Anda di halaman 1dari 11

ARSITEKTUR BALI 2

RWA BHINEDA

ANGGOTA :

1. Putri Dwi Anggraini

(1304205080)

2. Putu Inggita Karina Dewi

(1304205085)

3. Erlangga Saputra

(1304205087)

4. Komang Indra Mahayani

(1304205096)

5. Nusan Ayu Kumala Sari

(1304205103)

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
TAHUN 2014
1

Bab 2 Rwa Bhineda


2.1 Filosofi Rwa Bhineda
Masyarakat bali mempercayai bahwa ketinggian adalah untuk para dewa. Dunia
tengah untuk manusia dan kedalaman (dunia bawah) untuk roh-roh jahat. Hal ini wajar
bagi orang Bali yang hidup sangat dekat dengan alam untuk memandang alam dalam arti
magis dan spiritual.
Sejak dulu masyarakat Bali senang beranggapan tentang alam semesta yang tentram
membentang dari surga diatas gunung menuju ke kedalaman laut. Segala sesuatu dialam
memiliki arah, kedudukan dan tempat. Segala dianggap suci atau sakral dihubungkan
dengan ketinggian, gunung-gunung dan arah ke hulu melalui gunung Agung, gunung
paling sakral dan tertinggi di Bali.
Semua ancaman dan bahaya berasal dari kekuatan bawah dunia, samudra yang tak
terukur dan arah kehulu melalui laut. Kediaman manusia terlatak didunia penengah yaitu
daratan subur antara gunung-gunung dan laut. Tugas manusia adalah mengupayakan
keseimbangan dan harmoni antara dua kekuatan yang saling bertolak belakang tersebut.
Roh-roh suci (para dewa dan leluhur )yang tinggal digunung-gunung dihormati melalui
pemujaan dan ibadat sedangkan roh-roh jahat (iblis dan penyihir) yang berdiam dilaut
ditentramkan melalui pemurnian.
Berdasarkan kepercayaan ini masyarakat Bali mempertahankan filosofi dasar Rwa
Bhineda. Rwa berarti dua dan bhineda berarti berbeda, Rwa Bhineda memiliki arti dua
hal yang selalu ditentangkan (berlawanan). Dua hal yang bertentangan ini tidak saling
memusnahkan dan menghilangkan salah satunya, melainkan keduanya harus berjalan
selaras dan seimbang. Kedua hal yang bertentangan ini harus berjalan secara proporsional
agar hukum Rwa Bhineda dapat ditegakkan. Jika mengarah ke satu arah maka akan
terjadi ketidakseimbangan sebagai contoh, jika Purusa lebih dominan dari pradana maka
dinamika perilaku manusia di bumi akan mengarah pada jalan dharma, hal ini berlaku
sebaliknya jika Pradana lebih dominan maka dinamika perilaku manusia di bumi akan
mengarah pada jalan adharma. Meskipun terdapat perbedaan kontras antara dharma dan
adharma kedua hal ini harus berjalan secara proporsional agar terjadinya keseimbangan
dalam hidup. Konsep dasar ini dianalogikan juga dalam relasi antara bangunan rumah
2

tinggal

dengan

manusia

penghuninya,

di

mana

bangunan

dianggap

sebagai

makrokosmos, dan penghuni sebagai mikrokosmos. Karena itu, aturan-aturan atau konsep
filosofis kehidupan, terutama tentang masalah keseimbangan, juga diterapkan dalam
desain bangunan.
Implikasi dari konsep rwa bhineda ini dalam desain adalah adanya orientasi kosmologis
kaja-kelod untuk bangunan. Kaja adalah orientasi ke arah gunung, untuk orientasi ruangruang yang dianggap memiliki nilai utama, sementara kelod adalah orientasi ke arah laut
untuk ruang-ruang yang dianggap bernilai rendah. Tetapi aplikasi orientasi kaja-kelod
harus disesuaikan juga dengan konsep desa-kala-patra yang ada di masing masing daerah.
Desa artinya daerah, kala artinya waktu, dan patra artinya situasi obyektif yang sedang
terjadi. Maksudnya adalah, karena pulau Bali terbagi menjadi Bali Utara dan Selatan oleh
deretan pegunungan yang membujur dari Barat ke Timur (Gunung Batu Kau, Gunung
Batur, dan Gunung Agung), maka untuk Bali Utara (daerah Buleleng), kaja adalah ke
arah gunung di selatan dan kelod ke arah laut di utara, sementar di Bali Selatan berlaku
kebalikannya, kaja adalah ke arah gunung di Utara dan kelod ke arah laut di Selatan.
Konsep orientasi yang berlaku pada arah horisontal adalah: zone Timur (kangin) sebagai
arah terbitnya matahari dianggap sebagai zona sakral, yaitu tempat ruang-ruang yang
dianggap utama, sebaliknya Barat (kauh) sebagai arah terbitnya matahari diperuntukkan
untuk ruang-ruang yang dianggap nista.
2.2 Konsepsi-konsepsi Rwa Bhineda
Dari dasar filosofi yang telah dipaparkan, sebagai manusia yang selalu berhubungan
dengan Tuhan, sesama dan lingkungan, konsep ini kemudian dirinci ke dalam konsepkonsep yang lebih mendetail yaitu konsep Purusa-Pradana, konsep Suci Cemer, konsep
Hulu-Teben, konsep Lingga-Yoni, konsep Kiwa-Tengen.
2.2.1

Hulu-Teben Suci-Cemer
Hulu artinya arah yang utama, sedangkan Teben artinya hilir atau arah
berlawanan dengan hulu. Hulu Teben memakai dua acuan yaitu :

Timur sebagai hulu dan Barat sebagai teben

Gunung sebagai hulu dan Laut sebagai teben.


3

Timur sebagai hulu karena di timurlah matahari terbit. Matahari dalam


pandangan Hindu merupakan sumber energi yang menghidupi semua mahluk,
sedangkan Gunung sebagai hulu karena berfungsi sebagai pengikat awan yang
turun menjadi hujan kemudian ditampung dalam humus hutan yang merupakan
sumber mata air kehidupan karena tiada kehidupan tanpa air.
Konsepsi Hulu-Teben memiliki kedekatan dengan konsepsi Suci-Cemer.
Segala sesuatu yang bernilai suci atau sakral menempati letak bagian hulu yaitu
pada arah gunung atau matahari terbit. Letak pura sembahyang bernilai suci
terletak pada posisi hulu. Sebaliknya segala sesuatu yang dikategorikan tidak
suci atau cemer menempati posisi teben ( hilir ) yaitu pada arah kelod
( selatan )-kelaut, seperti letak kuburan, letak kandang ternak, tempat kamar
kecil dan tempat pembuangan. Berikut pembagian menurut tatanan makro,
meso, mikro :
Makro :
Kita tinjau dari
pulau

Bali,

memiliki
gunung
tertinggi
sakral

dan
yaitu

Gunung
Agung. Maka segala sesuatu yang bersifat suci akan mengarah ke hulu atau ke
arah Gunung Agung . Sebaliknya segala sesuatu yang dikategorikan tidak suci
atau cemer menempati posisi teben ( hilir ) yaitu pada arah kelod ( selatan )kelaut, seperti letak kuburan, letak kandang ternak, tempat kamar kecil dan
tempat pembuangan.
Messo :
Desa penglipuran adalah termasuk dalam desa pegunungan, umumnya desa
pegunungan lebih tua dari desa dataran. Bentuk pemukimam desa ini menghadap
ke jalan yang membelah desa menjadi dua sisi yaitu sisi timur dan barat. Konsepsi
Hulu-Teben dan Suci-Cemer dapat kita amati pada desa ini, pada bagian Hulu
4

(utara) desa terdapat dua pura utama yaitu Bale Agung (tempat memuja Dewa
Brahma ) dan Pura Puseh (tempat pemujaan untuk Dewa Wisnu) , sedangkan Pura
Dalem (tempat memuja Dewa Siwa ) terletak di bagian hilir (selatan) desa. Bale
Banjar sebagai tempat pertemuan terletak di tengah-tengah desa, dekat pintu
gerbang untuk pemukiman tradisional desa Penglipuran. Berikut adalah tata letak
desa Penglipuran.
Mikro :
Pada tata letak rumah tradisional Bali, konsepsi Hulu-Teben dan Suci-Cemer dapat
diamati pula yang juga dipadukan dengan Sanga Mandala. Bangunan yang
memiliki tingkat kesucian lebih tinggi akan ditempatkan di arah Hulu (utara) dan
arah datangnya matahari atau arah timur. Sedangkan yang digolongkan cemer akan
menempati arah Teben (selatan) dan arah terbenamnya matahari atau arah barat.
2.2.2

Lingga-Yoni
Lingga yang digambarkan sebagai kelamin laki-laki biasanya dilengkapi

dengan Yoni sebagai kelamin wanita. Persatuan antara Lingga dan Yoni
melambangkan kesuburan. Dalam mitologi Hindu, yoni merupakan penggambaran
dari Dewi Uma yang merupakan salah satu sakti (istri) Siwa. Yoni adalah landasan
lingga yang melambangkan kelamin wanita. Pada permukaan yoni terdapat sebuah
lubang berbentuk segi empat di bagian tengah untuk meletakkan lingga.
Berdasarkan bentuknya, Lingga dapat dibagi menjadi empat bagian, sebagai
berikut.

Bagian puncak lingga yang berbentuk bulat disebut Siwabhaga lingga,

merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Siwa.


Bagian tengah lingga yang berbentuk segi delapan disebut Wisnubhaga,

merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Wisnu.


Bagian bawah lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga,

merupakan simbol dari sthana atau linggih Bhatara Brahma.


Dasar lingga yang berbentuk segi empat, dan pada salah satu sisinya terdapat
sebuah saluran menyerupai mulut adalah tempat di mana air dialirkan seperti
pancuran. Dasar lingga ini disebut Yoni.

Dari

uraian

di

atas

dijelaskan

bahwa, Siwabhaga, Wisnubhaga,

dan Brahmabhaga sebagai bagian dari lingga melambangkan Purusa, sedangkan


dasar lingga yang disebut yoni, melambangkan Pradana. Pertemuan antara Purusa
dan Pradana disebut juga sebagai pertemuan antara Aksara dan Perthiwi, inilah
yang mengakibatkan terjadinya kesuburan. Berikut pembagian menurut tatanan
makro, meso, mikro :
Makro :
Gunung batur yang dilambangkan sebagai Lingga dan danau batur sebagai Yoninya.
Messo :
Bangunan utama yang tinggi merupakan lingga dan dasar bangunannya adalah
yoni. Lingga Yoni merupakan simbol dari pertemuan pria (purusa) dengan wanita
(pradana), yaitu pertemuan antara kekuatan positif dan kekuatan negatif yang
menurut kepercayaan purba merupakan pertemuan antara langit dengan bumi
dipandang sebagai lambang kesuburan. Lingga menurut bentuknya terbagi dalam
empat bagian yaitu bagian puncak yang berbentuk bulat yang disebut Siwaghaga,
merupakan simbol linggih dewa Siwa. Bagian tengah yang berbentuk segi delapan
disebut Wisnubhaga yang merupakan simbol linggih dewa Wisnu. Bagian bawah
lingga yang berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga adalah simbol linggih
dewa Brahma. Pada bagian bawah paling dasar di mana lingga tersebut berdiri
tegak, umumnya berbentuk segi empat yang memiliki mulut sebagai saluran air
suci disebut yoni. Dengan demikian lingga merupakan linggih dewa Siwa dalam
manifestasinya

sebagai

sumber

kesuburan.

Berdasarkan

mitologi,

lingga

sebagaimana diceritakan di dalam Kerawasrama dan Lingga Purana menceritakan


bahwa dewa Brahma dan dewa Wisnu mengaku masing-masing yang paling sakti.
Dewa Brahma mengatakan beliau yang menciptakan dunia ini beserta isinya. Dewa
Wisnu tidak mau kalah dan mengatakan bukan dewa Brahma melainkan beliau
yang menciptakan dunia ini. Pada saat pertengkaran sedang memuncak muncullah
Lingga di hadapan mereka berdua sehingga mereka menjadi tertegun karena ujung
dan pangkal Lingga tidak terlihat. Kemudian keduanya sepakat untuk mencari
ujung dan pangkalnya. Dewa Brahma sepakat mencari ujung Lingga dan berubah
6

wujud menjadi seekor angsa yang kemudian terbang ke angkasa. Sedangkan dewa
Wisnu sepakat mencari pangkal Lingga dengan berubah wujud menjadi seekor babi
dan masuk ke dalam bumi. Dewa Wisnu tidak berhasil menemukan pangkal Lingga
namun beliau beruntung bertemu seorang gadis yaitu dewi Basundari. Dewi yang
cantik ini menyebabkan dewa Wisnu menjadi tertarik dan lupa bahwa dirinya masih
berwujud babi. Dari pertemuan antara dewa Wisnu yang masih berwujud babi
dengan dewi Basundari, maka lahirlah seorang putra yang bernama Bhoma.
Akhirnya dewa Brahma maupun dewa Wisnu sama-sama tidak berhasil
melaksanakan kesepakatan masing-masing. Mereka berdua memberi hormat
kepada Lingga tersebut yang tidak lain adalah dewa Siwa.
Mikro :
Dalam bangunan padmasana, kura-kura atau bhedawang sebagai perlambang Yoni
dan Naga Basuki, Naga Taksaka sebagai perlambang Lingga. Naga adalah lambang
kekuasaan, kesaktian, kesejahteraan, penjaga air suci amerta,serta simbol
kesuburan.
2.2.3

Purusa-Pradana
Purusa merupakan unsur kejiwaan sedangkan Pradana merupakan unsur
kebendaan. Berikut pembagian menurut tatanan makro, meso, mikro :
Makro :
Pura Kahyangan Rwa Bineda adalah konsep pura dengan dua unsur kekuatan

berbeda yang berfungsi untuk memotivasikan umat manusia agar mengupayakan


kehidupan yang seimbang antara kehidupan mental spiritual dan kehidupan fisik
material. Pura yang tergolong pura Rwa Bhineda yaitu :

Pura Besakih sebagai Pura Purusa untuk meningkatkan kesucian mental


spiritual.

Pura Batur sebagai Pura Pradana untuk memohon kemakmuran.

Dikisahkan pada suatu malam di awal bulan kelima Margasari Dewi Pasupati
(Siwa) memindahkan puncak Gunung Mahameru di India dan membaginya
menjadi dua bagian. Satu bagian dibawa dengan tangan kirinya dan satu bagian
dibawa dengan tangan kananya. Ketika sampai di Bali bongkahan itu dijadikan
stana. Belahan yang di bawa dengan tangan kakanya menjadi Gunung Agung
tahta untuk anaknya, Dewa Putranjaya (Mahadewa Siwa) dan dibawa dengan
tangan kiri menjadi Gunung Batur tahta dari Dewi Danu, Dewi Air Danau.
Legenda ini menjadikan gunung terbesar tersebut sebagai simbolis dua elemen,
laki-laki dan perempuan (purusa dan pradana). Kedua gunung ini kemudian
dikenal sebagai Dwi Lingga Giri serta parahyangan Purusa-Pradana. Pura
Kahyangan Besakih sebagai purusa dan Kahyangan Ulun Danu Batur sebagai
pradana.
Messo :
Adanya Pelinggih Ratu Bukit Kiwa Tengen di mandala keenam Pura Penataran
Agung Besakih adalah media untuk memuja Tuhan sebagai pencipta Purusa
dan Pradana. Dua pelinggih dikawasan mandala keenam ini adalah :

Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Tengen


Gedong Pelinggih Ida Ratu Pameneh, atau linggih Ratu Pradana, yang
menstanakan Ida Dewi Danuh (Ida Bhatari Gunung Batur), Putri Hyang
Pasupati

Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Kiwa


Gedong Pelinggih Ida Ratu Pucak, atau linggih Ratu Purusa, sebagai
stana yang dipersembahkan kepada Hyang Putranjaya (Ida Bhatara
Gunung Agung), putra Hyang Pasupati.

Mikro :
Dalam tatanan yang lebih kecil yaitu pada Pelinggih-Pelinggih yang terdapat
di Merajan Kemiri. Pelinggih tersebut diantaranya :

Limas Sari. Limascari merupakan manifestasi sebagai pradana dan


menjadi satu kesatuan dengan pelinggih limascatu. Kedua pelinggih ini
8

menggambarkan fungsi sebagai ardanareswari: pradana purusha dan


mengandung makna rwa bhineda
Limas Catu. Bangunan ini disebut limascatu dimana Sanghyang Widhi
dalam manifestasi sebagai purusha (laki-laki) dan menjadi satu kesatuan
dengan bangunan limasari dalam manifestasi sebagai ardanareswari:
pradana purusha dan mengandung makna rwa bhineda.
2.2.4

Kiwa-Tengen
Konsep Kiwa-Tengen atau juga disebut Pangiwa-Panengen dalam Bahasa
Indonesia berarti Kiri dan Kanan. Mengambil anatomi tubuh manusia, karena
manusia dianggap sebagai sentrum (sentral pemikiran). Konsep ini dikaitkan
dengan Rwa Bhinedha, kanan adalah Dharma, dan kiri adalah Sakti. Berikut
pembagiannya dalam tatanan meso dan mikro :
Messo :
Penerapan Kiwa-Tengen dapat ditemukan di upacara yang memerlukan
perputaran. Ada 2 jenis perputaran yang ada pada upacara agama Hindu yaitu
Purwadaksina (putaran ke kanan/tengen) dan Prasawiya (putaran ke kiri/kiwa)

Perputaran ke kiri (Prawisaya) dilakukan jika dianggap menuju nista.


Perputaran ke arah kiri adalah simbolisasi perjalanan turun. Contoh :
memutar mayat/ wadah/ lembu pada upacara ngaben selalu dilakukan
ke kiri (Prawisaya) karena maknanya menurunkan status nista dan
perpisahan dengan alam Bhuwahloka, mengembalikan unsur Panca aha
Bhuta yang menjadikan badan atau raga kepada asalnya

Perputaran ke kenan (Purwadaksina) dilakukan jika dianggap menuju


Utama / perjalanan naik. Contoh : setelah mayat dibakar dan tersisa abu
dalam upacara ngaben, maka abu tersebut akan diputar ke arah kanan
bertujuan untuk mengantarkan Atma ke alam Pitra

Mikro :
Penerapan Kiwa-Tengen yang sangat sederhana dapat dijumpai di kehidupan
sehari-hari, yaitu diterapkan dalam penggunan kamen untuk orang bali. Pria
dan wanita dibedakan dalam pemasangannya. Wanita memakai kamen selalu
9

bagian ujung kiri kamen berada diatas, sedangkan pria memakai ujung kanan
kamen berada diatas.

3.1 Simpulan
Berdasarkan kepercayaan ini masyarakat Bali mempertahankan filosofi dasar Rwa
Bhineda. Rwa berarti dua dan bhineda berarti berbeda, Rwa Bhineda memiliki arti
dua hal yang selalu ditentangkan (berlawanan). Dua hal yang bertentangan ini tidak
saling memusnahkan dan menghilangkan salah satunya, melainkan keduanya harus
berjalan selaras dan seimbang. Kedua hal yang bertentangan ini harus berjalan
secara proporsional agar hukum Rwa Bhineda dapat ditegakkan. Jika mengarah ke
satu arah maka akan terjadi ketidakseimbangan sebagai contoh, jika Purusa lebih
dominan dari pradana maka dinamika perilaku manusia di bumi akan mengarah
pada jalan dharma, hal ini berlaku sebaliknya jika Pradana lebih dominan maka
dinamika perilaku manusia di bumi akan mengarah pada jalan adharma. Meskipun
terdapat perbedaan kontras antara dharma dan adharma kedua hal ini harus berjalan
secara proporsional agar terjadinya keseimbangan dalam hidup. Selanjutnya,
filosofi dasar ini dijelaskan lebih detail dalam beberapa konsepsi diantaranya
konsep Purusa-Pradana, konsep Suci Cemer, konsep Hulu-Teben, konsep LinggaYoni, konsep Kiwa-Tengen. Purusa-Pradana dalam tatanan makro yaitu Pura
Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai pradana, dalam tatanan mikro
adalah Gedong Pelinggih Ida Ratu Bukit Kiwa Tengen serta dalam tatanan mikro
adalah Pelinggih Limas Sari dan Limas Catu. Konsepsi yang kedua adalah SuciCemer dan Hulu-Teben, konsepsi ini memiliki prinsip bahwa hal yang suci terletak
di arah Hulu (Timur dan Gunung) , sedangkan yang bersifat cemer terletak di arah
Teben (Barat dan Laut), jika ditinjau dari tatanan makro adalah segala sesuatu yang
bersifat suci akan mengarah ke Hulu (Timur dan Gunung) sedangkan yang bersifat
cemer akan mengarah ke Teben (Barat dan Laut). Dalam tatanan meso, dapat
diamati di desa Penglipuran, yang tata letak desanya mengambil konsepsi SuciCemer dan Hulu-Teben seperti yang telah dibahas pada bab 2. Selanjutnya, dalam
tatanan mikro yaitu tata letak bangunan tradisional bali. Konsepsi Ketiga adalah
Lingga-Yoni, dalam lingkup yang lebih luas yaitu makro dapat ditemukan dalam
10

keberadaan Gunung dan Danau Batur dan dalam lingkup yang lebih sedang yaitu
meso, Bangunan Monumental Bajra Sandhi yang dari segi arsitektur nya
mengambil konsep Lingga-Yoni, dalam lingkup yang lebih kecil, mikro dapat
diamati pada bangunan suci Padmasana perletakaan Bhedawang, Naga Basuki, dan
Naga Taksaka juga memiliki konsep Lingga-Yoni. Konsepsi terakhir adalah KiwaTengen, yang memiliki konsep kanan adalah Tengen yang berarti Dharma
sedangkan kiri adalah Kiwa yang berarti Sakti. Dalam tatanan meso kita dapat
mengamati pada perputaran yang dilakukan dalam upacara ngaben, dalam lingkup
yang lebih kecil yaitu meso adalah perbedaan cara memakai kamen bagi pria dan
wanita.

11

Anda mungkin juga menyukai