Anda di halaman 1dari 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum
1. Lokasi Kesampaian Daerah
PT. Vale Indonesia, secara administratif berlokasi di Desa Sorowako Kecamatan
Nuha, Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan. Desa Sorowako berada di
sebelah Utara Provinsi Sulawesi Selatan. Berjarak kurang lebih 600 km dari Kota
Makassar dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat sekitar 12 jam dari Kota Makassar.
Secara astronomis Desa Sorowako terletak pada koordinat 2o03’00”- 3 03’25” LS dan
119o28’56”-121 47’27” BT berbatasan dengan beberapa daerah, yaitu:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Danau Matano, Kabupaten Poso dan Provinsi
Sulawesi Tengah.
b. Sebelah Barat berbatasan dengan Wasuponda, Kecamatan Bone-Bone dan Kabupaten
Luwu Utara.
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Wawondula, Kabupaten Kendari, Provinsi
Sulawesi Tenggara dan Teluk Bone.
d. Sebelah Timur berbatasan dengan Danau Mahalona dan Provinsi Sulawesi Tengah

SPA Soroako

Gambar 2.1 Peta Lokasi Penelitian

2. Sejarah Perusahaan
Pertambangan nikel di Indonesia bermula dari penemuan bijih nikel di pegunungan
Verbeek Sulawesi, awal abad ke-20. Kruyt, warga negara Belanda, yang pertama kali

2-1
menemukan bijih nikel saat meneliti bijih besi di pegunungan Verbeek pada tahun 1901.
Penemuan ditindak lanjuti oleh Flat Elves, geologist Inco Limited Canada. Elves
melanjutkan studi endapan nikel laterit Sorowako yang kini menjadi pusat operasi PT.Vale
Indonesia di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Pemerintah Indonesia memilih Inco Limited yang telah beroperasi sejak 1902 dari
enam perusahaan tambang lainnya. Pada tanggal 25 Juli 1968, PT. International Nickel
Indonesia, Tbk (PT. INCO) secara resmi didirikan dengan akta notaris dan Kontrak Karya
ditandatangani dua hari kemudian.
Pada tahun 1988, INCO Limited menjual 20% sahamnya kepada Sumitomo Metal
Mining Co. Ltd., sebuah perusahaan Jepang. Dua tahun kemudian, PT. INCO melepas lagi
20% sahamnya kepada publik dan dicatatkan di bursa efek di Indonesia. Pada tanggal 4
Januari 2007, Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), perusahaan tambang bijih besi di
Brasil mengumumkan amalgamasi kepada INCO Limited. Bersamaan dengan hal tersebut,
Vale INCO Canada Limited menjadi anak perusahaan CVRD dengan kepemilikan saham
penuh.
Pada tanggal 27 September 2011, Rapat Umum Pemegang Saham menyepakati
perubahan nama PT. International Nickel Indonesia, Tbk menjadi PT. Vale Indonesia yang
kemudian disahkan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Empat bulan setelahnya pada
tanggal 24 Januari 2012, nama PT. Vale Indonesia secara resmi digunakan. Langkah ini
menjadi tonggak awal bagi PT. Vale Indonesia yang secara penuh menjadi bagian dari
operasi Vale di seluruh dunia dan mencerminkan posisinya sebagai bagian dari perusahaan
tambang terbesar kedua di dunia.
Companhia Vale do Rio Doce (CVRD) atau Vale adalah perusahaan tambang
multinasional yang beroperasi di 16 negara bagian Brasil dan lima benua. Vale telah
membuktikan dirinya sebagai perusahaan tambang terbesar kedua di dunia, produsen
butiran bijih besi terbesar dan produsen nikel terbesar kedua. Vale juga meproduksi
mangan, feroaloi, tembaga, bauksit, potas, kaolin, alumina, dan aluminium.
3. Kontrak Karya
Berikut adalah luasan wilayah Kontrak Karya PT Vale setelah kesepakatan
renegosiasi di Oktober 2014.

2-2
Tabel 2.1
Luasan Wilayah Kontrak Karya PT. Vale Indonesia, Tbk. Soroako

Luas areal kontrak karya secara keseluruhan adalah 118.435 hektar dibagi ke
dalam tiga provinsi dan beberapa blok konsesi, yaitu :
a. Central Sulawesi dengan luas area 22.699 Ha meliputi blok konsesi Kolondale dan
Bahadopi.
b. South Sulawesi dengan luas area 70.984 Ha. Meliputi daerah blok konsesi Sorowako-
Towuti, Matano, Bulubalang dan Lingke.
c. Southeast Sulawesi dengan luas area 24.752 Ha. Meliputi daerah Latao, Matarape,
Pomala dan Suasua.

Gambar 2.2 CoW PT. Vale Indonesia Soroako

Sorowako dengan elevasi 290-900m merupakan daerah yang dikelilingi oleh tiga
buah danau yaitu Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona. PT. Vale Indonesia
mempunyai daerah konsesi awal dengan luas sekitar 6.000.000 Ha yang terletak pada
posisi 120°52' - 122°30' BT (Sua-sua s/d Torokulu) dan 1°50' - 5°30' LS (Kolonedale s/d

2-3
Malapulu). Daerah konsesi awal ini sebagian dikembalikan kepada pemerintah Indonesia,
dan hingga saat ini daerah yang tersisa dan dipertahankan adalah seluas 218.530 Ha (SK
336.K/46.00/DJG/2005) dan menyebar di tiga propinsi yaitu Sulawesi Tenggara, Sulawesi
Selatan, dan Sulawesi Tengah.
Daerah penambangan meliputi dua blok yaitu Blok Timur (East Block) dan Blok
Barat (West Block) yang terdiri dari bukit-bukit yang mengandung endapan bijih nikel.
Daerah di sebelah Timur pabrik peleburan disebut Blok Timur dan yang di sebelah Barat
pabrik peleburan disebut Blok Barat dimana daerah penambangannya lebih luas dari
daerah penambangan pada Blok Timur.
Secara umum wilayah kontrak karya PT. Vale Indonesia dibagi dalam beberapa
kategori, yaitu:

Tana Merah block

SPA Petea

SPA Sorowako Lampesue Block

Larona Block

Tanamalia Block

Gambar 2.3 SPA Operation Area

1. Lokasi Sorowako Project Area (SPA), dengan luas daerah sekitar 10.010 ha. SPA
yang terdiri dari daerah blok timur (east blok) dan blok barat (west block),
lokasinya dipisahkan oleh pabrik (plant Site) dan secara umum berbatasan dengan:
a) Bagian utara dengan Desa Nuha dan Danau Matano
b) Bagian timur dengan Danau Mahalona
c) Bagian selatan dengan Desa Wawondula KecamatanTowuti
d) Bagian barat dengan Desa Wasuponda Kecamatan Nuha
2. Lokasi Sorowako Outer Area (SOA), dengan luas daerah sekitar 103.377 ha.
4. Keadaan Iklim dan Curah Hujan
Pada umumnya daerah Sulawesi Selatan terdiri dari dua musim, yaitu musim hujan
dan musim kemarau (panas). Musim hujan biasanya terjadi pada bulan Desember sampai
Mei. Sedangkan musim kemarau (panas) terjadi pada bulan Juli sampai Oktober. Puncak
2-4
musim hujan adalah pada bulan April.
Hasil pengamatan data temperatur udara yang dilaporkan Badan Meteorologi dan
Geofisika Stasiun Meteorologi Syamsuddin Noor, temperatur udara maksimun di daerah
Soroako sekitar 24.8°C, temperatur udara minimun berkisar antara 23.0°C.
Tabel 2.2
Data Curah Hujan Soroako
2014 2015 2016
Bulan
CH (mm) HH CH (mm) HH CH (mm) HH
JANUARI 255,6 7,28 187,7 6,05 173 5,38
FEBRUARI 198,4 7,09 366,7 13,10 513,8 17,72
MARET 217 7,00 300,5 9,69 534,23 17,23
APRIL 237,2 7,91 585,8 19,53 508,4 16,95
MEI 366,2 11,81 254,6 8,21 400,2 12,91
JUNI 333,6 11,12 234,6 7,82 372,4 12,41
JULI 178,5 5,76 168,8 5,45 125,2 4,04
AGUSTUS 100,2 3,34 10,4 0,34 169,2 4,47
SEPTEMBER 85 2,83 31 1,03 130,2 4,34
OKTOBER 1,4 0,05 22,4 0,72 262,8 8,48
NOVEMBER 144,2 4,81 266,4 8,88 288,6 9,62
DESEMBER 276,7 8,93 293 9,45 329 10,97
Total 2.398,8 77,93 2.721,9 90,27 3.807,03 124,52

Sumber : Data Rain Fall Sorowako 2014, 2015, 2016


Keterangan : CH = Curah Hujan (milimeter)
HH = Hari Hujan (Hari)
5. Geologi Regional
Ada beberapa penelitian yang menjelaskan mengenai proses tektonik dan geologi
daerah Sorowako, antara lain adalah Sukamto (1975) yang membagi pulau Sulawesi dan
sekitarnya terdiri dari 3 Mandala Geologi yaitu :
1. Mandala Geologi Sulawesi Barat, dicirikan oleh adanya jalur gunung api Paleogen,
Intrusi Neogen dan sedimen Mesozoikum.
2. Mandala geologi sulawesi Timur, dicirikan oleh batuan Ofiolit yang berupa batuan

2-5
ultramafik peridotite, harzburgit, dunit, piroksenit dan serpentinit yang diperkirakan
berumur kapur.
3. Mandala Geologi Banggai Sula, dicirikan oleh batuan dasar berupa batuan
metamorf Permo-Karbon, batuan batuan plutonik yang bersifat granitis berumur
Trias dan batuan sedimen Mesozoikum.
Menurut Hamilton ( 1979 ) dan Simanjuntak ( 1991 ), Mandala Geologi banggai
Sula merupakan mikro kontinen yang merupakan pecahan dari lempeng New Guinea yang
bergerak kearah barat sepanjang sesar sorong.( Gambar 2.4 )
Daerah Soroako dan sekitarnya menurut ( Sukamto,1975,1982 & Simanjuntak,
1986 ) adalah termasuk dalam Mandala Indonesia bagian Timur yang dicirikan dengan
batuan ofiolit dan Malihan yang di beberapa tempat tertindih oleh sedimen Mesozoikum.

Gambar 2.4. Geologi umum dan Tektonik Sulawesi ( Hamilton 1972 )

Sedangkan Golightly ( 1979 ) mengemukakan bagian Timur Sulawesi tersusun dari


2 zona melange subduksi yang terangkat pada pre – dan post-Miosen (107 tahun lalu).
Melange yang paling tua tersusun dari sekis yang berorientasi kearah Tenggara dengan
disertai beberapa tubuh batuan ultrabasa yang penyebarannya sempit dengan stadia
geomorfik tua. Sementara yang berumur post Miocene telah mengalami pelapukan yang
cukup luas sehingga cukup untuk membentuk endapan nikel laterite yang ekonomis,
seperti yang ada di daerah Pomalaa.
Melange yang berumur Miosen – post Miosen menempati central dan lengan
North-East sulawesi. Uplift terjadi sangat intensif di daerah ini, diduga karena desakan

2-6
kerak samudera Banggai Craton. Kerak benua dengan density yang rendah menyebabkan
terexpose-nya batuan-batuan laut dalam dari kerak samudera dan mantel.Pada bagian
Selatan dari zona melange ini terdapat kompleks batuan ultramafik Soroako-Bahodopi
yang pengangkatannya tidak terlalu intensif. Kompleks ini menempati luas sekitar 11,000
km persegi dengan stadia geomorfik menengah, diselingi oleh blok-blok sesar dari
cretaceous abyssal limestone dan diselingi oleh chert.
Geologi daerah Soroako dan sekitarnya sudah dideskripsikan sebelumnya secara
umum oleh Brouwer (1934), van Bemmelen (1949), Soeria Atmadja et al (1974) dan
Ahmad (1977). Namun yang secara spesifik membahas tentang geologi deposit nikel laterit
adalah Golightly (1979), dan Golightly membagi geologi daerah Soroako menjadi tiga
bagian, seperti yang terlihat dalam Gambar. 2.5, yaitu :
a) Satuan batuan sedimen yang berumur kapur; terdiri dari batugamping laut dalam
dan rijang. Terdapat di bagian barat Soroako dan dibatasi oleh sesar naik dengan
kemiringan ke arah barat.
b) Satuan batuan ultrabasa yang berumur awal tersier; umumnya terdiri dari jenis
peridotit, sebagian mengalami serpentinisasi dengan derajat yang bervariasi dan
umumnya terdapat di bagian timur. Pada satuan ini juga terdapat terdapat intrusi-
intrusi pegmatit yang bersifat gabroik dan terdapat di bagian utara.
c) Satuan aluvial dan sedimen danau (lacustrine) yang berumur kuarter, umumnya
terdapat di bagian utara dekat desa Soroako.

Gambar 2.5. Geologi daerah Soroako ( Golightly 1979 )

2-7
Sesar besar disekitar daerah ini menyebabkan relief topografi sampai 600 mdpl dan
sampai sekarang aktif tererosi. Sejarah tektonik dan geomorfik di kompleks ini sangat
penting untuk pembentukan nikel laterite yang bernilai ekonomis. Matano fault yang
membuat topographic liniament yang cukup kuat adalah sesar mendatar sinistral aktif yang
termasuk strike slip fault dan menggeser Matano limestone dan batuan lainnya sejauh 18
km kearah barat pada sisi Utara.
Danau Matano yang mempunyai kedalaman sekitar 600 m diperkirakan adalah
graben yang terbentuk akibat efek zona dilatasi dari sesar tersebut. Danau Towuti pada sisi
selatan dari sesar diperkirakan merupakan pergeseran dari lembah Tambalako akibat
pergerakan sesar Matano. Pergerakan sesar ini memblok aliran air ke arah utara sepanjang
lembah dan membentuk danau Towuti dan aliran airnya beralih ke barat menuju sungai
Larona. Danau-danau yang terbentuk akibat dari “damming effect” dari sesar ini
merupakan bendungan alami yang menahan laju erosi dan membantu mempertahankan
deposit nikel laterit yang terbentuk di daerah Soroako dan sekitar kompleks danau.

TAMBALAKO VALLEY GULF OF TOLO


AXIS

GULF
OF
BONE
DISPLACED TERTIARY
EXTENTION OF
TAMBALAKO VALLEY

Gambar 2.6. Geologi Struktur Danau Matano - Soroako dan sekitarnya

6. Stratigrafi Regional
Berdasarkan himpunan batuan, struktur dan biostratigrafi, secara regional Lembar
Malili termasuk Mandala Geologi Sulawesi Timur dan Mandala Geologi Sulawesi Barat
dengan batas Sesar Palu-Koro yang membujur hampir utara - selatan. Mandala Geologi
Sulawesi Timur dapat dibagi ke dalam lajur batuan malihan dan lajur ofiolit Sulawesi

2-8
Timur yang terdiri dari batuan ultramafik dan batuan sedimen pelagis Mesozoikum.
Mandala geologi Sulawesi Barat dicirikan oleh lajur gunungapi Paleogen dan
Neogen, intrusi neogen dan sedimen flysch Mezosoikum yang diendapkan di pinggiran
benua (Paparan Sunda).
Di Mandala Geologi Sulawesi Timur, batuan tertua adalah batuan ofiolit yang
terdiri dari ultramafik termasuk dunit, harzburgit, lherzolit, piroksenit websterit, wehrlit
dan serpentinit, setempat batuan mafik termasuk gabro dan basal. Umurnya belum
dapat dipastikan, tetapi dapat diperkirakan sama dengan ofiolit di Lengan Timur
Sulawesi yang berumur Kapur Awal - Tersier (Simandjuntak, 1991).
Pada Mandala ini dijumpai kompleks batuan bancuh (Melange Wasuponda)
terdiri atas bongkahan asing batuan mafik, serpentinit, pikrit, rijang, batugamping
terdaunkan sekis, ampibolit dan eklogit yang tertanam dalam massa dasar lempung
merah bersisik. Batuan tektonika ini tersingkap baik di daerah Wasuponda serta di daerah
Ensa, Koro Mueli, dan Patumbea, diduga terbentuk sebelum Tersier (Simandjuntak,
1991). Daerah Soroako dan sekitarnya merupakan bagian Mandala Sulawesi Timur yang
tersusun oleh kompleks ofiolit, batuan metamorf, kompleks melange dan batuan sedimen
pelagis. Kompleks ofiolit tersebut memanjang dari utara Pegunungan Balantak ke arah
tenggara Pegunungan Verbeek, tersusun oleh dunit, harzburgit, lerzolit, serpentinit, werlit,
gabro dan diabas, basal dan diorit (Simandjuntak, 1991). Sekuen ini tersingkap dengan
baik di bagian utara , sedangkan dibagian tengah dan selatan, komplek ofiolit ini umumnya
tidak lengkap lagi dan telah terombakkan / terdeformasi.
Batuan yang merupakan anggota Lajur Ofiolit Sulawesi Timur berupa batuan
ultrabasa yang terdapat disekitar danau Matano terdiri dari dunit, harzburgit, lherzolit,
wehrlit, websterit, serpentinit dan. Dunit berwarna hijau pekat kehitaman, padu dan pejal,
bertekstur faneritik, mineral penyusunnya adalah olivin, piroksen, plagioklas, sedikit
serpentin dan magnetit, berbutir halus sampai sedang. Mineral utama olivin berjumlah
sekitar 90%. Tampak adanya penyimpangan dan pelengkungan kembaran yang dijumpai
pada piroksen, mencirikan adanya gejala deformasi yang dialami oleh batuan ini.
Dibeberapa tempat dunit terserpentinkan kuat yang ditunjukkan oleh struktur seperti jaring
dan barik-barik mineral olivin dan piroksen, serpentin dan talkum sebagai mineral
pengganti. Harzburgit memperlihatkan kenampakan fisik berwarna hijau sampai
kehitaman, holokristalin, padu dan pejal. Mineralnya halus sampai kasar terdiri atas olivin,
(60%), dan piroksen (40%). Pada beberapa tempat menunjukkan struktur perdaunan. Hasil

2-9
penghabluran ulang pada mineral piroksin dan olivin mencirikan batas masing-masing
kristal bergerigi.
Lherzolit berwarna hijau kehitaman, holokristalin, padu dan pejal. Mineral
penyusunnya ialah olivin (45%), piroksin (25%) dan sisanya epidot, yakut, dan bijih
dengan mineral berukuran halus sampai kasar. Serpentinit berwarna biru tua, tekstur
lepidoblastik, struktur “schistosity”, bentuk mineral hypidioblastik. Mineral utama yang
menyusun batuan ini adalah mineral serpentin, sedikit olivin dan piroksin. Umumnya
memperlihatkan persekisan yang setempat terlipat, dan dapat dilihat dengan mata
telanjang. Batuan serpentinit merupakan hasil ubahan batuan ultramafik. Ketebalan sulit
diperkirakan, berdasarkan penampang ketebalan sekitar 1000 m. Hubungan sekitarnya
berupa persentuhan tektonik.
Diatas ofiolit diendapkan tidak selaras Formasi Matano yang terbagi bagian atas
berupa batugamping kalsilutit, rijang, argilit dan batulempung napalan, sedangkan bagian
bawah dicirikan oleh rijang radiolaria dengan sisipan kalsilutit yang semakin banyak ke
bagian atas. Berdasarkan kandungan fosil formasi ini menunjukan umur Kapur. Endapan
termuda di daerah Lengan Timur Sulawesi adalah endapan danau yang terdiri atas
lempung, pasir, kerikil dan sebagian berupa konglomerat yang terdapat di daerah
sekitar Danau Matano, Danau Towuti dan Danau Mahalona. Sedang endapan-endapan
aluvial dapat ditemui di sekitar daerah aliran sungai (Simandjuntak, 1981 dalam
Simandjuntak, 1991).
7. Struktur Geologi Regional
Struktur geologi Lembar Malili memperlihatkan ciri kompleks tumbrukan dari
pinggiran benua yang aktif. Berdasarkan struktur, himpunan batuan, biostratigrafi dan
umur, daerah ini dapat dibagi menjadi 2 kelompok yang sangat berbeda, yakni : Alohton
yang terdiri dari Ofiolit dan malihan, sedangkan Autohton terdiri dari : Batuan gunungapi
dan pluton Tersier dari pinggiran Sunda land, serta kelompok Molasa Sulawesi.
Struktur – struktur geologi yang penting di daerah ini adalah sesar, lipatan dan
kekar. Secara umum sesar yang terdapat di daerah ini berupa sesar naik, sesar sungkup,
sesar geser, dan sesar turun, yang diperkirakan sudah mulai terbentuk sejak Mesozoikum.
Beberapa sesar utama tampaknya aktif kembali. Sesar Matano dan Sesar Palu Koro
merupakan sesar utama berarah Barat Laut - Tenggara dan menunjukkan gerak mengiri.
Diduga kedua sesar itu masih aktif sampai sekarang, keduanya bersatu di bagian Barat
Laut. Diduga pula kedua sesar tersebut terbentuk sejak Oligosen dan bersambungan

2-10
dengan Sesar Sorong sehingga merupakan suatu sistem sesar transform. Sesar lain yang
lebih kecil berupa tingkat pertama dan atau kedua yang terbentuk bersamaan atau setelah
sesar utama tersebut.
Pada Kala Oligosen, Sesar Sorong yang menerus ke Sesar Matano dan Palu Koro
mulai aktif dalam bentuk sesar transcurrent. Akibatnya mikro kontinen Banggai Sula
bergerak ke arah barat dan terpisah dari benua Australia (gambar 3). Lipatan yang terdapat
di daerah ini dapat digolongkan ke dalam lipatan lemah, lipatan tertutup dan lipatan
tumpang-tindih, sedangkan kekar terdapat dalam hampir semua jenis batuan dan
tampaknya terjadi dalam beberapa periode.
Pada kala Miosen Tengah, bagian Timur kerak samudera di Mandala Sulawesi
Timur yakni Lempeng Banggai Sula yang bergerak ke arah barat tersorong naik
(terobduksi). Di bagian Barat lajur penunjaman dan busur luar tersesar sungkupkan di atas
busur gunungapi, mengakibatkan ketiga Mandala tersebut saling berhimpit.
Kelurusan Matano sepanjang 170 km dinamakan berdasarkan nama danau yang
dilaluinya yakni danau Matano. Analog dengan sesar Palu Koro sesar Matano ini
merupakan sesar mendatar sinistral, membentang membelah Timur Sulawesi dan bertemu
kira-kira disebelah Utara Bone, pada kelurusan Palu-Koro. Sesar-sesar sistem Riedel
berkembang dan membentuk sistem rekahan umum.
Sepanjang sesar mendatar ini terdapat juga cekungan tipe “pull apart”. Yang paling
nyata adalah Danau Matano dengan batimetri sekitar 600 m dan dikontrol oleh sesar
- sesar normal yang menyudut terhadap kelurusan Matano. Medan gaya yang diamati
di lapangan memperlihatkan bahwa tekanan umumnya horizontal dan berarah
Tenggara – Barat Laut didampingi tarikan Timur Laut-Barat Daya (gambar 4). Sesar
Matano bermuara di Laut Banda pada cekungan dan teluk Losoni sebagai “pull apart
basin” dan menerus ke laut sampai ke utara anjakan bawah laut Tolo (Magetsari, 1987)

2-11
118 120 122 124
º º º º

0 TELUK GORONT
º ALO

2 BANGGAI
º KEP. SULA
M
A SULAWES TELUK
K I B TOLO
A O
4 S NT
º S E
A E
R
L
U
6
K
º

LAUT
FLORES
8 0
º

Gambar 2. 7. Struktur Geologi Regional Pulau Sulawesi

8. Keadaan Endapan Bijih Nikel Laterit PT. Vale Indonesia


Area kontrak karya operasional tambang PT. Vale Indonesia adalah Sorowako
Project Area (SPA) dan Petea. Pada Sorowako Project Area, terdapat dua jenis endapan
nikel laterit, yaitu blok barat (west block) dan blok timur (east block).
Blok barat meliputi 36 bukit dengan luasan mencapai 46,5 m2. Pada blok ini terdiri
dari batuan peridotit yang tidak terserpentinisasi dengan bentuk morfologi yang relatif
lebih terjal dibandingkan dengan blok timur. Daerah blok barat juga banyak mengandung
urat-urat kuarsa dan bongkahan. Sifat material yang relatif keras menyebabkan kesulitan
dalam penambangan. Analisis petrologi dan geokimia menunjukkan bahwa batuan
peridotit di daerah Soroako merupakan bagian dari ofiolit dengan kandungan olivin tinggi
yang kaya nikel.
Batuan ini merupakan protolit yang paling sesuai dalam pembentukan bijih nikel
laterit kadar tinggi. Dibandingkan dengan blok lainnya, blok Barat memiliki kadar

2-12
nikel yang relatif lebih tinggi, selain itu, pada blok ini juga mengandung kadar Fe dan
Silika Magnesia yang tinggi pula. Kondisi ini menyebabkan bijih tidak dapat diolah
secara langsung dipabrik pengolahan sehingga harus diblending terlebih dahulu. Blok
Timur terdiri dari 44 bukit dengan luasan area mencapai 36,3 m2. Daerah Blok Timur di
dominasi oleh lherzolit dengan kandungan olivin yang rendah dan mengandung
orthopiroksen maupun klinopiroksen. Peningkatan derajat serpentinisasi di daerah ini
didukung juga oleh peningkatan kandungan magnetik dalam material batuan. Proses
serpentinisasi menyebabkan hilangnya sebagian unsur Ni yang berdampak pada penurunan
kadar Ni pada batuan dasar blok Petea. Sehingga pada daerah ini hanya mengandung
sedikit nikel dengan kadar tinggi.

Gambar 2.8. Profil Nikel Laterit di PT.Vale Indonesia

Sifat batuan relatif lebih lunak dan menunjukkan rasio silika magnesia yang lebih
rendah dibandingkan Blok Barat. Endapan nikel laterit di Petea memiliki karekter
seperti pada tipe blok timur, tetapi kandungan besinya lebih rendah dan perbandingan
silica-magnesium (S/M) rendah. Nilai Stripping Ratio (SR) juga rendah dan topografinya
lebih curam dengan beberapa area cenderung terjal.

2-13
Zona residual, kaya Zona yang aktif mengalami
FeO, MnO dan AlO pelapukan kimia.Daerah ini
mengalami pengayaan NI.&
saprolisation of rock. Includes
supergene enrichment of Ni

Limonite
saprolite
Bedrock

Gambar 2.9. Penampang Lapisan Bijih Nikel Sorowako

9. Genesa Bijih Nikel Laterit


Endapan nikel laterit merupakan bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan
ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi. Istilah “laterit” sendiri diambil dari bahasa
Latin “later” yang berarti batubata merah, yang dikemukakan oleh M.F.Buchanan (1807),
yang digunakan sebagai bahan bangunan di Mysore, Canara dan Malabar yang merupakan
wilayah India bagian selatan. Material tersebut sangat rapuh dan mudah dipotong, tetapi
apabila terlalu lama terekspos, maka akan cepat sekali mengeras dan sangat kuat. Smith
(1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh batuan yang
mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan, termasuk di
dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak batuan asalnya.
Sebagian besar endapan laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan dapat
bernilai ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit. Dari
beberapa pengertian bahwa laterit dapat disimpulkan merupakan suatu material dengan
kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai hasil proses pelapukan yang terjadi pada
iklim tropis dengan intensitas pelapukan tinggi. Di dalam industri pertambangan nikel
laterit atau proses yang diakibatkan oleh adanya proses lateritisasi sering disebut sebagai
nikel sekunder.
Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini adalah batuan harzburgit. Batuan ini banyak mengandung olivin, piroksen,
magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan mudah mengalami
proses pelapukan. Proses pelapukan dimulai pada batuan ultramafik (peridotit, dunit,
serpentinit), dimana batuan ini banyak mengandung mineral olivin, piroksen, magnesium
silikat dan besi silikat, yang pada umumnya mengandung 0,30 % nikel. Batuan tersebut
sangat mudah dipengaruhi oleh pelapukan lateritik (Boldt,1967).

2-14
Proses laterisasi adalah proses pencucian pada mineral yang mudah larut dan silika
dari profil laterit pada lingkungan yang bersifat asam, hangat dan lembab serta membentuk
konsentrasi endapan hasil pengkayaan proses laterisasi pada unsur Fe, Cr, Al, Ni dan Co
(Rose et al., 1979 dalam Nushantara 2002). Menurut Hasanudin dkk, 1992, air permukaan
yang mengandung CO2 dari atmosfir dan terkayakan kembali oleh material-material
organik di permukaan meresap ke bawah permukaan tanah sampai pada zona pelindian,
dimana fluktuasi air tanah berlangsung.

Gambar 2.10. Horizon Nikel Laterit

Akibat fluktuasi ini air tanah yang kaya CO2 akan kontak dengan zona saprolit
yang masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral-mineral yang tidak stabil
seperti olivin/serpentin dan piroksen. Mg, Si dan Ni akan larut dan terbawa sesuai dengan
aliran air tanah dan akan memberikan mineral-mineral baru pada proses pengendapan
kembali. Endapan besi yang bersenyawa dengan oksida akan terakumulasi dekat dengan
permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di dalam
larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus berlangsung.
Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan pelindihan/leaching. Pada proses
pelapukan lebih lanjut magnesium (Mg), Silika (Si), dan Nikel (Ni) akan tertinggal di
dalam larutan selama air masih bersifat asam. Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi
dengan batuan dan tanah, maka zat-zat tersebut akan cenderung mengendap sebagai
mineral hidrosilikat (Ni-magnesium hidrosilicate) yang disebut mineral garnierit
[(Ni,Mg)6Si4O10(OH)8] atau mineral pembawa Ni (Boldt, 1967). Adanya suplai air dan
saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni yang terbawa oleh air turun

2-15
ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah tidak dapat turun lagi dan tidak
dapat menembus batuan dasar(bedrock).
Ikatan dari Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral
garnierit dengan rumus kimia (Ni, Mg) Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung terus
menerus, maka yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen/supergen
enrichment. Zona pengkayaan supergen ini terbentuk di zona Saprolit. Dalam satu
penampang vertikal profil laterit dapat juga terbentuk zona pengkayaan yang lebih dari
satu, hal tersebut dapat terjadi karena muka air tanah yang selalu berubah-ubah, terutama
tergantung dari perubahan musim.
Di bawah zona pengkayaan supergen terdapat zona mineralisasi primer yang tidak
terpengaruh oleh proses oksidasi maupun pelindihan, yang sering disebut sebagai zona
batuan dasar (bed rock). Biasanya berupa batuan ultramafik seperti Peridotit atau Dunit.

Gambar 2.11. Tahap Pembentukan Endapan Nikel Laterit

B. Penelitian Terdahulu
Dalam penelitian ini penulis memaparkan penelitian yang relevan dengan
permasalahan yang akan diteliti.
1. Kemampuan produksi alat mekanis pada Mei 2015 yang di miliki PT. Milargo
Indonesia Mining diantaranya 2 (dua) unit excavator bachoe komatsu PC-400, 2 (dua)
unit excavator bachoe komatsu PC-300, dan 9 (sembilan) unit dump truck nissan
CWB 45A. Berdasarkan kondisi aktual dilapangan, pengupasan overburden yang
dihasilkan oleh alat angkut adalah sebesar 177.800 BCM/Bulan dan batubara sebesar
25.200 Ton/Bulan.
(Sumber:ISSN:2460-6499. 2015. Zainassolihin, A.A., Miryanto., Linda pulungan)

2-16
2. Kajian Teknis Produksi Alat Muat Dan Alat Angkut Pada Kegiatan Pengupasan Tanah
Penutup PT. Marundra Graha Mineral Di Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten
Murung Raya, Kalimantan Tengah.”Target produksi untuk pengupasan tanah penutup
pada pit 8 blok North Kawi adalah 540BCM/jam. Target produksi tersebut belum
dapat terpenuhi karena masih terdapat hambatan. Produksi alat dengan 1 unit alat muat
excavator komatsu PC 1250 SP-7 sebesar 531,96 BCM/jam dan 4 unit alat angkut
Dump Truck Komatsu HD 465-7 sebesar 340,05BCM/jam”
(Sumber:SKRIPSI. 2009. August Suryaputra)
C. Landasan Teori
1. Kegiatan Penambangan
Kegiatan penambangan dilakukan oleh Mine Operation tetapi dilakukan dalam
pengawasan Grade Control dalam hal kualitas ore. Kegiatan penambangan nikel PT. Vale
Indonesia dilakukan pada Pegunungan Verbeek, Sulawesi Selatan yaitu di bukit-bukit
dengan ketinggian antara 500-700 m dari permukaan laut.
a) Pemboran dan Uji Sampel (Test Pit)
a. Area blok timur(East Block)(interval 25 x 25)
b. Area blok barat(West Block) (interval 50 x 50)
b) Pembersihan Lahan (Land Clearing)
Tahap ini adalah proses awal dari kegiatan penambangan. Tujuan dari kegiatan
ini adalah untuk mengupas top soil dan menyimpannya dalam bank of top soil.
Aktivitas dari pembersihan lahan dimulai dengan memangkas pohon dan vegetasi
lainnya dengan gergaji mesin oleh para petugas tree cutting. Selanjutnya, runtuhan
pohon dan vegetasi lainnya didorong oleh bullldozer untuk dikumpulkan lalu
diangkut ke suatu tempat penyimpanan. Selanjutnya, setelah semua jenis vegetasi ini
habis, tugas alat muat berupa backhoe atau shovel untuk mengupas top soil.
c) Pengupasan Lapisan Penutup (Stripping)
Overburden diangkut ke disposal (tempat yang sengaja disediakan untuk
menampung OB dan reject rock dari screening station) yang kemudian akan digunakan
untuk menutupi daerah pasca tambang sebagai dasar bagi tanaman penghijauan dalam
revegetasi.
d) Penambangan Bijih (Ore Mining)
Ore mining biasa disebut Run of Mine (ROM), ROM biasanya diangkut ke
screening station atau ditimbun di ROMpile yang terdekat yang ada kemudian diangkut ke

2-17
stasiun penyaringan (screening station).
e) Penambangan Quarry
Quarry dalam sistem penambangan adalah tambang terbuka yang diterapkan
untuk menambang endapan-endapan bahan galian industri atau mineral industri, misalnya
batu gamping, marmer, andesit. Penambangan quarry yang dilakukan di PT.Vale
Indonesia Tbk, merupakan material yang berasal dari Blue Zone atau Bedrock. Material
quarry ini dimanfaatkan sebagai material sipil.
f) Peledakan (Blasting)
Terdapat dua jenis peledakan di PT. Vale Indonesia yaitu peledakan produksi
dan peledakan khusus. Peledakan produksi dilakukan untuk menambang quarry untuk
keperluan material civil. Sedangkan peledakan khusus biasanya dilakukan untuk
menghasilkan dinding lereng akhir yang rapi dan biasanya dilakukan untuk membentuk
lereng pada proses revegetasi atau penghijauan sehingga daerah tersebut dapat ditanami
pepohonan.
Sebelum melakukan peledakan tentunya kita harus membuat lubang tembak
terlebih dahulu dengan menggunakan drill machine. Diameter lubang tembak 3,4-5,5 inch.
Agar alat bor dapat mengakses tempat pengeboran, maka di buatlah drill pad preparation
oleh dozer sebagai akses alat bor tersebut. Alat bor di PT. Vale Indonesia ada dua macam,
yaitu bor merah dan bor putih. Bor merah digunakan untuk jenis batuan yang homogen
dengan system kerja yaitu rotary dan percussion. Sedangkan bor putih digunakan untuk
jenis batuan heterogen dengan system kerja rotary saja. Peledakan ini sendiri
menggunakan system penyalaan nonel dengan primernya berupa detonator dan ANFO.
ANFO merupakan campuran dari Ammonium Nitrat dan Fuel Oil. Perbandingan AN dan
FO sekitar 94,5-96 : 5,5-4 dengan total 0,5 kg tiap lubang tembak. Zona aman untuk
peledakan yaitu 500m untuk manusia dan 100m untuk peralatan tambang dari lokasi titik
peledakan.
g) Pemuatan Dan Pengangkutan (Loading and Hauling)
Dalam proses penambangan quarry, setelah materialnya diledakkan maka aktivitas
selanjutnya adalah pemuatan. Kegiatan penggalian material quarry dan pemuatan di PT.
Vale Indonesia dilakukan dengan menggunakan alat yang sama. Alat yang digunakan
biasanya adalah backhoe dengan kapasitas yang besar. Backhoe akan memasukkan
material-material quarry ini ke atas alat angkut sehingga bisa diangkut ke lokasi yang
membutuhkan material tersebut. Setelah backhoe memuat material sampai kapasitas dari

2-18
alat angkut terpenuhi. Maka proses pengangkutan akan mulai berjalan. Alat angkut akan
membawa material ke tempat yang membutuhkan sebagai material perkuatan.
h) Penyaringan (Screening)
Produk hasil dari screening station disebut Screening Station Product (SSP) yang
berupa ore basah yang disebut wet ore stockpile (WOS). WOS akan diproses oleh bagian
processing, yang nantinya akan menghasilkan product yang disebut nikel matte (78% Ni)
dan menghasilkan buangan (reject rock), yang nantinya akan dibawa ke disposal.
1. Area blok Timur, ukuran reject rock-nya : +18” dan +6”
2. Area blok Barat, ukuran reject rock-nya : +18”, +6”, dan +2”
Cadangan mineral tambang di PT. Vale Indonesia dibagi kedalam dua tipe geologi
yang berbeda yaitu: blok Timur (east block) dan blok Barat (west block). Penambangan
dimulai dengan mengupas lapisan tanah penutup dan bila lapisan yang mengandung ore
sudah tersingkap, persiapan penambangan dilakukan dengan pembuatan jalan menuju level
yang telah direncanakan. Kemudian dilakukan penggalian bijih nikel dengan menggunakan
alat gali muat Backhoe dan Front Shovel, serta alat angkut Dump Truck.
Bijih nikel kadar menengah (Medium Grade Limonite) diangkut dan ditumpuk pada
tempat tertentu. Sedangkan bijih nikel kadar tinggi (Saprolite Ore) dengan kadar rata-rata
1,5% untuk Blok Timur dan Blok Barat diangkut menuju Screening Station. Ore ini
dikenal dengan istilah ROM (Run of Mine).
Pada daerah Blok Barat, fraksi ukuran –2 inchi diambil sebagai ore, material-
material ini kemudian ditampung dalam stock pile. Sedangkan untuk daerah Blok Timur,
fraksi ukuran –6 inchi diambil sebagai ore, apabila fraksi ukuran +6 inchi memperlihatkan
indikasi adanya ore, maka fraksi ini akan diremukkan menjadi fraksi ukuran –6 inchi.
Untuk ukuran +18 inchi diangkut ke disposal. Reject dari screening station fraksi ukuran
+6 inchi dan +18 inchi dari tipe East Block diangkut menuju lokasi-lokasi yang
membutuhkan penimbunan pembuatan jalan konstruksi atau dibuang ke disposal.
Kegiatan penambangan berakhir sampai ore berada di stock pile, untuk kegiatan
selanjutnya dilakukan oleh pihak pabrik sampai akhirnya ore tersebut menjadi nickel
matte. Pengolahan nikel pada akhirnya menghasilkan nikel yang berkadar (78 % Ni) dan
dikemas dalam kemasan yang mengandung 3 ton nickel matte yang kemudian diangkut ke
Pelabuhan Balantang. Keseluruhan pruduksi dikirim keluar negeri dan dijual dalam Dollar
Amerika Serikat melalui kontrak-kontrak jangka panjang untuk dimurnikan di Jepang.
Daya saing PT. Vale Indonesia terletak pada cadangan bijih nikel dalam jumlah

2-19
besar, tenaga terampil dan terdidik baik, listrik tenaga air berbiaya rendah, fasilitas
produksi yang modern dan pasar yang terjamin kualitas produknya.

Gambar 2.12. Mining Process Simplified Diagram


2. Alat Mekanis
Aktivitas produksi alat mekanis pada pengupasan material overburden dibagi
dalam tiga tahap kegiatan, yaitu pembongkaran, pemuatan dan pengangkutan.
Penggunaan alat-alat mekanis pada setiap tahap akan memengaruhi tahap kegiatan
selanjutnya, bahkan seluruh rangkaian kegiatan penambangan, begitu juga dengan
pemilihan jenis dan kapasitas produksi alat yang digunakan perlu disesuaikan dengan
target produksi yang ingin dicapai.
Adapun alat mekanis yang digunakan yaitu alat muat Power Shovel Hitachi EX-
1900 dan alat angkut CAT 777D.
3. Analisis Tempat Kerja
Medan kerja sangat berpengaruh, karena apabila medan kerja buruk akan
mengakibatkan peralatan mekanis sulit untuk dapat dioperasikan secara optimal.
a) Kondisi Front Kerja
Tempat kerja tidak hanya harus memenuhi syarat bagi pencapaian sasaran produksi
tetapi juga harus aman bagi penempatan alat beserta mobilitas pekerja yang berada
disekitarnya. Tempat kerja yang luas akan memperkecil waktu edar alat karena ada cukup
tempat untuk berbagai kegiatan, seperti keleluasaan tempat untuk berputar, mengambil
posisi sebelum melakukan kegiatan sebelum pemuatan maupun untuk tempat penimbunan
sehingga kondisi tempat kerja menentukan pola pemuatan yang akan diterapkan.

2-20
b) Pola Muat
Cara pemuatan material oleh alat muat ke dalam alat angkut ditentukan oleh
kedudukan alat muat terhadap material dan alat angkut, apakah kedudukan alat muat
tersebut berada lebih tinggi atau kedudukan kedua-duanya sama tinggi.
1. Top Loading
Kedudukan alat muat lebih tinggi dari bak truk jungkit (alat muat berada di atas
tumpukan material atau berada di atas jenjang). Cara ini hanya dipakai pada alat muat back
hoe. Selainn itu operator lebih leluasa untuk melihat bak dan menempatkan material.

Sumber : Prodjosumarto, 1987


Gambar 2.13 Pola Muat Top Loading
2. Bottom Loading
Ketinggian atau letak alat angkut dan truk jungkit adalah sama. Cara ini dipakai
pada alat muat power shovel.

Sumber : Prodjosumarto , 1987 .


Gambar 2.14. Pola Muat Bottom Loading

2-21
Berdasarkan dari posisi alat muat terhadap front penggalian dan posisi alat angkut
terhadap alat muat pada posisi pemuatan ini dapat dibedakan menjadi tiga cara yaitu :
a. Frontal Cuts
Alat muat berhadapan dengan muka jenjang atau front penggalian dan mulai
menggali ke depan dan samping alat muat. Dalam hal ini digunakan double spotting dalam
penempatan posisi truk. Alat muat memuat pertama kali pada truk sebelah kanan sampai
penuh dan berangkat, setelah itu dilanjutkan pada truk sebelah kiri.

Sumber : Prodjosumarto , 1987


Gambar 2.15. Pola Pemuatan Frontal Cuts
b. Parallel Cut With Drive-by
Alat muat bergerak melintang dan sejajar dengan front penggalian. Pada metode ini,
akses untuk alat angkut harus tersedia dari dua arah. Walaupun sudut putar rata-rata lebih
besar daripada frontal cut, truk tidak perlu membelakangi alat muat dan spotting lebih
mudah.

Sumber : Prodjosumarto , 1987


Gambar 2.16. Pola Pemuatan Paralel Cut With drive-by

2-22
c. Parallel cut with turn and back
Parallel cut with turn and back terdiri dari dua metode, yaitu:
1. Single Spotting / Single Truck Back Up
Pada cara ini truk kedua menunggu selagi alat muat mengisi truk pertama,
setelah truk pertama berangkat, truk kedua berputar dan mundur, saat truk kedua
diisi, tru kketiga datang dan melakukan manuver, dan seterusnya.

Sumber :Prodjosumarto , 1987

Gambar 2.17. Parallel Cut With The Single Spotting of Trucks


2. Double Spotting / Double Truck Back Up
Pada cara ini truk memutar dan mundur ke salah satu sisi alat muat pada
waktu alat muat mengisi truk pertama. Setelah truk pertama berangkat, alat muat
mengisi truk kedua. Ketika truk kedua dimuati, truk ketiga datang dan langsung
berputar dan mundur kearah alat muat, begitu pula seterusnya.

Sumber :Prodjosumarto , 1987


Gambar 2.18. Parallel Cut With The Double Spotting of Trucks

2-23
4. Waktu Edar
Waktu edar (cycle time) merupakan waktu yang diperlukan oleh alat untuk
menghasilkan daur kerja. Semakin kecil waktu edar suatu alat, maka produksinya semakin
tinggi.
a) Waktu Edar Alat Muat
Merupakan total waktu pada alat muat, yang dimulai dari pengisian bucket sampai
dengan menumpahkan muatan ke dalam alat angkut dan kembali kosong.
Rumus :
Tm1+Tm2+Tm3+ Tm4
CTm = . .......................................... (2-1)
60
Keterangan :
CTm = Waktu edar alat muat, menit
Tm1 = Waktu menggali material, detik
Tm2 = Waktu berputar (swing) dengan bucket terisi muatan, detik
Tm3 = Waktu menumpahkan muatan, detik
Tm4 = Waktu berputar (swing) dengan bucket kosong, detik.
b) Waktu Edar Alat Angkut
Waktu edar alat angkut (dump truck) pada umumnya terdiri dari waktu menunggu
alatuntuk dimuat, waktu mengatur posisi untuk dimuati, waktu diisi muatan,
waktumengangkut muatan, waktu dumping, dan waktu kembali kosong.
Rumus :
Ta1+Ta2+Ta3+Ta4+Ta5+Ta6
Cta = ................................... (2-2)
60
Keterangan :
Cta = Waktu edar alat angkut, menit
Ta1 = Waktu mengambil posisi untuk siap dimuati, detik
Ta2 = Waktu diisi muatan, detik
Ta3 = Waktu mengangkut muatan, detik
Ta4 = Waktu mengambil posisi untuk penumpahan, detik
Ta5 = Waktu muatan ditumpahkan (dumping), detik
Ta6 = Waktu kembali kosong, detik
5. Produksi Pemuatan Material Overburden
Proses pembongkaran pada penambangan overburden dilakukan dengan
menggunakan alat gali muat Power Shovel Hitachi EX-1900. Kemampuan membongkar

2-24
material dari alat tersebut tergantung pada kemampuan bucket untuk mengisi (penetrating)
ke dalam batuan serta kekuatan alat yang menarik bucket tersebut, sedangkan volume
material yang dapat digali oleh alat tersebut tergantung pada ukuran bucketnya.
Produksi alat muat pada pemuatan pada penambangan overburden keatas alat
angkut dipengaruhi oleh beberapa factor, antara lain keseragaman ukuran butir material
yang akan dimuat, kemampuan operator, ketersediaan stok material yang akan dimuat
(hasil pembongkaran).
Untuk menghitung kemampuan produksi alat muat tersebut digunakan persamaan :
Kb x Ff x Eff x D x 60 menit
Pm= , (Ton/jam) ........... (2-3)
Ctm
Dimana :
Pm = Kemampuan Produksi Alat Muat (Ton/Jam)
Ctm = Waktu Edar Alat Muat (Menit)
Kb = Kapasitas Bucket
Eff = Efisiensi Kerja (%)
Ff = Fill Factor (%)
D = 1.72 Ton/m3

6. Produksi Pengangkutan Material (Overburden)


Produksi pada pengangkutan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antar lain:
a. Pada saat pengisian material ke alat angkut akan terjadi pertambahan volume material.
b. Keadaan jalan angkut
c. Kemampuan operator dan jumlah alat angkut yang digunakan
Untuk mengetahui jumlah produksi pengangkutan material overburden digunakan
persamaan :
60 menit/jam
Pa= x KB x Eff x D, (Ton/jam) .................... (2-4)
𝐶𝑡𝑎
KB = (Kb x Ff) x n ............................................................. (2-5)
Dimana :
Pa = Kemampuan produksi alat angkut (Ton/jam)
Cta = Waktu edar alat angkut (menit)
Kb = Kapasitas bucket alat muat
n = Banyak pengisian dalam satu kali Loading
Eff = Efisiensi Kerja (%)

2-25
Ff = Fill Factor (%)
KB = Kapasitas bak alat angkut
D = 1.72 Ton/m3

7. Kemampuan Produksi Alat Mekanis.


Kemampuan produksi alat mekanis juga dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya:
a) Faktor Pengembangan (Swell Faktor)
Material dialam dalam keadaan padat dan terkonsolidasi dengan baik hanya sedikit
ruangan-ruangan yang terisi udara (voids) diantara butir-butirnya, akan tetapi jika material
tersebut digali dari tempat aslinya akan terjadi pemuaian volume.
Rumus yang digunakan untuk mengetahui swell factor :
VolumeInsitu
SF= x100% ....................................... (2-6)
VolumeLoose
b) Faktor Pengisian (Fill Factor)
Faktor pengisian adalah faktor yang menunjukkan perbandingan antara kapasitas
nyata alat dengan kapasitas teoritis alat tersebut. Kapasitas teori sendiri merupakan heaped
capacity yaitu sudut maksimum yang dapat dicapai oleh tumpukan material lepas. Faktor
pengisian sangat dipengaruhi oleh keterampilan dari operator, ukuran butir, metode
pemuatan, ketersediaan material yang akan dimuat. Hal inilah yang mempengaruhi faktor
pengisian bucket sehingga volume bucket tiap pengisian selalu berbeda. Untuk
menentukan jumlah persen pada fill faktor atau faktor pengisian maka dapat dilihat pada
gambar 2.14.

(Ir. Partanto Prodjosumarto, Tahun 1993)


Gambar 2.19. Penentuan Persen Fill Factor

2-26
c) Efisiensi Kerja
Efisiensi kerja adalah perbandingan antara waktu yang digunakan untuk
berproduksi dengan total waktu yang tersedia.
Dalam menghitung efisiensi kerja ada tiga komponen waktu yang harus
diperhatikan yaitu :
1. Waktu kerja (W), yaitu waktu yang digunakan alat untuk berproduksi sampai akhir
operasi. Dalam waktu kerja terdapat beberapa variabel yaitu :
a) Waktu efektif (We) yaitu waktu yang benar-benar digunakan oleh alat untuk
berproduksi.
b) Waktu delay (Wd) yaitu waktu hambatan yang terdiri dari waktu pemanasan dan
melumasi kendaraan, pengisian bahan bakar, pemindahan alat, pemeriksaan mesin
serta keadaan cuaca.
2. Waktu standby (Ws) yaitu waktu yang tidak dapat dipergunakan sedangkan alat
tersebut dalam keadaan siap operasi.
3. Waktu repair (Wr) yaitu waktu perbaikan pada saat jam operasi berlangsung.
Persamaan yang digunakan untuk menghitung efisiensi kerja adalah :
We
Eff= x100% ................................... (2-7)
T
Dimana:
Eff = Efisiensi kerja
We= Waktu Kerja Efektif (menit)
T = Total jam kerja yang tersedia/shift (menit)
Waktu yang dipergunakan oleh alat untuk berproduksi tidak selamanya 60 menit
dalam satu jam, hal ini disebabkan hambatan-hambatan yang sering terjadi. Hambatan ini
perlu dibedakan antara hambatan yang terjadi karena sistem operasional dan hambatan
karena pengaruh alam.
Hambatan karena sistem operasional adalah hambatan yang masih bisa dihindari
atau diminimalisasi seperti; permulaan kerja dan pergantian shift, menunggu alat angkut,
pindah lokasi kerja, pengisian bahan bakar dan lain sebagainya, sedangkan hambatan yang
tidak dapat dihindari adalah hambatan karena pengaruh alam seperti hujan dan jalan licin,
kabut, dan bencana alam.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan efisiensi kerja alat
mekanis :

2-27
a. Mechanichal Availability
Merupakan cara untuk mengetahui tingkat kemampuan alat untuk beroperasi yang
dipengaruhi oleh faktor mekanis, seperti ban kempes dan kebocoran oli hidrolik.
Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
W
MA= x100%……………………………(2-8)
WR
Dimana :
MA = Mechanical Availabilty
W = “Working hours” atau waktu yang dibebankan kepadaoperator untuk
mengoperaskan alat yang berada dalam kondisi siap pakai (jumlah jam kerja
alat)
R = “ Repair hours “ jumlah jam untuk perbaikan
b. Physical Availibility
Merupakan kemampuan kerja dari suatu alat yang dipengaruhi oleh, misalnya
cuaca dan kemampuan operator. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
W S
PA= x100% ............................................ (2-9)
W  RS
Dimana :
PA = Physical Availability
W = “ Working hours” atau jumlah jam kerja alat
R = “ Repair hours “ atau jumlah jam untuk perbaikan
S = “ Standby hours “ atau jumlah jam suatu alat yang tidak dipergunakan padahal
alat tersebut tidak rusak dan dalam keadaan siap beroperasi
c. Use of Availability
Merupakan faktor yang menunjukkan tingkat pemakaian dari suatu alat dalam
kondisi siap pakai. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
W
UA = x 100 % ............................................ (2-10)
W S
Dimana :
UA = Use of Availability
W = “ Working hours” atau jumlah jam kerja alat
S = “ Standby hours “ atau jumlah jam suatu alat yang tidak dapat dipergunakan
padahal alat tersebut tidak rusak dan dalam keadaan siap beroperasi.
2-28
d. Effective Utilization
Menunjukan berapa persen waktu yamg digunakan oleh suatu alat untuk beroperasi
dalam suatu kegiatan kerja atau produksi. Persamaan yang digunakan adalah sebagai
berikut :

EU= W x 100 % ....................................... (2-11)


W RS
Dimana :
W = “ Working hours” atau jumlah jam kerja alat.
R = “ Repair hours” atau jumlah jam jam perbaikan alat.
S = Standby Hours, jumlah waktu dari suatu alat tidak berproduksi sedang alat
tersebut dalam keadaan bisa berproduksi.
d) Faktor Material
Jenis material mempengaruhi kemampuan produksi alat mekanis.Semakin lunak
jenis materialnya semakin mudah digali sehingga waktu siklus pengisian semakin
rendah.begitu pula sebaliknya semakin kompak materialnya semakin sukar untuk digali
sehingga waktu siklusnya semakin tinggi. Tetapi jika material dalam keadaan basah dan
lenket akan membutuhkan waktu dumping yang lama.
e) Kemiringan, Jarak, dan Keadaan jalan angkut
Kemiringan jalan akan mempengaruhi waktu edar alat angkut dalam melakukan
pengangkutan. Sedangkan kondisi jalan yang baik akan memperbesar kapasitas angkut dan
alat angkut dapat bergerak lebih cepat dalam melakukan siklus pengangkutan.
f) Iklim
Dalam keaadan cuaca panas dan banyak debu sangat mengganggu kerja
operator, sehingga mengurangi kelincahan gerak peralatannya. Begitu pula pada saat
musim hujan kondisi tempat kerja dan alat angkut yang tidak diperkeras akan menjadi
licin, sehingga peralatan mekanis yang digunakan tidak dapat bekerja secara maksimal.
g) Faktor Keserasian (Match Factor)
Untuk mencapai target produksi yang diinginkan maka keserasian kerja antara alat
muat dan alat angkut perlu mendapatkan perhatian, sehingga nantinya tidak terjadi
kekurangan alat maupun kelebihan alat yang dapat mengganggu aktivitas penambangan.
Keserasian kerja yang dimaksud adalah bagaimana pengaturan pola kerja antara
beberapa alat mekanis yang berbeda sehingga dapat kerja sama dengan baik sehingga
tercapai keserasian kerja alat. Besarnya harga faktor keserasian kerja dari setiap sistem

2-29
kombinasi kerja alat mekanis dapat ditentukan berdasarkan data waktu edar dan jumlah
alat muat yang dikombinasikan dengan alat angkut.
Untuk mengetahui faktor keserasian (Match Factor) dari suatu kombinasi alat
digunakan persamaan sebagai berikut :
nHxLtm
MF = ................................................... (2-12)
nLxCth
Dimana :
MF = Match factor
nH = Jumlah alat angkut
Ltm = Jumlah alat muat x n (jumlah pengisian)
nL = Jumlah alat muat
ctH = Cycle time alat angkut
Ada tiga kriteria dari harga “Match Factor” yaitu :
1. MF < 1, berarti kerja alat muat kurang dari 100% dari faktor kerja alat angkut 100%,
sehingga terdapat waktu menunggu bagi alat muat.
2. MF = 1, berarti faktor kerja alat muat dan alat angkut sama besarnya (serasi) sehingga
alat angkut tidak antri dan alat muat tidak menunggu.
3. MF > 1, berarti faktor kerja alat muat 100% dan faktor kerja alat angkut kurang dari
100%, sehingga terdapat waktu menunggu bagi alat angkut.

2-30
D. Kerangka Pikir

Analisis Produksi Overburden

Alat muat Alat angkut

Effisiensi Effisiensi Cycle


Cycle
Kerja Kerja Time
Time

Fill
Factor

Pemuatan Match Faktor Pengangkutan

 Cycle Time Alat Muat  Cycle Time Alat Angkut


 Fill Factor  Waktu Delay
 Waktu Delay  Waktu Standby
 Waktu Standby  Waktu Repair
 Waktu Repair

Produktivitas Alat

Gambar 2.20. Diagram Alir Penelitian

2-31

Anda mungkin juga menyukai