ARSITEKTUR
K
raton Yogyakarta adalah kompleks Kraton yang terletak di pusat kota Yogyakarta ini
kedudukan Sultan Hamengku Buwana berperan juga sebagai cikal bakal pertumbuhan
selaku pemimpin dan penguasa kota. Secara keruangan kraton terletak di tengah
Kasultanan Yogyakarta sejak Sultan sumbu simbolis-filosofis yang menjadi acuan
pertama hingga ke-sepuluh yang sekarang perkembangan kota. Sumbu ini terwujud dalam
bertahta. Kraton ini menyandang tiga peran jalan raya yang terentang dari Tugu Pal Putih di
penting. Pertama, sebagai tempat kediaman raja utara hingga ke Panggung Krapyak di selatan.
dan keluarga terdekatnya yang melayani kegiatan Bangunan-bangunan publik terpenting di Kota
keseharian. Kedua, sebagai tempat upacara yang Yogyakarta diletakkan menurut sumbu tersebut,
terkait dengan raja dan kerajaan yang menampilkan sedangkan jalur-jalur utama antar kota bersilangan
keagungan dan kewibawaan. Ketiga, sebagai tegaklurus dengannya. Secara kronologis, Kraton
ungkapan filosofis yang mewujudkan gagasan- Yogyakarta adalah kompleks yang pertama kali
gagasan luhur tentang diri manusia dan semesta dibangun setelah Perjanjian Giyanti yang membagi
yang disimbolisasikan dalam ruangan, bangunan, dua Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta
tanaman dan tindakan. pada tahun 1755. Segera setelah perjanjian
ditandatangani Sultan beserta keluarga dan
pengikutnya bersemayam di Ambarketawang dan
memulai pembangunan Kraton Yogyakarta.
Secara keruangan, Kraton Yogyakarta terdiri atas sejumlah kompleks yang tersusun berjajar ke arah
utara-selatan seurut sumbu utama kota. Masing-masing kompleks berupa halaman atau pelataran
yang dilingkupi oleh tembok keliling dengan beberapa bangunan yang terletak di tengah maupun
sepanjang tepiannya. Berturut-turut dari utara ke selatan kompleks yang membentuk Kraton Yogyakarta
adalah: Alun-alun Utara, Pagelaran-Siti Hingil Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton,
Kemagangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hingil Selatan dan Alun-alun Selatan. Kompleks kedhaton
yang menjadi pusat keseluruhan Kraton diapit di sisi timur dan baratnya oleh Kompleks Kasatriyan dan
Keputren.
Kraton Yogyakarta merupakan perwujudan simbolis dari berbagai filsafat yang diturunkan dari ajaran
Islam dalam bingkai pemahaman spiritual Jawa. Kraton sebagai kedudukan Sultan yang bergelar sebagai
Khalifatullah (wakil Allah di muka bumi) dan ‘Abd al-Rahman (hamba Allah yang Maha Pengasih)
dipahami sebagai simbolisasi semesta dengan Kedhaton sebagai pusatnya dan kedua Alun-alun yang luas
bertabur pasir laksana samudra sebagai tepiannya. Perjalanan dari Panggung Krapyak di selatan menuju
pusat Kraton adalah kiasan tentang asal muasal (sangkan) kehidupan manusia, sementara perjalanan
dari Tugu Pal Putih di utara menuju Kraton adalah perlambang bagi tahapan hidup manusia menuju
tujuannya yang hakiki (paran).
Kompleks yang mulai di bangun pada pertengahan masa kolonial Belanda ini terus berkembang dari
waktu ke waktu, mulai dari bangunan-bangunan yang dibuat bahkan sebelum Sultan Hamengku
Buwana I berkediaman di kompleks ini hingga penambahan besar terakhir pada bangunan Museum
Hamengku Buwana IX. Secara kelanggaman, Kraton Yogyakarta merupakan rekaman yang kaya dari
berbagai masa dengan beragam bentuk, ragam hias dan teknologi membangun. Dengan keragaman ini
Kraton Yogyakarta menjadi rekaman dinamika sejarah arsitektur.
Alun-alun Selatan
Alun-alun Selatan, halaman paling selatan dalam
kompleks Kraton Yogyakarta, yang dikenal juga
dengan nama Alun-alun Pengkeran (Alun-alun
belakang) dan masih terletak di dalam tembok
baluwarti (tembok Kraton).
Alun-alun Utara
Alun-alun utara Kraton Yogyakarta berdenah
bujur sangkar dengan ukuran 300 x 300 meter
persegi. Alun-alun utara ini dahulunya berpasir,
hanya bagian alun-alun sebelah selatan di depan
pagelaran ada yang berumput yang bernama
Bakung. Di tengah alun-alun terdapat dua buah
pohon beringin yang diberi pagar yang disebut
ringin-kurung. Dua ringin kurung di alun-alun
ini mempunyai kedudukan yang terhormat di
dalam Kraton dibanding dengan jenis vegetasi
di dalam kraton lainnya. Nama kedua ringin
kurung tersebut, yang sebelah barat bernama Kyai
Dewadaru, dan yang sebelah timur Kyai Janadaru
(sekarang bernama Kyai Wijayadaru). Pada
hakekatnya nama dan posisi tempat kedudukan
ringin kurung ini mempunyai nilai simbolis dan
filosofis yang cukup dalam, karena kedua ringin
kurung ini melambangkan konsep Manunggaling
Kawula Gusti serta prinsip Hablun min Allah
dan Hablun min annas. Tata letak kedua ringin
kurung ini persis di antara sumbu filosofis Kraton
Yogyakarta (Panggung Krapyak – Kraton – Tugu
Golong Glilig).
Benteng Baluwarti
Satu bait tembang macapat Mijil di atas menggambarkan keadaan beteng dan plengkung serta jagang
atau parit yang mengelilingi beteng Kraton Yogyakarta yang saat ini sebagian masih bisa kita lihat sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari Kraton Yogyakarta meskipun sebagian dari bangunan tersebut telah
mengalami perubahan atau telah ada yang berubah bentuk. Terjemahan bebas dari tembang tadi adalah
sebagai berikut:
Di Mataram (Kraton Yogyakarta) mempunyai beteng tinggi yang mengelelilingi kraton. Plengkungnya
lima buah dan hanya empat yang terbuka. Parit yang mengelilingi beteng dalam dan airnya jernih,
lagipula diberi pagar pacak suji, dan pohon gayam di sepanjang jalan.
Kagungan Dalem beteng Kraton Yogyakarta merupakan bagian dari Kraton Yogyakarta yang paling
akhir dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwana I, yakni pada tahun Jawa 1706 atau tahun Masehi
1782, sedang kraton Yogyakarta sendiri selesai dibangun pada tahun Jawa 1682 yang terkenal dengan
sengkalan memetnya Dwi Naga Rasa Tunggal, atau tahun Masehi 1756. Pada awalnya pembangunan
beteng dipimpin oleh R. Rangga Prawirasentika Bupati Madiun yang kemudian dilanjutkan oleh
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom, yang kemudian menggantikan Sri Sultan Hamengku Buwana
I sebagai Raja Yogyakarta dengan sebutan Sri Sultan Hamengku Buwana II atau lebih terkenal dengan
sebutan Sultan Sepuh.
Plengkung Gading
Panjang beteng kraton arah timur - barat 1200 meter, dan arah utara – selatan
940 meter , kecuali beteng di sisi timur kraton diperpanjang ke utara 200
meter, karena disitu terletak rumah kediaman Kangjeng Gusti Pangeran Adipati
Anom di Sawojajar. Pada awalnya ketebalan beteng dua batu (lebih kurang
55 centimeter) dengan longkangan selebar 2,40 meter yang diurug dengan
tanah dari hasil galian jagang. Tinggi urugan 3,70 meter dari muka tanah asli.
Longkangan tersebut sebagai plataran beteng sebelah dalam, dan dari plataran
ini tinggi beteng dinaikkan lagi 1,50 meter.
Posisi atau tata letak beteng semula dari bunga yang diukirkan di bagian atas Plengkung
Pamengkang kompleks Siti Hinggil lurus ke barat Nirbaya (Plengkung Gading). Adapun kalimat
sampai pojok beteng barat laut, ke selatan sampai candrasangkala memet tersebut adalah Sarining
pojok beteng barat daya (lebih terkenal dengan (Lajering) Sekar Sinesep Peksi (1691 J.)
sebutan pojok beteng kulon), ke timur sampai
pojok beteng tenggara (pojok beteng wetan), ke Sebagai pintu masuk-keluar ke dan dari kraton
utara sampai ujung beteng timur laut belok ke barat yang dikelilingi beteng melalui lima buah
sampai pinggir Alun-alun Utara, belok ke selatan plengkung masing-masing Plengkung Tarunasura
urut pinggir Alun-alun Utara sampai pojok alun- atau Plengkung Wijilan di sebelah timur laut,
alun, ke barat dengan pagar rendah dan berakhir di Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem
kori pamengkang sebelah timur. di sebelah barat laut, Plengkung Jagabaya atau
Plengkung Tamansari di sebelah barat, Plengkung
Pada keempat sudut beteng ditambah lagi dengan Nirbaya atau Plengkung Gadhing di sebelah
bangunan segi empat hingga menjadi tiga sudut selatan dan Plengkung Madyasura atau Plengkung
yang ketiga sudut tersebut dibangun semacam Gondomanan di sebelah timur. Plengkung
sangkar sebagai tempat penjagaan sekaligus untuk Madyasura ini dahulu tertutup sehingga lebih
mengintai musuh yang disebut bastion. Pada dikenal dengan Gapura Buntet, hal ini seseai
dinding antar bastion diberi longkangan sepuluh dengan tembang Mijil tersebut di atas, dan baru
buah sebagai tempat untuk memasang meriam, pada tahun 1923 dibuka kembali atas perintah Sri
jadi untuk keempat pojok beteng tersedia tempat Sultan Hamengku Buwana VIII. Di atas plengkung
untuk empat puluh meriam belum terhitung digunakan untuk plataran yang dinamakan
meriam yang ditempatkan di atas plengkung. panggung sehingga plengkung tersebut dikenal
Selesainya pembangunan beteng dan plengkung juga dengan sebutan Gapura Panggung. Masing-
Kraton Yogyakarta ini bersamaan dengan selesainya masing plengkung dilengkapi dengan dua gardu
pembangunan Tamansari yakni pada tahun jaga atau bastion dan longkangan tempat meriam
1691 J. ditandai dengan candrasangkala memet empat buah .
berupa ornamen burung yang menghisap kuntum
Di depan plengkung terdapat jembatan gantung
yang menghubungkan kraton dengan daerah luar.
Apabila terjadi bahaya maka jembatan tersebut
dapat ditarik ke atas dan pintu-pintu plengkung
ditutup rapat sehingga jalan masuk ke dalam kraton
terputus. Di sisi luar beteng dibuat jagang atau
parit yang sisi luarnya dipagar bata setinggi satu
meter dan sepanjang jalan ditepi pagar ditanam
pohon gayam. Plengkung-plengkung tersebut
semula ditutup jam enam sore dan dibuka jam
enam pagi, kemudian dilonggarkan ditutup jam
delapan malam dan dibuka jam lima pagi ditandai
dengan bunyi genderang dan terompet dari prajurit
di Kemagangan. Prajurit yang menjaga plengkung
Tarunasura dan plengkung Jagasura adalah
prajurit Bugis dan penjaga plengkung Jagabaya
dan plengkung Nirbaya prajurit Surakarsa. Para
prajurit tersebut bertugas menutup dan membuka
pintu plengkung, dan sejak pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwana VIII pintu-pintu
plengkung tersebut tidak pernah ditutup, juga
plengkung Jagasura dan Jagabaya dirombak untuk
melancarkan lalu lintas.
Ensiklopedi Kraton Yogyakarta 7
ARSITEKTUR DAN TATA RUANG
Yang memprihatinkan pada saat ini adalah hampir hilangnya prasasti berhuruf
Jawa di Plengkung Wijilan tepatnya pada plengkung sisi utara di atas lampu hias
plengkung. Hampir hilangnya prasasti tersebut karena seringnya terkena lapisan
cat atau labur yang semakin menebal, padahal prasasti tersebut sangat mempunyai
nilai historis dan arkeologis. Pada tahun delapan puluhan huruf Jawa prasasti
tersebut dicat dengan warna hitam sehingga dengan menggunakan teleskop dapat
dibaca dengan jelas. Prasasti huruf Jawa yang dibuat dari bahan mortar tersebut
berbunyi “Kala winangun Sura, Dal, 1823, rampungipun Sapar , Be, 1824”,
yang artinya plengkung tersebut dipugar mulai bulan Sura tahun Dal 1823 (J.)
dan selesai pada bulan Sapar tahun Be 1824 (J), sehingga memerlukan waktu tiga
belas bulan untuk memugar plengkung dimaksud. Ditinjau dari tahun Jawanya,
pemugaran plengkung Wijilan tersebut dilaksanakan pada saat pemerintahan Sri
Sultan Hamengku Buwana VII.
Bangunan tanpa dinding berbentuk joglo sinom dengan tiga susun atap yang
disangga oleh tiga puluh enam tiang. Di sekelilingnya terdapat emper beratap seng
gelombang dengan tiang besi. Bangsal yang lugas dan nyaris tanpa ragam hias ini
didominasi kombinasi warna pare anom yang merupakan gabungan antara kuning
dan hijau dengan tiang atau saka bangsal ini bercat hijau tua sedangkan balok-balok
di atasnya berwarna kuning muda. Bangunan ini pada dasarnya adalah pendapa
bagi kompleks Dalem Kasatriyan yang merupakan kediaman putra-putra Sultan
setelah akil balig tapi belum menikah.
Bangsal Kasatriyan
Kasatriyan
Kasatriyan, Kompleks, terletak di sisi timur kompleks Kedhaton yang merupakan
pusat Kraton Yogyakarta. Semula tempat ini merupakan kediaman putra-putra
Sultan yang telah akil balig tapi belum menikah yang disifatkan sebagai para
satriya sehingga disebut Kasatriyan. Di tengah kompleks ini terdapat Bangsal
Kasatriyan yang merupakan pendapa utama. Di belakangnya terdapat dalem dan
gadri. Gadri atau bangunan belakang Kasatriyan ini berupa bangunan terbuka
berbentuk limasan memanjang yang biasa dipergunakan untuk upacara makan
bersama pada pernikahan putra-putri Sultan yang disebut dhahar klimah.
Regol Danapratapa
Kedhaton
Kedhaton, Kompleks, bagian utama Kraton Yogyakarta yang menjadi pusat
bagi keseluruhan kompleks Kraton dimasuki melalui Regol Danapratapa
Gedhong Sedahan
Bangsal Manis
Manis, Bangsal, bangunan limasan panjang
yang membujur di sisi selatan Bangsal Kencana
di Kompleks Kedhaton dipergunakan sebagai
balai perjamuan banquette hall untuk tetamu
resmi Sultan. Secara arsitektural bangunan yang
dirancang oleh Kangjeng Raden Tumenggung
Jayadipura atas prakarsa Sultan Hamengku Buwana
VIII ini sangat menarik karena menggabungkan
langgam bangunan Jawa yang banyak dijumpai di
Kraton dengan ornamentasi khusus seperti praba
dan putri mirong, dengan langgam bangunan
perkampungan dengan pola pagar bersilangan
dan langgam Eropa dengan hiasan kaca timah di
sepanjang tepian atas bangunan. Bagian menjorok
di tengah berhias sepasang naga bermahkota
yang mengapit kepala raksasa yang merupakan
sengkalan yang terbaca “werdu yaksa naga raja”
yang melambangkan tahun 1828 J.
Bangsal Manis
Bangsal Kemagangan
Kemagangan, Bangsal, bangunan utama di kompleks Kemagangan yang terletak
tepat di selatan Kedhaton sebagai pusat Kraton Yogyakarta. Bangsal ini berbentuk
joglo sinom lambang gantung yang berarti joglo beratap susun tiga dengan atap
penanggap atau atap susun kedua menggantung pada atap di atasnya. Bangsal
Kemagangan berwarna hijau tua dengan usuk tersusun memusat serupa jejari
payung. Pada bangsal ini terdapat lantai yang ditinggikan yang disebut sela gilang
untuk tempat duduk Sultan bila hadir pada acara di tempat ini. Bangsal ini
sering dipergunakan untuk penyelengaraan pentas wayang kulit setelah Garebeg
yang disebut upacara Bedhol Songsong. Secara filosofis Kemagangan berasal dari
kata Magang yang berarti tahapan menempa dan mengembangkan diri sebelum
mencapai kesempurnaan.
Bangsal Kemagangan
Gadhung Mlathi
Gadhung Mlathi, Regol, gerbang yang menghubungkan kompleks Kemagangan
dan Kemandhungan Selatan berbentuk limasan semar tinandhu yang disangga
oleh dua pilar di tengah. Gerbang ini memiliki hiasan pada kelir atau dinding
penghalangnya berupa sepasang naga bertaut ekor yang merupakan sengkalan
atau kronogram yang terbaca “dwi naga rasa tunggal” menandai tahun 1682
J memeringati saat berdiri dan dihuninya Kraton Yogyakarta. Gerbang ini
didominasi kombinasi warna hijau-putih atau gadhung mlathi sehingga dinamai
menurut pewarnaan ini.
Regol Kemagangan
Kemagangan, Regol, gerbang yang menghubungkan
kompleks Kedhaton dan Kemagangan, berbentuk
limasan semar tinandhu yang disangga oleh dua
pilar di tengah. Gerbang ini memiliki hiasan di
sisi utara pada kelir atau dinding penghalangnya
berupa sepasang naga bertaut ekor yang merupakan
sengkalan atau kronogram yang terbaca “dwi naga
rasa tunggal” sedangkan di sisi selatan terdapat
hiasan sepasang naga berwarna merah yang
keduanya menghadap ke selatan yang teraca “dwi
naga rasa wani”. Keduanya menandai tahun 1682
J memeringati saat berdiri dan dihuninya Kraton
Yogyakarta.
Regol Kemagangan
Regol Brajanala
Brajanala, Regol, gerbang yang menghubungkan kompleks Siti Hinggil Utara
dan Kemandhungan Utara, berbentuk limasan semar tinandhu yang disangga
oleh dua pilar di tengah.
Gdhong Jene
Gedhong Jene
Jene, Gedhong, atau Gedhong Kuning, meru-
pakan bangunan baru yang dibangun pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana
VIII menggantikan bangunan lama dengan
peran serupa. Bangunan ini dinamakan Gedong
Kuning karena dicat dengan warna kuning gading.
Kuning adalah warna segala sesuatu yang bersifat
ketuhanan. Gedong Kuning merupakan gambaran
tempat roh-roh yang telah hening dan murni,
yaitu swarga langgeng atau surga abadi. Bangunan
Gedong Kuning terletak di sebelah utara Bangsal
dan Tratag Prabayaksa, menghadap ke arah timur.
Bangunan ini penuh dengan hiasan ukiran, di
antaranya adalah Prajacihna Kraton Yogyakarta.
Fungsi Gedong Kuning adalah untuk tempat
tinggal Sri Sultan dan sebagai Kantor untuk Sri
Sultan. Gedong Kuning juga digunakan untuk
menyimpan pusaka kraton yang bernama Kiai
Baladewa, ukuran panjangnya 3,75 meter
Bangsal ini diapit oleh dua bangunan limasan memanjang yakni Tratag
Bangsal Kencana di sisi timur yang semula dipergunakan untuk pentas
wayang orang kolosal khususnya pada masa Hamengku Buwana VIII (1921-
1939) dan Tratag Prabayeksa di sisi barat yang biasa dipergunakan oleh para
penari bedhaya sebelum berpentas di Bangsal Kencana. Pada masa Hamengku
Buwana VII (1877-1921) semua tratag ini dibangun ulang dengan tiang-
tiang besi tuang impor yang serupa kolom klasik Eropa dengan hiasan sulur
berbunga yang melilit dan atap metal bergelombang.
Bangsal Kencana
ARSITEKTUR DAN TATA RUANG
Bale Wara, Regol besar yang masih ada pintunya dan terbuat dari kayu tebal.
Bale artinya bangunan, wara artinya terpilih. Jadi Balewara adalah tempat
penerimaan tamu pilihan atau tamu penting;
Bale Mangu, ruang tunggu para abdi dalem Kepatihan pada saat mendampingi
pepatih dalem ke upacara garebeg Kraton. Selain itu juga pernah digunakan
sebagai tempat pengadilan agraria yang dipimpin oleh pepatih dalem sendiri;
Bale Ngreni, yang merupakan tempat tinggal para puteri, karena kata Ngreni
berasal dari kata dasar reni yang berarti wanita;
Bale Thenguk yang merupakan bagian dari Keputren dan fungsinya sebagai
tempat keluarga pepatih dalem yang sudah lanjut usia sehingga pekerjaannya
hanya thethenguk (duduk-duduk saja);
Bale Lajur, berupa gandok, sebagai tempat tinggal Pengageng Pawon Ageng
atau Boga Kepatihan;
sisi selatan hiasan ornamen dan bentuk kanopinya 1934 M. (Catur : 4, Trisula : 3, Kembang : 9, Lata
berbeda. Kalau di sisi utara kanopi berbentuk : 1). Dengan demikian sengkalan memet dari arah
segitiga, kalau kanopi di sisi selatan berbentuk utara menunjukkan angka tahun Jawa, dan dari
lengkung busur. Lambang kratonnya ditambah arah selatan menunjukkan angka tahun Masehi.
dengan angka 8 (huruf Jawa) yang menandakan Hal yang sama akan dijumpai pada sengkalan
bahwa yang bertahta adalah Sri Sultan Hamengku memet yang terukir di Bangsal Siti Hinggil.
Buwana VIII. Lambang yang demikian disebut
Cihnaning Pribadi. Dibawah lambang Cihnaning Dahulu Bangsal Pagelaran adalah tempat untuk
Pribadi diukir ornamen hasil bumi. Diatas keempat pasowanan Pepatih Dalem dan Bupati Penewu
pilar di bagian tengah kanopi diukir ornamen Mantri golongan Njawi. Pada saat digunakan
senjata trisula berjumlah empat, ornamen daun untuk acara resmi pihak Kraton untuk menerima
dan bunga. Ornamen tersebut merupakan surya tamu maupun kegiatan resmi lainya, untuk
sangkala memet yang berbunyi Catur Trisula pameran maupun kegiatan umum yang lain yang
Kembang Lata yang menunjukkan angka tahun telah mendapat ijin dari pihak Kraton.
Bangunan Pekapalan yang berada di sebelah barat Jalan Pangurakan ke barat lalu
ke selatan mengelilingi alun-alun adalah sebagai berikut :
Gedhong Purwaretna
Siti Hinggil Selatan, Kompleks, Suatu Siti Hingil Utara, Kompleks, Sebuah kompleks
kompleks (pelataran dan bangunan) di dalam di sebelah selatan Alun-alun Lor yang letaknya
Kraton Yogyakarta yang terletak di sebelah selatan dibuat lebih tinggi dari tanah di sekitarnya.
Pelataran Kemandhungan Kidul. Seperti juga pada Menurut Babad Mentawis, kompleks ini mulai
Sitihinggil Lor, pelataran ini dikelilingi oleh jalan dikerjakan peninggiannya pada tahun 1683 Jawa
yang berhubungan dengan Alun-alun Kidul dan (1757 Masehi). Pada sisi-sisi pelataran Sitihinggil
Kemandhungan Kidul, yang dikenal dengan nama Lor terdapat pagar tembok yang dibentuk
supit urang atau pamengkang.Bangunan utama berlubang-lubang. Sebuah undak-undak dibuat
kompleks Sitihinggil Kidul ini adalah Bangsal untuk menghubungkan antara Sitihinggil Lor dan
Sitihinggil. Bentuk bangunan bangsal tersebut Bangsal Pagelaran (bangunan paling selatan dalam
adalah joglo lambang teplok, terletak di tengah- kompleks Alun-alun Lor). Bangunan-bangunan
tengah halaman Sitihinggil, dengan arah hadap ke yang terdapat di dalam kompleks ini adalah Bangsal
selatan. Di bangsal ini terdapat sebuah sela gilang Pacikeran (berada di sisi utara, mengapit ujung
untuk tempat duduk Sri Sultan. Bangsal ini dahulu bawah, undak-undakan), Tarub Agung (berada di
juga digunakan untuk tempat latihan prajurit ujung teratas undak-undakan)(Gambar 26Bangsal
wanita Langen Kusuma yang dipimpin oleh pacikeran), Tratag Sitihinggil (gambar 38 tratag
gatwa dalem (permaisuri Sri Sultan). Bangunan sitihinggil)(berada di sebelah selatan Tarub Agung
ini sekarang telah diganti dengan bangunan baru, dan di tengah-tengah kompleks), Bangsal Witana
yaitu Sasana Hinggil Dwi Abad. Bangunan baru (berada di sebelah selatan Tratag Sitihinggil),
ini merupakan bangunan untuk memperingati usia Bangsal Manguntur Tangkil (berada di tengah-
Kraton Yogyakarta yang berusia 200 tahun (1756- tengah dan dinaungi oleh Tratag Sitihinggil),
1956). Oleh karena itu sejak saat itu bangunan di Bangsal Pecaosan Gandhek dan Bangsal Pecaosan
kompleks Sitihinggil Kidul ini lebih dikenal dengan Jeksa (berada di sisi kiri dan kanan Tarub Agung),
nama Sasana Hinggil Dwi Abad. Bangunan Sasana Bale Bang (di sisi barat Bangsal Witana) dan Bale
Hinggil Dwi Abad masuk dalam pengelolaan Angun-angun (di sebelah timur Bangsal Witana)
Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta. serta Gedung UGM (di sisi paling selatan, masing-
masing di sisi kiri dan kanan). Halaman Sitihinggil
dikelilingi oleh sebuah lorong pada ketiga sisinya,
kecuali pada sisi utara. Lorong tersebut dikenal
dengan nama dalan pamengkang atau dalan supit
urang.
Bangsal Srimanganti
Srimanganti, Bangsal, terletak di sisi barat sebelah timur Plataran Sri Manganti ini terdapat
halaman Srimanganti. Bangunan Bangsal dua buah meriam dan sebuah piagam. Mulanya
Srimanganti berbentuk joglo sinom lambang meriam tersebut berjumlah banyak, namun kini
gantung yang berarti joglo beratap susun tiga hanya tinggal dua buah saja. Pada meriam tersebut
dengan atap penanggap atau atap susun kedua terdapat tulisan dengan menggunakan huruf
menggantung pada atap di atasnya. Di Bangsal Jawa yang menyebutkan tahun pembuatannya.
Srimanganti ini terdapat sela gilang untuk Sedangkan tulisan pada piagam menggunakan
tempat duduk Sri Sultan bila ia menemui atau huruf Jawa dan huruf Tionghoa yang berisikan
menerima tamu. Selain untuk menerima tamu, ucapan terima kasih masyarakat Tionghoa di
Bangsal Sri Manganti dipergunakan untuk tempat Yogyakarta kepada Sri Sultan Hamengku Buwana
sowan (menghadap) para abdi dalem bupati IX atas perlindungan yang telah diberikannya.
serta para keluarga raja, apabila di Kraton scdang
diselenggarakan suatu upacara kenegaraan. Pohon-pohon yang ditanam di Plataran Sri
Manganti semuanya berupa pohon buah-buahan,
Srimanganti, Kompleks, kompleks terakhir seperti pohon mangga, pohon jambu dersana,
sebelum memasuki pusat Kraton dari arah utara. dan pohon jambu tlampok arum. Pohon jambu
Halaman ini dibatasi oleh pintu gerbang Sri tlampok arum ditanam di halaman ini sebagai
Manganti dan pintu gerbang Danapratapa. Di peringatan agar semua orang hanya berbicara
dalamnya terdapat dua bangunan utama yang dengan kata-kata yang harum-harum (arum) saja,
terletak membujur yaitu Bangsal Trajumas dan sehingga bisa menjadi orang yang bijaksana dan
Bangsal Srimanganti. Sepanjang tepi barat halaman menjadi tauladan (sinudarsana) selamanya.
ini terdapat Kantor Tepas Sekuriti yang berbentuk
memanjang dan pada sisi timur halaman ini terdapat
Kantor Parentah Ageng dan Tepas Halpitapura.Di
Tamanan, Bangsal, bangunan kecil berbentuk Trajumas, Bangsal, terletak di sebelah timur
joglo lawakan lambangsari dengan atap bersusun Bangsal Srimanganti dan bersama-sama menjadi
dua dan atap bawah menempel pada atap di atasnya, bangunan utama di kompleks Srimanganti.
terletak di utara Gedong Kuning dan di sebelah barat Sesuai dengan namanya, bangunan ini berbentuk
halaman Sri Manganti. Bangsal ini didominasi oleh limasan trajumas lambang gantung, suatu bentuk
warna biru tua, merah, putih dan keemasan yang yang sangat jarang dipakai dengan enam saka
berbeda dengan kebanyakan bangunan di Kraton. guru atau kolom utama dan atap susun kedua
Ornamentasi yang unik dijumpai pada kerbil atau atau penanggap yang menggantung pada atap di
bidang pengaku hubungan antara gelagar dan atasnya. Dengan saka guru sebanyak tiga pasang
saka guru yang di antaranya memiliki figur naga, maka terdapat sepasang saka tepat di tengah ruang
burung hong dan kijang yang akrab dengan tradisi yang menjadikan bangunan ini seperti neraca yang
Tiongkok. Perbedaan ini menimbulkan gambaran setimbang maka disebut sebagai trajumas. Secara
bahwa Bangsal Tamanan berasal dari masa sebelum simbolis bangsal berwarna hijau tua ini bermakna
Kraton Yogyakarta dibangun. Beberapa cerita lisan kemampuan seseorang dalam mengasah jiwanya
menyebutkan bahwa Bangsal ini berasal dari Masa sehingga menjadi setimbang dan adil.
Kerajaan Majapahit.
Tugu Golong Gilig, Tugu yang berwarna putih yang terletak dalam satu garis
lurus sebelah utara Kraton Yogyakarta, didirikan oleh Sultan Hamengku Buwana
I. Semula, tugu dibuat dari bahan batu bata dengan ketinggian 25 meter. Puncak
tugu berbentuk bola sehingga disebut golong (nasi golong yang biasa digunakan
untuk sesaji berbentuk bulat bundar seperti bola). Puncak tugu yang disebut
golong tadi ditopang oleh kerucut terpancung yang berbentuk bulat panjang
(gilig), sehingga secara keseluruhan disebut Tugu Golong Gilig. Karena tugu
tersebut diberi warna dengan warna putih maka dalam bahasa Belanda disebut
White Paal, dan kebanyakan masyarakat Yogyakarta menyebut Tugu Pal Putih.
Secara filosofis Tugu Pal Putih merupakan bagian dari sumbu simbolis-filosofis
Kraton dan kota Yogyakarta yang terentang hinga Panggung Krapyak. Bentuk,
letak dan warna Tugu mengandung makna simbolis dan filosofis yang kompleks.
Dikaitkan dengan mitologi agama Hindu bentuk Tugu dan Panggung Krapyak
melambangkan lingga dan yoni, lambang dari kesuburan. Warna tugu yang
putih melambangkan kesucian, sedangkan bentuk golong gilig melambangkan
Manunggaling Kawula Gusti. Ada dua makna Kawula Gusti disini. Kawula
yang berarti Rakyat dan Gusti yang berarti Raja, tetapi juga dapat juga Kawula
yang berarti Raja (Sultan) dan Gusti yang berarti Tuhan Sang Pencipta. Tugu
Golong Gilig merupakan pengejawantahan dari semangat dan tekad bulat serta
persatuan antara raja dan rakyatnya, karena Pangeran Mangkubumi menyadari
bahwa keberhasilan yang dicapai dalam membangun kraton dan negeri
Ngayogyakarta Hadiningrat tidak akan dapat terwujud tanpa bantuan rakyat
atau kawula. Namun di sisi lain Tugu Golong Gilig sebagai titik pandang Sultan
sewaktu meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di kompleks Sitihinggil dan
menghadap ke utara. Disinilah makna filosofi manunggaling Kawula Gusti atau
raja dengan Sang Maha Pencipta berlaku. Namun di sisi lain Tugu Golong Gilig
yang berwarna putih juga melambangkan manunggaling cipta dan rasa yang
dilandasi kesucian hati, karena dimulai dari Tugu Pal Putih sampai ke Kraton
melambangkan perjalan manusia (di dunia) menghadap Tuhan Sang Pencipta
(di akherat).
Pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VI tepatnya pada
tanggal 10 Juni 1867 atau tanggal 4 Sapar tahun 1796 J (ditandai dengan
candrasangkala Obah Trus Pitung Bumi) terjadi gempa bumi hebat di Yogyakarta
yang merusakkan bangunan Tugu Golong Gilig. Setelah mengalami kerusakan
selama lebih kurang 20 tahun, atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwana ke
VII Tugu tersebut dibangun kembali dengan perubahan bentuk seperti tugu yang
sekarang masih kokoh berdiri. Pembangunan kembali Tugu tersebut mendapat
dukungan Residen Belanda Y Mulle Mester dan pelaksanaan fisik dibantu Patih
Dalem Kanjeng Raden Adipati Danureja V. Pembangunan Tugu kraton tersebut
selesai pada tanggal 3 Oktober 1889 ( 7 Sapar, Alip, 1819 ditandai dengan
candrasangkala Wiwara Harja Manggala Praja).
Panggung Krapyak
Witana, Bangsal, bangunan utama di Kompleks Siti Hinggil Utara, berbentuk tajug lawakan lambang
gantung yang berarti beratap seperti piramida bersusun dua dengan atap penanggap atau atap susun
kedua menggantung pada atap di atasnya. Bangunan ini berwarna coklat tua dengan ornamen berperada
emas yang kontras. Pada tahun 1925 bangsal ini dipugar total ditandai dengan sengkalan atau kronogram
“tinata piranti ing madya witana”.
Berakar pada kata wiwit atau mula Bangsal Witana melambangkan asal muasal yang luhur dan hakiki
sehingga menduduki tempat yang dimuliakan. Pada saat upacara besar seperti Garebeg dan Penobatan
Raja, bangunan terbuka ini dipergunakan sebagai tempat persemayaman pusaka-pusaka utama seperti
Kangjeng Kyai Ageng Plered, Baru, Gada Tapan dan Gada Wadana. Sultan bertahta di Bangsal Manguntur
Tangkil yang lebih kecil dan lebih rendah di depan Bangsal Witana.