ANGGOTA :
5. AGUSTINA TONI
6. INDRILIANI D FONTAINO
7. ADRIAN BALLO
8. JUANDA A BIEN
9. ADHY C NENO
2. Topografi
Berbukit-bukit dengan dataran tersebar secara sporadis pada luasan sempit
merupakan ciri topografi Kabupaten Nagekeo. Kebanyakan permukaannya berbukit
dan bergunung, dataran-dataran sempit memanjang disekitar pantai diapit oleh
dataran tinggi atau sistem perbukitan.Berdasarkan tingkat kemiringan lahan, sebagian
besar wilayah Kabupaten Nagekeo mempunyai kemiringan lahan antara 160 s/d 600
yang mencakup 37,16% dari total luas wilayah. Berdasarkan data dari BPS, luas
wilayah berdasarkan kemiringan lahan sebagai berikut:
3. Geologi
Kabupaten Nagekeo termasuk daerah vulkanis muda. Klasifikasi tanah di
Kabupaten Nagekeo terdiri dari jenis tanah Mediteran, Latosol dan Aluvial. Bahan
galian C banyak ditemukan di Kabupaten Nagekeo. Hal ini dibuktikan dengan hasil
pemetaan semi mikro oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang memperlihatkan biji besi di Kecamatan Aesesa, kadar Ferum (Fe) sekitar
72%. Granit di Desa Nggolonio, Zeolit di Marapokot (Kecamatan Aesesa) seluas 9,6
ha, Nangaroro 313 ha dan di Desa Totomala (Kecamatan Wolowae) terdapat di
daerah konservasi air, dengan potensi lestari sekitar 266.721.653 m3. Bahan galian
batu kapur, marmer di Desa Gerodhere (Kecamatan Boawae) luas penyebaran belum
teridentifikasi. Bahan galian pasir batu di Kecamatan Aesesa jumlah sumberdaya
2.783.483 m3di Kecamatan Boawae terdapat di Desa Wolopogo dan Desa Nageoga
jumlahnya 191.908.817 m3, sirtu di Desa Ndora (Kecamatan Nangaroro) dengan luas
1 (satu) ha. Bahan galian tanah liat terdapat di Kelurahan Danga (Kecamatan Aesesa)
seluas 753,93 ha dengan ketebalan 1,5 m – 2 m dan Watuapi memiliki kandungan
sebesar 17.648.547 ton.
4. Hidrologi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Aesesadengan areal seluas 118.074,29 ha
masuk dalam dua wilayah administrasi yaitu Kabupaten Nagekeo seluas 70.980,15
ha yang sebagian besar berada pada wilayah hilir dan Kabupaten Ngada seluas
47.094,14 ha yang sebagian besar berada pada wilayah hulu.Sub DAS Aesesa terdiri
dari Wae Woki, Wulabhara, Aelia-Nagerawe, Gako, Aemau, di antara sub DAS
tersebut, tiga sub DAS terletak di wilayah Kabupaten Nagekeo yaitu sub DAS Aelia-
Nagerawe, Gako, dan Aemau. Sungai Aesesa merupakan sungai utama dari DAS
Aesesa dengan debit ± 7 m³/detik pada musim hujan dan ± 3 m³/detik pada musim
kemarau. Beberapa sungai lain yaitu; Ae Bha, Lowo Lele, Natabhada (Boawae);Ae
Maunori (Keo Tengah), Lowo Redu (Aesesa Selatan); Sungai Nangaroro,
Nangemere, Ndetunura (Nangaroro), serta beberapa sungai lain yang tersebar merata
di setiap kecamatan.Terdapat juga 290 mata air yang tersebar di setiap kecamatan di
Kabupaten Nagekeo, dan diantaranya telah digunakan masyarakat sebagai sumber air
minum.
1. Aesesa 3.343,6
2. Waemburung 1.916
3. Lowowatumanuk 4.862
5. Klimatologi
Secara umum Kabupaten Nagekeo beriklim tropis, dengan variasi suhu dan
penyinaran matahari efektif rata-rata 8 jam per hari. Musim hujan berlangsung antara
bulan Desember hingga Maret dan musim kemarau antara bulan April hingga
November. Kecamatan Boawae memiliki curah hujan terbesar selama 3 (tiga) tahun
terakhir tahun 2010 s/d 2012, yaitu lebih dari 2.500 mm dan mencapai lebih dari
3.000 mm pada tahun 2012, disusul Kecamatan Mauponggo yang memiliki curah
hujan sebesar 2.008 mm pada tahun 2012.Curah hujan Kecamatan Mauponggo, Keo
Tengah, Boawae, Aesesa Selatan dan Wolowae cenderung meningkat selama periode
2008 s/d 2012, sedangkan curah hujan di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan
Nangaroro cenderung fluktuatif.
6. Penggunaan Lahan
Menurut RTRW Kabupaten Nagekeo (2011) penggunaan lahan terbagi atas
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari Kawasan
hutan lindung seluas 11.071 Ha, hutan bakau mangrove seluas 1.201,40 ha, cagar
budaya dan ilmu pengetahuan seluas 300 ha, sempadan pantai 1.016 ha dan taman
wisata laut seluas 20 ha. Kawasan budidaya terdiri dari kawasan budidaya pertanian
yang mencakup kelompok tanaman pangan lahan basah, kelompok tanaman pangan
lahan kering, palawija, buah-buahan, holtikurtura, tanaman perkebunan, tanaman
kehutan, dan lahan peternakan. Kawasan budidaya non-pertanian seluas 4.119,22 ha
yang mencakup kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di dalamnya
termasuk perumahan, industri, pertambangan, pariwisata dan lain-lain di luar
kawasan lindung dan budidaya pertanian. Kawasan budidaya non pertanian ini lebih
dominan berada di pusat-pusat pertumbuhan wilayah baik perkotaan maupun
perdesaan dengan dicirikan tersebarnya pusat-pusat pemukiman disetiap wilayah.
Tabel 2.2. Nama, Luas Wilayah dan Jumlah Desa/Kelurahan Per Kecamatan
No Nama Jumlah Luas Wilayah (Km2)
. Kecamatan Desa/ Administrasi Area Terbangun
Keluraha Ha (%) Thd Ha (%) Thd
n Total Total
1. Mauponggo 21 10.252 7,42 22,95 15%
2. Keo Tengah 16 6.562 4,63 17,28 11%
3. Nangaroro 19 23.802 16,80 21,95 14%
4. Boawae 27 32.542 22,97 36,92 24%
5. Aesesa Selatan 7 7.100 5,01 7,12 5%
6. Aesesa 18 43.229 30,51 40,31 26%
7. Wolowae 5 18.209 12,85 6,16 4%
Jumlah 113 141.696 152,7
0 100%
Sumber: Nagekeo Dalam Angka 2013 (Diolah)
Luas area terbangun dalam tabel 2.2 di atas merupakan hasil kesepakatan pokja dengan asumsi dasar
rata-rata luas bangunan di Kabupaten Nagekeo adalah 36 m2 dan jumlah rumah sama dengan jumlah
rumah tangga.
Jumlah KK : 1588 KK
Desa Rendu Ola merupakan salah satu perkampungan adat yang berada
kecamatan Aesesa selatan , kabupaten Nagekeo.Menurut cerita petua adat disana (
Bpk. Rafael ) dia mengatakan bahwa nentek moyang masyarakat desa rendu ola
berasal dari Sulawesi. Setelah mereka datang dari Sulawesi dan terdampar di
Nagelewa,Mbai di bagian pesisir pantai. Dan mereka menetap disana kurang lebih
empat tahun.Setelah itu mereka pindah ke daerah pegunungan dikali sebelah utara
.dari kali tersebut, mereka kemudian pergi ke Warikeo. Kemudian mereka menetap
dan membuat perkampungan disitu, disana mereka juga membuat Peo merupakan
symbol pemersatu masyarakat didesa rendu Ola .Dimana pada kampung tersebut juga
terdapat peo pertama, yang Kemudian dibakar dengan api dan sampai sekarang hanya
meninggalkan bekasnya saja beserta bebatuan yang ada disitu.
Pada kampung tersebut terdapat dua suku , yaitu suku Wolowea dan suku
Lambo. Dimana kemudian terjadilah perang antara kedua suku tersebut. Karena ingin
memenangkan perang tersebut, maka suku Wolowea meminta bantuan dari
masyarakat desa Rendu untuk membantu mereka. Maka pergilah mereka kesana
untuk meminta bantuan, dan masyarakat desa Rendu setuju untuk membantu mereka.
Keesokan harinya, suku Wolowea dan masyarakat Rendu melakukan pertemuan dan
memutuskan menyusun strategi peperangan.
2. Kepercayaan Adat
Pada setiap sa’o , mempunyai sebuah museum atau Saga untuk menyimpan hasil
persembahan saat melakukan ritual adat yang diletakan dibagian kiri dari sa’o dan Saga
harus diletakan langsung kearah terbit matahari. Sedangkan pada rumah induk atau Istana
terdapat perbedaan pada struktur bangunannya dimana strukturnya terbuat dari papan
yang dipercayai masyarakat setempat bahwa sa’o tersebut sudah dewasa dan disebut
sebagai istana. Dan untuk sa’o atau rumah adat yang konstruksi bangunannya terbuat dari
bambu atau naja dipercayai bahwa sa’o tersebut belum dewasa.
Gambar : Sao
Masyarakat desa Rendu Ola percaya bahwa dalam rumah atau sa’o untuk pintu
belakangnya tidak boleh ada supaya rezeki yang masuk tidak keluar dan tetap berada didalam
rumah. Juga masyarakat mempercayai untuk tungku api haruslah berada disebelah kiri rumah
supaya para wanita diberikan kekuatan dan semangat dalam bekerja.
Masyarakat juga mempercayai hati babi atau biasa disebut ate wawi sebagai salah satu
media untuk melihat tanda-tanda atau informasi yang disampaikan oleh nenek moyang untuk
masyarakat desa tersebut yang dimana hati babi atau ate wawi ini akan dilihat oleh tua adat.
Apabila ada terjadi keganjilan pada hati babi, maka tua adat akan menyampaikannya kepada
masyarakat sehingga masyarakat dapat memperbaiki keganjilan tersebut.
Masyarakat desa Rendu Ola juga mempercayai pada pintu masuk atau gerbang masuk ke
dalam desa ketika kita memasukinya, kita akan dibersihkan dari roh-roh jahat, jadi ketika sudah
berada dalam desa kita sudah disucikan atau dibersihkan dari roh-roh jahat tersebut.
3. Larangan :
Masyarakat kampung percaya adanya larangan-larangan yang tabu dan tidak diperbolehkan
didesa, dalam hal ini adalah, larangan untuk setiap wanita tidak diperbolehkan memasuki,
melihat isi bagian dalam atau menyentuh bagian-bagian dari Sale (tempat menyimpan tanduk-
tanduk atau tengkorak kerbau, rahang babi, dan alat musik gendang yang digantung pada bagian
kerangka kuda-kuda dan gording dari Sale). Apabila wanita melanggar larangan tersebut maka
akan mendapat petaka untuk tidak bisa hamil atau mandul.
Gambar : Sale
Larangan untuk saat memberikan barang tidak boleh melangkahi atau melewati badan
seseorang karena dianggap tidak baik atau pemali.
Larangan untuk tidak menginjak bambu pada bagian pintu gerbang. Jika menginjaknya
maka akan mendapatkan kesialan atau musiba. Dan untuk menghindarinya, haruslah melakukan
ritual pemulihan dengan mengorbankan seekor kerbau yang mana dagingnya akan dibagikan
kepada warga desa, tetapi yang melanggarnya tidak diperbolehkan untuk turut mengkonsumsi
daging tersebut.
Gambar : Bambu pada gerbang masuk
Larangan pada saat upacara Tua Meze tidak diperbolehkan untuk memukul atau menyakiti
anak-anak karena jika anak-anak tersakiti maka jin atau Uru Bore akan membawa mengambil
anak- anak tersebut untuk ikut bersama mereka.
Larangan untuk tidak menginjak tempat untuk memberi makan leluhur atau biasa disebut
Lipitozo, karena dianggap luhur.Apabila salah menginjak tempat tersebut, maka
akanmendapatkan malapetaka atau musibah. Untuk mengatasinya haruslah memberitahu kepada
tua adat agar menghapus segala musibah yang mungkin akan terjadi.
Larangan untuk tidak melakukan kegiatan di bagian selatan pada saat upacara adat Tua
Meze. Jika melanggar aturan tersebut maka akan mendapat musibah yang mana untuk
menghindari musibah tersebut haruslah melakukan ritual adat dengan mengorbankan seekor
kerbau. Juga adanya larangan untuk tidak membakar ubi (debo) sampai pecah, yang kegiatan
membakar ubinya tidak boleh dilakukan didalam desa, tetapi harus diluar desa, dan asap dari
pembakaran ubi tersebut tidaklah boleh terkena pada tubuh manusia. Apabila terkena asap
tersebut, maka tubuh akan mengalami penyakit kulit.
Larangan untuk laki-laki tidak melirik atau menggangu wanita yang belum disunat dan
memotong gigi karena dianggap belum dewasa. Apabila melanggar aturan tersebut maka dari
pihak laki-laki akan dikenakan denda berupa satu ekor kerbau jantan merah yang bertanduk
panjang.
2.1.3.2 Sistem kekerabatan dan system organisasi social
Masyarakat Rendu Ola telah memiliki sistem kekerabatan dan organisasi
masyarakat yang terdapat pada tatanan kemasyarakatan Rendu Ola. Pada tatanan
masyarakat Rendu Ola di bagi menjadi dua yaitu secara pemerintahan dan juga
secara adat.
Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009, maka Struktur Organisasi Sekretariat
Daerah dan Sekretariat DPRD adalah sebagai berikut:
1. Sekretariat Daerah terdiri atas 3 (tiga) Asisten Sekretaris Daerah, 5 (lima) staf ahli, 9
(sembilan) Bagian, 23 (dua puluh tiga) Sub Bagian dan Kelompok Jabatan Fungsional.
a. Asisten Sekretaris Daerah terdiri atas asisten pemerintahan dan kesejahteraan rakyat;
asisten perekonomian dan pembangunan; dan asisten administrasi umum.
b.Staf ahli terdiri atas: staf ahli bidang hukum dan politik; staf ahli bidang
pemerintahan; staf ahli bidang pembangunan; staf ahli bidang kemasyarakatan dan
sumber daya manusia; dan staf ahli bidang ekonomi dan keuangan
c. Bagian-bagian mencakup: bagian administrasi pemerintahan umum, membawahi;
bagian administrasi kemasyarakatan, bagian administrasi perekonomian, bagian
administrasi pembangunan, bagian hukum, bagian organisasi, bagian umum, bagian
administrasi kesejahteraan rakyat, bagian administrasi sumber daya alam.
2. Susunan Organisasi Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terdiri dari:
a. Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. Bagian Humas Dan Keprotokolan; yang mempunyai tugas mengkoordinasikan
pelaksanaan urusan tugas-tugas kehumasan dan keprotokolan.
c. Bagian Tata Usaha; yang mempunyai tugas mengkoordinasikan pelaksanaan urusan
tata usaha, administrasi umum dan urusan rumah tangga.
d. Bagian Persidangan Dan Risalah; yang mempunyai tugas mengkoordinasikan
pelaksanaan urusan tugas-tugas persidangan dan risalah.
e. Kelompok Jabatan Fungsional.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembentukan
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Nagekeo, Struktur Dinas Daerah adalah
sebagai berikut :
Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 8 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Nagekeo, maka
organisasi dan tata kerja Lembaga Teknis adalah sebagai berikut :
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dan Statistik; mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan daerah, tata
ruang wilayah makro dan statistik.
2. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa; mempunyai tugas membantu Bupati dalam
melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa.
3. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Dan Ketahanan Pangan; mempunyai tugas
membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang
penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan.
4. Badan Kepegawaian, Pendidikan Dan Pelatihan; mempunyai tugas membantu Bupati
dalam melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang kepegawaian dan
pendidikan/ pelatihan.
5. Inspektorat; mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintahan, pertanahan, pembangunan, perekonomian daerah, badan usaha daerah,
kesejahteraan rakyat, pendapatan, perlengkapan dan aset daerah.
6. Badan Lingkungan Hidup; mempunyai tugas membantu bupati dalam merumuskan dan
melaksanakan pengendalian dampak lingkungan, kerusakan lingkungan dan konservasi
sumber daya alam.
7. Kantor Penanaman Modal; mempunyai tugas membantu Bupati dalam menentukan
kebijaksanaan bidang penanaman modal di daerah serta penilaian atas pelaksanaannya.
8. Kantor Perpustakaan Dan Arsip; mempunyai tugas membantu bupati dalam merumuskan
dan melaksanakan pelayanan bahan pustaka, kearsipan dan dokumentasi.
9. Satuan Polisi Pamong Praja; mempunyai tugas membantu bupati dalam bidang ketertiban
dan ketentraman masyarakat.
10. Rumah Sakit Umum Daerah Tipe C; mempunyai tugas melaksanakan pelayanan
pengobatan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit yang
dilaksanakan melalui pelayanan rawat inap, rawat jalan, rawat darurat (emergensi) dan
tindakan medik.
11. Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak;
mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan
pemerintahan di bidang Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.
Kepala adat dari desa Rendu Ola adalah Bpk. Rafael Loi, berumur 70 tahun yang juga
berasal dari marga atau woe Ebu Tuza dan menempati sa’o Aza Ola. Kepala adat memiliki tugas
memimpin upacara adat atau lebih kepada orang yang paling memahami adat di desa Rendu Ola.
Kepala Woe atau Marga adalah pemimpin dari masing-masing marga atau woe pada desa
Rendu Ola. Marga-marga ( woe) tersebut terdiri atas 7 yakni ; Ebu Tuza, Ebu Dapa, Naka
Lado,Para Meze, Nanga Lengi, Dhiri Ke’o dan Ebu Wedho ( sudah pindah ke desa Tutubhada
karena ingin mencari nafkah ). Untuk sekarang marga-marga tersebut sudah tersebar diberbagai
Rendu, tetapi mereka akan berkumpul kembali di rumah adat utama pada saat acara adat akan
berlangsung.
Lembaga Pemangku Adat (LPA) Rendu Ola adalah Bpk. Hendrikus Dega (69 tahun),
Bpk. Gabriel Bedhi (56 tahun), dan Bpk. Servas.LPA memiliki tugas untuk mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan pelanggaran hukum adat atau tata upacara adat.
Dalam masyarakat di desa Rendu Ola memiliki prinsip garis keturunan dari pihak ayah
dimana setiap istri mengikuti marga dari pihak suami.Yang boleh menempati sa’o tersebut hanya
diperbolehkan satu kepala keluarga. Anak yang meneruskan atau tinggal di sa’o (Rumah Adat)
adalah anak laki – laki dimana mereka akan menempati sa’o tersebut jika orang tua (ayah dan
ibu) telah meninggal.
Hasil panen berupa padi dan jagung biasanya disimpan di dalam bagian
atas tungkuh api yang berada di langit-langit rumah atau biasa disebut kae teo(
bagian atas) dan kae bo(bagian bawah yang menggelantung).
1. Mengetahui musim
Belahan hati
Pinggiran hati
Tepi hati
Pada bagian belahan hati masyarakat kampung adat desa Rendu Ola
mempercayai bahwa keakraban dan kerjasama dalam kampung adat dan
juga bisa membaca situasi kampung kedepannya, untuk Pinggiran hati,
masyarakat Rendu Ola mempercayai bahwa bagian yang menonjol naik
menandakan masih ada pelindung (leluhur) yang menjaga kampung adat, di
ibaratkan menjaga desa seperti pagar, untuk bagian Tepi hati, masyarakat
desa Rendu Ola mempercayai bahwa ketika pada bagian tepi hati ditekan
dan terasa keras menandakan bahwa masyarakat Rendu Ola masih ditopang
atau dilindungi oleh Leluhur
3. Pengetahuan berkebun dan berternak
Pada jaman dahulu saat binatang masih belum menjadi masalah saat
berkebun masyarakat rendu ola tak perlu membangun pagar saat bercocok
tanam namun saat binatang mulai datang dan mendekati desa rendu ola dan
mulai memakan hasil tanam masyarakat, merekan mulai membangun pagar
sebelum bercocok tanam untuk berternak masyarakat rendu ola mengikat
hewan ternak pada kebun masing-masing
4. Pengetahuan membangun
Masyarakat kampong adat Rendu Ola mempunyai kepercayaan mengenai
harus membangun pada bulan-bulan ganjil karena masyarakat kampong adat
Rendu Ola menganggap angka genap sebagai hal yang tabu atau pamali ,
untuk pengukuran masyarakat rendu ola menggunakan 1 jengkal jari sebagai
satuan metode hitung, dan pada saat mengukur kemiringan kontur tanah
menggunakan tali, bambu juga digunakan sebagai pengganti waterpass
5. Pengetahuan Pengobatan
Untuk system pengobatan masyarakat rendu ola menggunakan cara
tradisional dengan menggunakan daun sirih yang di kunyah lalu dioleskan
oleh dukun/tabib pada bagian tubuh yang sedang terkena penyakit
2. Tempat tinggal
Pada umumnya , rumah yang ditempati oleh masyarakat rendu ola
adalah rumah yang terbuat dari bambu cincang (naja) dan papan. Pada
rumah adat induk menggunakan dinding papan sedangkan rumah adat
yang lainnya menggunakan dinding bambu cincang (naja).
Masyarakat rendu ola juga menggunakan tikar (te’e) yang dianyam dari
daun lontar dan digunakan sebagai alas tidur mereka.
3. Alat pertanian
Masyarakat rendu, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Alat –alat yang digunakan adalah alat bertani pada umumnya seperti pacul
(pacu), tofa (cu’a), linggis, parang (fadhi) .
4. Alat masak
Masyarakat rendu ola menggunakan peralatan sederhana untuk memasak
seperti periuk tanah (podo) , tempat untuk menyimpan sayur dan buah-
buahan yang baru saja di petik dari kebun (ripe), kuali (kawa), sutel dari
tempurung kelapa dan bambu (bhetho), pisau (tudi), wadah sebagai
gayung,piring , maupun bokor (kula). Tungku api (lika lapu) , papan untuk
menahan abu dapur (lege lapu), sendok (suzu).
2.1.3.6 Kesenian
Kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya serta sarana yang dapat
digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa
manusia. Kesenian selain sebagai sarana untuk mengekspresikan rasa keindahan,
juga memiliki fungsi lain. Misalnya, mitos berguna dalam menentukan norma
untuk mengatur perilaku yang teratur dan meneruskan adat serta nilai-nilai
kebudayaan.
Seni tari
Tari Jedhe
Tari Jedhe adalah salah satu tarian adat khas kabupaten Nagekeo
yang di pakai untuk menyambut tamu dan juga mengantar tamu. Tarian
ini biasanya dimainkan oleh banyak orang, yang artinya melambangkan
sebuah kegembiraan akan datangnya orang baru diwilayah mereka.
Busana yang dipakai pada saat tarian adalah atasan berupa kemeja putih
bagi yang laki laki dan Kodo (sebutan bagi baju adat atasan wanita) dan
dilengkapi dengan selendang tenunan khas , lalu bagian bawah
menggunakan kain teunan khas Nagekeo.
Gong, gendang dan go genga adalah alat music yang dipakai untuk
mengiringi dan memeriahkan tarian tersebut.
Bahasa yang digunakan di desa rendu ola sendiri adalah bahasa Redudan
bahasa Indonesia. Sedangkan dalam berbagai prosesi upacara adat dan
penyambutan menggunakan bahasa adat redu, dan yang menyampaikan bahasa
tersebut hanya sebagian orang tertentu saja seperti ketua suku dan ketua adat
(mosa laki).
Ada 6 jenis upacara adat yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Desa
Rendu Ola, yaitu:
- Gua ru’u
Pada acara gua ru’u biasanya dilakukan pada bulan 2. Biasanya pada upacara ini
masyarakat Rendu Ola berkumpul dengan tujuan memberantas hama.
- Gua wo’e
Pada acara adat gua wo’e ini, biasanya dilakikan pada bulan lima masyarakat
Desa Rendu Ola berkumpul dan makan bersama untuk menikmati hasil panen.
- Koa ngi’itau ae (potong gigi)
Acara adat tersebut dilakukan pada bulan 6 untuk melakukan pendewasaan bagi
anak perempuan atau sering disebut dengan ana weta.Alat yang digunakan untuk
acara potong gigi tersebut adalah dengan menggunakan gergaji besi, batu kikir
atau batu asa.Acara potong gigi ini biasa dilakukan untuk perempuan yang
beranjak dewasa.Sehingga anak perempuan dewasa yang belum memotong gigi
masih dianggap anak kecil. Bila terjadi kesalahan (seperti hamil diluar nikah
maupun nikah secara diam-diam) maka pria yang bersangkutan dengan ana weta
tersebut akan dikenakan denda adat berupa kerbau jantan merah yang bertanduk
panjang.
- Gua meje
Acara adat gua meje biasanya dilakukan pada bulan 7 yang dimana bulan
tersebut dianggap mereka sebagai bulan suci dimana pada bulan tersebut segala
upacara adat dilakukan mulai dari
o Acara tinju adat. Untuk acara tinju adat sendiri dibagi menjadi dua yaitu
tinju adat laki-laki kecil atau atu co’o dan untuk laki-laki dewasa atau atu
meze.
dimana pada bulan tersebut masyarakat Desa Rendu Ola harus menjaga
situasi agar selalu tenang. Karena, mereka mempercayai bahwa ada jin yang
biasa mereka sebut uru bore berkeliaran pada bulan tersebut. Jin tersebut
menyerupai anak kecil berjubah putih, yang selalu siap untuk membawa jiwa
orang yang membuat keributan. Mereka juga mempercayai jin tersebut ingin
mencuri hasil panen mereka, sehingga mereka membuat siasat untuk mengelabui
jin tersebut dengan mengganti padi menggunakan buah kepok dan jagung
menggunakan rumput alang-alang yang disimpan dibelakang rumah. Mereka
juga dilarang untuk berkeliaran di belakang rumah selama bulan suci tersebut.
Kemudian pada akhir bulan atau pada malam terakhir untuk melepaska uru bore
masyarakat deas rendu ola tidak tidur untuk mempersiapkan sesajian atau
makanan untuk uru bore tersebut dengan membakar sayap ayam atau biasa
disebut taga bele di bawah kolong rumah, setelah itu mereka membawa sayap
ayam tersebut kedalam rumah pada pukul 3 pagi dibagian dapur. Setelah itu,
mereka memanggil uru bore tersebut untuk memakan sesajian tersebut dan
untuk melepas kepergian dari uru bore tersebut. Setelah semua ritual adat
tersebut sudah dijalankan mereka menyebutnya dengan istilah ire atau sudah
selesai.
Pada Desa Rendu Ola juga mengenal sistem mencicil belis yang biasa disebut
korobola.sistem ini dimaksudkan bahwa setiap laki-laki yang tidak bisa membayar
belis secara lunas dapat mencicilnya dengan cara, jika saudara dari perempuan yang
yang dijadikan istri meminta sejumlah binatang maupun uang kepada laki-laki tersebut
dan diberikan, maka sedikit demi sedikit belis akan berkurang. Dan jika berlangsung
secara berulang-ulang maka belis tersebut akan dianggap lunas sesuai dengan nominal
belis yang diberikan.
Dimulai dari adat dan kepercayaan mereka bahwa jika seseorang meninggal,
mayat tersebut hanya disimpan selama sehari kemudian dikubur agar tidak
mengeluarkan bau.Sedangkan Upacara penguburan biasanya mereka membunuh babi
kerbau atau sapi sesuai dengan kemampuan perekonomian masing-masing.
Mereka juga mempunyai peraturan penguburan mayat dimana jika orang yang
meninggal adalah masyarakat biasa penguburan akan dilakukan di belakang rumah
sedangkan jika yang meninggal adalah orang yang mampu seperti petuah dan raja
maka penguburan akan dilakukan di depan rumah.