Anda di halaman 1dari 28

Sejarah

Keraton Kasepuhan berisi dua komplek bangunan bersejarah yaitu Dalem Agung Pakungwati
yang didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran Cakrabuana[2][3][4][5] dan komplek keraton
Pakungwati (sekarang disebut keraton Kasepuhan) yang didirikan oleh Pangeran Mas Zainul
Arifin pada tahun 1529 M [6]. Pangeran Cakrabuana bersemayam di Dalem Agung
Pakungwati, Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama 'Keraton Pakungwati. Sebutan
Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang
menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang
Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama dia diabadikan dan dimuliakan oleh nasab
Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama
Keraton Kasepuhan.[7]

Tata letak dan Arsitektur

Foto Siti Inggil Kraton Kasepuhan pada sekitar tahun 1920 hingga 1933 yang diambil oleh
juru kamera Georg Friedrich Johannes Bley

| Unduh peta tata letak keraton Kasepuhan

Keraton Kasepuhan merupakan salah satu dari bangunan peninggalan kesultanan Cirebon
yang masih terawat dengan baik, seperti halnya keraton-keraton yang ada di wilayah Cirebon,
bangunan keraton Kasepuhan menghadap ke arah utara .

Di depan keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama
alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada
hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan dan juga sebagai titik pusat tata
letak kompleks pemerintahan keraton. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan juga
pentas perayaan kesultanan lalu juga sebagai tempat rakyat berdatangan ke alun-alun untuk
memenuhi panggilan ataupun mendengarkan pengumuman dari Sultan.

Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya
dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar --
sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya.

Model bentuk keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan
pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model tata letak keraton pada
masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak
diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan
terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.

Gerbang depan keraton

Keraton Kasepuhan memiliki dua buah pintu gerbang, pintu gerbang utama keraton
Kasepuhan terletak di sebelah utara dan pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks.
Gerbang utara disebut Kreteg Pangrawit (bahasa Indonesia: jembatan kecil) berupa jembatan,
sedangkan di sebelah selatan disebut Lawang sanga (bahasa Indonesia : pintu sembilan).
Setelah melewati Kreteg Pangrawit akan sampai di bagian depan keraton, di bagian ini
terdapat dua bangunan yaitu Pancaratna dan Pancaniti.

Bangunan Pancaratna berada di kiri depan kompleks arah barat berdenah persegi panjang
dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai
yang lebih tinggi dan 12 tiang pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari
bahan genteng, pada puncaknya terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat
seba atau tempat yang menghadap para pembesar desa yang diterima oleh Demang atau
Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar terali besi.

Pancaniti berarti jalan atasan, merupakan pendopo sebelah timur yang merupakan tempat
para perwira keraton melatih para prajurit ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-
alun dan sebagai tempat pengadilan. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai tegel.
Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah mendukung atap
sirap. Bangunan ini memiliki pagar terali besi

Area Siti Inggil

Bangunan Mande Pengiring (tempat duduk bagi para pengiring Sultan) pada kompleks
keraton Kasepuhan

Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi
dengan tembok bata kokoh di sekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam
bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan
namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman
Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai.
Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil
memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara
bernama Gapura Adi dengan ukuran 3,70 x 1,30 x 5 m sedangkan di sebelah selatan bernama
Gapura Banteng dengan ukuran 4,50 x 9 m, pada sisi sebelah timurnya terdapat bentuk
banteng. Pada bagian bawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta
Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.

Saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara
komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami
pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan
porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M.

Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan
fungsi tersendiri.

Mande Malang Semirang, bangunan utama yang terletak di tengah dengan jumlah
tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan
keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah
SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau
melihat pelaksanaan hukuman.
Mande Pendawa Lima, bangunan di sebelah kiri bangunan utama dengan jumlah tiang
penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para
pengawal pribadi sultan.
Mande Semar Tinandu, bangunan di sebelah kanan bangunan utama dengan 2 buah
tiang yang melambangkan sua kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat
penasehat Sultan/Penghulu.
Mande Pengiring, bangunan di belakang bangunan utama yang merupakan tempat
para pengiring Sultan
Mande Karasemen, bangunan disebelah mande pangiring, tempat ini merupakan
tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih
digunakan untuk membunyikan gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya
dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha.

Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang berasal dari budaya
Hindu bernama Lingga Yoni yang merupakan lambang dari kesuburan (Lingga berarti laki-
laki dan Yoni berarti perempuan) dan bangunan Pengada yang berada tepat di depan gerbang
Pengada dengan ukuran 17 x 9,5 m yang berfungsi sebagai tempat membagikan berkat dan
tempat pemeriksaan sebelum menghadap raja dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti
Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.

Area Tajug Agung


Tajug Agung (mushola agung) Keraton Kasepuhan dengan pos Bedug Samogiri di sebelah
kiri

Pada batas antara area siti inggil dengan halaman tajug agung (bahasa Indonesia : mushola
agung) dibatasi oleh tembok bata. Pada tembok bata bagian utara terdapat dua gerbang yaitu
Regol Pengada dan gapura lonceng.

Regol Pengada merupakan pintu gerbang masuk ke halaman selanjutnya dengan ukuran
panjang dasar 5 x 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan batu dan daun
pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah timur Gerbang Pangada dengan
ukuran panjang dasar 3,10 x 5 x 3 m. Gerbang ini berbenduk kori agung (gapura beratap)
menggunakan bahan bata. Area Tajug Agung ini terbagi dua yaitu halaman Pengada dan
halaman Tajug Agung yang keduanya dipisahkan dengan tembok yang rendah.

Halaman Pengada berukuran 37 x 37 m, berfungsi untuk memarkirkan kendaraan


atau menambatkan kuda pada masa lalu. Di halaman ini dahulu ada sumur untuk
memberi minum kuda.
Halaman Tajug Agung berukuran 37 x 17 m, merupakan halaman di mana terdapat
bangunan Tajug Agung. Bangunan Tajug Agung menghadap ke arah timur.

Bangunan utama Tajug Agung berukuran 6 x 6 m dengan luas teras 8 x 2,5 m. Bagian
terasnya berdinding kayu setengah dari permukaan lantai sementara setengah bagiannya lagi
diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok, mihrabnya
berbentuk melengkung berukuran 5 x 3 x 3 m. Di dalam mihrab terdapat mimbar terbuat dari
kayu berukuran 0,90 x 0,70 x 2 m. Atap Tajug Agung merupakan atap tumpang dua dengan
menggunakan sirap (bahasa Cirebon : Tiritisan). Konstruksi atap disangga 4 tiang utama.
Tajug Agung ini berfungsi sebagai tempat ibadah kerabat keraton. Bangunan Tajug Agung
dilengkapi pula dengan Pos / tempat bedug Samogiri.

Pos bedug Samogiri yang berada di depan Tajug Agung dan menghadap ke timur ini
berdenah bujursangkar berukuran 4 x 4 m yang di dalamnya terdapat bedug. Pos bedug ini
dibangun tanpa dinding dan atap berbentuk limas, penutup atap didukung 4 tiang utama dan 5
tiang pendukung.[8]

Area utama keraton Kasepuhan


Bangunan Lunjuk pada area utama keraton Kasepuhan, berfungsi untuk melayani tamu,
mencatat serta melaporkan kepentingannya kepada Sultan

Area utama keraton Kasepuhan merupakan area yang berisikan bangunan induk keraton
Kasepuhan serta bangunan penunjang lainnya, antara area utama keraton dengan area Tajug
Agung dibatasi tembok dengan gerbang berukuran 4x 6,5 x 4 m. Gerbang tersebut dilengkapi
dua daun pintu terbuat dari kayu, jika dibuka dan ditutup akan berbunyi maka disebut pintu
gledeg (bahasa Indonesia : guntur). Di dalam area utama keraton ini terdapat beberapa
bangunan diantaranya ;

Taman Dewandaru, berukuran 20 m2, Taman ini dikenal dengan nama taman
Bunderan Dewandaru karena bentuknya yang melingkar, filosofi dari taman ini
adalah bentuknya yang bulat melingkar tanpa terputus mengartikan keseluruhan,
nama Dewandaru / Dewadaru yang merupakan bahasa Cirebon dapat diartikan
sebagai | Pinus Dewadaru dalam bahasa Indonesia, pohon Pinus Dewadaru sendiri
terkait dengan kisah Rahwana yang menculik dewi Shinta dan bersembunyi di dalam
hutan-hutan gelap yang banyak ditumbuhi pohon Lodra, Padmaka dan Dewadaru. Di
dalam tradisi hindu, hutan yang banyak ditumbuhi pohon Dewadaru biasa digunakan
para petapa untuk memohon berkah Siwa. Namun dalam persfektif Cirebon makna
Taman Dewandaru yang berbentuk lingkaran adalah sebagai sebuah pangeling
(bahasa Indonesia : pengingat) agar manusia selalu mencari mereka yang masih
tinggal didalam kegelapan lalu membawanya keluar dari sana menuju jalan yang
terang yang diberkahi Allah swt. Pada taman ini juga terdapat pohon Soko (lambang
suka hati), dua buah patung macan putih (lambang keluarga besar Pajajaran), meja
dan dua buah bangku serta sepasang meriam yang dinamakan meriam Ki Santomo dan
Nyi Santoni
Museum Benda Kuno, berbentuk huruf "E" dan berada di sebelah barat taman
Dewandaru berfungsi sebagai tempat penyimpanan benda kuno kesultanan
Kasepuhan
Museum Kereta, berukuran 13,5 x 11 m dan berada di sebelah timur taman
Dewandaru berfungsi sebagai tempat penyimpanan kereta kencana kesultanan
Kasepuhan
Tugu Manunggal, batu berukuran pendek sekitar 50 cm, dikelilingi pot bunga
melambangkan Allah swt yang satu.
Lunjuk, berukuran 10 x 7 m, berada di sebelah Tugu Manunggal berfungsi melayani
tamu dalam mencatat dan melaporkan urusannya menghadap raja.
Sri Manganti, berbentuk bujursangkar, berada di sebelah tugu manunggal. Bangunan
ini terbuka tanpa dinding, atap berbentuk joglo dengan genteng dan didukung dengan
4 tiang saka guru, 12 tiang tengah dan 12 tiang luar. Langit-langit dipenuhi ukiran-
ukiran yang berwarna putih dan coklat. Bangunan ini berfungsi sesuai dengan
namanya yaitu sebagai tempat menunggu keputusan raja.
Bangunan induk keraton, merupakan tempat Sultan melakukan kegiatan kesultanan.

Bangunan induk keraton

Kutagara Wadasan dan Kuncung yang dibangun oleh Sultan Sepuh I Syamsudin
Martawidjaja pada tahun 1678

Bangunan Induk keraton, Bangunan induk keraton merupakan tempat Sultan melakukan
kegiatan kesultanan, di dalam bangunan ini terdapat beberapa ruangan dengan fungsi yang
berbeda, diantarannya :

Kutagara Wadasan, berukuran lebar 2,5 m dan tinggi 2,5 m, dibangun oleh Sultan
Sepuh I Syamsudin Martawidjaja pada tahun 1678. Kutagara Wadasan adalah gapura
yang bercat putih dengan gaya khas Cirebon, gaya Cirebon tampak pada bagian
bawah kaki gapura yang berukiran wadasan dan bagian atas dengan ukiran mega
mendung. Arti ukiran tersebut seseorang harus mempunyai pondasi yang kuat jika
sudah menjadi pimpinan atau sultan harus bisa mengayomi bawahan dan rakyatnya.
Kuncung, berukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 m dibangun oleh Sultan Sepuh I Syamsudin
Martawidjaja pada tahun 1678 yang digunakan parkir kendaraan sultan.
Jinem Pangrawit, berfungsi sebagai tempat Pangeran Patih dan wakil sultan dalam
menerima tamu, nama Jinem Pangrawit berasal dari kata jinem (bahasa Indonesia :
tempat tugas) dan Pangrawit / Rawit (bahasa Indonesia : kecil dan bagus), berlantai
marmer, dinding tembok berwarna putih dan dihiasi keramik Eropa. Atap didukung 4
tiang saka guru kayu dengan umpak beton.
Gajah Nguling, dibangun oleh Sultan Sepuh IX Radja Sulaeman pada tahun 1845,
yaitu ruangan tanpa dinding dan terdapat 6 tiang bulat bergaya tuscan setinggi 3 m.
Lantai tegel dan langit-langit berwarna hijau, sesuai dengan namanya, bentuk ruangan
ini mengambil bentuk gajah yang sedang nguling (menguak) dengan belalainya yang
bengkok sehingga ruangan ini tidak memanjang lurus tapi menyerong dan kemudian
menyatu dengan bangsal Pringgandani, ruangan ini dibuat agar musuh tidak langsung
lurus menuju sultan.
Bangsal Pringgandani, berada di sebelah selatan ruangan Gajah nguling. Ruangan
ini memiliki 4 tiang utama segi empat berwarna hijau yang berfungsi sebagai tempat
menghadap para abdi dan dapat juga dipakai sebagai tempat sidang warga keraton
sewaktu-waktu.
Bangsal Prabayasa, berada di selatan bangsal Pringgandani. Prabayasa berasal
dari kata praba artinya sayap dan yasa artinya besar berarti bahwa Sultan melindungi
rakyatnya dengan kedua tangannya yang besar. Pada dinding ruangan bangsal
Prabayasa juga terdapat relief yang diberi nama Kembang Kanigaran (bahasa
Indonesia : lambang kenegaraan) yang dimaksudkan sebagai pangeling (bahasa
Indonesia : pengingat) bahwa Sultan dalam pemerintahannya harus welas asih pada
rakyatnya.
Bangsal Agung Panembahan, dibangun bersamaan dengan bangunan keraton
sewaktu masih bernama keraton Pakungwati tahun 1529, merupakan ruangan yang
berada di selatan dan satu meter lebih tinggi dari bangsal Prabayaksa. Fungsinya
sebagai singgasana Gusti Panembahan.
Pungkuran, berasal dari bahasa Cirebon pungkur (bahasa Indonesia : halaman
belakang rumah) merupakan ruangan serambi yang terletak di belakang keraton.
Kaputran, berada di sebelah timur Bangsal Pringgandani, berfungsi sebagai tempat
tinggal para putra
Kaputren, berada di sebelah barat Bangsal Pringgandani, berfungsi sebagai tempat
tinggal para putri yang belum menikah
Dapur Maulud, berada di depan Kaputren (bahasa Indonesia : tempat para putri)
menghadap timur, berfungsi sebagai tempat memasak persiapan peringatan Maulid
Nabi SAW.
Pamburatan, berada di selatan Kaputren. Pamburatan / Burat berasal dari bahasa
Cirebon (bahasa Indonesia : membuat boreh atau bubuk), Pamburatan berfungsi
sebagai tempat mengerik kayu-kayu wangi (kayu untuk boreh) untuk kelengkapan
selamatan Maulud Nabi SAW.

Keraton Kasepuhan menjadi inspirasi Mataram

Atap pada museum Sonobudoyo yang terinspirasi dari atap Limasan Lambang-teplok milik
Masjid Agung Sang Cipta Rasa

Keraton Kasepuhan yang dibangun oleh Pangeran Mas Zainul Arifin pada tahun 1529 dan
dahulu dinamakan keraton Pakungwati ini telah memberikan inspirasi bagi kesultanan
Mataram dalam membangun keraton dan bangunan penunjangnya, menurut Yuwono Suwito
( anggota tim ahli cagar budaya dan dewan pertimbangan pelestarian warisan budaya provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ) inspirasi yang diambil oleh Mataram dari bentuk
arsitektur keraton Kasepuhan salah satunya adalah arsitektur dari Siti Inggil keraton
Kasepuhan yang diadopsi oleh Sultan Agung Mataram dengan membuat Siti Inggil bagi
keraton Mataram di Yogyakarta. Pada prosesnya, Siti Inggil keraton Kasepuhan dijadikan
dasar acuan pembuatannya.[9]

Beberapa arsitektur Keraton Kasepuhan Cirebon yang diadopsi oleh Keraton
Yogyakarta, dikarenakan Keraton Cirebon jauh lebih tua dibandingkan dengan
Keraton Yogyakarta, bahkan lebih tua dari sejarah awal Kerajaan Mataram Islam

Yuwono Suwito ( anggota tim ahli cagar budaya dan dewan pertimbangan
pelestarian warisan budaya provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) )
Selain Siti Inggil keraton Mataram di Yogyakarta, bangunan lain yang terinspirasi dari
kompleks keraton Kasepuhan adalah Masjid Margo Yuwono yang terletak di dalam benteng
Baluwerti (benteng Kraton) tepatnya di Langenastran, kelurahan Panembahan, kecamatan
Kraton, Kota Yogyakarta. Arsitek pembangunan masjid Margo Yuwono yaitu Ir. Thomas
Karsten membangun brunjung (bahasa Indonesia : atap yang paling tinggi) mesjid dengan
mengadopsi dari arsitektur atap Tajug Wantah bercukit, adapun tritisan (bahasa Indonesia :
bagian perpanjangan atau tambahan dari atap utama) yang terdapat pada bagian utama masjid
dan bagian serambinya menggunakan pola konstruksi cukit (bahasa Indonesia : Garpu)
seperti yang digunakan pada tritisan di bangunan terbuka area Siti Inggil keraton Kasepuhan.

Selain bangunan masjid, bangunan Museum yang juga dirancang oleh Karsten seperti
museum Sonobudoyo juga terinspirasi dari arsitektur atap Masjid Agung Sang Cipta Rasa
milik kesultanan Kasepuhan yang berbentuk Limasan lambang-teplok dengan mengadopsi
pola konstruksi cukit pada hampir keseluruhan bangunan Museum.

Keraton Kasepuhan sebagai Objek Vital


Keraton Kasepuhan berserta keraton Kanoman, ditetapkan menjadi objek vital yang harus
dilindungi. Penilaian tersebut berdasarkan pertimbangan dari institusi kepolisian, dengan
adanya penilaian tersebut maka kepolisian setempat wajib menempatkan personilnya untuk
melakukan penjagaan di keraton tersebut, termasuk diantaranya keraton Kasepuhan.

di antara pertimbangannya yakni keraton merupakan situs sekaligus aset bukan


hanya kesultanan tetapi juga negara dan masyarakat kota Cirebon, sehingga harus
dijaga dan diamankan kelestariannya (Dani Kustoni - Kapolres Cirebon Kota)
.[10]

Sebagai bentuk realisasi pengamanan objek vital, maka keraton harus dijaga oleh personil
kepolisian

Pengamanan, 2 personil,
Patroli 2 personil
Pengamanan kegiatan keraton, minimal 10 personil (khusus untuk pengamanan
kegiatan yang berskala besar, maka diadakan pengamanan penuh yang melibatkan
lebih banyak personil kepolisian).

dijadikannya keraton Kasepuhan sebagai objek vital disambut baik oleh Sultan Sepuh XIV
Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, menurut Sultan Sepuh XIV, penetapan keraton
sebagai objek vital merupakan sebuah tanda atau pengakuan akan pentingnya keraton itu
sendiri.

Selain sebagai aset, keraton juga kan banyak didatangi wisatawan baik lokal
maupun mancanegara - (Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat)

Sejarah kesultanan Kasepuhan


Pada masa kepemimpinan Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji, Sultan Sepuh V
melakukan banyak perbaikan pada kompleks Taman sari Gua Sunyaragi yang digunakan
sebagai tempat mengkhusukan diri kepada Allah swt sekaligus markas besar prajurit
kesultanan dan gudang serta tempat pembuatan senjata, disamping Taman sari Gua
Sunyaragi, kesultanan Kasepuhan memiliki markas prajurit lainnya, yaitu di desa Matangaji
yang sekarang masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Sumber, kabupaten Cirebon.
Aktifitas yang ada di Taman sari Gua Sunyaragi kemudian menarik perhatian Belanda untuk
kemudian menyerangnya, Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji pun gugur pada tahun
1786, tidak lama setelah wafatnya Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji, saudara sultan
yaitu Pangeran Raja Hasanuddin menggantikan dirinya untuk memimpin kesultanan
Kasepuhan, sementara Taman sari Goa Sunyaragi hanya tinggal puing-puing akibat
penyerangan Belanda.

Pada tahun 1852, Pangeran Adiwijaya yang kelak menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria,
membangun kembali dan memperkuat Taman air Gua Sunyaragi, dia memperkjakan seorang
aristek beretnis tionghoa, namun kemudian arsitek tersebut ditangkap dan dipaksa
mengatakan seluk-beluk Taman air Gua Sunyaragi kepada Belanda untuk kemudian dibunuh.
Terbongkarnya aktifitas di Taman air Gua Sunyaragi membuat Pangeran Adiwijaya
memerintahkan kepada para bawahan dan para prajurit untuk bersiap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi, akhirnya keputusan diambil untuk mengungsikan seluruh
persenjataan dan para prajurit keluar dari Taman air Gua Sunyaragi, sehingga penyerangan
Belanda yang terjadi kemudian tidak mendapatkan apa-apa.

Silsilah
Pada masa kesultanan Cirebon

Sunan Gunung Jati (Syarief Hidayatullah) (bertahta dari 1479 - 1568)


P. Adipati Pasarean (P. Muhammad Arifin) (hidup dari 1495 - 1552)
P. Dipati Carbon (P. Sedang Kamuning) (hidup 1521 - 1565)
Panembahan Ratu Pakungwati I (P. Emas Zainul Arifin) (bertahta dari 1568 - 1649)
P. Dipati Carbon II (P. Sedang Gayam) (-)
Panembahan Ratu Pakungwati II (Panembahan Girilaya) (bertahta dari 1649 - 1666)

Setelah pembagian kesultanan Cirebon, Kasepuhan dipimpin oleh anak pertama Pangeran
Girilaya yang bernama Pangeran Syamsudin Martawidjaja yang kemudian dinobatkan
sebagai Sultan Sepuh I.[11],[12]

Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaja (bertahta dari 1679 - 1697)
Sultan Sepuh II Sultan Raja Tajularipin Djamaludin (bertahta dari 1697 - 1723)
Sultan Sepuh III Sultan Raja Djaenudin (bertahta dari 1723 - 1753)
Sultan Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad Jaenuddin (bertahta dari 1753 -
1773)
Sultan Sepuh V Sultan Sepuh Sjafiudin Matangaji (bertahta dari 1773 - 1786)
Sultan Sepuh VI Sultan Sepuh Hasanuddin (bertahta dari 1786 - 1791) bertahta
menggantikan saudaranya Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji
Sultan Sepuh VII Sultan Sepuh Djoharudin (bertahta dari 1791 - 1815)
Sultan Sepuh VIII Sultan Sepuh Radja Udaka (Sultan Sepuh Raja Syamsudin I)
(bertahta dari 1815 - 1845[13]) menggantikan saudaranya Sultan Sepuh VII Sultan
Djoharuddin
Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman (Sultan Sepuh Raja Syamsudin II) (bertahta
dari 1845 - 1853)
Perwalian oleh Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran Syamsudin IV) (menjadi wali
bagi Pangeran Raja Satria dari 1853 - 1871)
Pangeran Raja Satria (memerintah dari 1872 - 1875) mewarisi tahta ayahnya Sultan
Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman sebagai putera tertua Sultan Sepuh IX yang sah,
setelah meninggalnya walinya yaitu Pangeran Adiwijaya sesuai dengan penegasan
Residen Belanda untuk Cirebon tahun 1867
Pangeran Raja Jayawikarta (memerintah dari 1875 - 1880) menggantikan saudaranya
Pangeran Raja Satria
Sultan Sepuh X Sultan Radja Atmadja Rajaningrat (bertahta dari 1880 - 1885)
diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan saudaranya yaitu Pangeran Raja
Jayawikarta
Perwalian oleh Raden Ayu (Permaisuri Raja) menjadi wali bagi Pangeran Raja
Adipati Jamaludin Aluda Tajularifin dari 1885 - 1899
Sultan Sepuh XI Sultan Sepuh Radja Jamaludin Aluda Tajularifin (bertahta dari 1899
- 1942)
Sultan Sepuh XII Sultan Sepuh Radja Radjaningrat (bertahta dari 1942 - 1969)
Sultan Sepuh XIII Pangeran Raja Adipati DR.H. Maulana Pakuningrat. SH (bertahta
dari 1969 - 2010)[14]
Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat. SE (bertahta dari 2010
- sekarang).[15]
Home arsitektur islam Rumah Adat Kenali Lebih Dekat Arsitektur Unik Rumah Kesepuhan
Cirebon

Kenali Lebih Dekat Arsitektur Unik Rumah Kesepuhan Cirebon


Siti Hajar Husin arsitektur islam, Rumah Adat

Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan tapak sejarah penting. Ia merupakan pusat pemerintahan
sekaligus pusat penyebaran Islam di Jawa Barat. Rumah Keraton Kasepuhan Cirebon didirikan oleh
Pangeran Cakrabuwana dengan nama Keraton Pakungwati, kemudian diperluas dan diperbaharui oleh
Sunan Gunung Jati pada 1483 M. Kini, rumah kasepuhan Cirebon ini masih lestari dengan segenap
peninggalannya dan arsitektur yang bernilai tinggi.

Arsitektur Unik

Salah satu artefak akulturasi budaya itu adalah arsitektur unik Keraton Kasepuhan. Bangunan
arsitektur dan interior Keraton Kasepuhan menggambarkan berbagai macam pengaruh, mulai dari
gaya Eropa, Cina, Arab, maupun budaya lokal yang sudah ada sebelumnya, yaitu Hindu dan Jawa.
Semua elemen atau unsur budaya di atas melebur pada bangunan Keraton Kasepuhan tersebut.

Arsitektur Dalam Rumah Kesepuhan Cirebon


-Bangunan Pancaratna

Berada di kiri depan kompleks arah Barat, berdenah persegi panjang, dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai
tegel, konstruksi atap ditunjang empat sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi, dan 12 tiang
pendukung di permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya
terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau tempat yang menghadap para
pembesar desa atau kampung yang diterima oleh Demang atau Wedana.

-Bangunan Pangrawit

Berada di kiri depan kompleks menghadap arah Utara. Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai
tegel. Bangunan ini terbuka tanpa dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah.Bangunan ini
memiliki pagar terali besi. Nama Pancaniti berasal dari panca berarti jalan, dan niti yang berarti mata
atau raja atau atasan. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat perwira melatih prajurit, tempat
istirahat, dan juga sebagai tempat pengadilan.

-Bangsal Pringgondani

Bangsal Pringgandani tempat dimana Sultan Keraton Kasepuhan Cirebon menerima pisowanan para
Adipati, dengan ornamen keramik pada dinding di latar belakang.

-Gajah Nguling
Gajah Nguling, yaitu semacam koridor terbuka yang menghubungkan bangsal Jinem Pangrawit
dengan bangsal Pringgondani, terdapat enam buah tiang yang berbentuk bulat sama seperti tiang
yang terdapat di bangsal Jinem Pangrawit. Yang menarik, seluruh tiang tersebut digunakan untuk
menyangga konstruksi atap dari kayu bergaya arsitektur Jawa. Sehingga kesannya kurang cocok
karena tiang-tiangnya terlalu kokoh dan kesannya berat.

-Lawang Sanga(Pintu Sembilan)


Berupa lengkungan ambang pintu berbentuk setengah lingkaran.Masing-masing dari ketiga sisinya
memiliki tiga lengkungan yang berangkai. Bangunan tersebut letaknya di luar kompleks keraton,
bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Sehingga kesan kemegahan dan keindahan bangunan
tersebut sirna.

Berdasarkan bentuk keseluruhan tampilan dan bentuk kerangka, bangunan joglo dapat
dibedakan menjadi 4 bagian :

Muda (Nom) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung memanjang dan meninggi
(melar).
Tua (Tuwa) : Joglo yang bentuk tampilannya cenderung pendek (tidak memanjang)
dan atapnya tidak tegak / cenderung rebah (nadhah).
Laki-laki (lanangan) : Joglo yang terlihat kokoh karena rangkanya relatif tebal.
Perempuan (wadon / padaringan kebak) : Joglo yang rangkanya relatif tipis / pipih.

Di bagian tengah pendapa terdapat empat tiang utama yang dinamakan sakaguru. Ukurannya
harus lebih tinggi dan lebih besar dari tiang-tiang / saka-saka yang lain. Di kedua ujung tiang-
tiang ini terdapat ornamen / ukiran.
Bagian atas sakaguru saling dihubungkan oleh penyambung / penghubung yang dinamakan
tumpang dan sunduk. Posisi tumpang di atas sunduk.
Dalam bahasa Jawa, kata sunduk itu sendiri berarti penusuk.

Di bagian paling atas tiang sakaguru inilah biasanya terdapat beberapa lapisan balok kayu
yang membentuk lingkaran-lingkaran bertingkat yang melebar ke arah luar dan dalam.
Pelebaran ke bagian luar ini dinamakan elar. Elar dalam bahasa Jawa berarti sayap,.
Sedangkan pelebaran ke bagian dalam disebut tumpang-sari. Elar ini menopang bidang
atap, sementara Tumpang-sari menopang bidang langit langit joglo (pamidhangan).

Untuk lebih lengkapnya, detail dari rangka joglo adalah sebagai berikut :

sumber : Ismunandar, 2001 ( telah diolah )

1. Molo (mulo / sirah / suwunan), balok yang letaknya paling atas, yang dianggap
sebagai kepala bangunan.
2. Ander (saka-gini), Balok yang terletak di atas pengeret yang berfungsi sebagai
penopang molo.
3. Geganja, konstruksi penguat / stabilisator ander.
4. Pengeret (pengerat), Balok penghubung dan stabilisator ujung-ujung tiang; kerangka
rumah bagian atas yang terletak melintang menurut lebarnya rumah dan ditautkan
dengan blandar.
5. Santen, Penyangga pengeret yang terletak di antara pengeret dan kili.
6. Sunduk, Stabilisator konstruksi tiang untuk menahan goncangan / goyangan.
7. Kili (Sunduk Kili), Balok pengunci cathokan sunduk dan tiang.
8. Pamidhangan (Midhangan), Rongga yang terbentuk dari rangkaian balok / tumpang-
sari pada brunjung.
9. Dhadha Peksi (dhadha-manuk), Balok pengerat yang melintang di tengah tengah
pamidhangan.
10. Penitih / panitih.
11. Penangkur.
12. Emprit-Ganthil, Penahan / pengunci purus tiang yang berbentuk tonjolan; dudur yang
terhimpit.
13. Kecer, Balok yang menyangga molo serta sekaligus menopang atap.
14. Dudur, Balok yang menghubungkan sudut pertemuan penanggap, penitih dan
penangkur dengan molo.
15. Elar (sayap), Bagian perluasan keluar bagian atas sakaguru yang menopang atap.
16. Songgo-uwang, Konstruksi penyiku / penyangga yang sifatnya dekoratif

Mengenal Struktur Rumah Adat Jawa Tengah Rumah adat Jawa hanyalah salah satu
dari puluhan bahkan ratusan rumah adat yang melengkapi uniknya kebhinekaan di Indonesia.
Seperti yang kita tahu Indonesia sangat kaya akan ragam budaya dan adat istiadat yang
tersebar dari barat hingga ujung timur. Ragam adat dan budaya yang berbeda-beda ini
ditandai dengan perbedaan bahasa daerah, tarian daerah, pakaian adat, dan tentu saja rumah
adat yang semuanya memiliki ciri khas dan keunikan masing-masing. Secara keseluruhan
perbedaan budaya dan adat di tiap-tiap daerah ini menjadikan Indonesia sebagai tujuan wisata
dari wisatawan-wisatawan mancanegara sehingga dalam hal seni dan budaya, Indonesia
termasuk negara yang paling berpengaruh di kawasan Asia.
Salah satu rumah adat yang menjadi ciri khas keragaman budaya Indonesia sekaligus
mengundang rasa penasaran para wisatawan adalah rumah adat Jawa Tengah atau
masyarakat Indonesia sendiri menyebutnya rumah Joglo. Tentu saja rumah adat ini memiliki
karakteristik serta ciri khas tersendiri sehingga terlihat lebih unik dibanding rumah adat di
daerah-daerah lain. Rumah Joglo sendiri sangat terkenal khususnya di daerah Jawa dan
kadang menjadi inspirasi desain rumah modern klasik yang kini banyak digemari oleh
kalangan yang menggeluti bisnis properti.

Desain Soko Guru dan Tumpangsari

Struktur rumah Joglo terdiri dari kerangka (pilar) yang membentuk rumah dan disebut Soko
Guru. Joglo sendiri sebenarnya struktur rumah adat berupa 4 buah pilar atau tiang penyangga
utama dan tumpangsari. Tumpangsari merupakan susunan balok yang ditopang oleh Soko
Guru. Rumah Joglo pada zaman dulu dijadikan simbol atau identitas yang menunjukkan
status sosial golongan masyarakat tertentu. Hal ini cukup beralasan mengingat dulu hanya
masyarakat dengan taraf perekonomian berlebih yang mampu memiliki rumah Joglo.
Material untuk membuat rumah Joglo umumnya didominasi bahan kayu. Dulu rumah Joglo
mayoritas hanya dimiliki oleh kaum bangsawan sekaligus digunakan untuk menerima tamu
kehormatan dari luar daerah yang memerlukan area luas.

Jika dilihat dari desain interior ruangan, rumah Joglo memiliki ruangan-ruangan khusus serta
3 bagian utama yaitu yang pertama pendopo, yang kedua pringgitan, dan yang terakhir omah
ndalem atau biasa juga disebut omah njero. Ketiga bagian tersebut memiliki fungsi berbeda,
misalnya ruang pendopo digunakan untuk menerima tamu, ruang pringgitan digunakan
khusus untuk hiburan atau ruang pertunjukan wayang kulit. Nama pringgitan sendiri
sebenarnya berasal dari bahasa Jawa Kuno yaitu Pringgit yang berarti wayang kulit. Fungsi
ruang yang terakhir adalah omah ndalem atau omah njero. Omah ndalem atau omah njero
difungsikan sebagai ruang keluarga, dimana omah ndalem sendiri umumnya terbagi menjadi
3 buah kamar (orang jawa menyebutnya Senthong) yaitu kamar bagian kiri, bagian tengah,
dan bagian kanan. Biasanya masing-masing dari ketiga ruangan ini digunakan untuk fungsi
yang berbeda, tergantung dari selera pemilik rumah.
rumah adat jawa tengah ( joglo )

Apabila kita lihat dari konstruksi atau strukturnya, rumah adat Jawa dari Jawa Tengah ini
desainnya cukup sederhana. Spesifikasi secara detail, pada bagian ruang pendopo didesain
dengan 4 buah pilar atau tiang penyangga yang kemudian disebut Soko Guru. Keempat pilar
tersebut memiliki makna tersendiri yaitu mewakili empat arah mata angin (utara, selatan,
barat, dan timur). Pada bagian atas (disangga oleh Soko Guru) terdapat balok-balok kayu
yang didesain berbentuk bujur sangkar mengikuti struktur rumah. Masyarakat Jawa Tengah
menyebut balok-balok kayu ini dengan nama Tumpangsari, yang sekaligus menjadi ciri khas
rumah Joglo selain Soko Guru tentunya. Inti dari rumah Joglo sebenarnya ada dibagian omah
ndalem atau omah njero, dimana omah njero umumnya memiliki 2 ketinggian berbeda.
Perbedaan ketinggian ini bertujuan untuk melancarkan sirkulasi udara.

June 15, 2014rossi Desain Arsitektur, Desain Rumah, Desain Type Rumah No
CommentTags: Nama Rumah Adat Jawa, Rumah Adat Jawa Barat, Rumah Adat Jawa Timur
-
Tahapan Pemasangan Instalasi Listrik Rumah
Desain Fasad Rumah Minimalis dengan Bahan Semen Instan

Leave a Reply

You must be logged in to post a comment.

Latest Posts

Unsur Budaya Jepang Dalam Denah Rumah Minimalis

Lima Langkah Dalam Merencanakan Desain Rumah Murah

Pengunaan HPL Untuk Membuat Desain Rumah

Penerapan Interior Rumah Minimalis Menurut Ruangnya

Tips Mendesain Rumah Minimalis Dengan Gambar Denah Rumah

Popular post

Unsur Budaya Jepang Dalam Denah Rumah Minimalis

Desain Rumah Kecil Minimalis

Unsur Tradisional dan Modern Rumah Betawi

Rencana Anggaran Biaya Renovasi Rumah

Denah Rumah Minimalis 2 Lantai


Categories

Denah
Desain Arsitektur
Desain Eksterior
Desain Interior
Desain Jendela
Desain Pintu
Desain Ruko
Desain Rumah
Desain Sketsa Rumah
Desain Taman
Desain Tampak Depan Rumah
Desain Type Rumah
fasade
Furniture
Interior Apartemen
Interior Dapur
Interior Kamar Mandi
Interior Kamar Tidur
Interior Kantor
Interior Ruang Tamu
Tips Rumah
Warna Cat Rumah

STRUKTUR KONSTRUKSI RUMAH JOGLO Joglo merupakan kerangka bangunan utama dari
rumah tradisional Jawa terdiri atas soko guru berupa empat tiang utama dengan pengeret
tumpang songo (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) di atasnya. Struktur
joglo yang seperti itu, selain sebagai penopang struktur utama rumah, juga sebagai tumpuan
atap rumah agar atap rumah bisa berbentuk pencu. Pada arsitektur bangunan rumah joglo,
seni arsitektur bukan sekadar pemahaman seni konstruksi rumah, juga merupakan refleksi
nilai dan norma masyarakat pendukungnya. Kecintaan manusia pada cita rasa keindahan,
bahkan sikap religiusitasnya terefleksikan dalam arsitektur rumah dengan gaya ini. DENAH
RUMAH JOGLO Pada bagian pintu masuk memiliki tiga buah pintu, yakni pintu utama di
tengah dan pintu kedua yang berada di samping kiri dan kanan pintu utama. Ketiga bagian
pintu tersebut
memiliki makna simbolis bahwa kupu tarung yang berada di tengah untuk keluarga besar,
sementara dua pintu di samping kanan dan kiri untuk besan. Pada ruang bagian dalam yang
disebut gedongan dijadikan sebagai mihrab, tempat Imam memimpin salat yang dikaitkan
dengan makna simbolis sebagai tempat yang disucikan, sakral, dan dikeramatkan. Gedongan
juga merangkap sebagai tempat tidur utama yang dihormati dan pada waktuwaktu tertentu
dijadikan sebagai ruang tidur pengantin bagi anakanaknya. Ruang depan yang disebut jaga
satru disediakan untuk umat dan terbagi menjadi dua bagian, sebelah kiri untuk jamaah
wanita dan sebelah kanan untuk jamaah pria. Masih pada ruang jaga satru di depan pintu
masuk terdapat satu tiang di tengah ruang yang disebut tiang keseimbangan atau soko
geder, selain sebagai simbol kepemilikan rumah, tiang tersebut juga berfungsi sebagai
pertanda atau tonggak untuk mengingatkan pada penghuni tentang keesaan Tuhan.Begitu
juga di ruang dalam terdapat empat tiang utama yang disebut soko guru melambangkan
empat hakikat kesempurnaan hidup dan juga ditafsirkan sebagi hakikat dari sifat manusia.
SISTEM PENGHAWAAN RUMAH JOGLO Penghawaan pada rumah joglo ini dirancang dengan
menyesuaikan dengan lingkungan
sekitar. rumah joglo, yang biasanya mempunyai bentuk atap yang bertingkat-tingkat,
semakin ke tengah, jarak antara lantai dengan atap yang semakin tinggi dirancang bukan
tanpa maksud, tetapi tiap-tiap ketinggian atap tersebut menjadi suatu hubungan tahap-
tahap dalam pergerakan manusia menuju ke rumah joglo dengan udara yang dirasakan oleh
manusia itu sendiri. Saat manusia berada pada rumah joglo paling pinggir, sebagai
perbatasan antara ruang luar dengan ruang dalam, manusia masih merasakan hawa udara
dari luar, namun saat manusia bergerak semakin ke tengah, udara yang dirasakan semakin
sejuk, hal ini dikarenakan volume ruang di bawah atap, semakin ke tengah semakin besar.
Seperti teori yang ada pada fisika bangunan. Efek volume sebenarnya memanfaatkan prinsip
bahwa volume udara yang lebih besar akan menjadi panas lebih lama apabila dibandingkan
dengan volume udara yang kecil.
Saat manusia kembali ingin keluar, udara yang terasa kembali mengalami perubahan, dari
udara sejuk menuju udara yang terasa diluar ruangan. Dapat dilihat kalau penghawaan pada
rumah joglo, memperhatikan penyesuaian tubuh manusia pada cuaca disekitarnya. Untuk
membedakan status sosial pemilik rumah, kehadiran bentangan dan tiang penyangga
dengan atap bersusun yang biasanya dibiarkan menyerupai warna aslinya menjadi ciri khas
dari kehadiran sebuah pendopo dalam rumah Konstruksi sambungan tiang rangka joglo
bagian atas Sambungan konstruksi susunan tiang rangka joglo bagian atas berupa sistem
cathokan dan sistem purus. Sistem purus merupakan sistem konstruksi knockdown berupa
tonjolan dan lubang yang saling terkaitkan / saling mengunci satu sama lain. Sedangkan cara
mendirikan tiang pada lantai dapat dilakukan dengan : Sistem purus dengan umpak
(ompak / bebatur). Sistem ceblokan tanpa umpak.
Sistem sambungan tiang / saka pada umpak pada dasarnya juga berupa sistem purus (sistem
yang sama seperti yang digunakan pada sambungan ander dan sunduk). Kata purus secara
harafiah berarti alat kelamin pria. Purus dipandang sebagai lambang laki-laki / pria,
sementara umpak-nya dipandang sebagai lambang wanita. Jadi konstruksi purus ini
mengandung makna serupa seperti metafora linggayoni (Tjahjono 1989 : 122). Sistem
konstruksi purus ini memudahkan ketika bangunan akan dibongkar untuk dipindahkan.
Dalam tradisi Jawa memang dikenal istilah bedhol-omah yaitu membongkar rumah untuk
kemudian dipindahkan ke lokasi lain (Dakung, 1982: 211). Pada sistem ceblokan tiang
ditanam langsung ke lantai. Sebagai tumpuan tiang, pada bagian dasar lubang diberi alas
batu. Bagian tiang yang masuk ke dalam lantai biasanya terlebih dulu dibungkus dengan tali
ijuk agar tidak mudah lapuk / keropos. Selain dinding dan tiang, pembahasan elemen vertikal
penyusun ruang juga meliputi bukaan seperti pintu, jendela. Pintu dan jendela dalam desain
Jawa digolongkan secara sederhana berdasarkan jumlah daun pintu / daun jendelanya.
Adapun jenis-jenis beserta konstruksinya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Kusen pintu pada umumnya terbuat dari bahan kayu, namun terkadang ada yang
menggunakan bahan bambu. Khusus untuk pintu depan omah-njero, di bagian bawah pintu
biasanya terdapat balok yang melintang di lantai. Balok ini menimbulkan kesan pembatasan
yang kuat antara bagian luar dan bagian dalam rumah. Mereka yang bertamu harus
melangkah dengan hati-hati ketika memasuki omah. Karakter Lokal Penggunaan karakter
rumah joglo pada massa bangunan ditinjau dari kesamaan sistem yang dibutuhkan pada
sebuah unit produksi, yaitu sistem penghawaan yang menyebabkan udara mengalir lancar
dalam ruangan . Serta upaya mempertahankan identitas lokal dengan cara memodifikasinya
sehingga menjadi sesuatu yang baru pada sebuah bangunan. 90% dari Rumah joglo terbuat
dari kayu terutama dari kayu jati. Material Lokal Bangunan didominasi oleh material yang
mudah didapat dari Solo, Sragen dan sekitarnya, antara lain : > Dinding Kayu Bakar yang
dapat ditemukan di Jaten, Karanganyar > Batubata, bambu palupuh, ranting pohon yang
dapat di peroleh dimana saja > Plester tanah liat yang dapat diperoleh di dalam site kawasan
> Baja bekas yang dapat dipesan di Klithikan Semanggi, Surakarta Dengan pemakaian
material lokal akan mendorong pertumbuhan ekonomi di sekitar lahan Sumber :
http://kibagus-homedesign.blogspot.com/2011/01/konstruksi-joglo-rumah-adat-
jawatengah.html http://kibagus-homedesign.blogspot.com/2011/01/konstruksi-sambungan-
tiang-rangkajoglo.html http://mita-tembem.blogspot.com/2010/01/bangunan-
tradisional.html http://studiopie.blogspot.com/2010_10_01_archive.html

Anda mungkin juga menyukai