Anda di halaman 1dari 9

Konservasi Puri Semarapura di Klungkung, Bali

I DEWA MADE BAGUS SUWIWEKANJANA

Abstrak

Sebagai peninggalan Kerajaan Klungkung, Puri Semarapura yang terletak di pusat Kota Semarapura,
Kabupaten Klungkung, telah banyak mengalami perubahan. Dari sembilan mandala yang ada, hanya
tersisa satu mandala. Delapan mandala lainnya telah beralih fungsi akibat perkembangan ekonomi
masyarakat di sekitarnya. Artefak fisik puri juga kurang terawat dan memudarkan citra Puri
Semarapura sebagai pusat kerajaan dimasa lampau. Dengan kandungan nilai sejarah yang tinggi,
upaya penyelamatan terhadap keberadaan puri perlu dilakukan. Tulisan ini memaparkan sejumlah
gagasan pelestarian nilai-nilai tradisi Puri Semarapura yang masih relevan dengan perkembangan
saat ini, sekaligus juga pengembangan potensi-potensi yang ada pada kompleks puri tersebut.
Dengan mengkaitkan keberadaan puri dengan gagasan city tour Kota Semarapura, maka upaya
konservasi yang diusulkan mempertimbangkan kondisi lingkungan sekitar puri, penyediaan fasilitas
penunjang pariwisata, dan upaya memperkuat image kawasan yang harmonis dengan keberadaan
puri. Upaya ini diharapkan dapat mempertahankan citra kejayaan Kerajaan Klungkung dengan
mengkategorikan Puri Semarapura sebagai wisata memori.

Kata-kunci : konservasi, Klungkung, puri, Puri Smarapura

Pendahuluan
Puri Smarapura yang terletak di pusat Kota Smarapura, Kabupaten Klungkung, merupakan salah satu
peninggalan sejarah yang sangat tinggi nilainya. Tata letak dan kearsitekturannya terwujud pada satu
site yang memiliki panorama alam pegunungan yang indah. Pada awalnya, Puri Smarapura
merupakan pusat pemerintahan dan tempat tinggal Raja Klungkung. Kedatangan Belanda yang ingin
menguasai kerajaan ini mendapat perlawanan keras dari raja dan rakyat Smarapura, yang dikenal
dengan perang Puputan Klungkung pada tanggal 28 April 1908 (Agung, 1985). Akibat perang
tersebut, banyak bangunan puri yang hancur. Bangunan inti puri (jeroan) dihancurkan dan dijadikan
permukiman penduduk. Akhirnya, keindahan karya arsitektur ini menjadi puing-puing warisan
budaya Bali yang kurang terawat.

Puri merupakan rumah atau tempat tinggal untuk raja atau berdasarkan tingkatan kasta tergolong ke
dalam tingkatan utama berkasta ksatria (Gelebet, 1982:36). Rumah tinggal ini merupakan
sekelompok bangunan yang menerapkan pola-pola yang masih dipelihara dan disakralkan hingga
saat ini. Tidak semua orang diperkenankan memasuki halaman puri. Namun demikian, pada
perkembangannya saat ini, puri sebagai pusat kerajaan telah mulai membuka diri kepada umum.
Bahkan beberapa di antaranya menjadi destinasi wisata, sehingga masyarakat umum dan wisatawan
dapat berkunjung dan melihat secara langsung bagaimana kondisi di dalam puri tersebut. Khusus di
Bali, jenis wisata ini disebut sebagai wisata puri. Disatu sisi, puri berpeluang menjadi objek wisata,
namun di sisi lainnya, menjadi tantangan tersendiri bagi keluarga puri dan masyarakat di sekitarnya
untuk mempertahankan nilai-nilai sejarah di balik bangunan puri itu sendiri.

Sebagaimana puri di Bali pada umumnya, Puri Smarapura juga mengikuti pola Sanga Mandala atau
berpetak sembilan dengan berbagai fungsi yang dimilikinya (Gambar 1). Hasil observasi
menunjukkan bahwa dari kesembilan mandala yang pernah ada, kini hanya tersisa satu zona,
sedangkan delapan zona lainnya sudah mengalami alih fungsi lahan, seperti kantor, lapangan olah
raga, balai budaya, mesjid, pertokoan, dan sisanya untuk rumah tinggal. Pada mandala yang tersisa
tersebut, bangunan yang masih berdiri tegak adalah Kertha Gosa, Bale Kambang, Taman Gili, dan
Pemedal Agung (Gambar 2). Bangunan-bangunan ini memiliki keunikan dan menjadi artefak penting
bagi pelestarian warisan budaya Bali yang telah dibangun oleh Kerajaan Klungkung.

Gambar 1. Site plan Puri Smarapura sebelum Perang Puputan Klungkung (1908) terdiri atas sembilan zona dengan berbagai
fungsi yang dimilikinya: (1) Wilayah suci; (2) Wilayah kumpul rakyat; (3) Ruang keluarga raja; (4) Rumah raja; (5) Rumah
mendiang ayah raja; (6) Rumah saudara raja; (7) Rumah selir raja; (8) Rumah bangsawan; (9) Wilayah kotor (kebun).
(Sumber: Yayasan Smarapura Cultural Heritage Trust, 2005).

Sebagaimana fenomena kawasan bersejarah pada suatu kota, budaya yang merupakan cikal bakal
culture heritage telah mengalami pergeseran akibat modernisasi dan globalisasi, sehingga dapat
mengancam kelestarian budaya pada kawasan tersebut (Antariksa, 2004, 2005, 2007). Kondisi ini
diikuti oleh penurunan tingkat apresiasi masyarakat terhadap kekayaan budaya sendiri. Puri
merupakan pusat kebudayaan dan transformasi konsep filosofi masyarakat Bali.

Puri Semarapura merupakan satu dari sejumlah puri di Bali yang telah terimbas oleh modernisasi.
Peningkatan perekonomian masyarakat memicu perkembangan wajah dan fungsi kawasan di sekitar
puri dan ini mempengaruhi keberadaan puri. Akibatnya, citra tentang kejayaan Kerajaan Klungkung
mulai memudar secara perlahan. Pudarnya citra tradisional pada puri akan menurunkan minat
wisatawan untuk mengunjungi tempat ini.

Dengan demikian, upaya penyelamatan perlu dilakukan agar warisan budaya ini tidak tergerus oleh
pembangunan di sekitarnya. Bagaimanakah usulan upaya konservasi dengan mempertimbangkan
potensi dan masalah yang ada pada puri tersebut? Bagaimanakah rekomendasi konservasi puri
tersebut yang sesuai dengan potensi dan masalah yang ada? Upaya konservasi ini
mempertimbangkan kebijakan pemerintah dan aspirasi masyarakat Kota Smarapura. Tulisan ini
memaparkan sejumlah gagasan pelestarian nilai-nilai tradisi Puri Smarapura yang masih relevan
dengan perkembangan saat ini, sekaligus juga pengembangan potensi-potensi yang ada pada
kompleks peninggalan Kerajaan Klungkung ini. Dengan mengembalikan kondisi puri kepada kondisi
aslinya tanpa mengesampingkan kebutuhan akan fasilitas penunjang objek wisata, maka upaya ini
diharapkan dapat mempertahankan citra kejayaan Kerajaan Klungkung. Dalam hal ini, Puri
Smarapura dapat dikategorikan sebagai wisata memori, situs, dan rekreasi.

Gambar 2. Satu mandala yang masih tersisa terdiri atas: A) Bale bengong; B) Bale kulkul; C) Bale Kertha Gosa; D) Bale
kambang; E) Taman Gili; F) Museum Semarajaya; G) Pemedalan Agung.

Potensi dan Permasalahan

Selain sebagai pusat pemerintahan, Puri Smarapura juga merupakan pusat pengembangan Agama
Hindu. Berbagai upacara keagamaan dilaksanakan secara besar-besaran. Untuk upacara yang
ditujukan kepada manusia (Manusa Yadnya) dilakukan di Bale Kambang. Bale ini merupakan
bangunan yang dikelilingi oleh kolam atau Taman Gili (Gambar 3). Bale Kertha Gosa difungsikan
sebagai tempat meramalkan bencana alam yang kemungkinan terjadi dimasa depan (Gambar 4).
Keunikan Kertha Gosa dan Bale Kambang ini adalah pada permukaan plafond atau langit-langit bale
dihiasi oleh lukisan tradisional gaya Kamasan, yaitu gaya wayang yang sangat populer di Bali,
(Gambar 5). Sementara itu, bale kulkul dibangun setelah Perang Puputan, sehingga bukan
merupakan peninggalan Kerajaan Klungkung. Bale ini merupakan tempat alat komunikasi antar
warga puri dengan rakyat sekitarnya. Sementara itu, pintu gerbang utama pura disebut Pemedalan
Agung, yaitu pintu masuk menuju tempat sembahyang keluarga raja (Gambar 6). Sampai saat ini,
keluarga puri dan masyarakat Klungkung masih percaya bahwa area puri yang tersisa mengandung
nilai magis.
Gambar 3. Dahulu Bale Kambang dengan Taman Gili-nya difungsikan sebagai tempat sidang kerajaan yang membahas
tentang keamanan, kemakmuran, dan keadilan wilayah kerajaan. Untuk fungsi hariannya sebagai tempat menghaturkan
pemijian (bersantap) bagi para pendeta istana, para tamu, dan para pendeta lainnya yang ketika itu sedang menghadap
raja. Ketika pendudukan Belanda, bale ini difungsikan sebagai tempat sidang untuk mengadili orang yang berperkara, baik
perkara adat maupun agama.

Gambar 4. Bale Kertha Gosa terletak di sudut timur laut halaman puri. Selama pendudukan Belanda, bale ini mengalami
perubahan fungsi menjadi ruang sidang pengadilan agama dan adat. Sebagai tempat peradilan, bale ini dilengkapi dengan
enam buah kursi dan sebuah meja persegi empat dengan ukiran keemasan (perada). Kursikursi tersebut dibuat dan
disesuaikan dengan fungsi dan peranan pejabat kerajaan.

Potensi Puri Smarapura dapat diidentifikasi sebagai berikut: (1) Puri mempunyai lingkungan alam
yang indah dengan latar belakang perbukitan yang subur; (2) Akses yang mudah karena tpusat kota;
(3) Sebagai peninggalan Kerajaan Klungkung yang terletak di pusat kota, puri berpotensi sebagai
tujuan wisata kota bersejarah; (4) memiliki variasi morfologi arsitektur Bali-Cina-JepangBelanda-dan
Eropa yang artistik dan signifikan; (5) Situs puri yang tersisa merupakan warisan budaya yang tak
ternilai; (6) Halaman puri yang diolah dengan gaya lansekap tradisional Bali; (7) Kebudayaan
masyarakat yang bernilai tinggi dengan ditandai oleh aktivitas religius dan kreativitas seni
masyarakatnya, seperti lukisan wayang Kamasan; dan (8) Puri Smarapura berpotensi sebagai titik
pengembangan kawasan sekitarnya, terutama dari segi pengembangan pembangunan fasilitas
perkotaan.
Gambar 5. Lukisan wayang gaya Kamasan pada langit-langit Bale Kertha Gosa dan Bale Kambang. Restorasi lukisan terakhir
dilakukan pada tahun 1930 oleh para seniman lukis dari Kamasan.

Gambar 6. Pemedalan Agung atau pintu gerbang utama Puri Smarapura saat ini berfungsi sebagai pintu masuk menuju ke
tempat sembahyang keluarga puri.

Sementara itu, permasalahan yang dihadapi oleh Puri Smarapura adalah: (1) Masyarakat Klungkung
tidak mengetahui dengan jelas batas pekarangan Puri Smarapura, sehingga perlu mendata kembali
batas-batas kepemilikan lahan dan bangunan puri; (2) Perawatan yang kurang terhadap artefak fisik
yang ada pada halaman puri; (3) Adanya penyelenggaraan perayaan-perayaan besar nasional di
depan puri yang dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan, sehingga citra sakral puri semakin
memudar; (4) Keamanan dan penjagaan terhadap peninggalan pusaka kurang terjaga, sehingga
perlu pengaturan sistem keamanan dan penjagaan yang melibatkan keluarga puri, masyarakat, dan
Pemerintah; (5) Kesadaran masyarakat dalam menjaga dan memelihara lingkungan di sekitar puri.

Keluarga besar Puri Smarapura menginginkan agar citra puri dengan arsitektur tradisional Bali-nya
tetap dilestarikan sebagai peninggalan budaya dan mampu menarik wisatawan untuk datang ke Kota
Smarapura. Namun dalam perkembangannya, upaya pelestarian tersebut mengalami kendala. Saat
ini, keluarga puri melakukan pelestarian dengan tetap mempertahankan bangunan penting yang
terkait dengan kegiatan ritual.

Upaya Pelestarian Puri

Rapoport (1990) menegaskan bahwa budaya sebagai suatu kompleks gagasan dan pikiran manusia
bersifat tidak teraga. Kebudayaan akan terwujud melalui pandangan hidup (world view), tata nilai
(value), gaya hidup (life style), dan aktivitas (activities) yang bersifat nyata. Keprihatinan akan budaya
di atas, menimbulkan gagasan untuk memperkuat citra kota melalui penataan spasial ruang kawasan
dengan pendekatan kepada pemberdayaan komunitas yang berbudaya (Antariksa, 2009). Pilihan ini
memungkinkan penciptaan kawasan bersejarah sebagai pusat kebudayaan kota secara lebih
demokratis dalam menghadapi tekanan-tekanan modernisasi.

Dengan pendekatan kepada pemberdayaan komunitas, institusi yang dibutuhkan untuk pengelolaan
Puri Smarapura diharapkan dapat memadukan unsur stakeholder (keluarga puri, pemerintah,
masyarakat sekitar, dan investor). Pembentukan institusi dibutuhkan untuk mengelola kegiatan
objek bersejarah dan pariwisata Puri Smarapura, termasuk infrastruktur, sehingga lembaga ini harus
mempunyai status hukum yang jelas dari pemerintah. Model lembaga yang sesuai untuk mengelola
ini juga mengatur tentang kontribusi yang akan diberikan dan yang akan diperoleh oleh stakeholder.
Pihak puri perlu menyertakan masyarakat sekitar dalam kegiatan operasionalnya.

Upaya untuk menjadikan Puri Smarapura sebagai bagian dari city tour merupakan gagasan awal
pengembangan penataan kawasan puri ini. Konsep ini kemudian menjadikan penataan dan
pengembangan kota menjadi potensial. Di samping sebagai pusat pemerintahan, Kota Smarapura
juga menjadi pusat perdagangan, pusat pendidikan, dan pusat kegiatan pariwisata.

Konservasi Puri Smarapura hendaknya mengacu kepada seluruh kegiatan pemeliharaan sesuai
dengan situasi dan kondisi setempat, seperti memelihara bangunan bersejarah yang sudah ada,
mengefisienkan penggunaan dan mengatur arah perkembangannya di masa mendatang
(MarquisKyle dan Walker, 1996). Sebagai local landmark Kota Smarapura, Puri Smarapura yang
terletak di pusat kota yang berpolakan Catus Patha (perempatan jalan) menjadi titik referensi atau
bentuk visual yang paling mencolok dari Kota Smarapura. Selain itu, puri ini memiliki bentuk fisik
yang unik pada lingkungannya dan menjadi identitas kota. Penampilan Bale Kambang dengan Taman
Gili-nya yang sangat khas memperkuat kesan puri sebagai local landmark Kota Smarapura. Hal ini
sejalan dengan Shirvani (1985) yang menegaskan bahwa landmark sebagai orientasi lingkungan
dapat dijadikan patokan arah dan dibentuk dari kombinasi landmark itu sendiri dengan suatu jalan
atau jalur menuju atau mendekati landmark.

Penataan lingkungan di sekitar Puri Smarapura ditujukan untuk memperkuat citra kawasan puri
sebagai pusat kebudayaan Kota Smarapura. Adapun rekomendasi untuk lingkungan sekitar Puri
Smarapura adalah: (1) Pempatan agung dengan pola Catus Patha tetap dipertahankan sebagai area
komunal, tempat berlangsungnya aktivitas sosial budaya (Atmaja, 2003); (2) Di keempat sudut
pertemuan jalan disetiap sudut site Puri Smarapura direncanakan sistem linkage dengan
memvariasikan pemasangan paving membentuk pola-pola tertentu sebagai pedestrian way,
sehingga terjadi hubungan dari satu sisi ke sisi lain puri. Dengan pola ini, wisatawan dapat menikmati
pemandangan puri secara jelas dan nyaman; (3) Areal di sepanjang Jalan Puputan diperuntukkan
untuk permukiman dan pertokoan souvenir bagi wisatawan; dan (4) Area sepanjang Jalan Teratai
dan Jalan Mawar difungsikan untuk permukiman. Fasilitas pariwisata dapat dibangun di dalam areal
perumahan penduduk, sehingga terjadi keteraturan dan tidak mengubah tata bangunan tradisional
pada kawasan.

Upaya untuk menjadikan Puri Smarapura sebagai bagian dari city tour merupakan gagasan awal
pengembangan penataan kawasan puri ini. Konsep ini kemudian menjadikan penataan dan
pengembangan kota menjadi potensial. Di samping sebagai pusat pemerintahan, Kota Smarapura
juga menjadi pusat perdagangan, pusat pendidikan, dan pusat kegiatan pariwisata.

Untuk menjaga citra kawasan sekitar Puri Smarapura sebagai pusat Kerajaan Klungkung di masa lalu,
maka perlu memperhatikan performansi bangunan yang dapat menunjang citra kawasan tersebut.
Untuk tujuan ini, dapat direkomendasikan sebagai berikut: (1) Tampilan bangunan di sepanjang Jalan
Puputan dan Jalan Diponegoro dapat disederhanakan menjadi lebih modern, tetapi tetap serasi
dengan tampilan bangunan yang ada di Puri Smarapura; (2) Di sepanjang Jalan Untung Surapati dan
Jalan Puputan dilakukan pemunduran bangunan dengan berpedoman pada peraturan sempadan
jalan. Dengan pemunduran muka bangunan mampu menciptakan ruang terbuka linier yang memberi
kesan lapang, mempunyai nilai estetis, dan berfungsi sosial dan budaya sebagai area relaksasi dan
interaksi masyarakat dan wisatawan, sehingga citra puri di kawasan puri menjadi lebih menonjol dan
(3) Untuk bangunan di depan dan samping puri hingga radius 100 meter memiliki ketinggian
maksimal dua lantai, sehingga tidak menenggelamkan puri sebagai objek wisata.

Gambar 7. Penataan kawasan Puri Smarapura

Penunjang faslitas pariwisata, seperti parkir pengunjung, toilet, sirkulasi pejalan kaki dapat
direncanakan dan memanfaatkan fungsi yang sudah ada di sekitar puri: (1) Untuk parkir wisatawan
dipusatkan di sentral parkir di sebelah selatan puri; (2) Parkir keluarga puri dan penduduk saat
upacara agama atau adat di Puri Smarapura dipusatkan di Lapangan Puputan sebagai parkir
sementara; (3) Di Jalan Untung Surapati, dari Kantor Kejaksaan dijadikan bebas kendaraan, hanya
khusus untuk pejalan kaki, sehingga wisatawan dapat menikmati suasana keindahan puri dengan
aman dan nyaman; dan (4) Untuk Jalan Puputan, jalur pejalan kaki dimulai dari pertigaan menuju
Jalan Teratai, sehingga wisatawan dapat melihat-lihat dan berbelanja souvenir dan kerajinan lainnya
dengan aman.

Pasar tradisional yang terletak di sekitar puri dapat dipertahankan. Pasar tradisional ini berlangsung
tiga hari sekali dan berlokasi di pelataran Pasar Klungkung. Barang yang dijual merupakan
barangbarang produk lokal, seperti bumbu Bali, kuliner khas Bali, perabot rumah tangga, janur, dan
produk lokal lainnya. Pedagang berjualan di pelataran dengan luasan yang telah diatur,
menggunakan meja dan beratap anyaman bambu, sehingga keberadaan pasar tradisional ini dapat
menunjang citra Puri dan kawasan sekitarnya sebagai obyek wisata kota yang memiliki nilai sejarah.

Pola massa masih mempertahankan pola natah. Untuk penzoningan pada halaman puri, disesuaikan
dengan fungsi bangunan pada kondisi eksisting. Zona privat keluarga puri masih dipertahankan,
namun perlu ditambahkan beberapa fasilitas pendukung, baik untuk wisatawan maupun untuk
keluarga puri. Rekomendasi penataan kawasan sekitar Puri Smarapura dapat dilihat pada Gambar 7.

Kesimpulan

Konservasi Puri Smarapura merupakan upaya untuk mengembalikan puri ke keadaan semula
dikembalikan ke keadaan semula sehingga dapat berfungsi seperti semula Sebaiknya Namun
kesinambungan sejarah dan kesan kastil yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan yang sakral
harus dilestarikan tanpa membahayakan penyesuaian terhadap tuntutan kegunaan baru.
Perlindungan monumen melampaui bangunan dan tempat bersejarah nilai sejarah tetapi juga dalam
keadaan saat ini. Tindakan perlindungan juga harus diperhatikan faktor manusia dalam latar
belakang sosial, budaya dan ekonominya. Arah dan bentuk bangunan yang dikembangkan di sekitar
kastil masih bersifat lokal mempertimbangkan dampak estetika visual terhadap lingkungan,
termasuk detailnya. Struktur dan material bangunan diungkapkan secara jujur, dikembangkan dalam
tatanan arsitektural bangunan saat ini. Demikian pula ornamen dan dekorasi dapat disesuaikan
dengan karakter modern. Semua itu bertujuan untuk memperkuat citra puri sebagai cagar budaya
kota Semarapura.

Daftar Pustaka

Agung, T.G. (1985). Sejarah Hancurnya Istana Kerajaan Gelgel kemudian Timbul Dua Buah Kerajaan
Kembar Klungkung dan Sukawati. Denpasar: Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Antariksa. (2004). Pendekatan Sejarah dan Konservasi Perkotaan Sebagai Dasar Penataan Kota.
Jurnal PlanNIT. 2 (2) 98:112.

Antariksa.(2005). Permasalahan Konservasi Dalam Arsitektur dan Perkotaan. Jurnal Sains dan
Teknologi EMAS. 15 (1) 64-78.

Antariksa. (2007). Pelestarian Bangunan Kuno Sebagai AsetSejarah Budaya Bangsa. Pidato
Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Pelestarian Arsitektur Pada Fakultas
Teknik Universitas Brawijaya. Universitas Brawijaya Malang, 3 Desember 2007.

Antariksa. (2009). Makna Budaya dalam Konservasi Bangunan dan Kawasan. Tulisan tidak
terpublikasi.

Atmaja, J. (2003). Perempatan Agung, Menguak Konsepsi Pelemahan, Ruang, dan Waktu Masyarakat
Bali. Denpasar: Bali Media Adhikarsa.

Gelebet, I.N. (1982). Arsitektur Tradisional Bali. Denpasar: Depdikbud Daerah Bali.

Marquis-Kyle, P. & Walker, M. (1996) The Illustrated BURRA CHARTER. Making good decisions about
the care of important places. Australia: ICOMOS.
Rapoport, A. (1990). History and Precedent in Environmental Design. New York: Plenum Press.

Shirvani, H. (1985). The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold Company.

Yayasan Smarapura Cultural Heritage Trust (2005) Pelestarian Warisan Budaya Smarapura.
Klungkung: Yayasan Pelestarian Warisan Kebudayaan Smarapura

Anda mungkin juga menyukai