Anda di halaman 1dari 7

Konsep Kosmologi Jawa

Pemahaman mengenai kosmologi Jawa penting untuk mengetahui tata letak ataupun dasar penataan
wilayah yang membentuk beragam ruang. Ruang tersebut meliputi aspek pusat religi, sosial dan
administratif. Identifikasi konsep kosmologi Jawa yang dilakukan tentu akan mempermudah dalam
menganalisasi morfologi kewilayahan.

Kosmologi pada dasarnya adalah pemahaman mengenai ruang milik manusia, semakin manusia paham
akan ruangnya sendiri maka kehidupan manusia tersebut akan tentram. Tata ruang dalam kosmologi
jawa memiliki empat konsep, yakni mancapat, catur gatra tunggal, mancalima dan kiblat papat lima
pancer. Konsep mancapat dan mancalima merupakan konsep yang diatur berdasarkan tingkatan
klasifikasi sosial masyarakat. Masyarakat kelas atas akan menempati daerah yang dekat dengan pusat
kota, sedangkan masyarakat biasa pada umumnya tinggal di wilayah pinggiran. Sedangkan konsep kiblat
papat lima pancer dan catur gatra tunggal merupakan konsep yang menggambarkan keyakinan
masyarakat secara spiritual serta penggambaran mengenai kehidupan manusia.

A. Mancapat
Konsep mancapat dapat dipahami sebagai salah satu konsep untuk memahami pembagian
wilayah Keraton Kasunanan Surakarta. Elemen pertama dalam konsep ini adalah kedhaton atau
tempat tinggal Raja. Selain Raja, diperuntukkan pula bagi permaisuri maupun putra-putrinya.
Elemen yang kedua adalah paseban, yang berada di sekeliling kedhaton (saat ini dikenal sebagai
Kelurahan Baluwarti). Paseban menjadi kawasan untuk tempat tinggal abdi dalem yang bekerja
untuk Raja. Dalam konsep mancapat, elemen yang ketiga adalah Kuthanegara, yang merupakan
wilayah kota, di dalamnya terdapat beragam fasilitas kota serta lokasi yang dekat dengan istana
raja sehingga wilayah ini ditinggali oleh pejabat kerajaan. Pada sisi utara dan selatan kedhaton
terdapat alun-alun (wilayahnya lapang dan luas).
B. Mancalima
Konsep mancalima merupakan wilayah cakupan kekuasaan Keraton Kasunanan Surakarta.
Wilayah ini mencakup beberapa bagian yaitu negara, kuthanegara, negaragung, mancanegara
dan pasisir. Semua wilayah tersebut terbagi berdasarkan jarak dari pusat pemerintahan
(Keraton). Negara yang dimaksud adalah Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan ibukota
kerajaan dan menjadi pusat dari berbagai hal. Terdapat kedhaton, paseban, Masjid Agung, Alun-
alun dan Sitihinggil. Di luar wilayah negara terdapat kuthanegara, yang merupakan kawasan
pusat kota. Kawasan perkotaan di wilayah kuthanegara dibatasi oleh gapura sebagai penanda
wilayah yang berada di pinggiran kota Surakarta.
Terdapat wilayah negara agung yang merupakan wilayah inti kekuasaan yang letaknya
mengelilingi kerajaan dan berada di luar kuthanegara. Wilayah negara agung mencakup wilayah
Mataram (sekarang menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta), Pajang (bagian tenggara kota
Surakarta), Brang Wetan/ Sukowati (Sragen, Karanganyar), Bagelen (Purworejo), Kedu
(Karesidenan Kedu, mencakup Magelang, Kabupaten Magelang, Kabupaten Wonosobo dan
Kabupaten Kebumen) serta Bumi Gede (wilayah Barat Laut Kota Surakarta). 1
Wilayah terluar dari kekuasaan Keraton disebut mancanegara, wilayah ini dipimpin oleh seorang
Bupati yang dibawahi oleh Patih. Wilayah mancanegara terdapat dua bagian yaitu
1
Encyclopaedie van Nederlandsch-indie, 1905.
mancanegara wetan dan mancanegara kulon. Bagian terluar dari konsep mancalima adalah
wilayah pasisir yang merupakan daerah di pesisir utara pulau Jawa, meliputi Demak sampai
dengan batas paling timur kerajaan.
C. Catur Gatra Tunggal
Konsep catur gatra tunggal merupakan konsep tata letak bangunan berdasarkan penjuru mata
angin; Utara, Selatan, Timur dan Barat. Pada bagian timur Keraton terdapat pasar (Pasar Gedhe
Hardjonagoro) sebagai wadah untuk aktifitas jual beli dan tempat masyarakat dalam mencari
mata pencaharian. Pada sisi Barat, terdapat Masjid Agung yang berfungsi sebagai tempat ibadah
serta tempat penyebaran agama Islam di Surakarta, kemudian di sebelah Utara dan Selatan
terdapat Alun-alun yang berfungsi sebagai ruang terbuka.
Secara filosofis, konsep ini juga menggambarkan perjalanan hidup manusia. Mulai dari
keberadaan pasar sebagai simbol duniawi, alun-alun sebagai gambaran dari alunan kondisi hati
manusia yang terombang-ambing, masjid sebagai tempat berserah diri kepada Tuhan dan
keraton yang merupakan tempat tinggal raja sebagai tujuan akhir.
D. Kiblat Papat Lima Pancer
Pemilihan lokasi keraton tidak terlepas dari keyakinan masyarakatnya. Salah satunya adalah
keyakinan mengenai keberadaan penjaga spiritual yang berada di Utara, Selatan, Timur dan
Barat keraton. Diantaranya adalah Btari Durga di Alas Krendowahono, Ratu Kidul di Laut Selatan,
Kyai Sapujagad di Gunung Merapi dan Sunan Lawu di Gunung Lawu.
Ilustrasi Tata Ruang Berdasar Kosmologi Jawa

Sumber : Arnindya Afifah Urfan, Morfologi Pusat Pemerintahan Surakarta Berdasarkan Kosmologi Jawa
(2019)

Penampang Wilayah Kraton Dalam Peta


1821 1873

1932 1945

Alun-alun Utara
Dalam konteks arsitektur Keraton Surakarta, ajaran atau tuntunan hidup yang lazim disebut dengan
suluk yang berisi tentang sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan manusia) diterjemahkan dalam
urutan tata letak bangunan dalam kompleks Keraton Surakarta dari Utara ke Selatan dan sebaliknya.
Urutan tata letak bangunan dari Utara ke Selatan merupakan gambaran sangkan paraning dumadi
(tujuan manusia). Sementara itu, arah sebaliknya, dari Selatan ke Utara merupakan gambaran dari
sangkaning dumadi (asal manusia).

Alun-alun Utara, bagian dari kompleks kraton yang secara fisik menjadi gambaran kehidupan duniawi
manusia dalam konteks sangkan paraning dumadi. Dimulai dari tahapan kelahiran atau dimulainya
kehidupan manusia di dunia yang diwujudkan dengan Gapura Gladhag. Gapura ini dianggap sebagai
lambang “gua garba” seorang ibu untuk melahirkan seorang anak ke dunia. Oleh karenanya, keberadaan
gapura ini dimaksudkan menjadi pengingat manusia untuk selalu berbakti kepada orang tua yang telah
berperan besar terhadap lahirnya seseorang di dunia.

Narasi filosofis dari alun-alun tidak berhenti sampai dengan pesan tersebut saja. Selanjutnya, sebelum
akhirnya sampai pada kesempurnaan hidup yang didambakan, tumbuh kembang seorang anak menuju
pada kehidupan dewasa bukanlah tanpa tantangan, tetapi begitu banyak cobaan, ujian ataupun godaan.
Keadaan seperti ini digambarkan dalam perwujudan Alun-alun Utara. Pilihan jalan hidup terbentang, di
mana sisi kehidupan religious atau keagamaan diwakili dengan keberadaan Masjid Agung. Sisi kehidupan
materin yang sarat dengan pemenuhan nafsu selera diwakili oleh keberadaan pasar dan ujian terhadap
kerasnya kehidupan yang selalu menghadang tercermin dari hamparan tanah rata yang luas (dahulu
berpasir) di Alun-alun Utara. Panas terik pada siang hari dan air hujan yang mengguyur harus dirasakan
tanpa bisa dihindari oleh siapapun. Demikianlah gambaran ujian, cobaan dan godaan yang harus dapat
diatasi oelh manusia yang telah bertekad mencapai kesempurnaan dalam hidup yang disimbolkan oleh
Alun-alun Utara.

Wilayah Alun-alun Utara yang dimulai dari Gapura Gladag sampai dengan batas wilayah keraton inti
merupakan gambaran dari kehidupan manusia yang penuh dengan perjuangan dalam menghadapi
segala ujian, cobaan dan godaan duniawi. Perwujudan Gapura Gladag merupakan simbol ajaran langkah
pertama dalam usaha seseorang untuk mencapai tujuan ke arah manunggaling kawula Gusti. Kawasan
Gapura Gladag secara menyeluruh mengandung makna simbolik bahwa seseorang yang akan
melaksanakan keutamaan lahir dan batin dapat menguasai hawa nafsu pribadinya yang menyerupai
nafsu hewani untuk menuju derajat manusia yang semakin tinggi dan pantas untuk tahapan
kesempurnaan hidup di dunia.

Alun-alun Utara yang merupakan halaman depan keraton, berukuran 300m tiap sisi, mempunyai
sepasang pintu depan yakni Kori Pamurakan dan Kori Gladhag. Kedua kori ini merupakan batas
gledhegan2 yang menghubungkan keraton dengan luar keraton. Di sisi timur laut dan barat daya
terdapat pintu samping: Kori Gledheg Wetan menuju ke kampung Bathangan dan Kori Gledheg Kulon
menuju kampung Slompretan. Tiga macam kori di alun-alun itu menunjukkan penerapan klasifikasi
dualisme dengan satu di pusat yang berkedudukan lebih daripada dua lainnya.

Pola tersebut juga berlaku pada pohon beringin yang ditanam di kanan dan di kiri jalan. Kondisi ini
seakan-akan membelah alun-alun menjadi bagian timur dan barat. Sepasang pohon beringin dari
Keraton Surakarta yang di tanam di tengah Alun-alun (1746), diapit oleh dua pasang pohon beringin

2
Gledhegan atau gledheg berarti pintu.
lainnya; sepasang berada di sebelah selatan, di dekat meriam-meriam di depan Pagelaran, dan sepasang
lainnya di sebelah utara, di dekat Kori Pamurakan.3

Beringin Dewadaru dan Jayadaru kemudian diberi pagar besi bersegi delapan. Kedua pohon ini
melambangkan loroning atunggal,4 dua unsur yang berjarak tetapi merupakan persatuan yang sulit
dipisahkan. Ruang di antara dua buah pohon itu dianggap keramat, dan hanya raja, yang berkedudukan
sebagai wakil persatuan dua unsur itu, bebas melalui ruang tersebut. Sekeliling alun-alun terdapat
pohon beringin dalam jumlah banyak dan di tepi sebelah utara serta timur terdapat deretan bangsal
yang fungsinya mengikuti perkembangan kerajaan. 5 Bangsal di sebelah kanan dan kiri Kori Pamurakan
disebut Bangsal Pamurakan, tempat membagi surat tugas oleh abdi dalem yang jaga. Pada waktu hujan
tempat tersebut kerap penuh dengan kereta yang pemiliknya sedang menghadap di kraton.

Bangunan di sebelah timur Paseban Pamurakan Timur terdapat paseban Kepatihan, tempat untuk seba
pepatih dalem waktu Tratag-rambat belum dan sedang dibangun menjadi Pagelaran Sasanasumewa.
Selanjutnya, di sudut tenggara Alun-alun terdapat Bangsal Patalon 6 dan dan di sebelah selatannya
terdapat kendang macan, tempat harimau yang akan diadu. Pada sisi barat atau di sebelah utara Kori
Gledheg Kulon terdapat Masjid Agung. Paku Buwana II, IV, VII dan X besar sekali sumbangannya pada
pembangunan masjid itu, baik mengenai hal pembangunannya maupun dekorasinya. Sebuah catatan
dari Purwalelana, yang mengunjungi keraton pada 1877, mendapat kesan tidak ada yang menyamai
bagusnya. Pada 1905, Paku Buwana X mendirikan Sekolah Mamba’ul Ulum, bertempat di halaman
masjid. Sekolah ini mendidik calon abdi dalem yang mengurusi hal agama.

Alun-alun Selatan

Kawasan Alun-alun Selatan, yakni bagian kompleks Kraton Surakarta yang menjadi kehidupan setelah
kematian manusia di dunia. Kesunyian jauh dari gemerlapnyanya kehidupan dunia adalah simbolisasi
yang ingin disampaikan. Eksistensi kesunyian ini menjadi gambaran kehidupan manusia setelah mati.
Tidak ada lagi kemewahan yang didambakan. Tak ada lagi nafsu selera yang menuntut untuk dipenuhi.
Keadaan ini dalam terminology Jawa diungkapkan dengan istilah alam awang uwung (kosong). Dalam
keadaan demikian, manusia tidak memiliki harapan terhadap kehidupan yang s edang dijalaninya,
sehingga tidak ada lagi perbuatan yang dapat mengikatnya. Artinya, manusia berbuat tanpa melakukan
karena dalam perbuatannya tidak ada lagi kepentingan pribadi, tetapi berbuat karena berbuat. Dengan
demikian, seluruh perbuatannya semata-mata didorong oleh perbuatan bukan karena ingin melakukan
untuk mencapai tujuan pribadi.

Gambaran Alun-alun Selatan tidak begitu berbeda dengan Alun-alun Utara. Sitihinggil yang berada di
bagian selatan mirip sebuah pulau, dikelilingi oleh dua jalur jalan yang berawal dari Kori Gapit Selatan.
3
Sepasang di sebelah selatan disebut : Waringin Binatur (sebelah barat jalan) dan Waringin Gung (sebelah timur
jalan); yang di sebelah utara disebut Waringin Jenggot (di sebelah barat jalan) dan yang lain Waringin Wok. Kedua
pasang ini lebih kecil daripada pohon beringin kurung.
4
Loroning tunggal merupakan konsep pemikiran orang Jawa yang sudah tua sekali, berarti bersatunya kawula
gusti secara spiritual. Kawula berarti hamba, Gusti berarti tuan, dan juga berarti Tuhan.
5
Era Kasunanan Surakarta masih mempunyai daerah mancanagara, bangsal-bangsal itu dapat berfungsi, karena
hadirnya para abdi dalem wakil daerah mancanagara itu.
6
Patalon, diambil dari kata talu yang berarti gamelan yang dibunyikan, adalah tempat untuk membunyikan
gamelan setiap hari Sabtu
Bedanya, kalau orang melewati jalan ini dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan, ia dapat melihat
Sitihinggil dari dekat. Kedua jalur jalan ini kemudian mengarah ke tengah, ke arah selatan menuju ke
Kori Gadhing. Jalan ini seakan-akan membelah alun-alun menjadi bagian kiri dan kanan, atau timur dan
barat.

Sesuai dengan fungsinya, keadaan Paseban dan Alun-alun Selatan jauh lebih sederhana daripada di
sebelah utara. Sitihinggil tidak begitu tinggi, dan Bangsal Witana yang dibangun oleh Paku Buwana IV
tidak disertai empat bangsal lainnya, seperti yang terdapat pada Paseban Utara. Sepasang pohon
beringin di tengah alun-alun yang ditanam pada hari pertama ketika Paku Buwana II menempati Keraton
Surakarta, tidak diberi nama khusus.7 Sepasang pohon beringin kurung lainnya sebagai pangapit. Di tepi
alun-alun seperti halnya Alun-alun Utara, banyak terdapat pohon beringin.

Alun-alun Selatan, sebagai alun-alun pungkuran, berada dalam lingkup tembok keraton. Sebuah Kori
Gledheg di sebelah timur disebut Kori Gurawan. Menurut catatan Purwalelana bangunan di Alun-alun
Selatan pada masa pemerintahan Paku Buwana IX sudah rusak, demikian pula keadaan pagar bata yang
mengelilingi Alun-alun itu. Di sisi sebelah barat daya terdapat kendang gajah berisi seekor gajah betina.

Pada masa pemerintahan Paku Buwana X, di Sitihinggil Pengkeran juga ada yang seba, terutama pada
hari-hari besar pada waktu dilangsungkan upacara. Sebagai contoh, pada hari garebeg, yang caos dan
seba di Sitihinggil ini adalah para panewu dan mantri undhagi, tukang batu, pande serta bawahannya,
mantri pembubut dan pengukir serta bawahannya. Pada masa lampau, Alun-alun ini dipakai untuk
latihan perang para abdi dalem prajurit yang disaksikan oleh raja dan dilangsungkan pada setiap hari
Selasa dan Minggu pagi.

Kori Gadhing, yang terletak di tengah sisi paling selatan alun-alun selatan, merupakan pintu akhir
kompleks bangunan keraton. Berbeda dengan Kori Gladhag di utara, Kori Gladhag di utara, Kori Gadhing
dapat ditutup. Lewat kori ini jenazah sunan dan keluarga dekatnya dibawa menuju ke makam raja-raja di
Imogiri. Secara politis, setiap raja memiliki kewenangan untuk membangun wilayahnya pada masa
pemerintahaannya. Keraton terus mengalami perluasan dan pembangunan secara fisik. Pada tahun
1930-an, berarti usia keraton sudah mendekati 200 tahun, luas tanah yang didiami mencapai 350.000 m 2
dan dihuni oleh 5.474 jiwa orang. Di dalam kompleks keraton itu terdapat sekitar 200 buah bangunan
dengan beraneka macam bentuk, disesuaikan dengan fungsi bangunan itu.

7
Hanya diberi nama Wringin Sengkeran yang berarti Beringin Kurung

Anda mungkin juga menyukai