Anda di halaman 1dari 16

BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Keraton Yogyakarta

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah
Yogyakarta. Kemudian untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi
membangun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini di
nilai cukup baik karena di apit oleh dua sungai, sehingga terlindung dari
kemungkinan banjir. Raja pertama di Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran
Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I. Lokasi kraton ini konon
adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini
digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja Mataram (Kartasura dan
Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.

Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat


tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh
struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan
hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya
manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati).

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti
Hinggil Lor (Balairung Utara), Kamandhungan Lor (Kamandhungan Utara), Sri
Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan),
dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan).

 Pagelaran dan Sitihinggil Lor


Pagelaran dan Sitihinggil merupakan plataran pertama yang terletak tepat di
sebelah selatan alun-alun utara. Pagelaran merupakan area paling depan, dimana
pada masa lampau berfungsi sebagai tempat para Abdi Dalem menghadap Sultan
ketika upacara-upacara kerajaan. Dalam memimpin upacara kerajaan, Sultan
berada di Sitihinggil. Sitihinggil berasal dari bahasa Jawa “siti” yang artinya tanah
atau area, seerta “hinggil” yang artinya tinggi.
 Kamadhungan Lor
Kamadhungan Lor sering disebut Plataran Keben, karena terdapat beberapa pohon
besar bernama pohon keben yang merupakan plataran kedua yang hanya terdiri
dari beberapa bangunan.
 Srimanganti
Pada plataran ini, terdapat bangunan utama terletak di sisi barat yaitu Bangsal
Srimanganti yang saat ini berfungsi untuk mementaskan kesenian budaya Keraton
Yogyakarta dan digunakan pula sebagai tempat Sultan menjamu tamu. Di sisi
timur Bangsal Srimanganti terdapat Bangsal Trajumas yang pada saat ini
digunakan untuk menyimpan beberapa benda pusaka milik Keraton Yogyakarta.
 Kedhaton
Kedhaton merupakan plataran utama yang memiliki tataran hirarki tertinggi.
Kedhaton merupakan pusat dari kawasan Keraton Yogyakarta. Pada area ini
terdapat dua bangunan utama yaitu Bangsal Kencana dan Gendhong Prabayeksa.
Kedua bangunan ini merupakan bangunan yang dianggap paling sakral.
 Kemagangan
Pada plataran ini terdapat beberapa bangunan yaiut Bangsal Kemagangan, Panti
Pareden dan Bangsal Pacaosan. Bangsal Kemagangan dahulu berfungsi sebagai
tempat berlatih para Abdi Dalem. Pada saat ini Bangsal Kemagangan digunakan
untuk pementasan wayang kulit maupun beberapa kegiatan lainnya. Pada sisi barat
dan timur terdapat Panti Pareden yang berfungsi sebagai tempat pembuatan
gunungan untuk upacara Grebeg. Sedangkan Bangsal Pacaosan digunakan sebagai
tempat penjagaan (caos) Abdi Dalem untuk menjaga keamanan. Regol yang
menghubungkan Plataran Kemagangan dengan plataran selanjutnya
(Kamandungan Kidul) bernama Regol Gadhung Mlati.
 Kamandungan Kidul
Pada plataran ini terdapat dua bangsal yaitu Bangsal Kamandungan dan Bangsal
Pacaosan. Bangsal Kamandungan merupakan salah satu bangsal tertua yang
berada di kawasan keraton. Bangsal ini diboyong oleh Sri Sultan Hamengku
Buwono I dari Desa Karangnongko, Sragen atau yang dahulu bernama Sukowati.
Dahulu bangunan tersebut merupakan tempat tinggal beliau pada saat perang
melawan VOC.
 Sitihinggil Kidul
Sitihinggil Kidul dahulu berfungsi sebagai tempat raja menyaksikan latihan para
prajurit sebelum upacara Grebeg. Pada tahun 1956 di lokasi tempat Sitihinggil
Kidul dibangun Gedhong Sasana Hinggil Dwi Abad sebagai monumen peringatan
200 tahun berdirinya Keraton Yogyakarta.

Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang
berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya.
Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi
menyelubungi Keraton Yogyakarta. Kraton merupakan mata air peradaban yang tak
pernah surut di makan waktu. Sejak berdirinya, Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat,
merupakan salah satu dari empat pusat kerajaan Jawa (projo kejawen) yang
merupakan pewaris sah kejayaan kebudayaan Mataram.

Para raja Mataram dan kemudian para Sultan Yogya mendapat predikat sebgai raja
pinandhita dan narendra sudibyo yaitu pencipta (kreator) kebudayaan yang produktif
(Purwadi 2007). Para Sultan bersama para ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli
tentang seni, sastra, sistem sosial, sistem ekonomi, dan seterusnya. Sri Sultan
Hamengku Buwono I misalnya, melahirkan banyak karya seni dan arsitektur. Dengan
Kraton sebagai pusat, masyarakat Yogya sudah berkembang menjadi sebuah sistem
peradaban tersendiri sejak sebelum bergambung dengan RI (1945). Itulah yang
disebut dalam Pasal 18 UUD 1945 (sebelum diamandemen) sebagai ‘’susunan asli.”
Sejak Kraton berdiri, Yogya telah mempunyai sistem pemerintahan tersendiri dan
telah melakukan reformasi pada tahun 1926 (reorganisasi Pangreh Praja).

Kraton sebagai pusat peradaban terlihat dari pola penyebaran kebudayaan yang
memancarkan keluar secara sentrifugal. Dulu, Kraton merupakan pusat pemerintahan
politis. Wilayah kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan
konsentris trimandala praja. Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat
kerajaan disebut nagara, merupakan ibukota kerajaan yang menjadi tempat tinggal
raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah Kraton. Lapisan kedua, disebut
wilayah nagaragung yaitu daerah-daerah sekitar kota. Lapisan ketiga, disebut wilayah
monconagoro yaitu daerah-daerah yang letaknya jauh.

Dibandingkan dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah peradaban


yang masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban baru itu.
Ketika RI mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya memberi diri
menjadi ”ibu pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara politis itu sangat
jelas, ibukota RI dipindah ke Yogya (sejak 1946). Kraton (Sri Sultan Hamengku
Buwono IX) mengatur strategi Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk menunjukkan
eksistensi RI di mata dunia dan sebagainya. Sejak awal, Yogya telah memberikan
banyak nutrisi bagi pertumbuhan peradaban Indonesia. RI bagaikan bayi yang
menyusu pada Yogya sebagai induk semangnya. Banyak gagasan peradaban muncul
dari Yogya.

Kraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara
maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Kraton Yogyakarta juga
merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya
tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Kraton Yogyakarta.

Arsitek kepala istana ini adalah Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan


Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh
ilmuwan berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien
Adam yang menganggapnya sebagai “arsitek” dari saudara Pakubuwono II Surakarta.
Bangunan pokok dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar
landscape kota tua Yogyakarta, diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain
di tambahkan kemudian oleh para Sultan Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang
tampak sekarang ini sebagian besar merupakan hasil pemugaran dan restorasi yang
dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta tahun 1921–1939).
Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di
utara sampai di PlengkungNirboyo di selatan. Bagian-bagian utama kraton
Yogyakarta dari utara ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks
Alun-alun Ler (Lapangan Utara) dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan);
Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler, Kompleks Kamandhungan Ler;
Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks Kamagangan; Kompleks
Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang disebut Sasana
Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya yang
biasa disebut Plengkung Gadhing.

Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan


simetris. Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara
dan di sebelah selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah
Kedhaton sendiri bangunan kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun
demikian ada bangunan yang menghadap ke arah yang lain. Selain bagian-bagian
utama yang berporos utara-selatan keraton juga memiliki bagian yang lain. Bagian
tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono, Kompleks Roto Wijayan,
Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks Istana Putra
Mahkota. Di sekeliling Kraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang
terdiri dari tembok atau dinding Cepuri dan Baluwerti. Secara umum tiap kompleks
utama terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan
utama serta pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan
yang lain dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol
yang biasanya bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal.
Di belakang atau di muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono.

Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa


tradisional. Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti
Portugis, Belanda, bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk
Joglo. Joglo terbuka tanpa dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup
dinding dinamakan Gedhong (gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi
beratap bambu dan bertiang bambu yang disebut Tratag. Pada perkembangannya
bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.

Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah,
maupun seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh
tiang utama yang di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta
tiang-tiang lainnya. Tiang-tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam
dengan ornamen berwarna kuning, hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain.
Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat dari kayu memiliki warna senada
dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal Manguntur Tangkil)
memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif
Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.

Fungsi Keraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi Keraton pada masa lalu dan fungsi
Keraton pada masa kini. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para
raja. Keraton Yogyakarta didirikan pada tahun 1756, selain itu di bagian selatan dari
Keraton Yogyakarta, terdapat komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah
putra-putra sultan. Sekolah mereka dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang
sudah merupakan aturan pada Keraton bahwa putra- putra sultan tidak diperbolehkan
bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat. Sementara itu, fungsi Keraton pada
masa kini adalah sebagai tempat wisata yang dapat dikunjungi oleh siapapun baik
turis domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat untuk berwisata, tidak
terlupakan pula fungsi Keraton yang bertahan dari dulu sampai sekarang yaitu
sebagai tempat tinggal sultan. Pada saat kita akan memasuki halaman kedua dari
Keraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini
memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut
Cingkorobolo yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di
sebelah kiri disebut Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga
mendapatkan sedikit informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX
dari Keraton Yogyakarta ini lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam
usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3 Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam
hobi, diantaranya adalah menari, mendalang, memainkan wayang, dan yang terakhir
memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang sangat terkenal yaitu, “Tahta
untuk rakyat”.

Nilai-Nilai yang dapat diambil dari kunjungan ke Keraton Yogyakarta

Nilai nilai yang dapat diambil yaitu nilai budaya, di dalam keraton juga tersaji
berbagai kreasi budaya Jawa, seperti batik. Memasuki rumah batik bisa didapati
motif-motif batik ciri khas Keraton Yogyakarta sekaligus simbol istana Jawa,
Seperangkat gamelan turut ditampilkan. Alat musik khas Jawa itu terdiri atas
kenong, kempul, kendang, gong, dan suling. Gamelan dimainkan dibarengi
lantunan suara sinden (penembang perempuan) dan waranggono (penembang
lelaki). Pentas permainan gamelan kerap didapati kala memasuki kompleks
keraton. Selain itu, terdapat pula ruangan berisi lukisan-lukisan bersejarah, seperti
lukisan tentang Raja Yogyakarta, istri dan anak-anak, lukisan kemerdekaan, serta
berbagai gambaran keraton. Benda-benda pusaka bisa pula dilihat, seperti senjata
tajam (tombak, keris, wedhung, pedang), bendera/panji, perlengkapan kebesaran
(baju kebesaran, mahkota, hiasan telinga, serta cincin), manuskrip, hingga
perlengkapan sehari-hari.

Keraton Yogyakarta sebagai tempat wisata yang sarat dengan nilai budaya dan
sejarah keraton-keraton di Jawa serta sebagai bentuk salah satu dukungan dari
program Kota Yogyakarta yaitu menjadi pusat pendidikan berbasis budaya
terkemuka di Asia Tenggara tahun 2025. Dengan adanya museum Keraton
Yogyakarta ini diharapkan masyarakat bisa lebih memahami berbagai etnik
budaya Keraton-Keraton yang ada di Pulau Jawa, kemudian adanya museum
Keraton Yogyakarta ini merupakan perwujudan dari upaya pelestarian nila-nilai
budaya luhur daerah yang merupakan dasar kearifan budaya lokal sebagai akar
pengikat persatuan dan kesatuan bangsa.
4.2 Museum Benteng Vredeburg

Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta ini merupakan museum khusus sejarah


perjuangan di wilayah yogyakarta. Museum ini menempati bangunan cagar budaya
yang dulunya difungsikan sebagai benteng pertahanan Belanda. Usia benteng ini
sudah cukup tua sekitar 260 tahun dan dibangun sekitar 1760 dan keberadaan benteng
ini sangat erat dengan berdirinya keraton Yogyakarta. Benteng ini awal mula
dibangun tujuannya untuk mengawasi keraton Yogyakarta. Awal mula dibangunnya
benteng ini berbentuk segi empat bujur sangkar dan temboknya masih terbuat dari
kayu dan kurang layak sebagai benteng pertahanan.

Pada tahun 1765 bangunan benteng ini diperbaiki dan direnovasi dibawah
pengawasan arsitek dari belanda yaitu Ir. Franshak. Benteng ini dibangun dan
memakan waktu yang cukup lama hampir sekitar 20 tahun. Kenapa dikatakan cukup
lama, karena Pembangunan ini mendapat bantuan bahan bangunan dan tenaga kerja
dari Keraton Yogyakarta. Sementara keraton Yogyakarta pada saat itu baru saja
berdiri sehingga mereka sendiri masih berusaha membangun istananya sendiri
sehingga dilakukannya bergilir.

Pada tahun 1785 bangunan benteng diresmikan pihak belanda dan diberi nama
benteng Rustenburg (benteng peristirahatan). Alasan pemberian nama benteng
peristirahatan, karena pada waktu itu benteng ini selain digunakan sebagai benteng
pertahanan belanda juga difungsikan sebagai tempat tinggal residen belanda yang
tinggal di Yogyakarta, terbagi untuk balai tentara, ruang administrasi dan kantor
residen. Kemudian, pada tahun 1811 benteng ini diambil alih oleh pemerintah inggris
karena pada tahun 1811-1816, selama 5 tahun Indonesia dijajah oleh inggris tak dapat
dipungkiri benteng ini juga diambil alih oleh tentara inggris. Setelah itu benteng ini
diambil alih kembali oleh pihak belanda 1816 sampai akhirnya 1942 benteng ini
diambil alih oleh jepang. Namun pada tahun 1867 benteng ini sempat rusak parah
karena bencana alam (gempa bumi). Karena bangunannya rusak pihak belanda
membangun kembali dan nama benteng ini diganti menjadi Vredeburg (benteng
pertahanan). Alasan diberi nama vredeburg yaitu supaya hubungan antara pihak
belanda dan keraton Yogyakarta dapat damai, tidak ada perang dan persengketaan
apapun, karena dulu sempat pihak belanda dan keraton sempat berseteru yang paling
dikenal adalah perang diponegoro yang pada waktu itu, para keraton melawan
belanda. Perang diponegoro terjadi pada tahun 1825-1830 akhirnya diponegoro ini
salah dalam rundingan dan diasingkan ke makassar dan Sulawesi.

Jadi benteng ini berubah nama dari Rustenburg ke Vredeburg, dan pada tahun 1942
diambil alih oleh jepang dan dikuasai oleh polisi militer jepang yang disebut dengan
kempetai. Militer jepang pada saat itu terkenal sangat kejam kemana mana bawa
bayonet. Jadi kempetai itu merupakan polisi militer jepang yang dikenal sangat kejam
dan tak segan-segan untuk menggunakan pedangnya/bayonetnya untuk membunuh
rakyatnya yang tak patuh pada militer jepang ini. Kemudian, setelah Indonesia
merdeka benteng ini sempat digunakan sebagai markasnya TKR yang kemudian
diubah menjadi TNI. Kemudian kapan benteng ini mulai dijadikan sebagai museum,
jadi untuk pertama kali dibuka sebagai museum benteng ini dibuka pada tahun 1987
dan baru memiliki 2 ruang pameran saja yaitu ruang diorama 1 dan diorama 2, tahun
1992 benteng ini diambil alih oleh kementerian kebudayaan kemudian mulailah
dilakukan pembenahan dan akhirnya benteng ini memiliki 4 ruang pameran tetap
yang dapat dikunjungi. Setiap ruang pameran memiliki pembatasan periodenya
masing-masing.

 Diorama 1: Peristiwa sejarah yang ada di Yogyakarta sebelum Indonesia


merdeka yaitu pada masa perang diponegoro, masa pergerakan nasional yang
ditandai dengan berdirinya organisasi budi utomo (20 mei) yang sekarang
disebut sebagai hari kebangkitan nasional, kemudian muncul juga
muhammadiyah, taman siswa. Selain itu juga di ruangan diorama 1 dapat kita
lihat kongres perempuan Indonesia pertama yang sekarang kita kenal sebagai
hari ibu dan diakhiri dengan romusha (kerja paksa) di Yogyakarta. Romusha
di Yogyakarta tersendiri khusus karena ini adalah upaya Sultan Hamengku
Buwono IX sebagai raja yogyakarta, beliau meminta kepada rakyat
Yogyakarta untuk membuat selokan mataram yang cukup panjang untuk
menghubungkan sungai yang ada di ujung timur yogya dengan sungai yang
ada di ujung barat yogya, tujuannya agar rakyat yogya tidak dikirim ke pulau
jawa untuk dijadikan tenaga kerja romusha. Selokan mataram sendiri sangat
berguna sekali untuk irigasi sawah-sawah yang ada di Yogyakarta, dengan
adanya selokan mataram ini, warga yogya yang semula hanya panen padi 1-
2kali selama setahun bisa menjadi panen 3kali selama setahun. Adapun materi
pameran di ruang ini antara lain:
1. Pangeran Diponegoro terjebak dalam meja perundingan dengan Belanda
2. Kongres Budi Utomo 1 di Yogyakarta
3. Lahirnya organisasi Muhammadiyah
4. Pemogokan kaum buruh pabrik gula di sekitar Yogyakarta
5. Berdirinya Taman Siswa
6. Kongres Jong Java di Yogyakarta
7. Kongres perempuan Indonesia 1
8. Penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
9. Masuknya tentara Jepang di Yogyakarta
10. Latihan kemiliteran jaman pendudukan Jepang
11. Penderitaan masa pendudukan Jepang

 Diorama 2: Peristiwa di Yogyakarta pada awal kemerdekaan Indonesia,


bagaimana peranan kota Yogyakarta pada masa kemerdekaan salah satunya
Yogyakarta pernah menjadi ibu kota republik Indonesia pada 4 januari 1946.
Selain itu perjalanan mata uang yang ada di Indonesia dari mulai kedatangan
bangsa barat sampai dengan RIS. Adapun materi pameran di ruang ini antara
lain:
1. Mata Uang bangsa barat yang beredar di Indonesia
2. Sri Sultan HB IX memimpin rapat dukungan proklamasi
3. Penguasaan media masa dengan perebutan percetakan harian sinar
matahari
4. Penurunan bendera hinomaru dan pengibaran bendera merah putih di
gedung cokan kantai
5. Pengeboman balai mataram, gedung RRI dan sono budoyo oleh
sekutu.
6. Pertempuran kota baru
7. Pelucutan senjata Jepang oleh polisi istimewa, pemuda, dan masa
rakyat
8. Pengangkutan X tahanan Belanda dan Jepang
9. Kegiatan akademi militer Yogyakarta
10. Pembentukan tentara keamanan rakyat
11. Kongres pemuda di Yogyakarta
12. Pemerintah RI hijrah ke Yogyakarta
13. Kegiatan pemuda, pelajar, mobpel, gappi, ippi, dan tp pada masa
revolusi
14. Hari jadi universitas yogyakarta,
15. Palang merah indonesia,
16. Pembentukan TNI AU dan pembangunan kembali pesawat udara
17. Kegiatan di pabrik senjata demkijo Yogyakarta
18. Gerakan seniman dalam revolusi
19. Tertambaknya pesawat Dakota VT-CLA
20. Pelantikan jendral sudirman sebagai panglima besar TNI

 Diorama 3: Perjuangan Yogyakarta mempertahankan kemerdekaan republic


Indonesia dengan adanya perang gerilya dengan adanya agresi militer ke II
serta adanya serangan umum 1 maret. Adapun materi pameran di ruang ini
antara lain:

1. Pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta


2. Bantuan-bantuan obat-obatan dari pemerintah Mesir tiba di Lapangan
Terbang Maguwo
3. Pembukaan PON di Yogyakarta
4. Agresi Militer Belanda II
5. Pencegatan konvoi tentara Belanda
6. Perlawanan tentara pelajar di daerah Sleman
7. Pasukan gerilya masuk kota Yogyakarta
8. Pemimpin Negara kembali ke Ibu kota RI Yogyakarta
9. Pangsar sudirman menerima penghormatan dalam parade militer
10. Konferensi inter Indonesia pertama
11. Pelantikan presiden RIS
12. Pemerintah RIS pindah ke Jakarta

 Diorama 4: Peristiwa yang terjadi di yogyakarta dimulai dari tahun 1951


ditandai dengan pemilu pertama di Yogyakarta sampai dengan adanya
penataran P4 tahun 1974 (pedoman penghayatan pengamalan Pancasila). P4
adalah salah satu penataran kelas wajib jika ingin masuk universitas atau naik
pangkat, dikarenakan perintah dari soeharto setelah terjadinya Peristiwa G30S
PKI. Adapun materi pameran di ruang ini antara lain:

1. Pelaksanaan pemilu 1 di Yogyakarta tahun 1951


2. Konferensi rencana kolombo XI tahun 1959
3. Seminar nasional pancasila pertama di Yogyakarta
4. Tri Komando Rakyat (TRIKORA)
5. Peristiwa G 30 S/PKI di Yogyakarta
6. Penumpasan G 30 S/PKI
7. Amanat presiden Soeharto tentang P4 dalam dies natalis UGM XX

Nilai-Nilai yang bisa diambil dari kunjungan ke Museum Benteng Vredeburg


Kunjungan ke Musuem Benteng Vredeburg memiliki dampak positif terhadap
tumbuhnya rasa nasionalisme, karena dengan berkunjung ke museum maka seseorang
mulai mengenal dan mengetahui sejarah bangsa yang pada akhirnya akan
menumbuhkan rasa nasionalisme dikalangan mereka. Benteng Vredeburg merupakan
salah satu wisata sejarah yang ada di Yogyakarta, dimana benteng ini merupakan
peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Museum Benteng Vredeburg
Yogyakarta memiliki nilai edukasi sebagai pendidikan nasionalisme, terbukti dengan
meningkatnya pemahaman pengunjung akan nilai-nilai nasionalisme melalui pameran
di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Artinya keberadaan Museum Benteng
Vredeburg Yogyakarta sebagai sarana pendidikan untuk mengkomunikasikan nilai-
nilai sejarah perjuangan khususnya dalam nasionalisme dapat terwujud.  Selain itu
kunjungan ke museum ini dapat menambah pengetahuan, secara langsung dapat
melihat benda-benda koleksi dan peninggalan pada masa kolonial hingga proklamasi.
LAMPIRAN

Keraton Yogyakarta

T
ampak Depan Keraton Yogyakarta

Tam
pak Dalam Keraton Yogyakarta
Foto Kelompok Bersama Dosen Pembimbing Lapangan

Museum Benteng Vredeburg

Tampak depan Benteng Vredeburg

Pameran di Ruangan Diorama

Anda mungkin juga menyukai