Anda di halaman 1dari 6

1. 3.

    Kraton Yogyakarta
1. a.    Sejarah kraton Yogyakarta

Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi diberi wilayah
Yogyakarta. Kemudian untuk menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangkubumi
membangun sebuah istana pada tahun 1755 di wilayah Hutan Beringan. Tanah ini di nilai
cukup baik karena di apit oleh dua sungai, sehingga terlindung dari kemungkinan banjir. Raja
pertama di Kesultanan Yogyakarta adalah Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan
Hamengku Buwono I (HB I). Lokasi kraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan
yang bernama Garjitawati. Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah
raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.

Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal


ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan
bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang
essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya
manusia setelah mati).

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil
Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton,
Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Keraton Yogyakarta. Kraton merupakan mata air peradaban yang tak pernah surut di makan
waktu. Sejak berdirinya, Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat, merupakan salah satu dari
empat pusat kerajaan Jawa (projo kejawen) yang merupakan pewaris sah kejayaan
kebudayaan Mataram.

Para raja Mataram dan kemudian para Sultan Yogya mendapat predikat sebgai raja
pinandhita dan narendra sudibyo yaitu pencipta (kreator) kebudayaan yang produktif
(Purwadi 2007). Para Sultan bersama para ahli adat, melahirkan gagasan-gagasan asli tentang
seni, sastra, sistem sosial, sistem ekonomi, dan seterusnya. Sri Sultan Hamengku Buwono I
misalnya, melahirkan banyak karya seni dan arsitektur. Dengan Kraton sebagai pusat,
masyarakat Yogya sudah berkembang menjadi sebuah sistem peradaban tersendiri sejak
sebelum bergambung dengan RI (1945). Itulah yang disebut dalam Pasal 18 UUD 1945
(sebelum diamandemen) sebagai ‘’susunan asli.” Sejak Kraton berdiri, Yogya telah
mempunyai sistem pemerintahan tersendiri dan telah melakukan reformasi pada tahun 1926
(reorganisasi Pangreh Praja).

Kraton sebagai pusat peradaban terlihat dari pola penyebaran kebudayaan yang memancarkan
keluar secara sentrifugal. Dulu, Kraton merupakan pusat pemerintahan politis. Wilayah
kekuasaan kasultanan diklasifikasi menurut konsep lapisan konsentris trimandala praja.
Lapisan terdalam yang merupakan wilayah pusat kerajaan disebut nagara, merupakan ibukota
kerajaan yang menjadi tempat tinggal raja dan para pejabat penting. Pusat nagara adalah
Kraton. Lapisan kedua, disebut wilayah nagaragung yaitu daerah-daerah sekitar kota. Lapisan
ketiga, disebut wilayah monconagoro yaitu daerah-daerah yang letaknya jauh.

Dibandingkan dengan Kraton Yogya, Republik Indonesia adalah sebuah peradaban yang
masih sangat muda. Yogya turut membidani kelahiran peradaban baru itu. Ketika RI
mengalami masa-masa kelahiran yang sangat kritis, Yogya memberi diri menjadi ”ibu
pengasuh” dengan segala pengorbanannya. Secara politis itu sangat jelas, ibukota RI dipindah
ke Yogya (sejak 1946). Kraton (Sri Sultan Hamengku Buwono IX) mengatur strategi
Serangan Umum 1 Maret 1949 untuk menunjukkan eksistensi RI di mata dunia dan
sebagainya. Sejak awal, Yogya telah memberikan banyak nutrisi bagi pertumbuhan
peradaban Indonesia. RI bagaikan bayi yang menyusu pada Yogya sebagai induk semangnya.
Banyak gagasan peradaban muncul dari Yogya.

1. b.   Arsitektur Kraton Yogyakarta

Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil
Ler (Balairung Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton,
Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Selain itu Kraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik
yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Kraton
Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh
karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Kraton Yogyakarta.

Arsitek kepala istana ini adalah SultanHamengkubuwana I, pendiri Kesultanan


Ngayogyakarta Hadiningrat. Keahliannya dalam bidang arsitektur dihargai oleh ilmuwan
berkebangsaan Belanda, Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam yang
menganggapnya sebagai “arsitek” dari saudara Pakubuwono II Surakarta. Bangunan pokok
dan desain dasar tata ruang dari keraton berikut desain dasar landscape kota tua Yogyakarta,
diselesaikan antara tahun 1755-1756. Bangunan lain di tambahkan kemudian oleh para Sultan
Yogyakarta berikutnya. Bentuk istana yang tampak sekarang ini sebagian besar merupakan
hasil pemugaran dan restorasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (bertahta
tahun 1921–1939).

Dahulu bagian utama istana, dari utara keselatan, dimulai dari Gapura Gladhag di utara
sampai di PlengkungNirboyo di selatan. Bagian-bagian utama kraton Yogyakarta dari utara
ke selatan adalah: Gapura Gladag-Pangurakan; Kompleks Alun-alun Ler (Lapangan Utara)
dan Mesjid Gedhe (Masjid Raya Kerajaan); Kompleks Pagelaran, Kompleks Siti Hinggil Ler,
Kompleks Kamandhungan Ler; Kompleks Sri Manganti; Kompleks Kedhaton; Kompleks
Kamagangan; Kompleks Kamandhungan Kidul; Kompleks Siti Hinggil Kidul (sekarang
disebut Sasana Hinggil); serta Alun-alun Kidul (Lapangan Selatan) dan Plengkung Nirbaya
yang biasa disebut Plengkung Gadhing.

Bagian-bagian sebelah utara Kedhaton dengan sebelah selatannya boleh dikatakan simetris.
Sebagian besar bagunan di utara Kompleks Kedhaton menghadap arah utara dan di sebelah
selatan Kompleks Kedhaton menghadap ke selatan. Di daerah Kedhaton sendiri bangunan
kebanyakan menghadap timur atau barat. Namun demikian ada bangunan yang menghadap
ke arah yang lain. Selain bagian-bagian utama yang berporos utara-selatan keraton juga
memiliki bagian yang lain. Bagian tersebut antara lain adalah Kompleks Pracimosono,
Kompleks Roto Wijayan, Kompleks Keraton Kilen, Kompleks Taman Sari, dan Kompleks
Istana Putra Mahkota. Di sekeliling Kraton dan di dalamnya terdapat sistem pertahanan yang
terdiri dari tembok atau dinding Cepuri dan Baluwerti. Secara umum tiap kompleks utama
terdiri dari halaman yang ditutupi dengan pasir dari pantai selatan, bangunan utama serta
pendamping, dan kadang ditanami pohon tertentu. Kompleks satu dengan yang lain
dipisahkan oleh tembok yang cukup tinggi dan dihubungkan dengan Regol yang biasanya
bergaya Semar Tinandu. Daun pintu terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang atau di
muka setiap gerbang biasanya terdapat dinding penyekat yang
disebut Renteng atau Baturono.

Bangunan-bangunan Keraton Yogyakarta lebih terlihat bergaya arsitektur Jawa tradisional.


Di beberapa bagian tertentu terlihat sentuhan dari budaya asing seperti Portugis, Belanda,
bahkan Cina. Bangunan di tiap kompleks biasanya berbentuk Joglo. Joglo terbuka tanpa
dinding disebut dengan Bangsal sedangkan joglo tertutup dinding dinamakan Gedhong
(gedung). Selain itu ada bangunan yang berupa kanopi beratap bambu dan bertiang bambu
yang disebut Tratag. Pada perkembangannya bangunan ini beratap seng dan bertiang besi.

Permukaan atap joglo berupa trapesium. Bahannya terbuat dari sirap, genting tanah, maupun
seng dan biasanya berwarna merah atau kelabu. Atap tersebut ditopang oleh tiang utama yang
di sebut dengan Soko Guru yang berada di tengah bangunan, serta tiang-tiang lainnya. Tiang-
tiang bangunan biasanya berwarna hijau gelap atau hitam dengan ornamen berwarna kuning,
hijau muda, merah, dan emas maupun yang lain. Untuk bagian bangunan lainnya yang terbuat
dari kayu memiliki warna senada dengan warna pada tiang. Pada bangunan tertentu (misal
Manguntur Tangkil) memiliki ornamen Putri Mirong, stilasi dari
kaligrafi Allah, Muhammad, dan Alif Lam Mim Ra, di tengah tiangnya.

1. c.    Fungsi Kraton Yogyakarta

Fungsi Keraton dibagi menjadi dua yaitu fungsi Keraton pada masa lalu dan fungsi Keraton
pada masa kini. Pada masa lalu keraton berfungsi sebagai tempat tinggal para raja. Keraton
didirikan pada tahun 1755, selain itu di bagian selatan dari Keraton Yogyakarta, terdapat
komplek kesatriaan yang digunakan sebagai sekolah putra-putra sultan. Sekolah mereka
dipisahkan dari sekolah rakyat karena memang sudah merupakan aturan pada Keraton bahwa
putra- putra sultan tidak diperbolehkan bersekolah di sekolah yang sama dengan rakyat.
Sementara itu, fungsi Keraton pada masa kini adalah sebagai tempat wisata yang dapat
dikunjungi oleh siapapun baik turis domestik maupun mancanegara. Selain sebagai tempat
untuk berwisata, tidak terlupakan pula fungsi Keraton yang bertahan dari dulu sampai
sekarang yaitu sebagai tempat tinggal sultan. Pada saat kita akan memasuki halaman kedua
dari Keraton, terdapat gerbang dimana di depannya terdapat dua buah arca. Setiap arca ini
memiliki arti yang berlawanan. Arca yang berada di sebelah kanan disebut Cingkorobolo
yang melambangkan kebaikan, sementara itu arca yang terletak di sebelah kiri disebut
Boloupotu yang melambangkan kejahatan. Selain itu kami juga mendapatkan sedikit
informasi tentang Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan ke IX dari Keraton Yogyakarta ini
lahir pada tanggal 12 April 1940 dan wafat dalam usianya yang ke 48 yaitu pada tanggal 3
Oktober 1988. Ia memiliki berbagai macam hobi, diantaranya adalah menari, mendalang,
memainkan wayang, dan yang terakhir memotret. Sultan ini memiliki suatu semboyan yang
sangat terkenal yaitu, “Tahta untuk rakyat”

1. 4.    Makna budaya

Ada dua unsur yang penting dan saling terkait dalam proses pemberian makna budaya, yaitu
penentuan unsur-unsur yang menjadikan tempat itu penting serta nilai penting atau makna
budaya itu sendiri di masyarakat. Makna budaya adalah sesuatu yang memiliki nilai ‘estetis,
bersejarah, ilmiah, atau nilai sosial untuk masa lampau, sekarang, dan masa depan’. Untuk
menilai makna estetis tentu saja dibutuhkan panduan dari pakarnya. Hal lainya berkaitan
dengan menaksir nilai ini adalah penjelasan tentang nilai-nilai lainnya berupa nilai
arsitektural, nilai sejarah, nilai pengetahuan, dan nilai sosial. Oleh karena itu penulis disini
hanya akan memberikan makna berdasarkan pemahaman terbatas dari penuilis berdasarkan
apa yang dilihat, dicatatat, dari cerita petugas di kraton Yogyakarta dan sebagian diperoleh
dari sumber diluar lingkungan Kraton yang dirasa membantu.

PEMBAHASAN

1. A.      Wujud Budaya

Kebudayaan memiliki 3 wujud, yakni ide, perilaku, dan artefak. Ketiga wujud kebudayaan
tersebut tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat, dimana ide menghasilkan
perilaku atau tindakan dan karya manusia (artefak). Kemudian ide-ide, tindakan dan karya
menghasilkan benda-benda kebudayaan. Selain memiliki 3 wujud, kebudayaan juga
mempunyai 7 unsur universal, yaitu bahasa, kesenian, religi, sistem teknologi, sistem sosial,
sistem pengetahuan, dan sistem mata pencaharian hidup.

Salah satu benda-benda kebudayaan adalah bangunan tradisional, dalam hal ini kita ambil
kraton Yogyakarta, dimana bangunan tradisional kraton Yogyakarta dipandang sebagai suatu
identitas dari kebudayaan daerah maupun kebudayaan nasional, karena pada bangunan kraton
Yogyakarta terdapat ornamen-ornamen atau hiasan yang ada dan menghiasi bangunan
tersebut. Mengacu pada penjabaran 7 unsur budaya universal, maka ornament tersebut dapat
dikatakan sebagai perwujudan budaya. Yaitu unsur kesenian, sistem teknologi, dan religi.
Wujud kebudayaan yang terdapat dalam kraton Yogyakarta jumlahnya hamper tidak bisa
dihitung oleh jari, oleh karena itu wujud budaya yang dipaparkan disini hanya sebatas
pemahaman dan pengetahuan penulis. Berikut adalah wujud kebudayaan yang terdapat pada
kraton Yogyakarta:

Menurut guide, bangunan kraton Yogyakarta kurang lebih memiliki tujuh balai atau disebut
bangsal. Masing-masing bangsal dibatasi pintu masuk atau disebut regol. Keenam regol
adalah Regol Brojonolo, Sri Manganti, Danapratopo, Kemagangan, Gadungmlati, dan
Kemandungan. Kraton diapit dua alun-alun yaitu Alun-alun Utara dan Alun-alun Selatan.

1. Gerbang utama untuk masuk ke dalam kompleks Keraton Yogyakarta dari arah utara
adalah Gapura Pangurakan yang terletak persis beberapa meter di sebelah selatannya.
Gerbang ini tampak seperti pertahanan yang berlapis. Pada zamannya konon Pangurakan
merupakan tempat penyerahan suatu daftar jaga atau tempat pengusiran dari kota bagi
mereka yang mendapat hukuman pengasingan atau pembuangan. Di luar gerbang yang
mempunyai empat penyangga utama atau yang disebut saka guru ini sekarang terdapat
banyak aktivitas masyarakat, dari penarik becak, penjual minuman dan lain-lain.
2. Alun-alun Lor adalah sebuah lapangan berumput di bagian utara Keraton Yogyakarta.
Menurut ceritanya, dulu tanah lapang yang berbentuk persegi ini dikelilingi oleh dinding
pagar yang cukup tinggi dan saat ini alun-alun dipersempit, hanya bagian tengahnya saja
yang tampak. Di bagian pinggir sudah dibuat jalan beraspal yang dibuka untuk umum. Di
sebelah utara terdapat perpustakaan museum sonobudoyo, dimana disitu disimpan banyak
naskah berumur tua. Museum ini terbuka untuk umum, namun karena menjaga kualitas dan
keawetan koleksi museum tak segan sang penjaga sering menegur secara keras. Pada
bagian tengah alun-alun terdapat dua buah pohon beringin, yang konon apabila kita bias
melewati atau berjalan ditengah-tengah kedua pohon tersebut dengan mata terpejam
sebanyak 3 kali, maka keinginan kita akan tercapai. Dewasa kini fungi alun-alun utara
menjadi tempat berkumpulnya anak muda, tempat mengadakan konser musik, area parker
kendaraan bermotor, bermain sepak bola, kampanye dan lain-lain. Salah satu acara yang
terjadi ditahun 2009 di alun-alun utara adalah pisowanan agung atau pisowanan ageng,
yaitu rakyat dan pejabat dating menghadap raja sebagai bentuk kesetiaan. Pisowanan ageng
memperlihatkan sebuah cermin yang memperlihatkan bentuk-bentuk nilai demokrasi
dalam budaya lokal.
3. Kompleks Mesjid Gedhe Kasultanan (Masjid Raya Kesultanan) atau Masjid Besar
Yogyakarta terletak di sebelah barat kompleks Alun-alun utara. Kompleks yang juga
disebut dengan Mesjid Gedhe Kauman. Untuk masuk ke dalam terdapat pintu utama di sisi
timur dan utara.
1. Bangunan utama adalah Bangsal Pagelaran yang dahulu dikenal dengan nama
Tratag Rambat. Sering digunakan untuk even-even pariwisata, religi, dan lain-lain
disamping untuk upacara adat keraton. Sepasang Bangsal Pemandengan terletak di sisi
jauh sebelah timur dan barat Pagelaran. Disebelah timur sebelah selatan terdapat ruang
untuk karawitan. Saat ini di sisi selatan kompleks ini dihiasi dengan relief perjuangan
Sultan HB I dan Sultan HB IX. Kompleks Pagelaran ini pernah digunakan oleh
Universitas Gadjah Mada sebelum memiliki kampus di Bulak Sumur.
2. Siti Hinggil. Kompleks Siti Hinggil secara tradisi digunakan untuk
menyelenggarakan upacara-upacara resmi kerajaan. Tempat ini digunakan untuk
peresmian Universitas Gadjah Mada. Kompleks ini dibuat lebih tinggi dari tanah di
sekitarnya dengan dua jenjang untuk naik berada di sisi utara dan selatan. Di antara
Pagelaran dan Siti Hinggil ditanami deretan pohon Gayam. Di kanan dan kiri ujung
bawah jenjang utara Siti Hinggil terdapat dua Bangsal. Bangunan Tarub Agung terletak
tepat di ujung atas jenjang utara. Bangunan ini berbentuk kanopi persegi dengan empat
tiang, tempat para pembesar transit menunggu rombongannya masuk ke bagian dalam
istana. Di timur laut dan barat laut Tarub Agung terdapat Bangsal Kori. Di tempat ini
dahulu bertugas abdi-Dalem Kori dan abdi-Dalem Jaksa yang fungsinya untuk
menyampaikan permohonan maupun pengaduan rakyat kepada Sultan.
1. Di selatan Siti Hinggil terdapat lorong yang membujur ke arah timur-
barat. Dinding selatan lorong merupakan dinding Cepuri dan terdapat sebuah gerbang
besar, Regol Brojonolo, sebagai penghubung Siti Hinggil dengan Kamandhungan. Di
sebelah timur dan barat sisi selatan gerbang terdapat pos penjagaan. Gerbang ini
hanya dibuka pada saat acara resmi kerajaan dan di hari-hari lain selalu dalam
keadaan tertutup. Untuk masuk ke kompleks Kamandhungan sekaligus kompleks
dalam Keraton sehari-hari melalui pintu Gapura Keben di sisi timur dan barat
kompleks ini yang masing-masing menjadi pintu masing-masing ke jalan
Kemitbumen dan Rotowijayan.
2. Kompleks Kamandhungan lor atau ler sering disebut Keben karena di
halamannya ditanami pohon Keben. Bangsal Ponconiti yang berada ditengah-tengah
halaman merupakan bangunan utama di kompleks ini. Dahulu (kira-kira sampai 1812)
bangsal ini digunakan untuk mengadili perkara dengan ancaman hukuman mati
dengan Sultan sendiri yang yang memimpin pengadilan. Versi lain mengatakan
digunakan untuk mengadili semua perkara yang berhubungan dengan keluarga
kerajaan. Kini bangsal ini digunakan dalam acara adat seperti garebeg dan sekaten. Di
selatan bangsal Ponconiti terdapat kanopi besar untuk menurunkan para tamu dari
kendaraan mereka yang dinamakan Bale Antiwahana. Selain kedua bangunan tersebut
terdapat beberapa bangunan lainnya di tempat ini.
3. Kompleks Sri Manganti terletak di sebelah selatan kompleks
Kamandhungan Ler dan dihubungkan oleh Regol Sri Manganti. Pada dinding
penyekat terdapat hiasan Makara raksasa. Sekarang di lokasi ini ditempatkan
beberapa pusaka keraton yang berupa alat musik gamelan. Selain itu juga difungsikan
untuk penyelenggaraan even pariwisata keraton. Bangsal Traju Mas yang berada di
sisi timur dahulu menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan
dalam menyambut tamu. Versi lain mengatakan kemungkinan tempat ini menjadi
balai pengadilan. Tempat ini digunakan untuk menempatkan beberapa pusaka yang
antara lain berupa tandu dan meja hias. Bangsal ini pernah runtuh pada 27 Mei 2006
akibat gempa bumi yang mengguncang DIY dan Jawa Tengah. Setelah proses
restorasi yang memakan waktu yang lama akhirnya pada awal tahun 2010 bangunan
ini telah berdiri lagi di tempatnya. Di sebelah timur bangsal ini terdapat dua pucuk
meriam buatan Sultan HB II yang mengapit sebuah prasasti berbahasa dan berhuruf
Cina. Di sebelah timurnya berdiri Gedhong Parentah Hageng Karaton, gedung
Administrasi Tinggi Istana. Selain itu di halaman ini terdapat bangsal Pecaosan Jaksa,
bangsal Pecaosan Prajurit, bangsal Pecaosan Dhalang dan bangunan lainnya. Sri
Manganti juga menjadi nama salah satu hotel yang terdapat di Yogyakarta.
4. Kedhaton merupakan inti dari Keraton. Halamannya kebanyakan
dirindangi oleh pohon Sawo kecik. Kompleks ini setidaknya dapat dibagi menjadi tiga
bagian halaman. Bagian pertama adalah Pelataran Kedhaton dan merupakan bagian
Sultan. Bagian selanjutnya adalah Keputren yang merupakan bagian istri (para istri)
dan para puteri Sultan. Bagian terakhir adalah Kesatriyan, merupakan bagian putra-
putra Sultan. Di kompleks ini tidak semua bangunan maupun bagiannya terbuka untuk
umum, terutama dari bangsal Kencono ke arah barat. Di bagian Pelataran Kedhaton,
Bangsal Kencono (Golden Pavilion) yang menghadap ke timur merupakan balairung
utama istana. Di tempat ini dilaksanakan berbagai upacara untuk keluarga kerajaan di
samping untuk upacara kenegaraan. Di keempat sisi bangunan ini terdapat Tratag
Bangsal Kencana yang dahulu digunakan untuk latihan menari.
5. Di sisi selatan kompleks Kedhaton terdapat Regol Kamagangan yang
menghubungkan kompleks Kedhaton dengan kompleks Kemagangan. Gerbang ini
begitu penting karena di dinding penyekat sebelah utara terdapat patung dua ekor ular
yang menggambarkan tahun berdirinya Keraton Yogyakarta. Di sisi selatannya pun
terdapat dua ekor ular di kanan dan kiri gerbang yang menggambarkan tahun yang
sama.
6. Alun-alun Kidul (Selatan) adalah alun-alun di bagian Selatan Keraton
Yogyakarta. Alun-alun ini dikelilingi oleh tembok persegi yang memiliki lima gapura,
satu buah di sisi selatan serta di sisi timur dan barat masing-masing dua buah. Di
antara gapura utara dan selatan di sisi barat terdapat sebuah kandang untuk
memelihara gajah milik Sultan. Di sekeliling alun-alun ditanami pohon mangga,
pakel, dan kuini. Pohon beringin hanya terdapat dua pasang. Sepasang di tengah alun-
alun yang dinamakan Supit Urang (capit udang) dan sepasang lagi di kanan-kiri
gapura sisi selatan.
7. 12.    Plengkung Nirbaya merupakan ujung selatan poros utama
keraton. Gerbang ini secara tradisi digunakan sebagai rute keluar untuk prosesi
panjang pemakaman Sultan ke Imogiri. Untuk alasan inilah tempat ini kemudian
menjadi tertutup bagi Sultan yang sedang bertahta.

Anda mungkin juga menyukai