PEMBAHASAN
Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah
Yogyakarta. Kemudian untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi
membangun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini di
nilai cukup baik karena di apit oleh dua sungai, sehingga terlindung dari
kemungkinan banjir. Raja pertama di Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran
Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Lokasi kraton ini konon
adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan
Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Lor (Balairung Utara), Kamandhungan Lor (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan),
dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).
Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya.
Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi
menyelubungi Keraton Yogyakarta. Kraton merupakan mata air peradaban yang tak
pernah surut di makan waktu. Sejak berdirinya, Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat,
merupakan salah satu dari empat pusat kerajaan Jawa (projo kejawen) yang
merupakan pewaris sah kejayaan kebudayaan Mataram.
Para raja Mataram dan kemudian para Sultan Yogya mendapat predikat sebgai raja
pinandhita dan narendra sudibyo yaitu pencipta (kreator) kebudayaan yang produktif
(Purwadi 2007). Para Sultan bersama para ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli
tentang seni, sastra, sistem sosial, sistem ekonomi, dan seterusnya. Sri Sultan
Hamengku Buwono I misalnya, melahirkan banyak karya seni dan arsitektur. Dengan
Kraton sebagai pusat, masyarakat Yogya sudah berkembang menjadi sebuah sistem
peradaban tersendiri sejak sebelum bergambung dengan RI (1945). Itulah yang
disebut dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen) sebagai ‘’susunan asli.”
Sejak Kraton berdiri, Yogya telah mempunyai sistem pemerintahan tersendiri dan
telah melakukan reformasi pada tahun 1926 (reorganisasi Pangreh Praja).
Kraton sebagai pusat peradaban terlihat dari pola penyebaran kebudayaan yang
memancarkan keluar secara sentrifugal. Dulu, Kraton merupakan pusat pemerintahan
politis. Wilayah kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan
konsentris trimandala praja. Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat
kerajaan disebut nagara, merupakan ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal
raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah Kraton. Lapisan kedua, disebut
wilayah nagaragung yaitu daerah-daerah sekitar kota. Lapisan ketiga, disebut wilayah
monconagoro yaitu daerah-daerah yang letaknya jauh.
Kraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara
maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Kraton Yogyakarta juga
merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya
tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Kraton Yogyakarta.
Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah,
maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh
tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta
tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam
dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain.
Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada
dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil)
memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif
Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.
Fungsi Keraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi Keraton pada masa lalu dan fungsi
Keraton pada masa kini. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para
raja. Keraton Yogyakarta didirikan pada tahun 1756, selain itu di bagian selatan dari
Keraton Yogyakarta, terdapat komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah
putra-putra sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang
sudah merupakan aturan pada Keraton bahwa putra- putra sultan tidak diperbolehkan
bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat. Sementara itu, fungsi Keraton pada
masa kini adalah sebagai tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh siapapun baik
turis domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat untuk berwisata, tidak
terlupakan pula fungsi Keraton yang bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu
sebagai tempat tinggal sultan. Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari
Keraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini
memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut
Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di
sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga
mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX
dari Keraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam
usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam
hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir
memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang sangat terkenal yaitu, “Tahta
untuk rakyat”.
Nilai nilai yang dapat diambil yaitu nilai budaya, di dalam keraton juga tersaji
berbagai kreasi budaya Jawa, seperti batik. Memasuki rumah batik bisa didapati
motif-motif batik ciri khas Keraton Yogyakarta sekaligus simbol istana Jawa,
Seperangkat gamelan turut ditampilkan. Alat musik khas Jawa itu terdiri atas
kenong, kempul, kendang, gong, dan suling. Gamelan dimainkan dibarengi
lantunan suara sinden (penembang perempuan) dan waranggono (penembang
lelaki). Pentas permainan gamelan kerap didapati kala memasuki kompleks
keraton. Selain itu, terdapat pula ruangan berisi lukisan-lukisan bersejarah, seperti
lukisan tentang Raja Yogyakarta, istri dan anak-anak, lukisan kemerdekaan, serta
berbagai gambaran keraton. Benda-benda pusaka bisa pula dilihat, seperti senjata
tajam (tombak, keris, wedhung, pedang), bendera/panji, perlengkapan kebesaran
(baju kebesaran, mahkota, hiasan telinga, serta cincin), manuskrip, hingga
perlengkapan sehari-hari.
Keraton Yogyakarta sebagai tempat wisata yang sarat dengan nilai budaya dan
sejarah keraton-keraton di Jawa serta sebagai bentuk salah satu dukungan dari
program Kota Yogyakarta yaitu menjadi pusat pendidikan berbasis budaya
terkemuka di Asia Tenggara tahun 2025. Dengan adanya museum Keraton
Yogyakarta ini diharapkan masyarakat bisa lebih memahami berbagai etnik
budaya Keraton-Keraton yang ada di Pulau Jawa, kemudian adanya museum
Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan dari upaya pelestarian nila-nilai
budaya luhur daerah yang merupakan dasar kearifan budaya lokal sebagai akar
pengikat persatuan dan kesatuan bangsa.
4.2 Museum Benteng Vredeburg
Pada tahun 1765 bangunan benteng ini diperbaiki dan direnovasi dibawah
pengawasan arsitek dari belanda yaitu Ir. Franshak. Benteng ini dibangun dan
memakan waktu yang cukup lama hampir sekitar 20 tahun. Kenapa dikatakan cukup
lama, karena Pembangunan ini mendapat bantuan bahan bangunan dan tenaga kerja
dari Keraton Yogyakarta. Sementara keraton Yogyakarta pada saat itu baru saja
berdiri sehingga mereka sendiri masih berusaha membangun istananya sendiri
sehingga dilakukannya bergilir.
Pada tahun 1785 bangunan benteng diresmikan pihak belanda dan diberi nama
benteng Rustenburg (benteng peristirahatan). Alasan pemberian nama benteng
peristirahatan, karena pada waktu itu benteng ini selain digunakan sebagai benteng
pertahanan belanda juga difungsikan sebagai tempat tinggal residen belanda yang
tinggal di Yogyakarta, terbagi untuk balai tentara, ruang administrasi dan kantor
residen. Kemudian, pada tahun 1811 benteng ini diambil alih oleh pemerintah inggris
karena pada tahun 1811-1816, selama 5 tahun Indonesia dijajah oleh inggris tak dapat
dipungkiri benteng ini juga diambil alih oleh tentara inggris. Setelah itu benteng ini
diambil alih kembali oleh pihak belanda 1816 sampai akhirnya 1942 benteng ini
diambil alih oleh jepang. Namun pada tahun 1867 benteng ini sempat rusak parah
karena bencana alam (gempa bumi). Karena bangunannya rusak pihak belanda
membangun kembali dan nama benteng ini diganti menjadi Vredeburg (benteng
pertahanan). Alasan diberi nama vredeburg yaitu supaya hubungan antara pihak
belanda dan keraton Yogyakarta dapat damai, tidak ada perang dan persengketaan
apapun, karena dulu sempat pihak belanda dan keraton sempat berseteru yang paling
dikenal adalah perang diponegoro yang pada waktu itu, para keraton melawan
belanda. Perang diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830 akhirnya diponegoro ini
salah dalam rundingan dan diasingkan ke makassar dan Sulawesi.
Jadi benteng ini berubah nama dari Rustenburg ke Vredeburg, dan pada tahun 1942
diambil alih oleh jepang dan dikuasai oleh polisi militer jepang yang disebut dengan
kempetai. Militer jepang pada saat itu terkenal sangat kejam kemana mana bawa
bayonet. Jadi kempetai itu merupakan polisi militer jepang yang dikenal sangat kejam
dan tak segan-segan untuk menggunakan pedangnya/bayonetnya untuk membunuh
rakyatnya yang tak patuh pada militer jepang ini. Kemudian, setelah Indonesia
merdeka benteng ini sempat digunakan sebagai markasnya TKR yang kemudian
diubah menjadi TNI. Kemudian kapan benteng ini mulai dijadikan sebagai museum,
jadi untuk pertama kali dibuka sebagai museum benteng ini dibuka pada tahun 1987
dan baru memiliki 2 ruang pameran saja yaitu ruang diorama 1 dan diorama 2, tahun
1992 benteng ini diambil alih oleh kementerian kebudayaan kemudian mulailah
dilakukan pembenahan dan akhirnya benteng ini memiliki 4 ruang pameran tetap
yang dapat dikunjungi. Setiap ruang pameran memiliki pembatasan periodenya
masing-masing.
Keraton Yogyakarta
T
ampak Depan Keraton Yogyakarta
Tam
pak Dalam Keraton Yogyakarta
Foto Kelompok Bersama Dosen Pembimbing Lapangan