Anda di halaman 1dari 9

Nilai Kearifan Lokal pada Bangunan Tradisional Jawa

A. Pura Mangkunegaran
Pura Mangkunegaran Surakarta adalah istana tempat kediaman Sri Paduka
Mangkunagara di Surakarta atau Solo. Istana ini dikelilingi bangunan tembok seluas 10.000
meter persegi. Pura Mangkunegaran terdiri dari 3 bagian utama, yaitu Pendopo Ageng,
Paringgitan, dan Dalem Ageng, ditambah bagian kediaman keluarga Mangkunegaran
(Pracimoyoso). Di bagian halaman Pura Mangkunegaran, terdapat lapangan rumput dengan
kolam berbentuk bulat di tengahnya. Halaman rumput ini merupakan bagian depan dari
bangunan Pendopo Ageng. Pendopo Ageng berbentuk joglo dengan luas 3.270 m² di mana tiang
utama (saka guru) terdiri atas 4 buah dengan tinggi 10,50 m dan besar 0,40 m x 0,40 m. Keempat
buah saka guru ini berasal dari satu pohon jati yang dibelah menjadi empat, yang didatangkan
dari hutan Donoloyo, Pacitan. Sedangkan tiang emper/penyangga terdapat tiga tiang
penyangga, di mana tiang penyangga I ada 12 buah masing-masing dengan tinggi 8,00 m dan
besar 0,26 m x 0,26 m. Tiang penyangga II ada 20 buah di mana masing-masing dengan 5,00
m dan besar 0,20 m x 0,20 m. Tiang penyangga III terdiri 28 buah, masing-masing dengan
tinggi 4,00 m dan besar 0,20 m x 0,20 m. Sedangkan tiang besi ada 44 buah dengan tinggi 3,75
m. Atapnya juga berupa lempengan kayu jati. Sedangkan dekorasi singa yang terdapat di pintu
depan didatangkan dari Berlin, marmer dibeli dari Italia, dan lampu-lampu yang tergantung
tinggi di atap pendopo didatangkan dari Eropa. Material pembuatannya terdiri dari 90% kayu
jati dan 10% metal.

Gambar 1 Pendopo Pura Mangkunegaran


Fungsi dari pendopo ini adalah sebagai tempat menerima tamu dan tempat pelaksaan
upacara adat. Di dalam pendopo terdapat sebanyak 3 macam perangkat gamelan, yaitu
pakurmatan (dimainkan sebagai pernghormatan atau penyambutan tamu), lipur sari (dimainkan
sebagai music penghibur), dan kanyut mesem. Perangkat gamelan tersebut sudah berusia lebih
dari 200 tahun. Di bagian atap pendopo terdapat lukisan “Kumudowati” (api yang menyala).
Ada berbagai macam warna yang terkandung di dalam lukisan itu, dan setiap warna memiliki
makna. Antara lain kuning (mencegah rasa kantuk, lelah atau penat), biru (mencegah bencana
dan musibah), hitam (mencegah rasa lapar), hjau (mencegah stres), putih (lambang erotisme),
merah (mencegah rasa kantuk), merah muda (mencagah sensitivitas), dan ungu (mencegah
adanya perasaan iri dengki atau tidak ikhlas). Di sebelah kanan pendopo terdapat Langen Projo
atau tempat untuk belajar kebudayaan Surakarta.

Gambar 2 Atap tumpang sari pendopo Pura Mangkunegaran

Tempat di belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama


Paringgitan, yang mempunyai tangga menuju Dalem Ageng. Fungsinya sebagai pementasan
wayang kulit dan menyambut tamu kehormatan. Arsitektur yang digunakan adalah Kutung
Ngambang. Di dinding beranda terbuka ini terdapat lukisan Mangkunegaran IX dan
permaisurinya. Lalu di belakang Paringgitan terdapat ruang tertutup yang bernama Dalem
Ageng. Fungsinya lebih diperuntukkan bagi keluarga raja dan tidak semua orang boleh masuk
ke dalam ruangan ini. Dalem Agung merupakan bangunan berbentuk limas dengan luas sekitar
838,75 meter persegi. Bangunan ini ditopang oleh delapan saka guru, masing-masing setinggi
sekitar 8,50 meter. Bagian langit-langit Dalem Agung tidak ditutupi plafon, sehingga usuk-usuk
kayu yang menjulur dari bubungan ke bagian tepi nampak seperti bulatan matahari dengan
julur-julur sinar.
Gambar 3 Paringgitan Pura Mangkunegaran

Di dalam Dalem Agung terdapat berbagai macam barang-barang klasik yang


dikumpulkan mulai tahun 1926 seperti perhiasan, senjata, pakaian, medali, perlengkapan
wayang, uang logam, gambar raja-raja Mangkunegaran dan benda-benda seni. Selain itu
terdapat pula barang-barang /ampilan/ (barang khusus untuk digunakan) untuk berbagai
pementasan tari, seperti Tari Bedaya, Srimpi, dan Langendriyan. Sebagian besar dari koleksi
benda-benda yang berasal dari emas dibeli di Surakarta dan Yogyakarta. Benda-benda itu telah
dicatat sepanjang ditemukan di wilayah dalam praja Mangkunegaran kebanyakan berasal dari
daerah sekitar Wonogiri, sesuai dengan penemuan prasasti di tahun 1933 yang berupa prasasti
tahun 903 M, mengenai perahu ferry yang bebas bea di Bengawan Solo di tempat yang sekarang
bernama Wonogiri. Sebagian lagi didapat ketika raja melakukan kunjungan ke luar negeri, raja
diberi souvenir sebagai bentuk kenang-kenangan yang akhirnya disimpan rapi dalam Dalem
Ageng yang sekarang menjadi museum. Di bagian tengah belakang ruangan ada sebuah tempat
duduk yang dulu digunakan oleh R.M. Said ketika dilantik menjadi raja. Di belakangnya
tergantung tirai kain putih yang di belakangnya terletak senthong kiwo dan senthong tengen,
tempat menyimpan harta benda keluarga dan meditasi untuk permaisuri. Di sebelah kiri tempat
duduk R.M. Said terdapat bendera kerajaan (Parianom) dan sebelah kanannya terdapat bendera
warna hitam (symbol perang). Tempat tinggal keluarga Mangkunegaran (Pracimoyoso) berada
di belakang Dalem Agung. Dahulu, antara pangeran dan putri Mangkunegaran tinggal di
bangunan yang terpisah. Pada bagian Timur disebut Bale Peni yang digunakan sebagai tempat
tinggal para pangeran, sedangkan pada bagian Barat disebut Bale Warni yang merupakan
tempat tinggal putri-putri Mangkunegaran. Tempat tinggal keluarga Mangkunegaran ini
nampak asri, dihiasi dengan halaman berumput dan patung-patung bergaya Eropa klasik. Di
kediaman raja terdapat ruang keluarga, ruang makan, ruang pertemuan. Di sepanjang beranda
terdapat foto-foto keluarga raja yang dipasang dalam bingkai. Di situ juga terdapat lemari untuk
menyimpan topeng-topeng koleksi Mangkunegaran. Koleksi topeng tersebut mencapai lebih
dari 1000 buah, penempatannya dikelompokkan berdasarkan karakternya. Topeng-topeng itu
terbuat dari material terbaik yaitu kayu pule atau miri. Koleksi topeng tradisional berasal dari
berbagai daerah di Indonesia, seperti Solo, Jogjakarta, Cirebon, Madura dan Bali. Beberapa
koleksi topeng juga didatangkan dari Cina.

Gambar 4 Bagian belakang Pura MAngkunegaran

Selain Pendopo Ageng, Paringgitan, Dalem Ageng dan kediaman raja, di Pura
Mangkunegaran juga terdapat Rekso Pustoko, yaitu perpustakaan yang didirikan pada 1867
oleh KGPAA Mangkunegara IV. Rekso Pustoko sendiri bermakna merawat buku (rekso =
merawat, pustoko = buku), sehingga pendirian perpustakaan ini dimaksudkan sebagai upaya
istana untuk menjaga khazanah keilmuan yang berkembang di Pura Mangkunegaran.
Perpustakaan Rekso Pustoko menyimpan koleksi sekitar 20.000 buku sejak masa
Mangkunegaran I hingga Mangkunegaran IX. Perkembangan pesat koleksi perpustakaan
pernah terjadi pada masa KGPAA Mangkunegaran VII, di mana tambahan koleksi tidak hanya
berasal dari buku-buku beraksara Jawa, melainkan pula buku-buku latin berbahasa asing,
seperti bahasa Perancis, Inggris, Jerman, dan Belanda.

B. Masjid Agung Solo


Bentuk bangunan Masjid Agung Surakarta menyerupai Masjid Agung Demak. Dengan
atap berbentuk atap limasan bersusun. Di dalam ruang sholat utama berdiri kokoh empat soko
guru dan 12 saka rawa. Arsitekturnya mengandung filsafat Islam. Atap-atap masjidnya sarat
dengan makna. Atap pertama (bagian terbawah) yang lebar, mengandung makna bahwa dalam
hidup ini kita harus dapat ngayomi (melindungi) umat menjalankan perintah agamanya. Atap
kedua yang agak sempit bermakna bahwa perlindungan terhadap umat pilihan yang
JUMLAHNYA SEDIKIT, artinya sudah menuju jalan kesempurnaan. Sedangkan atap ketiga
yang teratas melambangkan ilmu hakekat, yaitu gambaran bagi umat yang paling atas
tingkatannya yaitu KEKASIH ALLAH atau “mukhibbin”. Mereka ini orang yang benar-benar
“muttaqien” menjauhi larangan dan menjalankan segala perintah Allah SWT. Secara
keseluruhan Masjid Agung Surakarta ini terdiri dari beberapa bagian yaitu : Serambi, yang
mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya
membentuk kuncung. Pawestren, (tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah, Tempat
berwudhu, Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan
sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten
(Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW).

Gambar 5 Masjid Agung Surakarta

Istal dan garasi kereta untuk raja ketika Salat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan
dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta. Gedung PGA Negeri,
didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X (1914) dan menjadi milik kraton. Menara Adzan,
mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928. Gedang
Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi
masjid Agung. Mastaka atau mahkota atap masjid baru dibangun semasa pemerintahan Sri
Susuhunan Pakubuwana IV. Awalnya mastaka dibuat dari lapisan emas murni seberat 7,68 kg
seharga 192 ringgit (kini sudah diganti dengan bahan metal). Bentuknya berbeda dengan
masjid- masjid lain yang biasanya berhiaskan bulan sabit dan sebuah bintang. Kubah dan
mastaka Masjid Agung Surakarta berbentuk paku yang menancap di bumi. Itulah simbol dari
"Pakubuwana", yang berarti "Penguasa Bumi"

Gambar 6 Serambi Masjid Agung Surakarta


Pagar tinggi dibangun mengelilingi masjid ini dengan pintu gerbang di depan dan dua
pintu samping kanan dan kiri dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858.
Bangunan masjid dibuat secara berurut dengan elevasi (pembedaan tinggi) lantai dan
keluasannya yaitu : teras, serambi, ruang utama. Secara umum bentuk yang muncul adalah
wujud arsitektur Jawa. Ruang utama berdenah persegi empat dengan sisi yang hampir sama
dengan 4 (empat ) soko guru berbentuk silinder dilengkapi 12 penanggap. Blandar dibuat secar
polos dengan hiasan saton pada plafonnya. Pagar tinggi dibangun mengelilingi masjid ini
dengan pintu gerbang di depan dan dua pintu samping kanan dan kiri dibangun pada masa
Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858. Bangunan masjid dibuat secara berurut dengan elevasi
(pembedaan tinggi) lantai dan keluasannya yaitu : teras, serambi, ruang utama. Secara umum
bentuk yang muncul adalah wujud arsitektur Jawa. Ruang utama berdenah persegi empat
dengan sisi yang hampir sama dengan 4 (empat ) soko guru berbentuk silinder dilengkapi 12
penanggap. Blandar dibuat secara polos dengan hiasan saton pada plafonnya. Sedangkan dari
serambi utama ke ruang sholat utama terdapat 7 buah pintu. Motif floral diterapkan pada 3 pintu
utama di tengah, 2 bermotif flora dan sisanya 2 pintu dibuat polos. Secara keseluruhan finishing
ruang didominasi dengan warna biru laut yang diterapkan pada bagian-bagian yang terbuat
dari kayu. Seluruh pilar dan bahan bangunan masjid ini menggunakan kayu jati yang sudah
sangat tua dari hutan Donoloyo (Alas Donoloyo).

Gambar 7 Ruang utama (ruang sholat) masjid Agung Surakarta

Masjid Agung Surakarta ini dihias dengan cukup indah menggunakan berbadai ragam
ubin hias, jika dihitung, terdapat 20 jenis ragam hias pada bahan ubin yang digunakan baik di
bagian luar dan bagian dalam. Untuk di bagian luar hingga kini masih terpelihara dengan baik,
sedangkan yang bagian dalam sudah digantikan dengan marmer putih dan disisakan beberapa
lembar saja di bagian sudut tenggara ruang sholat utama. Sebenarnya jenis ragam hias itu juga
terdapat di bangunan-bangunan di dalam keraton atau rumah-rumah saudagar kaya di sekitar
keraton hingga Laweyan. Namun untuk disatukan dalam upaya memperindah ruang-ruang di
masjid, hanya pada masjid inilah kita temukan.
Gambar 8 Motif ubin hias pada serambi masjid Agung Surakarta

C. Ndalem Sasono Mulyo


Dalem Sasono Mulyo diperuntukkan bagi para Putra Raja. Bangunan ini didirikan pada
masa pemerintahan PB IV. Bangunan Ndalem Sasono Mulyo memiliki kelengkapan bagian-
bagian bangunan Jawa, terdiri dari 4 (empat) unsur yang biasa terdapat pada rumah tradisional
Jawa, yaitu Pendopo, Pringgitan, Ndalem dan Gandhok. Bangunan Pendopo berupa joglo
dengan 36 saka. Adapun pringgitan bercirikan atap limasan dengan 8 saka. Tiang/ saka pada
bangunan ini memiliki penampilan khas karena dibuat dengan cara bukan diketam melainkan
di’pethel’/ditatal/dikampak. Selain kelengkapan bangunan tradisional bangunan dilengkapi
pula pavilion dengan tampilan arsitektur kolonial. Secara keseluruhan bangunan mewakili
produk arsitektur era tradisional Jawa murni Keraton jika ditinjau dari aspek tata ruang, tampak
bangunan, elemen bangunan dan bahan bangunan. Dalam perkembangannya bangunan
menggambarkan proses intervensi unsur arsitektur barat dalam arsitektur tradisional Jawa,
diantaranya ornamen pintu utama dan topengan pada kanopi.

Gambar 9 Ndalem Sasono Mulyo Surakarta

Didirikan pada tahun 1811 pada waktu pemerintahan PB IV. Bangunan rumah Jawa ini
terdapat topengan pada bagian depan menjadi satu dengan Pendapadan disebelah kanan
terdapat loji yang dibangun lebih awal.Sampai saat ini kondisi bangunan masih terawat baik
interior maupun eksteriornya. Preservasiyang dilakukan diantaranya dengan melakukan
pengecatan pada bagian kayu maupun dinding temboknya. Untuk menghindari kebocoran yang
dapat merusak bangunan digunakan atap seng bergelombang kemudian dicat meni anti karat
warna merah.Topenganmerupakan ruang terbuka tanpa dinding, dengan empat pilar penyangga
berukuran penampang 25 x 25 cm dan tinggi 4 m. Ruang dengan luas 3 x 5m ini pada bagian
ceilingmenggunakan lambersering kayu jati degan lebar tiap papan 10 cm. Di tengah-tengah
terdapat ornamen ukiran kayu jenis krawang berbentuk lingkaran dengan motif
flora.Pendapaterdapat 35 pilar empat diantaranya soko guru berdiri tegak menyangga
konstruksi tumpang sari. Ukuran penampang tiang soko guru 30 x 30 cm lebih besar dibanding
tiang-tiang lain yang mengelilinginya yaitu 22,5 x 22,5 cm. Lantai menggunakan tegel 30 x 30
cm sampai ke pringgitan. Ceiling memperlihatkan susunan usuk yang tertata rapi mengarah ke
pusat atap dengan seimbang. Pringgitan ada 4 pilar penyangga dengan ukuran 20 x 20 cm.
Disini terdapat 3 pintu menuju ruang dalemdan 4 pintu lain masing-masing 2 kiri dan kanan
ruangan. Piring-piring cinadan cermin kaca besarpada dinding kiri dan kanan sebagai unsur
dekoratif ruangan. Dalem suasananya lebih privasi, banyak atribut-atribut keluarga seperti figur
raja, keluarga dalam bentuk lukisan, foto maupun mozaik terpampang di dinding-dinding
ruangan. Ada 8 pilar penyangga atap ruangan dengan struktur sama seperti ruangan pendapa.
Lantai juga dari bahan tegel dengan level lebih tinggi 40 cm dari lantai pendapamaupun
pringgitan.

Gambar 10 Bagian Pendopo dan ndalem (ruang tengah)

Gambar 11 Denah Ndalem Sasono Mulyo


DAFTAR PUSTAKA

http://surakarta.go.id/?p=6239
https://docplayer.info/50568551-Interior-dalem-sasono-mulyo-dan-purwodiningratan-
surakarta-dikaji-dalam-konteks-konservasi.html
https://www.scribd.com/doc/242744881/ANALISIS-PENDHAPA-NDALEM-SASONO-
MULYO
https://www.scribd.com/doc/267943895/Makalah-Masjid-Agung
https://www.scribd.com/document/388829225/Dokumentasi-dan-Penelitian-Masjid-Ageng-
Surakarta-R1-docx

Anda mungkin juga menyukai