Anda di halaman 1dari 4

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Tata Ruang, Arsitektur dan Maknanya

Tweet
Share

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu aset kekayaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Keraton yang berlokasi di hutan Garjitawati, desa Beringin dan Pacetokan, ini mulai
dibangun pada tahun 1755, dan terus berlanjut hampir 40 tahun kemudian, selama masa
pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Di sinilah pusat perkembangan kebudayaan,
khususnya kebudayaan Jawa.

Luas Keraton mencapai kurang lebih 14.000 m2, dan terdiri dari 7 bagian. Mengapa 7? Ada satu
asumsi peninggalan agama Hindu, bahwa angka 7 merupakan angka yang sempurna. Hal ini juga
sesuai dengan prinsip kosmologi Jawa, bahwa dunia terdiri dari 3 lapisan, yaitu dunia atas,
tempat bersemayamnya para dewa dan supreme being; dunia tengah, tempat manusia; dan dunia
bawah, tempat dimana kekuatan-kekuatan jahat bersemayam. Dunia atas dan bawah masing-
masing terdiri dari 3 bagian, sehingga lapisan dunia ini pun menjadi 7 lapisan.

Ketujuh bagian (seven steps to heaven) Keraton adalah: Lingkungan I : Alun-alun Utara sampai
Siti Hinggil Utara Lingkungan II : Keben atau Kemandungan Utara Lingkungan III :
Srimanganti Lingkungan IV : Pusat Keraton Lingkungan V : Kemagangan Lingkungan VI :
Kemagangan Kidul (Kemagangan Selatan) Lingkungan VII : Alun-alun Selatan sampai Siti
Hinggil Selatan

Sembilan Gerbang = Sembilan Lubang di Tubuh Manusia

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki 9 buah gerbang/ pintu masuk, yang masing-
masing menghubungkan 9 pelataran yang ada di wilayah Keraton. Sembilan gerbang itu sendiri
melambangkan 9 buah lubang di tubuh manusia. Jika seseorang mampu menutup seluruh lubang
yang ada di tubuhnya, maka ia dianggap telah mencapai tingkat meditasi tertinggi.

Kesembilan gerbang itu adalah: 1. Gerbang Pangarukan 2. Gerbang Tarub Hagung 3. Gerbang
Brajanala 4. Gerbang Srimanganti 5. Gerbang Danapratapa 6. Gerbang Kemagangan 7. Gerbang
Gadung Mlati 8. Gerbang Kemandungan 9. Gerbang Plengkung Gading
Pola Konsentris Tata Ruang dan Makna Arsitektur Keraton

Kalau kita potret seluruh kompleks Keraton Yogyakarta, maka akan jelas terlihat bahwa semua
bagian di dalamnya membentuk suatu pola/tatanan yang konsentris. Dalam tatanan ini
kedudukan titik pusat sangat dominan, sebagai penjaga kestabilan keseluruhan tatanan.

Pada keraton-keraton Dinasti Mataram, keberadaan pusat ini diwujudkan dalam bentuk Bangsal
Purbayeksa/ Prabuyasa, yang berfungsi sebagai persemayaman pusat kerajaan dan tempat tinggal
resmi raja. Bangsal ini dikelilingi oleh pelataran Kedaton, kemudian berturut-turut adalah
pelataran Kemagangan, Kemandungan, Siti Hinggil, dan Alun-Alun pada lingkup terluar.

Lapisan Terluar

Pada lapisan ini terdapat Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan. Di Alun-alun Utara terdapat
Masjid Agung, Pekapalan, Pagelaran, dan Pasar, yang seluruhnya membentuk Catur Gatara
Tunggal. Sedangkan di Alun-alun Selatan, terdapat sebuah Kandang Gajah.

Satu ciri utama dari Alun-alun adalah, adanya dua buah pohon beringin bernama “Wok”, yang
berarti gadis. Di tengah Alun-alun juga ada dua pohon beringin, yang ditutupi oleh dinding.
Kedua pohon ini dinamakan “Supit-urang” (Supit artinya khitanan). Supit-urang itu
melambangkan bagian yang paling rahasia dari tubuh manusia. Itulah kenapa kedua pohon itu
ditutupi oleh dinding.

Alun-alun dibatasi oleh pohon Pakel dan Kuweni (keduanya adalah jenis mangga). Dalam
bahasa Jawa, Pakel sama artinya dengan akil-balik, yang melambangkan kedewasaan. Dan
Kuweni diambil dari kata ‘wani’ yang berarti berani.

Lapisan Kedua

Pada lapisan ini terdapat Siti Hinggil Utara dan Siti Hinggil Selatan. Dalam bahasa krama
hinggil, kata “siti” berarti tanah, dan “hinggil” berarti tinggi. Jadi secara harafiah Siti Hinggil
artinya adalah tanah tinggi. Tapi maksud sebenarnya adalah lokas dan posisi bangsal dengan
lingkungannya lebih tinggi dari bangsal-bangsal yang ada di sekitarnya.

Di Siti Hinggil Utara terdapat antara lain, Bangsal Witana dan Bangsal Manguntur, yang
digunakan sultan untuk upacara kenegaraan. Sedangkan di Siti Hinggil Selatan, kita akan
menemukan sebuah “bangsal” (ruangan terbuka), yang dipergunakan untuk kepentingan sultan
yang sifatnya lebih privat, seperti menyaksikan latihan keprajuritan, sampai adu macan dengan
manusia (rampogan) atau banteng. Di tengah-tengah bangsal tersebut terdapat “gilang”
(semacam pendopo), yang digunakan sebagai singgasana sultan. Siti Hinggil dikelilingi oleh
pohon gayam, melambangkan anak muda yang sedang jatuh cinta, merasa aman, dan bahagia.
Sementara bagian halamannya ditanami pohon mangga dan soka, yang memiliki bunga sangat
indah, dan melambangkan asal-usul manusia.
Siti Hinggil dikelilingi oleh jalan yang disebut “Pamengkang” (melambangkan kedua kaki
manusia). Pamengkang berasal dari kata “mekangkang”, yang berarti posisi kaki kita ketika
direntangkan melebar.

Lapisan Ketiga

Pada lapisan ini terdapat Pelataran Kemandungan Utara dan Pelataran Kemandungan Selatan,
yang merupakan ruang transisi menuju pusat. Kemandungan itu sendiri berasal dari kata
“ngandung” yang berarti kehamilan.

Pada Pelataran Kemandungan Utara kita akan menemukan salah satunya adalah Bangsal
Pancaniti, dan di Pelataran Kemandungan Selatan terdapat Bangsal Kemandungan. Secara
harafiah, Bangsal Pancaniti berarti memeriksa lima. Di sinilah Sultan melakukan pengadilan.
Bangsal ini juga digunakan oleh sebagian Abdi Dalem menunggu untuk menghadap Sultan.

Pada dinding sebelah kanan dan kiri Kemandungan ada dua buah pintu yang membawa kita
menuju lorong keluar. Keduanya melambangkan pengaruh negatif yang dapat membahayakan
seorang anak.

Bagian halaman Kemandungan ditanami oleh pohon Kepel, Cengkirgading, Pelem, dan Jambu
Dersana. Pemilihan jenis pohon ini juga bukan tanpa makna. Kepel berasal dari kata berbahasa
Jawa, “kempel” yang berarti bersatu. Cengkirgading adalah jenis kelapa yang paling indah, kecil,
dan berwarna kuning. Ia digunakan untuk upacara “nujuh bulan” (sebuah upacara ketika seorang
anak menginjak usia 7 bulan). Pelem berasal dari kata “gelem”, berarti saling pengertian.
Sedangkan jambu Dersana berasal dari kata “darsana” yang berarti hal terbaik dari seorang
manusia.

Lapisan Keempat

Di sebelah utara, kita akan menemukan Pelataran Srimanganti, tempat Sultan sering menerima
tamu yang tidak terlalu formal dan semi formal. Di wilayah ini terdapat antara lain Bangsal
Trajumas di sisi utara, dan Bangsal Srimanganti di sisi selatan, yang berfungsi sebagai ruang
tunggu untuk menghadap raja. Untuk masuk ke Pelataran Srimanganti, kita harus terlebih dulu
melewati Gerbang Srimanganti.

Di sebelah selatan lapisan ini terdapat Pelataran Kemagangan. Kemagangan berasal dari kata
berbahasa Jawa, “magang”, yang berarti kedatangan. Kalau kita berjalan dari arah selatan (Alun-
alun Selatan), maka untuk masuk ke dalam Pelataran Kemagangan ini kita harus melewati
Gerbang Gadung Mlati. Arti kata Gadung Mlati itu sendiri adalah bayi akan dilahirkan. Makanan
untuk bayi itu pun sudah disiapkan. Hal ini disimbolkan dengan keberadaan dapur Gebulen dan
Sekullanggen, di sisi kiri dan kanan pelataran.

Pusat Konsentrik

Pusat konsentrik dari tata ruang keraton adalah Pelataran Kedaton yang merupakan tempat paling
dalam dan keramat. Pelataran Kedaton merepresentasikan gunung keramat, tempat
bersemayamnya para dewa. Di pusatnya terdapat rumah segala pusaka milik Keraton,
Prabayeksa, dan Bangsal Kencana, tempat dimana Sultan bertahta dan memerintah sepanjang
tahun. Di tempat ini Sultan menerima tamu paling penting setara Residen dan Gubernur.

Di komplek ini jugalah Sultan dan keluarganya tinggal. Tempat tinggal Sultan kita kenal dengan
nama Gedong Jene, terletak di sebelah utara Kedaton.

Kedaton itu sendiri merupakan simbol kedewasaan pikiran dan jiwa seorang manusia. Bila kita
selalu bersikap baik dan melayani, berpikiran dan berhati baik, kita akan memperoleh segala
sesuatu sesuai dengan apa yang kita harapkan sesuai dengan cita-cita dan ambisi kita. Itulah
makna Kedaton.

Anda mungkin juga menyukai