan budaya leluhur, dan diartikan sebagai masih memegang teguh prinsip-prinsip tersebut dalam
upacara yang mengandung nilai filosofis Jawa, kehidupan sebagai pedoman hidup.
manunggaling kawalu ing Gusti. Secara umum keenam konsep tersebut mendasari
- Lihat Jumenengan Dalem; tingalan jume nengan dalem konsep Tri Hanaraka menjadi konsep kelangsungan tata
adalah upacara untuk memperingati pelantikan raja. ruang Permukiman Baluwarti. Keenam konsep ini secara
lebih rinci menjadi manifestasi tata ruang Permukiman
- Pasangan yang setia; Ritual pasowanan nbekten Baluwarti, meliputi kosmologi, pembagian wilayah, konsep
mengandaikan pelayanan dan permohonan restu raja. hunian, konsep aksesibilitas, sumbu, sirkulasi, komposisi
(formasi), dan model/pola hunian. Hal tersebut dapat
- Mengingat penjelasan yang diberikan oleh sesepuh di diidentifikasi sebagai berikut: (a) konsep kosmologi; paling
Baluwarti (2017), selain pengadilan besar

104
Machine Translated by Google

Tri Hanakara sebagai Konsep Persistensi Tata Ruang Baluwarti

Gambar 6. Konsep Tri Hanakara sebagai Kesadaran Masyarakat Baluwarti Menjaga Ciri Khas Tata
Ruang Permukiman (Sumber: Analis, 2017)

Masyarakat Baluwarti masih percaya pada kekuatan bangunan utama dikelilingi tembok yang cukup tinggi
alam yang mempengaruhi tata ruang permukiman; (b) dan dilengkapi gapura di tengahnya, bentuk rumah
pembagian wilayah; di sisi Utara, Timur, Selatan, dan sentana dalem adalah Limasan, sedangkan rumah abdi
Barat; (c) konsep hunian; kedhaton (raja) terletak di dalem/ kawula berbentuk Kampung.
tengah kawasan, tata letak tempat tinggal, dalem Beberapa perwujudan yang mengungkapkan
pangeran berada di lingkaran pertama/dekat dengan tujuan konsep Tri Hanakara dapat diidentifikasi dari tata
kedhaton (Raja), sedangkan abdi dalem di lingkaran ruang Permukiman Baluwarti Surakarta: a) Letak Masjid
kedua, (d) aksesibilitas; awalnya ada dua titik, pintu Paramasana/ Suranatan berada di sebelah utara,
masuk di Utara dan keluar di selatan; (e) sumbu; sumbu daerah tepatnya
memanjangdi sebelah
dari barat Kori Brajanala Lor, yang
Tata letak Kori Brajanala Utara (gunung/ asal manusia) merupakan kawasan suci terletak. Masjid ini masih
ke arah Kori digunakan oleh masyarakat Baluwarti dan sekitarnya
Brajanala Selatan (tujuan akhir atau tujuan paraning/ untuk beribadah. Masjid ini terutama berfungsi
manusia); (f) sirkulasi; sirkulasi utama di kawasan sebagai tempat berdoa (sholat), dimana sholat
berputar searah jarum jam, kawula dan abdi dalem adalah sarana bagi manusia untuk melakukan ibadah
ngegenenaken raja (menghormati raja); (g) pembentukan; secara langsung dan vertikal kepada Allah SWT (hablum minnaalla
masjid (masjid) yang terletak di wilayah Utara (Barat Selain itu, juga digunakan sebagai tempat masyarakat
Laut), makam Ki Gede Sala di Utara (Utara melakukan muamalah/ berinteraksi dengan
Timur), tempat tinggal prajurit (pengawal raja) ada di masyarakat Baluwarti dan masyarakat sekitar
Timur, lumbung padi di Selatan, kandang kuda di (hablum minannas). b) Dalem Pangeran Sasana
Selatan dan Pasar di Barat (Barat Daya), semua Mulya terletak di sebelah utara kawasan, menandakan
bangunan melingkari dan berorientasi ke pelataran; (h) kawasan yang disakralkan dan dihormati. Dalem
model/pola; umumnya model hunian berkelompok Pangeran Sasana Mulya dibangun sejak masa
(berkoloni) dan jalan yang ada membentuk pola grid, pemerintahan Paku Buwana IV. Selain berfungsi
rumah pangeran (dalem pangeran) adalah Joglo besar, sebagai rumah pangeran yang nantinya akan menjadi
dilengkapi dengan pendapa, peringgitan, dalem ageng, penerus raja, di lingkungan ini sama seperti di dalem
dan sederet bangunan pendukung di sisi kanan dan kiri pangeran lainnya, terdapat tempat tinggal abdi dalem
itu, bahkan kadang-kadang halaman yang luas dibangun di depannya
tepatnya di

105
Machine Translated by Google

Tri H. dkk.

kanan, kiri, dan di belakangnya, bertugas melayani d) Makam Ki Gede Sala terletak di Utara (Timur Laut)
semua kebutuhan penghuni dalem pangeran . Dengan pada Poros Utara-Selatan yang secara tradisional
demikian terjalin hubungan antara abdi dalem dan disebut tempat keramat. Keberadaan makam Ki Gede
pangeran, seperti antara kawula dan Gusti. Sala sangat disegani oleh masyarakat Baluwarti dan
Hubungan demikian dalam konteks hubungan kawula- sekitarnya. Dalam konteks demikian, masyarakat Balu
Gusti dapat diartikan sebagai hubungan vertikal warti meyakini adanya kekuatan atau roh lain
(hablum minnaallah) antara manusia dengan Tuhan. (metafisik) yang didefinisikan sebagai kekuatan alam.
Selain itu, terdapat hubungan timbal balik antara Kekuatan roh ini diyakini ada di kawasan pemukiman
pangeran dan abdi dalem dalam konteks hubungan Baluwarti. Sehingga sebagian masyarakat masih
horizontal yang merupakan hablum minannas. c) melakukan caos dhahar dan sesaji (memberikan
Pasar Anyaris terletak di Barat (Barat Laut) pada Poros sesaji) di tempat-tempat tertentu yang dianggap
Timur-Barat, yang secara tradisional terletak di daerah sebagai tempat pengusan/ roh. Hal ini dimaksudkan
profan. Pasar Anyar (Pasar Baru) yang dibangun untuk menghindari bencana yang menimpa seseorang
pada masa pemerintahan Paku Buwana X merupakan yang tidak mempercayainya. Oleh karena kepercayaan
salah satu unsur tata ruang permukiman yang masih tersebut masih dipertahankan oleh sebagian
dipertahankan oleh masyarakat Baluwarti hingga saat masyarakat Baluwarti, konteks relasi ini disebut
ini, meskipun dalam kondisi sekarang banyak ruang hablum minna alam atau menjaga keharmonisan dan
pasar yang digunakan untuk tempat tinggal. Pasar kesesuaian dengan “kekuatan alam”. e) Elemen tata
adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli, ruang lainnya seperti pola sirkulasi (pradaksina), sumbu
tempat manusia saling melihat. Interaksi tersebut Utara-Selatan dan Timur-Barat, hunian, formasi, dan
tergolong dalam hubungan horizontal (hablum minannas). model/pola

Gambar 7. Kandungan Konsep Tri Hanakara dalam Keberlangsungan Tata Ruang Permukiman Baluwarti Surakarta (Sumber:
Analisis, 2017)

106
Machine Translated by Google

Tri Hanakara sebagai Konsep Persistensi Tata Ruang Baluwarti

permukiman, diyakini sebagai wujud pemeliharaan Universitas) Yogyakarta. Oleh karena itu, penulis ingin
keharmonisan dan keselarasan dengan alam, yang mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mendukung
diimplementasikan ke dalam aktivitas sehari-hari. penelitian ini. Beliau juga mengucapkan terima kasih kepada
Secara keseluruhan dapat diklasifikasikan menjadi tiga para informan atas informasi, data, dan waktu yang telah
relasi: hablum minnallah, habulum minannas, dan hablum dicurahkan untuk penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
minna alam. terima kasih yang sebesar-besarnya kepada promotor dan ko-promotor.

KESIMPULAN GLOSARIUM

Wujud tata ruang permukiman Baluwarti saat ini merupakan Saya Dalem : pengikut; abdi dalem; anggota

kelanjutan dari tata ruang awal periode Paku Buwana. Tata rumah tangga kerajaan : lapangan
Alun-alun besar di depan a
ruang ini dipengaruhi oleh kepentingan Keraton Surakarta dalam
Karaton: pengadilan; kediaman
menciptakan sistem pertahanan dan keamanan, pengabdian
penguasa : dinding bagian
raja, dan pelestarian tradisi. Dengan demikian, tata ruang ini
dipengaruhi dan meneruskan tradisi silsilah Mataram, seperti: Benteng Baluwarti dalam yang mengelilingi
Karaton: pengadilan;
letak tempat tinggal pengawal raja (prajurit) di Timur, masjid di
kediaman penguasa
Utara (Barat Laut), dalem pangeran dekat Raja, Utara-Selatan
(sakral) dan sumbu Timur-Barat (profan). Dalem Pangeran : rumah aristokrat
Istana : pelataran dalam
Kekankankan : pangkat bangsawan; judul
Karaton : pengadilan; kediaman penguasa
Kemudian bangunan yang ada di dalam kawasan diorientasikan
Kawula : pengikut; (orang orang; warga
ke kedhaton (kediaman raja).
Perwujudan tata ruang Permukiman Baluwarti di Surakarta
Kori: Gerbang
menyiratkan adanya kesadaran akan gagasan yang bersumber
dari nilai dan tujuan yang ingin dicapai oleh raja dan keluarga Kori Brajanala Lor : nama pintu gerbang utama menuju

keraton, serta masyarakat yang tinggal di Permukiman Baluwarti. dan dari pelataran pelataran

Dalam hal ini perwujudan tata ruang permukiman Baluwarti


dengan berbagai unsur, baik unsur fisik/non fisik, dan konsep Kori Brajanaka Kidul: gerbang selatan yang memberikan

garis keturunan dibangun atas kesadaran masyarakat akan akses ke Sitihinggil Kidul

gagasan untuk mencapai Tri Hanakara, keselarasan dengan Luang : pintu gerbang; pintu

lingkungan, keharmonisan sosial. hidup berdasarkan nilai-nilai Lawang Gapit Wetan : Gerbang masuk timur Baluwarti

akidah/kepercayaan. Tri Hanakara adalah pedoman dan tujuan


hidup manusia sebagai makhluk individu dan sosial, yang Lawang Gapit Kulon : Pintu masuk barat Baluwarti : tanah;

diwujudkan dalam berbagai perilaku, bentukan, aturan, aktivitas, negara; kerajaan : daerah

dan organisasi aktivitas manusia. Tri Hanakara merupakan nilai Negara/ Negara pedesaan di sekitar ibu kota :

transendental yang telah dikenal dan dikenal oleh masyarakat Negorogung mengelilingi searah jarum jam :

Baluwarti di Surakarta, sehingga mempengaruhi banyak kegiatan angkatan bersenjata kerajaan :


Pradaksina nama pusat, jalan dalam bangunan
dan perwujudan kegiatan masyarakat. Setiap kegiatan masyarakat
merupakan proses dan sarana untuk mencapai keselarasan, Prajurit Dalem Jawa : kerabat dan mertua dari

kerukunan, dan kesejahteraan bagi seluruh anggota masyarakat. Probosuyoso

Hal itu tercermin dari upaya masyarakat untuk menjaga hubungan


Sentana Dalem
yang harmonis dengan Tuhan, dengan sesama manusia, dan
penggaris
dengan alam semesta. Diakui Tuhan Yang Maha Esa menentukan
berbagai kegiatan masyarakat untuk mencapai keselarasan,
REFERENSI
keselarasan, dan kesejahteraan hidup baik di dunia maupun di
akhirat.
Achmad, S.W. (2016). Babad Giyanti: Palihan Nagari dan
Perjanjian Salatiga, Araska, Yogyakarta Bakker, A. (1995).
Kosmologi dan Ekologi. Kanisius Yogyakarta.

PENGAKUAN Budihardjo, E. (1997). Jati Diri Arsitektur Indonesia.


Alumni, Bandung.
This paper is a part of the author’s dissertation, in Creswell, J. (2014). Penelitian Kualitatif Dan Desain Riset.
Universitas Gadjah Mada (Gadjah Mada Pustaka Pelajar. Yogyakarta

107
Machine Translated by Google

Tri H. dkk.

Goulding, C. (1999). Grounded Theory: Beberapa Rapoport, A. (1969). Rumah, Bentuk, dan Budaya,
Refleksi tentang Paradigma, Aturan dan Prentic Hall Inc, London.
Miskonsepsi. Seri Makalah Kerja Juni 1999. Soeratman, D. (1989). Kehidupan Dunia Keraton
ISSN 1363-6839. Universitas Wolverhampton, Surakarta 183-1939, Taman Siswa, Yogyakarta
Inggris. Straus, A. & Cobin, J. (2015). Dasar-dasar Penelitian
Hardiyanti, N.S. (2005). Studi Perkembangan dan Kualitatif Tatalangkah Dan Teknik-teknik
Pelestarian Kawasan Keraton Surakarta, jurnal Teoritisasi Data, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Dimensi Teknik Arsitektur, 33(1), 112- 124. Subanar, GB. (2010). Manunggaling Kawula-Gusti
KRMH. Y. (1994). Karaton Surakarta Hadiningrat, Dala Transisi; Potret Dunia Jawa dari Yogya
Bangunan Budaya Jawa sebagai Tuntunan karta. Dalam kumpulan essai “Sesudah Filsafat”,
Hidup/Pembangunan Budi Pakarti Kejawen. cet. 5 Kanisius, 2010), Yogyakarta.
Makrodata Saja. Yayasan Kebudayaan Keraton Surakarta.
R.Ng. P. (1939). Pustaka Radya Laksana, Budi Uta (204). Karaton Surakarta, Buku Antar Bangsa,
ma, Surakarta, Copyright © 2011-13 Yayasan Jakarta, Indonesia.
Sastra Lestari.

108

Anda mungkin juga menyukai