Anda di halaman 1dari 17

MENELISIK ISI DALAM KERATON

SEBAGAI SUMBU KEISTIMEWAAN KOTA YOGYAKARTA

Disusun oleh:
1. Andria Xtami (03) / XII MIPA 2
2. Camelia Yunika Putri (08) / XII MIPA 2
3. Elisa Setya Dewi (11) / XII MIPA 2
4. Kirana Candra Puspita (18) / XII MIPA 2
5. Marsha Prasetya Putri (20) / XII MIPA 2

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 1 DEPOK


DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
2023

A. Sejarah Keraton Yogyakarta


Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta mulai
didirikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I beberapa bulan pasca
Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah
bekas sebuah pesanggrahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram
(Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.

Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati
Keraton Jogja, Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan
Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping
Kabupaten Sleman. Perpindahan (boyongan) Sultan dan pengikutnya dari
Gamping menuju Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ditandai dengan
surya sengkala Dwi Naga Rasa Tunggal, yang memiliki nilai tahun 1756
Masehi. Sengkalan tersebut bermakna tentang kesatuan kegotong-
royongan, serta kewibawaan, kesaktian, dan kesucian seorang raja atau
pemimpin, dan sebagai tolak bala serta keyakinan akan keselamatan,
ketentraman, dan harapan pencapaian kemakmuran sebuah kerajaan yang
dibangun.

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti
yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler
(Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Selain itu Keraton Jogja memiliki berbagai warisan
budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu
lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah
mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Keraton Yogyakarta.

2
Keberadaan Kota Yogyakarta tidak bisa lepas dari keberadaan Kasultanan
Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi yang memperjuangkan kedaulatan
Kerajaan Mataram dari pengaruh Belanda, merupakan adik dari Sunan
Paku Buwana II. Setelah melalui perjuangan yang panjang, pada hari
Kamis Kliwon tanggal 29 Rabiul Akhir 1680 atau bertepatan dengan 13
Februari 1755, Pangeran Mangkubumi yang telah bergelar Susuhunan
Kabanaran menandatangani Perjanjian Giyanti atau sering disebut dengan
Palihan Nagari. Palihan Nagari inilah yang menjadi titik awal keberadaan
Kasultanan Yogyakarta.

Sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tepatnya hari Kamis


Pon tanggal 29 Jumadil Awal 1680 atau 13 Maret 1755, Sultan Hamengku
Buwana I memproklamirkan berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat dengan ibukota Ngayogyakarta dan memiliki separuh dari
wilayah Kerajaan Mataram. Proklamasi ini terjadi di Pesanggrahan
Ambarketawang dan dikenal dengan peristiwa Hadeging Nagari Dalem
Kasultanan Mataram – Ngayogyakarta.

Tepat di depan keraton tersebut terdapat 2 pohon beringin besar yang


dimitoskan pohon beringin laki-laki dan perempuan. Menurut catatan
sejarah, pohon beringin sebelah barat berasal dari kerajaan Majapahit dan
yang timur dari kerajaan Pajajaran. Di sekeliling alun-alun depan keraton
juga terdapat 62 buah pohon beringin. Menurut mitosnya yang dituliskan
dalam sejarah jika dijumlahkan 62 beringin pada sekeliling alun-alun
ditambah 2 pohon beringin ditengah alun-alun menjadi 64 buah pohon
beringin. Dengan itu pula dimaknai sepanjang usia Nabi Muhammad SAW
adalah 64 tahun.

Kemudian pada tahun 1758 Sri Sultan hamengkubuwono I membangun


sebuah pusat perdagangan untuk menunjang kelangsungan ekonomi
masyarakat Yogyakarta. Pembangunan pusat ekonomi ini dilakukan pada

2
sebuah lahan di utara keraton yang pada waktu itu masih ditumbuhi pohon
beringin. Sri Sultan Hamengkubuwono I akhirnya membabat pohon
beringin tersebut dengan harapan lahan yang ditumbuhi beringin itu dapat
mendatangkan kesejahteraan. Dan berdirilah sebuah pusat ekonomi pada
waktu itu dengan bentuk pasar tradisional. Hingga akhirnya pasar tersebut
dinamakan “Beringharjo” asal kata dari “Beringin (pohon beringin)” dan
“Harjo (Bahasa jawa (Kesejahteraan))". Jadi bila digabungkan dapat
dimaknai sebagai pohon beringin yang awalnya ditumbangkan dan
diharapkan dapat mendatang-kan kesejahteraan rakyat dari sektor
perdagangan. Hingga sampai saat ini pasar itu masih eksis dan menjadi
salah satu obyek wisata perbelanjaan di yogyakarta.

B. Struktur dan Tata Bangunan Keraton Yogyakarta


Keraton Yogya terletak di sebuah kompleks luas yang terbagi dalam
beberapa bagian. Secara garis besar bangunan Keraton Yogya dapat dibagi
menjadi tiga bagian utama dengan kompleks dan bangunan di dalamnya.

1. Kompleks depan

Dalam bagian kompleks depan Keraton, terdapat beberapa pembagian


wilayah dan bangunan yaitu:
a. GladhagPangurakan

2
Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton dari arah utara
merupakan gerbang berlapis yaitu Gapura Gladhag dan Gapura
Pangurakan. Gapura Gladhag dahulu terdapat di ujung utara Jalan Trikora
(di antara Kantor Pos Besar dan Bank BNI 46) namun saat ini sudah tidak
ada lagi. Smentara di sebelahselatannya terdapat Gapura Pangurakan
Njawi yangsaat ini menjadi gerbang pertama yang dilewati bila masuk ke
Keraton dari sisi utara.

b. Alun-alun Lor
Alun-alun Lor merupakan lapangan berumput di bagian utara Keraton
Yogyakarta. Terdapat dua pohon beringin ditengah alun-alun yang
masing-masing diberi pagar dari batu bata. Pohon beringin tersebut
dinamakan Waringin Kurung. Kedua pohon beringin masing-masing
dinamakan Kyai Dewadaru (berasal dari Majapahit, terletak di sebelah
barat) dan Kyai Wijayadaru (berasal dari Pajajaran, terletak di sebelah
Timur); kedua pohon ini melukiskan ataumelambangkan bahwa di dunia
ini terdapat sifat serba dua yang saling bertentangan atau berlawanan.

c. Masjid Gedhe Kasultanan (Masjid Agung Yogyakarta)

Di sebelah barat Alun-


alun Utara terdapat
MasjidAgung
Yogyakarta, berbentuk
pendopo yang
tertutupdan di bagian
depannya berserambi
yang terbuka. Atapmasjid bertingkat, tiang-tiang masjid di bagian
dalamterbuat dari kayu-kayu jati yang bulat dan tinggimenyangga atap. Di
halaman Masjid Agung terdapatPagongan, berwujud dua buah bangunan

2
yang berlantaitinggi di sebelah utara dan selatan halaman
tersebut.Pagongan ini adalah tempat bagi Gamelan Sekati yang
dikeluarkan dari keratin pada Upacara Sekaten.Gamelan tersebut
dibunyikan selama sepekan menjelang perayaan Maulid Nabi. Gamelan
tersebut bernamaKyai Gontur Madu yang ditempatkan di Pagongan bagian
selatan dan Kyai Nogowilogo yang ditempatkandi Pagongan bagian utara.

2. Kompleks inti

a. Pagelaran

Bangsal Pagelaran terletak tepat di sebelah selatanAlun-alun Utara


yang merupakan bangunan utamaKeraton. Pagelaran dulu bertiang 63
buah, kemudian 4 buah diantaranya diganti dengan 8 buah pilar
besarsebagai tanda bahwa pagelaran tersebutdisempurnakan oleh Sri
Sultan Hamengku BuwonoVIII. Di sebelah atas gerbang di bagian
luarmenghadap ke utara tampak hiasa-hiasan relief yang merupakan
Condrosengkolo yang uraiannya adalah “Ponco Gono Saliro Tunggal”.
Gambar “lima lebah (tawon) yang melingkar (setengah lingkaran) di atas
seekor buaya/biawak”. Arti Condrosengkolo: Ponco = 5, Gono = 6, saliro
= 8, Tunggal = 1. Dibaca dari belakang merupakan tahun pagelaran
disempurnakan olehsri Sultan Hamengku Buwono VIII. Di sebelah atas
gerbang sebelah selatan juga dihiasi dengan relief,merupakan
Suryosengkolo : Catur Trisulo Kembang Loto, yang menunjukkan tahun
Masehi 1934.

2
Suryosengkolo tersebut berwujud empat senjata trisulo yang bertangkai
menjadi satu, dilingkari oleh bungayang menjalar. Bangunan dimana
terdapat gerbang-gerbang tersebut merupakan tempat menunggu tamu-
tamu untuk menghadap Sri sultan.

b. Bangsal Pemandengan
Di ujung kanan dan kiri Pagelaran terdapat 2 buah bangsal yang disebut
Bangsal Pemandengan. Bangsalini dipergunakan oleh Sri Sultan beserta
para pimpinan prajurit untuk menyaksikan jalannya latihan perang-
perangan, watangan dan latihan dalam gelar perang yang dilakukan oleh
para prajurit. Atap Bangsal ini berbentuk kutuk kumambang.

c. Bangsal Pengapit atau Bangsa Pasewakan


Di sebelah barat dan timur Pagelaran terdapat 2 buah bangsal besar,
beratap susun berukir indah, yang disebutKlabang Sinander, atap yang atas
terpisah dari yang bawah. Ke 2 bangsal tersebut dinamakan
BangsalPengapit atau Bangsal Pasewakan. Di bangsal ini dahulu para
Senopati perang menerima perintah-perintah SriSultan atau menunggu
giliran untuk menyampaikanlaporan kepada Sri Sultan. Dalam
perkembangannya bangsal ini dipergunakan sebagai tempat caos (jaga)
bagi para bupati anom njaba. Pada masa sekarangdipergunakan sebagai
museum untuk tempat peragaan busana adat Keraton Yogyakarta.

d. Bangsal Pengrawit

Terletak di sebelah barat Bangsal Pengapit bagian timur,dipergunakan


oleh Sri Sultan untuk melantik seorangPatih. Bangsal tersebut berwujud 2

2
buah bangsal kecil,masing-masing bangsal terdapat sebuah
Selogilangsebagai tempat singgasana Sri Sultan dan PuteraMahkota.

e. Relief Perjuangan Pangeran Mangkubumi dan Relief Perjuangan

Sri Sultan HamengkuBuwono IX


Di halaman belakang Pagelaran pada pagar temboksebelah kiri dan
kanan terdapat relief-relief perjuanganPangeran mangkubumi, yang
kemudian menjadi SriSultan Hamengku Buwono I atau pendiri Karaton
Ngayogyakarto, sedangkan di sebelah kanan/baratadalah relief perjuangan
Sri Sultan Hamengku BuwonoIX sejak zaman penjajah Belanda hingga
penyerahankedaulatan. Relief-relief tersebut dibuat pada tahun1978 untuk
kepentingan studi wisata. Pada halaman antara Pagelaran dan Sitihinggil
ditanami 6 batang pohon gayam, yang dapat diartikan dengan bahagia.

f. Bangsal Pacikeran

Sebelum naik ke Sitihinggil terdapat dua bangsal kecil berada di kiri


dan kanan, kedua bangsal ini disebutBangsal Pacikeran. Bangsal ini

2
dipergunakan juga bagiabdi dalem Singonegoro dan Mertolulut (sebutan
bagiabdi dalem algojo keraton); dan tempat ini masihdipergunakan sampai
tahun 1926.

g. Siti Hinggil
Siti hinggil berada di sebelah selatan Pagelaran. Arti Siti Hinggil yaitu
tanah yang tinggi, dipergunakansebagai tempat penobatan para raja
Keraton Kasultanan Yogyakarta, sekaligus menjadi tempat
diselenggarakannya upacara Pisowanan Agung. Pada tanggal 17 Desember
1949, bangsal ini dipergunakan sebagai tempat pelantikan Ir. Soekarno
sebagaiPresiden Republik Indonesia. Dua hari kemudian pada tanggal 19
Desember 1949, di bangsal ini jugadiselenggarakan peresmian Universitas
Gadjah Mada sebagai perguruan tinggi nasional pertama di Indonesia. Di
kompleks Siti hinggil terdapat bangunan Tarub Agung, berupa bangunan
empat persegi, bertiang besi empat buah yang menyangga atapnya dengan
gaya khas Jawa, merupakan tempat bagi pembesar-pembesar yang menanti
eombongannya untuk bersama-sama masuk ke Keraton.

h. Bangsal Kori
Terdapat di sebelah timur dan barat dari TarubAgung, digunakan
untuk jaga (caos) bagi abdi dalemKori yang mempunyai tugas untuk
menyampaikan permohonan rakyat kepada Sri Sultan. Abdi dalem Kori ini
pulalah yang selalu mengawasi ke arah Alun-alun Utara, apabila ada
seseorang atau beberapaorang rakyat yang akan menyampaikan
pengaduanataupun permohonan keadilan kepada Sri Sultan.Mereka
(rakyat tersebut) melakukan aksinya dengancara berpakaian serba putih
duduk di tengah-tengah antara kedua pohon beringin (ringin kurung).
Aksitersebut dinamakan Pepe. Rakyat yang melakukan aksi Pepe akan
terlihat dari atas Sitihinggil oleh abdidalem Kori yang sedang caos, dan
selanjutnya abdi dalem tersebut akan menyampaikan pengaduan atau
permohonan rakyat yang bersangkutan ke hadapan Sri Sultan.

2
i. Bangsal Agung Sitihinggil

Di selatan Tarub Agung


kita berhadapan dengan
Bangsal Besar yang di
depannya terdapat sebuah
Tratag yang disebut Tratag
Sitihinggil. Bangsal
inidahulu beratapkan
anyaman bambu tetapi kemudian pada tahun 1926 disempurnakan oleh Sri
SultanHamengku Buwono VIII menjadi suatu Bangsal yang menakjubkan
dan begitu megah. Bangsal besarSitihinggil merupakan tempat Singgasana
Sri Sultandan juga tempat dimana Sultan-Sultan Mataram Yogyakarta
dinobatkan, di tempat ini pula upacaraPisowanan Agung diadakan yaitu
pada hari-hari Garebeg. Di bagian luar depan atas dari Tratag Sitihinggil
terdapat hiasan relief yang melukiskan Condrosengkolo. Pandito
Cokronogo wani, yang berwujud dua ekornaga yang saling membelakangi;
pada kedua ekor naga tersebut terdapat senjata cakra. Pandito = 7, Cokro=
5, Nogo = 8, Wani = 1, dibalik menjadi tahun Jawa 1857; sedang dibagian
belakang/dalam dari Tratag Sitihinggil terdapat Suryosengkolo: Gono
Asto Kembang Loto; yang menggambarkan kedua tangan
j. regol BrojonoloBrojo: tajam Nolo : hati. Ini merupakan
penghubung antara halaman Sithingil Lor di sebelah
selatannya.Pada waktu upacara grebeg yang diadakan 3 kali dalam
satu tahun, hajad dalem yang berupa Gununganyang diiringi
dengan tampilnya Bregodo prajurit keraton, juga melalui pintu
brojonolo ini. Hajad dalemtersebut dibawa ke Masjid Agung dari
Kemendungan Lor/ Kaben

2
C. Kawasan Cagar Budaya Kraton Yogyakarta

Pembangunan Yogyakarta dirancang


oleh Sultan Hamengku Buwana I dengan
landasan filosofi yang sangat tinggi. Sultan
Hamengku Buwana I menata Kota
Yogyakarta membentang arah utara-selatan
dengan membangun Keraton Yogyakarta
sebagai titik pusatnya. Keraton sebagai
komplek kegiatan budaya dan tempat
tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono dan
keluarganya, tidak semua terbuka untuk
umum. Bentuk bangunan terpengaruh model dari Eropa (Portugis, Belanda) dan
China. Arsitektur keraton dirancang oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I sekaligus
pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Bangunan pokok dan desain
dasar tata ruang dari keraton dan desain dasar lanskap kota tua Yogyakarta
diselesaikan antara tahun 1755-1756.

Sultan juga mendirikan Tugu Golong-gilig (Pal Putih) di sisi utara keraton
dan Panggung Krapyak di sisi selatannya. Dari ketiga titik tersebut apabila ditarik
suatu garis lurus akan membentuk sumbu imajiner yang dikenal sebagai Sumbu
Filosofi Yogyakarta. Secara simbolis filosofis poros imajiner ini melambangkan
keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhannya (Hablun min
Allah), manusia dengan manusia (Hablum minAnnas) maupun manusia dengan
alam termasuk lima anasir pembentuknya yakni api (dahana) dari Gunung Merapi,
tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin
(maruta) dan akasa (ether). Demikian juga tiga unsur yang menjadikan kehidupan
(fisik, tenaga, dan jiwa) telah tercakup di dalam filosofis sumbu imajiner tersebut.
Sri Sultan Hamengku Buwono yang menyandang gelar Sayidin Panatagama
Kalifatullah konsep filosofi sumbu imajiner yang Hinduistis ini kemudian

2
mengubahnya menjadi konsep filosofi Islam Jawa “Hamêmayu Hayuning
Bawana”, dan “Manunggaling Kawula lan Gusti”

Tugu Golong-Gilig/Pal Putih dan Panggung Krapyak merupakan simbol


Lingga dan Yoni yang melambangkan kesuburan. Tugu Golong-Gilig pada bagian
atasnya berbentuk bulatan (golong) dan pada bagian bawahnya berbentuk silindris
(gilig) serta berwarna putih sehingga disebut juga Pal Putih.Tugu Golong Gilig
melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan proses kehidupannya. Hal
tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa secara
tulus yang disertai satu tekad menuju kesejahteraan rakyat (golong-gilig) dan
didasari hati yang suci (warna putih). Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig ini juga
sebagai titik pandang utama (point of view) sultan pada saat melaksanakan
meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara.

Keberadaan Malioboro tidak dapat dilepaskan dari berdirinya Kasultanan


Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai unsur integral dalam tata ruang ibukota
kerajaan. Di jalan Malioboro terdapat Kepatihan sebagai pusat pemerintahan
sehari-hari dan Pasar Gedhe sebagai pusat perekonomian warga. Keduanya
merupakan bagian dari kesatuan tata ruang yang disebut catur gatra tunggal atau
catur sagotra. Menurut konsepsi ini terdapat empat elemen penting, yaitu politik
(Keraton dan Kepatihan), keagamaan (Masjid Gedhe), ekonomi (Pasar Gedhe),
dan sosial (Alun-alun). Jalan Malioboro dianggap sebagai sumbu filosofis yang
menghubungkan Tugu dengan Keraton Yogyakarta. Secara simbolis garis
filosofis tersebut terwujud dalam simpul-simpul berupa Panggung Krapyak-
Kraton Yogyakarta-Tugu Golong Giling yang melambagkan konsep ‘sangkan
paraning dumadi’ atau ‘asal dan tujuan dari adanya ‘hidup’. Filosofi dari
Panggung Krapyak ke utara menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan
dari rahim ibu, beranjak dewasa, menikah sampai melahirkan anak (sangkaning
dumadi). Alun-alun Selatan menggambarkan manusia yang telah dewasa dan
sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akil baligh.

2
Sebaliknya dari Tugu Golong-Gilig/Tugu Pal Putih ke arah selatan merupakan
perjalanan manusia menghadap Sang Khalik (paraning dumadi). Golong gilig
melambangkan bersatunya cipta, rasa dan karsa yang dilandasi kesucian hati
(warna putih) melalui Margatama (jalan menuju keutamaan) ke arah selatan
melalui Malioboro (memakai obor/pedoman ilmu yang diajarkan para wali), terus
ke selatan melalui Margamulya, kemudian melalui Pangurakan (mengusir nafsu
yang negatif).

Keberadaan Kompleks Kepatihan dan Pasar Beringharjo melambangkan godaan


duniawi dan godaan syahwat manusia yang harus dihindari. Sepanjang jalan
Margatama, Malioboro dan Margamulya ditanam pohon asêm (Tamarindus
indica) yang bermakna sêngsêm/ menarik dan pohon gayam (Inocarpus edulis)
yang bermakna ayom/teduh.

Kraton Yogyakarta terdiri dari tiga bagian yang terdiri dari komplek depan kraton,
kompleks inti keraton dan kompleks belakang kraton. Komplek depan keraton
terdiri dari Gladhak-Pangurakan (Gerbang Utama), Alun-alun Ler, dan Masjid
Gedhe . Kawasan komplek inti di Keraton Yogyakarta tersusun dari tujuh
rangkaian plataran mulai dari Alun-Alun Utara hingga Alun-Alun Selatan, yaitu
Pagelaran dan Sitihinggil Lor, Kamandungan Lor, Srimanganti, Kedhaton,
Kemagangan, Kamandungan Kidul, dan Sitihinggil Kidul. Sedangkan kompleks
belakang kraton terdiri dari alun-alun kidul dan plengkung nirbaya.

Selain kawasan ndalem kraton, kawasan keraton juga memiliki potensi situs,
bangunan dan tempat bersejarah yang memiliki keunikan pada setiap bagiannya.
Beberapa diantaranya adalah Tamansari, dan Museum Sonobudoyo, benteng dan
kelengkapannya.Kawasan keraton dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I
dengan konsep tata ruang yang mengandung filosofi syarat akan makna, oleh
karena itu kawasan Keraton yang perlu dilestarikan keasliannya karena
merupakan suatu warisan budaya yang sangat bernilai.

2
2
1
2
K M

Anda mungkin juga menyukai