Anda di halaman 1dari 32

KELOMPOK SOSIAL BUDAYA

STUDI EKSKURSI VERNAKULER

KAMPUNG ADAT RENDU OLA,NAGEKEO-NUSA TENGGARA TIMUR

ANGGOTA :

1. MARIA S.K NAHONG 17. TEOBALDUS R SENI

2. LIDYA F MORUC 18. SERVILINUS NADAL

3. REZA M.W BILI 19. LEVEN S TACOY

4. LAURENSIUS A.X PUTRA 20. BERTHNIER G ADIPUSAKA

5. AGUSTINA TONI

6. INDRILIANI D FONTAINO

7. ADRIAN BALLO

8. JUANDA A BIEN

9. ADHY C NENO

10. VELISYTA E BARU

11. JEANE M.T TUATI

12. LUKAS B NOPE

13. SIDIK SERAN

14. SEMIANRI L AHALFANI

15. MARIO A.M ROMA

16. LISON M PANDIE


PEMBAHASAN

2.1 Sosial Budaya


Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis “Cabo de Flores” yang berarti
“Tanjung Bunga”. Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah
paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636
oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup
hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung
oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969)
mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular).

2.1.1 Profil Desa dan Gambaran Umum wilayah

1. Letak dan Kondisi Geografis


Letak Kabupaten Nagekeo cukup strategis yaitu dibagian tengah Pulau
Flores. Di sebelah utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah selatan dengan Laut
Sawu, sebelah timur dengan Kabupaten Ende, dan sebelah barat dengan Kabupaten
Ngada. Secara astronomis Kabupaten Nagekeo terletak di antara 8˚26’ 00” - 8˚64’
40” lintang selatan dan 121˚6’20” - 121˚32’ 00” bujur timur.

2. Topografi
Berbukit-bukit dengan dataran tersebar secara sporadis pada luasan sempit
merupakan ciri topografi Kabupaten Nagekeo. Kebanyakan permukaannya berbukit
dan bergunung, dataran-dataran sempit memanjang disekitar pantai diapit oleh
dataran tinggi atau sistem perbukitan.Berdasarkan tingkat kemiringan lahan, sebagian
besar wilayah Kabupaten Nagekeo mempunyai kemiringan lahan antara 160 s/d 600
yang mencakup 37,16% dari total luas wilayah. Berdasarkan data dari BPS, luas
wilayah berdasarkan kemiringan lahan sebagai berikut:

a. Kemiringan 0 - 3˚ seluas 18.855 ha (13,37%)


b. Kemiringan 4 - 8˚ seluas 7.635 ha (5,41%)
c. Kemiringan 9 - 15˚ seluas 581 ha (4,12%)
d. Kemiringan 16 - 25˚ seluas 25.402 ha (37,16%)
e. Kemiringan 26 - 40˚ seluas 3.214 ha (25,68%)
f. Kemiringan 40 - 60˚ seluas 25.297 ha (17,94%)
g. Kemiringan > 60˚ seluas 711 ha (0,83%)

Dari segi biofisik, elevasi tanah di Kabupaten Nagekeo sangat bervariasi


dari ± 0 m s.d. 925 m dari permukaan laut (dpl), seperti terlihat pada tabel di bawah
ini. Elevasi yang dominan adalah kelas 0-250 m dpl yang menempati areal sekitar
62.454,17 ha, atau sekitar 44,08% dari total area kabupaten, selanjutnya elevasi 251-
500 m dpl dengan area sekitar 41.949,7 ha atau setara 29,61% dari luas total
Kabupaten Nagekeo. Sedangkan wilayah Kabupaten Nagekeo yang berada pada
elevasi 501- 750 m dpl luasnya 28.542,13 ha atau sekitar 20,14% dari total luas
Kabupaten Nagekeo, dan yang berada di elevasi >750 m dpl menempati luasan
paling kecil yaitu 8.700 ha atau 6,18%.

3. Geologi
Kabupaten Nagekeo termasuk daerah vulkanis muda. Klasifikasi tanah di
Kabupaten Nagekeo terdiri dari jenis tanah Mediteran, Latosol dan Aluvial. Bahan
galian C banyak ditemukan di Kabupaten Nagekeo. Hal ini dibuktikan dengan hasil
pemetaan semi mikro oleh Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Nusa Tenggara
Timur yang memperlihatkan biji besi di Kecamatan Aesesa, kadar Ferum (Fe) sekitar
72%. Granit di Desa Nggolonio, Zeolit di Marapokot (Kecamatan Aesesa) seluas 9,6
ha, Nangaroro 313 ha dan di Desa Totomala (Kecamatan Wolowae) terdapat di
daerah konservasi air, dengan potensi lestari sekitar 266.721.653 m3. Bahan galian
batu kapur, marmer di Desa Gerodhere (Kecamatan Boawae) luas penyebaran belum
teridentifikasi. Bahan galian pasir batu di Kecamatan Aesesa jumlah sumberdaya
2.783.483 m3di Kecamatan Boawae terdapat di Desa Wolopogo dan Desa Nageoga
jumlahnya 191.908.817 m3, sirtu di Desa Ndora (Kecamatan Nangaroro) dengan luas
1 (satu) ha. Bahan galian tanah liat terdapat di Kelurahan Danga (Kecamatan Aesesa)
seluas 753,93 ha dengan ketebalan 1,5 m – 2 m dan Watuapi memiliki kandungan
sebesar 17.648.547 ton.
4. Hidrologi
Daerah Aliran Sungai (DAS) Aesesadengan areal seluas 118.074,29 ha
masuk dalam dua wilayah administrasi yaitu Kabupaten Nagekeo seluas 70.980,15
ha yang sebagian besar berada pada wilayah hilir dan Kabupaten Ngada seluas
47.094,14 ha yang sebagian besar berada pada wilayah hulu.Sub DAS Aesesa terdiri
dari Wae Woki, Wulabhara, Aelia-Nagerawe, Gako, Aemau, di antara sub DAS
tersebut, tiga sub DAS terletak di wilayah Kabupaten Nagekeo yaitu sub DAS Aelia-
Nagerawe, Gako, dan Aemau. Sungai Aesesa merupakan sungai utama dari DAS
Aesesa dengan debit ± 7 m³/detik pada musim hujan dan ± 3 m³/detik pada musim
kemarau. Beberapa sungai lain yaitu; Ae Bha, Lowo Lele, Natabhada (Boawae);Ae
Maunori (Keo Tengah), Lowo Redu (Aesesa Selatan); Sungai Nangaroro,
Nangemere, Ndetunura (Nangaroro), serta beberapa sungai lain yang tersebar merata
di setiap kecamatan.Terdapat juga 290 mata air yang tersebar di setiap kecamatan di
Kabupaten Nagekeo, dan diantaranya telah digunakan masyarakat sebagai sumber air
minum.

Tabel 2.1 Nama Daerah Aliran Sungai di Wilayah Kabupaten Nagekeo

No Nama DAS Luas (Ha)

1. Aesesa 3.343,6

2. Waemburung 1.916

3. Lowowatumanuk 4.862

4. Lowo Lisu 3.144

5. Lowo Aeliu 1.088

6. Alo Pucu Menes 1.586

7. Alo Wae Rungang 1.324

8. Alo Lepa Depu 644,2


No Nama DAS Luas (Ha)

9. Lowo Wakasa 8.424

10. Lowo Aelia 4.648

11. Lowo Bhaba 923,1

12. Lowo Watulado 736,9

13. Lowo Me Bhada 2891,73

14. Lowo Leco Neco 1.217

15. Lowo Ulu 8.040

16. Leko Ho Gimenge 1.258

17. Lowo Matago 2.167

18. Lowo Lapu 999,1

19. Ae Mau 25.940

20. Lowo Nere 1.984

21. Ae Toyo 1.353

22. Lowo Raga 1.474

23. Lowo Ledho 3.785

24. Lowo Ki 1.165

25. Ae Maunori 4.656

26. Dowo Ae Petu 1.203

27. Dowo Kampung Baru 1.123


No Nama DAS Luas (Ha)

28. Dowo Ae Nanga Mere 6.625

29. Lowo Wona 1.508

30. Lowo Nangaroro 2.502

31. Lowo Kojamata 962,8

32. Ae Toto 2.246

33. Lowo Raterunu 1.666

34. Lowo Natakadi 1.276

35. Lowo Wagha 986,1

36. Lowo Aebai 1.126

Sumber: Bappeda Kab. Nagekeo,2014


Dari daerah Aliran Sungai tersebut dalam tabel 2.1 di atas terdapa Daerah
Aliran Sungai yang melewati lebih dari satu kecamatan seperti DAS Aesesa yang
terbentang dari Kabupaten Ngada sampai di Kecamatan Aesesa.

5. Klimatologi
Secara umum Kabupaten Nagekeo beriklim tropis, dengan variasi suhu dan
penyinaran matahari efektif rata-rata 8 jam per hari. Musim hujan berlangsung antara
bulan Desember hingga Maret dan musim kemarau antara bulan April hingga
November. Kecamatan Boawae memiliki curah hujan terbesar selama 3 (tiga) tahun
terakhir tahun 2010 s/d 2012, yaitu lebih dari 2.500 mm dan mencapai lebih dari
3.000 mm pada tahun 2012, disusul Kecamatan Mauponggo yang memiliki curah
hujan sebesar 2.008 mm pada tahun 2012.Curah hujan Kecamatan Mauponggo, Keo
Tengah, Boawae, Aesesa Selatan dan Wolowae cenderung meningkat selama periode
2008 s/d 2012, sedangkan curah hujan di Kecamatan Aesesa dan Kecamatan
Nangaroro cenderung fluktuatif.
6. Penggunaan Lahan
Menurut RTRW Kabupaten Nagekeo (2011) penggunaan lahan terbagi atas
kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung terdiri dari Kawasan
hutan lindung seluas 11.071 Ha, hutan bakau mangrove seluas 1.201,40 ha, cagar
budaya dan ilmu pengetahuan seluas 300 ha, sempadan pantai 1.016 ha dan taman
wisata laut seluas 20 ha. Kawasan budidaya terdiri dari kawasan budidaya pertanian
yang mencakup kelompok tanaman pangan lahan basah, kelompok tanaman pangan
lahan kering, palawija, buah-buahan, holtikurtura, tanaman perkebunan, tanaman
kehutan, dan lahan peternakan. Kawasan budidaya non-pertanian seluas 4.119,22 ha
yang mencakup kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan di dalamnya
termasuk perumahan, industri, pertambangan, pariwisata dan lain-lain di luar
kawasan lindung dan budidaya pertanian. Kawasan budidaya non pertanian ini lebih
dominan berada di pusat-pusat pertumbuhan wilayah baik perkotaan maupun
perdesaan dengan dicirikan tersebarnya pusat-pusat pemukiman disetiap wilayah.
Tabel 2.2. Nama, Luas Wilayah dan Jumlah Desa/Kelurahan Per Kecamatan
No Nama Jumlah Luas Wilayah (Km2)
. Kecamatan Desa/ Administrasi Area Terbangun
Keluraha Ha (%) Thd Ha (%) Thd
n Total Total
1. Mauponggo 21 10.252 7,42 22,95 15%
2. Keo Tengah 16 6.562 4,63 17,28 11%
3. Nangaroro 19 23.802 16,80 21,95 14%
4. Boawae 27 32.542 22,97 36,92 24%
5. Aesesa Selatan 7 7.100 5,01 7,12 5%
6. Aesesa 18 43.229 30,51 40,31 26%
7. Wolowae 5 18.209 12,85 6,16 4%
Jumlah 113 141.696 152,7
0 100%
Sumber: Nagekeo Dalam Angka 2013 (Diolah)

Luas area terbangun dalam tabel 2.2 di atas merupakan hasil kesepakatan pokja dengan asumsi dasar
rata-rata luas bangunan di Kabupaten Nagekeo adalah 36 m2 dan jumlah rumah sama dengan jumlah
rumah tangga.

Desa Rendu Ola,kec Aisesa Selatan, Kab Nagekeo

Luas Wilayah : 7.100 Ha

Jumlah KK : 1588 KK

Jumlah penduduk kecamatan : 13.012 jiwa


- Batas Desa
o Selatan : kecamatan Boawae
o Utara : kecamatan Aisesa
o Timur : kecamatan Boawae
o Barat : Kecamatan Nangaroro
- Fasilitas :
- Bidang kesehatan : Puskesmas 1 unit
- Puskesdes 7 unit
- Bidang pendidikan : 1. SD 13 Unit
2. SMP 4 Unit
3. SMK 1 Unit
- Bidang agama : 2 gereja Katolik
- Hasil bumi : jambu mente, dan kemiri
- Jumlah Desa : 7 Desa ( Desa Definitif )
1. Desa Rendu Butowe
2. Desa Rendu Wawo
3. Desa Tengatiba
4. Desa Rendu Tutubada
5. Desa Rendu Langedewa
6. Desa Rendu Teno
7. Desa Rendu Wajamura
5 Desa persiapan :
1. Desa Tengatiba Timur
2. Desa Tengatiba Barat
3. Desa Rendu Ola
4. Desa Rendu Natarae
5. Desa Malaboa
- Mata pencaharian :
1. Bertani
2. Menenun
2.1.2 Sejarah Kampung Adat Desa Rendu Ola
Kampung adat adalah tempat yang masih memegang teguh kebudayaan yang
telah bertumbuh sejak dahulu.Keberadaan kampung adat diindonesia masih belum
banyak diketahui. Kampung adat merupakan suatu komunitas tradisional dengan focus
fungsi dalam bidang adat dan tradisi, dan merupakan suatu kesatuan wilayah dimana
para anggotanya secara bersama-sama melakukan kegiatan social dan tradisi yang
ditata oleh suatu sistem budaya. (surpha dalam pitana 1994:139). Salah satu hal yang
menjadi identitas sebuah kampung adat adalah arsitektur vernakulernya.

Arsitektur vernakular adalah gaya arsitektur yang dirancang berdasarkan


kebutuhan lokal, ketersediaan bahan bangunan, dan mencerminkan tradisi lokal.
Definisi luas dari arsitektur vernakular adalah teori arsitektur yang mempelajari
struktur yang dibuat oleh masyarakat lokal tanpa intervensi dari arsitek
profesional.Arsitektur vernakular bergantung pada kemampuan desain dan tradisi
pembangunan lokal.

Desa Rendu Ola merupakan salah satu perkampungan adat yang berada
kecamatan Aesesa selatan , kabupaten Nagekeo.Menurut cerita petua adat disana (
Bpk. Rafael ) dia mengatakan bahwa nentek moyang masyarakat desa rendu ola
berasal dari Sulawesi. Setelah mereka datang dari Sulawesi dan terdampar di
Nagelewa,Mbai di bagian pesisir pantai. Dan mereka menetap disana kurang lebih
empat tahun.Setelah itu mereka pindah ke daerah pegunungan dikali sebelah utara
.dari kali tersebut, mereka kemudian pergi ke Warikeo. Kemudian mereka menetap
dan membuat perkampungan disitu, disana mereka juga membuat Peo merupakan
symbol pemersatu masyarakat didesa rendu Ola .Dimana pada kampung tersebut juga
terdapat peo pertama, yang Kemudian dibakar dengan api dan sampai sekarang hanya
meninggalkan bekasnya saja beserta bebatuan yang ada disitu.

Pada kampung tersebut terdapat dua suku , yaitu suku Wolowea dan suku
Lambo. Dimana kemudian terjadilah perang antara kedua suku tersebut. Karena ingin
memenangkan perang tersebut, maka suku Wolowea meminta bantuan dari
masyarakat desa Rendu untuk membantu mereka. Maka pergilah mereka kesana
untuk meminta bantuan, dan masyarakat desa Rendu setuju untuk membantu mereka.
Keesokan harinya, suku Wolowea dan masyarakat Rendu melakukan pertemuan dan
memutuskan menyusun strategi peperangan.

Dari pertemuan tersebut, mereka menyusun strategi dengan cara mengutus


orang orang lemah yang diperintahkan oleh masyrakat desa rendu untuk masuk
kedalam kampung suku Lambo dan memancing masyarakat Lambo untuk keluar dari
kampungnya. Saat orang Lambo terpancing keluar dari kampngnya, ternyata dibagian
sisi kiri dan kanan bukit telah dbersembunyi orang-orang yang diangga cukup kuat
untuk menyerang suku Lambo dan akhirnya memebunuh mereka menggunakan parang
panjang ( Topo ). Parang tersebut merupakan warisan leluhur yang dibawah langsung
dari Sulawesi.

Dari kemenangan Wolowea , suku Wolowea ingin meberikan hadiah kepada


masyarakat desa rendu berupa emas,kerbau namun ditolak oleh masyarakat desa
Rendu. Dari kebingungan suku Wolowea, mereka melihat kepala suku desa Rendu
sedang mencungkil tanah, maka dari itu mereka mengambil keputusan untuk
memberikan mereka hadiah tanah.

Seiring berjalannya waktu, suku Lambo mencurigai bahwa masyarakat rendu


juga berperan membantu suku Wolowea untuk melawan mereka.Dan merekapun
sepakat untuk membalaskan dendam mereka kepada suku rendu.Tanpa disadari
rencana suku lambo telah diketahui oleh suku rendu.Maka dari itu suku rendu
melaporkan hal itu kepada kepala suku. Maka kepala suku/moza foa memerintahkan
tujuh pahlawan dari setiap suku yang ada di Rendu, yaitu ;

1. Suku Abu Tuja


2. Suku Abu Dapa
3. Suku We’do
4. Suku Naka Lado
5. Suku Para meze Au Poma
6. Suku Nanga Lengi
7. Suku Diri Keo
Dan kemudian berkumpul dirumah induk dan melakukan kesepakatan untuk
meninggalkan desa Rendu dan pergi ketanah perbatasan yang diberikan oleh suku
Wolowea.Sebelum mereka meninggalkan desa tersebut, ada seorang wanita tua yang
lumpuh yang tidak mau meninggalkan desa tersebut karena sangat mencintai desa
Rendu. Mereka akhirnya sepakat dan menyusun rencana untuk meninggalkan wanita
itu didesa tersebut untuk melawan suku Lambo. Namun wanita tersebut memberikan
syarat untuk meninggalkan seekor anjing , bamboo runcing , pelita. Lalu ia juga
memerintahkan untuk membuat orang-orangan dari bamboo yang diisi air dan diikat
dengan tikar lalu ditaruh di setiap rumah untuk mengelabui suku Lambo seakan-akan
ada orang di kampung tersebut .Kemudian hasil dari strategi tersebut, wanita tersebut
berhasil membunuh tujuh orang menggunakan bamboo runcing.

Atas kekecewaan suku Lambo yang tidak berhasil membalaskan dendamnya


dengan membunuh kepala suku/moza foa, lalu mereka membakar seluruh rumah
dikampung tersebut.Kemudian suku Rendu pindah dan menetap ditanah pemberian
suku Wolowea sampai dengan sekarang ini.

2.1.3 Kehidupan Kebudayaan


Menurut Prof.Dr.Koentjoroningrat mengatakan, kebudayaan adalah keseluruhan
sistem gagasan,tidakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik dari manusia dengan cara belajar

Kebudayaan umat manusia mempunyai unsure-unsur yang bersifat


universal.Unsure-unsur kebudayyan tersebut dianggap universal karna dapat
ditemukan pada semua kebudayaan bangsa-bangsa di dunia.Menurut Koentjoroningrat
ada tujuh unsure kebudayyan yang menjadi dasar kehidupan budaya adat.
2.1.3.1 Kepercayaan dan religi
Sistem religi mengacu kepada kepercayaan dan keyakinan hidup. Menurut
Koentjaranigrat, dalam kamus antropologi mendefenisikan religi sebagai sistem
yang terdiri dari konsep-konsep yang dipercaya dan menjadi keyakinan secar
muthlak suatu umat beragama dan upacara-upacara peserta pemuka-pemuka
agama yang melaksanakannya. Sistem religi mengatur hubungan antara manusia
dengan Tuhan dan dunia gaib, antara sesama manusia dan antara manusia
dengan lingkungannya yang dijiwai oleh suasana kekerabatan oleh yang Maha
menganutnya.

Pada zaman dahulu masyarakat kampung Rendu Ola, semuannya belum


memiliki agama, mereka percaya kepada leluhur dan nenek moyang sebagai roh
yang menjaga dan disembah dan karena perasaan takut akan penyakit atau
malapetaka, takut tidak berhasil dalam usaha pertanian, masyarakat senantiasa
menyembah roh-roh nenek moyang agar terhindar dari malapetaka. Saat akan
terjadi peristiwa buruk/bencana, nenek moyang mereka akan memeberikan
sebuah tanda melalui mimpi,bunyi-bunyian bahkan suara burung .Untuk
menghormati para leluhur masyarakat melakukan beberapa upacara dan ritual
adat dengan memberikan persembahan pada tempat persembahan yang disebut
Peo. Agama Khatolik masuk ke desa Rendu pertama kali dibawah oleh bangsa
portugis, yang melakukan perdagangan sambil menyebarkan agama sekitar
tahun 1500 SM. Kemudian pada tahun 1990-an seorang pastor bernama Yoseph
Wiese SVD mendirikan paroki Bonio yang menjadi paroki pertama dan sekarang
menjadi paroki Kristus Raja.

1. Tempat persembahan (Peo)


Setiap persembahan pada upacara dan ritual adat yang dilakukan, semuanya
akan di letakkan pada tempat persembahan yaitu Peo. pada setiap sa’o juga
memiliki museum kecil yaitu saga untuk menyimpan hasil persembahan saat
melakukan ritual adat yang terdapat dibagian timur dari sa’o dan museum
kecil ini harus di hadapkan langsung ke matahari.
Gambar : Peo
Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

2. Kepercayaan Adat
Pada setiap sa’o , mempunyai sebuah museum atau Saga untuk menyimpan hasil
persembahan saat melakukan ritual adat yang diletakan dibagian kiri dari sa’o dan Saga
harus diletakan langsung kearah terbit matahari. Sedangkan pada rumah induk atau Istana
terdapat perbedaan pada struktur bangunannya dimana strukturnya terbuat dari papan
yang dipercayai masyarakat setempat bahwa sa’o tersebut sudah dewasa dan disebut
sebagai istana. Dan untuk sa’o atau rumah adat yang konstruksi bangunannya terbuat dari
bambu atau naja dipercayai bahwa sa’o tersebut belum dewasa.

Gambar : Sao

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019


Masyarakat desa Rendu Ola memiliki kepercayaan bahwa para leluhur atau nenek
moyang akan datang untuk makan, sehingga didalam dapur bagian tungku, harus diletakan
sebuah bambu yang sedikit lebih panjang yang disebut Lipitozo dimana bambu ini digunakan
untuk menaruh makanan bagi para leluhur . dan masyarakat kampung dilarang untuk menginjak
tempat tersebut karena dianggap luhur. Apabila salah menginjak tempat tersebut, maka akan
mendapatkan malapetaka atau musibah. Untuk mengatasinya haruslah memberitahu kepada tua
adat agar menghapus segala musibah yang mungkin akan terjadi.

Masyarakat desa Rendu Ola percaya bahwa dalam rumah atau sa’o untuk pintu
belakangnya tidak boleh ada supaya rezeki yang masuk tidak keluar dan tetap berada didalam
rumah. Juga masyarakat mempercayai untuk tungku api haruslah berada disebelah kiri rumah
supaya para wanita diberikan kekuatan dan semangat dalam bekerja.

Masyarakat juga mempercayai hati babi atau biasa disebut ate wawi sebagai salah satu
media untuk melihat tanda-tanda atau informasi yang disampaikan oleh nenek moyang untuk
masyarakat desa tersebut yang dimana hati babi atau ate wawi ini akan dilihat oleh tua adat.
Apabila ada terjadi keganjilan pada hati babi, maka tua adat akan menyampaikannya kepada
masyarakat sehingga masyarakat dapat memperbaiki keganjilan tersebut.

Masyarakat desa Rendu Ola juga mempercayai pada pintu masuk atau gerbang masuk ke
dalam desa ketika kita memasukinya, kita akan dibersihkan dari roh-roh jahat, jadi ketika sudah
berada dalam desa kita sudah disucikan atau dibersihkan dari roh-roh jahat tersebut.

3. Larangan :

Masyarakat kampung percaya adanya larangan-larangan yang tabu dan tidak diperbolehkan
didesa, dalam hal ini adalah, larangan untuk setiap wanita tidak diperbolehkan memasuki,
melihat isi bagian dalam atau menyentuh bagian-bagian dari Sale (tempat menyimpan tanduk-
tanduk atau tengkorak kerbau, rahang babi, dan alat musik gendang yang digantung pada bagian
kerangka kuda-kuda dan gording dari Sale). Apabila wanita melanggar larangan tersebut maka
akan mendapat petaka untuk tidak bisa hamil atau mandul.
Gambar : Sale

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

Larangan untuk saat memberikan barang tidak boleh melangkahi atau melewati badan
seseorang karena dianggap tidak baik atau pemali.

Larangan untuk tidak menginjak bambu pada bagian pintu gerbang. Jika menginjaknya
maka akan mendapatkan kesialan atau musiba. Dan untuk menghindarinya, haruslah melakukan
ritual pemulihan dengan mengorbankan seekor kerbau yang mana dagingnya akan dibagikan
kepada warga desa, tetapi yang melanggarnya tidak diperbolehkan untuk turut mengkonsumsi
daging tersebut.
Gambar : Bambu pada gerbang masuk

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

Larangan pada saat upacara Tua Meze tidak diperbolehkan untuk memukul atau menyakiti
anak-anak karena jika anak-anak tersakiti maka jin atau Uru Bore akan membawa mengambil
anak- anak tersebut untuk ikut bersama mereka.

Larangan untuk tidak menginjak tempat untuk memberi makan leluhur atau biasa disebut
Lipitozo, karena dianggap luhur.Apabila salah menginjak tempat tersebut, maka
akanmendapatkan malapetaka atau musibah. Untuk mengatasinya haruslah memberitahu kepada
tua adat agar menghapus segala musibah yang mungkin akan terjadi.

Larangan untuk tidak melakukan kegiatan di bagian selatan pada saat upacara adat Tua
Meze. Jika melanggar aturan tersebut maka akan mendapat musibah yang mana untuk
menghindari musibah tersebut haruslah melakukan ritual adat dengan mengorbankan seekor
kerbau. Juga adanya larangan untuk tidak membakar ubi (debo) sampai pecah, yang kegiatan
membakar ubinya tidak boleh dilakukan didalam desa, tetapi harus diluar desa, dan asap dari
pembakaran ubi tersebut tidaklah boleh terkena pada tubuh manusia. Apabila terkena asap
tersebut, maka tubuh akan mengalami penyakit kulit.

Larangan untuk laki-laki tidak melirik atau menggangu wanita yang belum disunat dan
memotong gigi karena dianggap belum dewasa. Apabila melanggar aturan tersebut maka dari
pihak laki-laki akan dikenakan denda berupa satu ekor kerbau jantan merah yang bertanduk
panjang.
2.1.3.2 Sistem kekerabatan dan system organisasi social
Masyarakat Rendu Ola telah memiliki sistem kekerabatan dan organisasi
masyarakat yang terdapat pada tatanan kemasyarakatan Rendu Ola. Pada tatanan
masyarakat Rendu Ola di bagi menjadi dua yaitu secara pemerintahan dan juga
secara adat.

Sistem tatanan pemerintahan pada Kabupaten Nagakeo terbentuk dengan 3


(tiga) peraturan daerah, yakni Peraturan Daerah No.6 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 1 Tahun 2008
tentang Pembentukan organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Dan
Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Nagekeo; Peraturan
Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Nagekeo; dan
Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten
Nagekeo.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2009, maka Struktur Organisasi Sekretariat
Daerah dan Sekretariat DPRD adalah sebagai berikut:

1. Sekretariat Daerah terdiri atas 3 (tiga) Asisten Sekretaris Daerah, 5 (lima) staf ahli, 9
(sembilan) Bagian, 23 (dua puluh tiga) Sub Bagian dan Kelompok Jabatan Fungsional.
a. Asisten Sekretaris Daerah terdiri atas asisten pemerintahan dan kesejahteraan rakyat;
asisten perekonomian dan pembangunan; dan asisten administrasi umum.
b.Staf ahli terdiri atas: staf ahli bidang hukum dan politik; staf ahli bidang
pemerintahan; staf ahli bidang pembangunan; staf ahli bidang kemasyarakatan dan
sumber daya manusia; dan staf ahli bidang ekonomi dan keuangan
c. Bagian-bagian mencakup: bagian administrasi pemerintahan umum, membawahi;
bagian administrasi kemasyarakatan, bagian administrasi perekonomian, bagian
administrasi pembangunan, bagian hukum, bagian organisasi, bagian umum, bagian
administrasi kesejahteraan rakyat, bagian administrasi sumber daya alam.
2. Susunan Organisasi Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, terdiri dari:
a. Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
b. Bagian Humas Dan Keprotokolan; yang mempunyai tugas mengkoordinasikan
pelaksanaan urusan tugas-tugas kehumasan dan keprotokolan.
c. Bagian Tata Usaha; yang mempunyai tugas mengkoordinasikan pelaksanaan urusan
tata usaha, administrasi umum dan urusan rumah tangga.
d. Bagian Persidangan Dan Risalah; yang mempunyai tugas mengkoordinasikan
pelaksanaan urusan tugas-tugas persidangan dan risalah.
e. Kelompok Jabatan Fungsional.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 7 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Pembentukan
Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Nagekeo, Struktur Dinas Daerah adalah
sebagai berikut :

1. Dinas Pendidikan, Pemuda Dan Olahraga; mempunyai tugas membantu Bupati


melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang pendidikan, pemuda
dan olahraga
2. Dinas Kesehatan; mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah
dalam bidang kesehatan;
3. Dinas Pekerjaan Umum; mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga
daerah dalam bidang pekerjaan umum.
4. Dinas Perhubungan, Komunikasi Dan Informatika; mempunyai tugas melaksanakan
sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang perhubungan, komunikasi dan
informatika.
5. Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil; mempunyai tugas melaksanakan sebagian
urusan rumah tangga daerah dalam bidang kependudukan dan pencatatan sipil.
6. Dinas Koperasi, Usaha Kecil Dan Menengah, Perdagangan Dan Perindustrian;
mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang
koperasi, usaha kecil dan menengah, perdagangan dan perindustrian.
7. Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan Dan Asset Daerah; mempunyai tugas
membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang
pendapatan, pengelolaan keuangan dan aset daerah.
8. Dinas Pertanian, Peternakan Dan Perkebunan; mempunyai tugas melaksanakan sebagian
urusan rumah tangga daerah dalam bidang pertanian.
9. Dinas Kelautan Dan Perikanan; mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah
tangga daerah dalam bidang kelautan dan perikanan.
10. Dinas Perumahan, Tata Kota, Energi Dan Sumber Daya Mineral; mempunyai tugas
melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah dalam bidang perumahan dan
bidang energi dan sumber daya mineral.
11. Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata; mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan
rumah tangga daerah dalam bidang kebudayaan dan pariwisata.
12. Dinas Sosial, Tenaga Kerja Dan Transmigrasi; mempunyai tugas melaksanakan sebagian
urusan rumah tangga daerah dalam bidang sosial, tenaga kerja dan transmigrasi.
13. Dinas Kehutanan; mempunyai tugas melaksanakan sebagian urusan rumah tangga daerah
dalam bidang kehutanan.

Selain itu, berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 8 Tahun 2009
Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Nagekeo Nomor 3 Tahun 2008 Tentang
Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Nagekeo, maka
organisasi dan tata kerja Lembaga Teknis adalah sebagai berikut :
1. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Dan Statistik; mempunyai tugas melaksanakan
penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perencanaan pembangunan daerah, tata
ruang wilayah makro dan statistik.
2. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa; mempunyai tugas membantu Bupati dalam
melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang Pemberdayaan Masyarakat
dan Desa.
3. Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian Dan Ketahanan Pangan; mempunyai tugas
membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang
penyuluhan pertanian dan ketahanan pangan.
4. Badan Kepegawaian, Pendidikan Dan Pelatihan; mempunyai tugas membantu Bupati
dalam melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang kepegawaian dan
pendidikan/ pelatihan.
5. Inspektorat; mempunyai tugas melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan
pemerintahan, pertanahan, pembangunan, perekonomian daerah, badan usaha daerah,
kesejahteraan rakyat, pendapatan, perlengkapan dan aset daerah.
6. Badan Lingkungan Hidup; mempunyai tugas membantu bupati dalam merumuskan dan
melaksanakan pengendalian dampak lingkungan, kerusakan lingkungan dan konservasi
sumber daya alam.
7. Kantor Penanaman Modal; mempunyai tugas membantu Bupati dalam menentukan
kebijaksanaan bidang penanaman modal di daerah serta penilaian atas pelaksanaannya.
8. Kantor Perpustakaan Dan Arsip; mempunyai tugas membantu bupati dalam merumuskan
dan melaksanakan pelayanan bahan pustaka, kearsipan dan dokumentasi.
9. Satuan Polisi Pamong Praja; mempunyai tugas membantu bupati dalam bidang ketertiban
dan ketentraman masyarakat.
10. Rumah Sakit Umum Daerah Tipe C; mempunyai tugas melaksanakan pelayanan
pengobatan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit yang
dilaksanakan melalui pelayanan rawat inap, rawat jalan, rawat darurat (emergensi) dan
tindakan medik.
11. Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak;
mempunyai tugas membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan
pemerintahan di bidang Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak.

Kantor Kesatuan Bangsa, Politik Dan Perlindungan Masyarakat; mempunyai tugas


membantu Bupati dalam melaksanakan sebagian kewenangan pemerintahan di bidang Kesatuan
Bangsa dan Kesatuan Politik Dalam Negeri terdapat silsilah tua-tua adat yang memiliki fungsi
untuk mengambil keputusan dalam suatu masyarakat. Tua-tua adat tersebut antara lain Kepala
Suku, Kepala Adat, Kepala Woe atau Marga dan Lembaga Pemangku Adat(LPA). Kepala Suku
dari Rendu pada desa Rendu Ola adalah Bpk. Gabriel Bedhi, berumur 56 tahun yang berasal dari
marga atau woe Ebu Tuza dan merupakan woe tertua. Kepala suku menempati rumah adat atau
sa’o Lado Riwu yang merupakan rumah utama di Rendu Ola. Kepala suku ini memiliki tugas
untuk menyelenggaraka (memimpin rapat, menyusun dan menetapkan acara adat, serta
memimpin acara adat di Rendu Ola).

Kepala adat dari desa Rendu Ola adalah Bpk. Rafael Loi, berumur 70 tahun yang juga
berasal dari marga atau woe Ebu Tuza dan menempati sa’o Aza Ola. Kepala adat memiliki tugas
memimpin upacara adat atau lebih kepada orang yang paling memahami adat di desa Rendu Ola.

Kepala Woe atau Marga adalah pemimpin dari masing-masing marga atau woe pada desa
Rendu Ola. Marga-marga ( woe) tersebut terdiri atas 7 yakni ; Ebu Tuza, Ebu Dapa, Naka
Lado,Para Meze, Nanga Lengi, Dhiri Ke’o dan Ebu Wedho ( sudah pindah ke desa Tutubhada
karena ingin mencari nafkah ). Untuk sekarang marga-marga tersebut sudah tersebar diberbagai
Rendu, tetapi mereka akan berkumpul kembali di rumah adat utama pada saat acara adat akan
berlangsung.

Lembaga Pemangku Adat (LPA) Rendu Ola adalah Bpk. Hendrikus Dega (69 tahun),
Bpk. Gabriel Bedhi (56 tahun), dan Bpk. Servas.LPA memiliki tugas untuk mengurus segala
sesuatu yang berkaitan dengan pelanggaran hukum adat atau tata upacara adat.

Dalam masyarakat di desa Rendu Ola memiliki prinsip garis keturunan dari pihak ayah
dimana setiap istri mengikuti marga dari pihak suami.Yang boleh menempati sa’o tersebut hanya
diperbolehkan satu kepala keluarga. Anak yang meneruskan atau tinggal di sa’o (Rumah Adat)
adalah anak laki – laki dimana mereka akan menempati sa’o tersebut jika orang tua (ayah dan
ibu) telah meninggal.

2.1.3.3 Sistem mata pencaharian


Sistem mata pencaharian berarti pekerjaan yang menjadi pokok
kehidupan,pekerjaan atau pencaharian tersebut dikerjakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.Misalnya bertani,berternak,dan bertenun. Dengan kata lain
sistem mata pencaharian adalah cara yang dilakukan oleh sekelompok orang
sebagai kegiatan sehari-hari guna memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Sistem mata pencaharian hidup merupakan produk dari manusia sebgai


homoeconomicusyang menjadikan kehidupan manusia terus meningkat.
Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan hewan.
Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat.

Mata pencaharian masyarakat Desa Rendu Ola adalah dengan cara


bercocok tanam dan menjual hasil tenun. Untuk bercocok tanam sendiri pada
tahun 1973 masyarakat Desa Rendu Ola menanam lima jenis tanaman yaitu
cengkeh,kopi,coklat, kelapa dan kemiri. Namun, yang dapat bertahan hidup
hanya dua tanaman yaitu kemiri dan kelapa.

Hasil panen berupa padi dan jagung biasanya disimpan di dalam bagian
atas tungkuh api yang berada di langit-langit rumah atau biasa disebut kae teo(
bagian atas) dan kae bo(bagian bawah yang menggelantung).

2.1.3.4 Sistem pengetahuan


Nilai budaya sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2002)
adalah konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu
masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam
hidup.Dan suatu nilai budaya yang sifatnya abstrak, biasanya berfungsi sebagai
pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.

Orang suku Rendu Ola sejak zaman dahulu memiliki system


pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik flora maupun fauna dengan seluruh
ekosistemnya.Pengetahuan yang cukup mengenai flora tentang tanaman atau
tumbuhan sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat suku Rendu.Dalam hal
ini pengetahuan herbal masyarakat desa Rendu menguasai seacara baik flora
yang dapat dimanfaatkan untuk penyakit tertentu. Sedangkan untuk fauna
misalnya hewan kerbau yang digunakan sebagai symbol yang disimpan pada
rumah Lado Riwu, Museum, dan Salle
Gambar : Sale

Gambar :Rumah Lado Riwu

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

Adapun beberapa system pengetahuan yang telah dipelajari dari Kampung


adat Rendu Ola

1. Mengetahui musim

Mengetahui cara bercocok tanam mereka mengetahuinya dari acara adat


yang diadakan 1 tahun 3 kali mereka masih mempercayai dari kode alam
salah satunya 2 pohon beringin besar mereka dapat mengetahui roh baik dan
roh jahat namanya NUNU.

 Gua Ru’u, pemberantasan hama


 Gua Wo’e menikmati hasil panen
 Gua Meje
2. Mengetahui Situasi Kampung Adat
Masyarakat Kampung adat Rendu Ola membaca situasi melalui pesan-
pesan alam berupa tanda-tanda binatang, seperti perilaku binatang yang
tidak wajar contohnya burung-burung yang terbang mengelilingi kampong
adat menandakan akan terjadi sesuatu yang buruk atau baik , berikutnya
mengetahui pesan-pesan leluhur saat ritual adat melalui pembacaan organ
khusus (hati babi) babi yang di ritualkan harus menggunakan babi jantan
kampung berwarna hitam ,dan tergantung kondisi hati babi yang telah
dibunuh dan di ritualkan secara khusus oleh kepala adat leluhur dapat
menyampaikan pesan untuk keadaan yang sedang terjadi dan akan datang

Belahan hati

Pinggiran hati

Tepi hati

Gambar : Hati Babi

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

Pada bagian belahan hati masyarakat kampung adat desa Rendu Ola
mempercayai bahwa keakraban dan kerjasama dalam kampung adat dan
juga bisa membaca situasi kampung kedepannya, untuk Pinggiran hati,
masyarakat Rendu Ola mempercayai bahwa bagian yang menonjol naik
menandakan masih ada pelindung (leluhur) yang menjaga kampung adat, di
ibaratkan menjaga desa seperti pagar, untuk bagian Tepi hati, masyarakat
desa Rendu Ola mempercayai bahwa ketika pada bagian tepi hati ditekan
dan terasa keras menandakan bahwa masyarakat Rendu Ola masih ditopang
atau dilindungi oleh Leluhur
3. Pengetahuan berkebun dan berternak
Pada jaman dahulu saat binatang masih belum menjadi masalah saat
berkebun masyarakat rendu ola tak perlu membangun pagar saat bercocok
tanam namun saat binatang mulai datang dan mendekati desa rendu ola dan
mulai memakan hasil tanam masyarakat, merekan mulai membangun pagar
sebelum bercocok tanam untuk berternak masyarakat rendu ola mengikat
hewan ternak pada kebun masing-masing
4. Pengetahuan membangun
Masyarakat kampong adat Rendu Ola mempunyai kepercayaan mengenai
harus membangun pada bulan-bulan ganjil karena masyarakat kampong adat
Rendu Ola menganggap angka genap sebagai hal yang tabu atau pamali ,
untuk pengukuran masyarakat rendu ola menggunakan 1 jengkal jari sebagai
satuan metode hitung, dan pada saat mengukur kemiringan kontur tanah
menggunakan tali, bambu juga digunakan sebagai pengganti waterpass
5. Pengetahuan Pengobatan
Untuk system pengobatan masyarakat rendu ola menggunakan cara
tradisional dengan menggunakan daun sirih yang di kunyah lalu dioleskan
oleh dukun/tabib pada bagian tubuh yang sedang terkena penyakit

2.1.3.5 Sistem teknologi dan peralatan hidup


Untuk mempertahankan hidup mereka membuat peralatan atau benda-benda
yang menjadi salah satu penunjang kehidupan mereka.Mereka membuat benda-
benda yang dijadikan sebagai peralatan hidup dengan bentuk dan teknologi yang
masih sederhana.
1. Tempat penyimpanan cadangan makanan
Leu adalah tempat penyimpanan makanan yang berbentuk satu tiang
lurus.
Dae adalah tempat penyimpanan makanan yang berbentuk dua tiang lurus.
Dua tempat tersebut digunakan untuk menyimpan hasil bumi seperti
jagung dan daging.
Dan tempat tersebut dibuat dengan tiang tinggi agar terhindar dari
gangguan hewan yang berkeliaran.

Gambar : Dae ( tempat penyimpanan makanan dua tiang )

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

2. Tempat tinggal
Pada umumnya , rumah yang ditempati oleh masyarakat rendu ola
adalah rumah yang terbuat dari bambu cincang (naja) dan papan. Pada
rumah adat induk menggunakan dinding papan sedangkan rumah adat
yang lainnya menggunakan dinding bambu cincang (naja).
Masyarakat rendu ola juga menggunakan tikar (te’e) yang dianyam dari
daun lontar dan digunakan sebagai alas tidur mereka.
3. Alat pertanian
Masyarakat rendu, sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani.
Alat –alat yang digunakan adalah alat bertani pada umumnya seperti pacul
(pacu), tofa (cu’a), linggis, parang (fadhi) .
4. Alat masak
Masyarakat rendu ola menggunakan peralatan sederhana untuk memasak
seperti periuk tanah (podo) , tempat untuk menyimpan sayur dan buah-
buahan yang baru saja di petik dari kebun (ripe), kuali (kawa), sutel dari
tempurung kelapa dan bambu (bhetho), pisau (tudi), wadah sebagai
gayung,piring , maupun bokor (kula). Tungku api (lika lapu) , papan untuk
menahan abu dapur (lege lapu), sendok (suzu).

2.1.3.6 Kesenian
Kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya serta sarana yang dapat
digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa
manusia. Kesenian selain sebagai sarana untuk mengekspresikan rasa keindahan,
juga memiliki fungsi lain. Misalnya, mitos berguna dalam menentukan norma
untuk mengatur perilaku yang teratur dan meneruskan adat serta nilai-nilai
kebudayaan.

Seni tari

 Tari Jedhe

Gambar : Tarian penyambutan Tamu

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019


Tampak masyarakat Dusun Rendu Ola sedang melakukan Tarian
Jedhe tepatnya di depan pintu masuk kampung.

Tari Jedhe adalah salah satu tarian adat khas kabupaten Nagekeo
yang di pakai untuk menyambut tamu dan juga mengantar tamu. Tarian
ini biasanya dimainkan oleh banyak orang, yang artinya melambangkan
sebuah kegembiraan akan datangnya orang baru diwilayah mereka.
Busana yang dipakai pada saat tarian adalah atasan berupa kemeja putih
bagi yang laki laki dan Kodo (sebutan bagi baju adat atasan wanita) dan
dilengkapi dengan selendang tenunan khas , lalu bagian bawah
menggunakan kain teunan khas Nagekeo.

Gong, gendang dan go genga adalah alat music yang dipakai untuk
mengiringi dan memeriahkan tarian tersebut.

 Tarian Iki Mea.


Tarian ini biasanya dipentaskan setelah panen sebagai ucapan syukur
kepada Tuhan.
Seni musik
Alat musik
 Gong : dibuat dari besi kuningan atau perunggu. Biasanya dibeli
bukan dibuat sendiri oleh masyarakat. Satu Gong ( ana dua), dua
gong (tuda)

Gambar : Alat music gong


Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2017
 Gendang (go laba) : permukaan atasnya terbuat dari kulit kambing
atau kerbau, sedangkan tepiannya dibuat dari kayu apa saja yang
penting dapat dilubangi bagian tengahnya
 Go Genga : dibuat dari bambu, yang bunyinya menyerupai bunyi
gong.
 Seni kriya
 Tenun songket

Warna dasar hitam bermakna warna dasar hitam pada songke


melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Nagekeo serta
kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada yang maha
kuasa.

Motif Bunga, dalam bahasa Manggarai Wela kawong, bermkana


Interpendensi antara manusia dengan alam di sekitarnya.

Gambar : kain tenunan khas Nagekeo

Sumber : DKKAV angkatan 2017 UNC,2019

2.1.3.7 Sistem Bahasa


Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai alat untuk
menyampaikan sesuatu yang terlintas dalam pikiran namun bahasa juga diartikan
sebagai alat untuk berinteraksi dan alat berkomunikasi dalam menyampaikan
pikiran,gagasan, dan perasaan.

Bahasa yang digunakan di desa rendu ola sendiri adalah bahasa Redudan
bahasa Indonesia. Sedangkan dalam berbagai prosesi upacara adat dan
penyambutan menggunakan bahasa adat redu, dan yang menyampaikan bahasa
tersebut hanya sebagian orang tertentu saja seperti ketua suku dan ketua adat
(mosa laki).

Bahasa dalam dunia arsitektur sendiri adalah penyebutan struktur dan


konstruksi bangunan serta bagian bagian dalam rumah.Misalnya posa (kolom)
dan tenga (balok).

2.1.4 Adat Istiadat


Menurut kamus besar bahasa Indonesia adat istiadat merupakan tata kelakuan
yang kekal dan turun temurun dari generasi ke generasi lain sebagai warisan sehingga
kuat integrasinya dengan pola pola perilaku masyarakat.

Ada 6 jenis upacara adat yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Desa
Rendu Ola, yaitu:

- Gua ru’u
Pada acara gua ru’u biasanya dilakukan pada bulan 2. Biasanya pada upacara ini
masyarakat Rendu Ola berkumpul dengan tujuan memberantas hama.
- Gua wo’e
Pada acara adat gua wo’e ini, biasanya dilakikan pada bulan lima masyarakat
Desa Rendu Ola berkumpul dan makan bersama untuk menikmati hasil panen.
- Koa ngi’itau ae (potong gigi)
Acara adat tersebut dilakukan pada bulan 6 untuk melakukan pendewasaan bagi
anak perempuan atau sering disebut dengan ana weta.Alat yang digunakan untuk
acara potong gigi tersebut adalah dengan menggunakan gergaji besi, batu kikir
atau batu asa.Acara potong gigi ini biasa dilakukan untuk perempuan yang
beranjak dewasa.Sehingga anak perempuan dewasa yang belum memotong gigi
masih dianggap anak kecil. Bila terjadi kesalahan (seperti hamil diluar nikah
maupun nikah secara diam-diam) maka pria yang bersangkutan dengan ana weta
tersebut akan dikenakan denda adat berupa kerbau jantan merah yang bertanduk
panjang.
- Gua meje
Acara adat gua meje biasanya dilakukan pada bulan 7 yang dimana bulan
tersebut dianggap mereka sebagai bulan suci dimana pada bulan tersebut segala
upacara adat dilakukan mulai dari
o Acara tinju adat. Untuk acara tinju adat sendiri dibagi menjadi dua yaitu
tinju adat laki-laki kecil atau atu co’o dan untuk laki-laki dewasa atau atu
meze.

o Acara adat pengusiran hama.


Pengusiran hama biasa dilakukam oleh masyarakat Rendu Ola untuk
meningkatkan hasil panen dan medapat hasil yang memuaskan.

dimana pada bulan tersebut masyarakat Desa Rendu Ola harus menjaga
situasi agar selalu tenang. Karena, mereka mempercayai bahwa ada jin yang
biasa mereka sebut uru bore berkeliaran pada bulan tersebut. Jin tersebut
menyerupai anak kecil berjubah putih, yang selalu siap untuk membawa jiwa
orang yang membuat keributan. Mereka juga mempercayai jin tersebut ingin
mencuri hasil panen mereka, sehingga mereka membuat siasat untuk mengelabui
jin tersebut dengan mengganti padi menggunakan buah kepok dan jagung
menggunakan rumput alang-alang yang disimpan dibelakang rumah. Mereka
juga dilarang untuk berkeliaran di belakang rumah selama bulan suci tersebut.
Kemudian pada akhir bulan atau pada malam terakhir untuk melepaska uru bore
masyarakat deas rendu ola tidak tidur untuk mempersiapkan sesajian atau
makanan untuk uru bore tersebut dengan membakar sayap ayam atau biasa
disebut taga bele di bawah kolong rumah, setelah itu mereka membawa sayap
ayam tersebut kedalam rumah pada pukul 3 pagi dibagian dapur. Setelah itu,
mereka memanggil uru bore tersebut untuk memakan sesajian tersebut dan
untuk melepas kepergian dari uru bore tersebut. Setelah semua ritual adat
tersebut sudah dijalankan mereka menyebutnya dengan istilah ire atau sudah
selesai.

- Upacara Adat Persiapan


Setelah melalui rangkaian upacara adat yang panjang pada bulan tujuh
tersebut, kemudian pada bulan delapan masyarakat desa rendu
olamempersiapkan segala bahan atau jua butu yang di perlukan pada bulan
Sembilan dan sepuluh untuk keperluan sunat.

- Upacara Tau Nua


Upacara adat Tau Nua biasa dlakukan pada bulan Sembilan dan sepuluh
untuk pendewasaan bagi kaum laki-laki.Pada bulan tersebut mereka juga
mengumpulkan warga untuk mendiskusikan mengenai segala hal tentang
upacara Tua Nua atau biasa disebut dengan kakeo. Semua laki-laki yang akan
disunat diwajibkan untuk menggunakan kain roba meze, yang dimana kain
tersebut telah dipersiapkan pada bulan delapan, dan sebutan untuk orang yang
membantu proses sunat tersebut biasa disebut ako pajo.
Sebelum melakukan sunat laki-laki tersebut harus mandi atau biasa disebut
dengan tau ae.setelah proses sunat tersebut selesai, laki-laki tersebut sudah
dikatakan dewasa atau sudah siap kawin atau biasa disebut dengan leo dheka.dan
untuk mereka yang sudah sunat dan memiliki istri mereka sudah bisa berbicara
adat yang biasa disebut dengan Tau Nua.

2.1.4.1 Sistem Perkawinan Desa Rendu Ola


Untuk sistem ini sendiri, ada 3 tahap membayar belis yaitu :
o Be’o sao atau membawa ternak
o membawa emas dengan dinar
o membawa uang minimal 10 juta sebagai simbol mengganti air susu.

Pada Desa Rendu Ola juga mengenal sistem mencicil belis yang biasa disebut
korobola.sistem ini dimaksudkan bahwa setiap laki-laki yang tidak bisa membayar
belis secara lunas dapat mencicilnya dengan cara, jika saudara dari perempuan yang
yang dijadikan istri meminta sejumlah binatang maupun uang kepada laki-laki tersebut
dan diberikan, maka sedikit demi sedikit belis akan berkurang. Dan jika berlangsung
secara berulang-ulang maka belis tersebut akan dianggap lunas sesuai dengan nominal
belis yang diberikan.

2.1.4.2 Sistem Upacara Kematian

Dimulai dari adat dan kepercayaan mereka bahwa jika seseorang meninggal,
mayat tersebut hanya disimpan selama sehari kemudian dikubur agar tidak
mengeluarkan bau.Sedangkan Upacara penguburan biasanya mereka membunuh babi
kerbau atau sapi sesuai dengan kemampuan perekonomian masing-masing.

Mereka juga mempunyai peraturan penguburan mayat dimana jika orang yang
meninggal adalah masyarakat biasa penguburan akan dilakukan di belakang rumah
sedangkan jika yang meninggal adalah orang yang mampu seperti petuah dan raja
maka penguburan akan dilakukan di depan rumah.

Anda mungkin juga menyukai