Anda di halaman 1dari 4

BOROBUDUR

Candi Borobudur adalah sebuah candi Buddha yang terletak di kota Magelang, provinsi
Jawa Tengah. Candi Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia, sekaligus
salah satu monumen Buddha terbesar di dunia. Karena kemegahan dan keagungannya,
candi yang dibangun pada abad ke-8 ini sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu
warisan kebudayaan dunia (world heritage).
Candi Borobudur dibangun pada masa pemerintahan dinasti Syailendra. berbentuk stupa ini
didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana pada masa pemerintahan wangsa
Syailendra. Sejarah berdirinya Candi Borobudur dibangun pada abad ke-8.
Asal usul candi Borobudur pun masih diliputi misteri, mengenai siapa pendiri candi
Borobudur dan apa tujuan awalnya membangun candi ini. Banyak cerita dan kisah candi
Borobudur beredar yang kini dikenal sebagai dongeng rakyat setempat.
Letak Candi Borobudur
Candi Borobudur terletak di kota Magelang, provinsi Jawa Tengah. Alamat Candi Borobudur
lengkapnya ada di Jl. Badrawati, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi Candi
Borobudur berada sekitar 100 km dari Semarang, 86 km dari Surakarta dan 40 km dari DI
Yogyakarta.

Sejarah Candi Borobudur


Bagaimana sejarah Borobudur di awal pembangunan? Bagaimana sejarah berdirinya candi
Borobudur dari dulu sampai sekarang? Kali ini akan dibahas mengenai sejarah candi
Borobudur singkat dari awal mula berdiri, penemuan kembali dan proses pemugaran candi.
Asal Usul Candi Borobudur
Terdapat sejarah panjang dalam berdirinya candi Borobudur. Sampai saat ini tidak
ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapa yang membangun Borobudur dan apa
tujuan membangun candi ini. Diperkirakan candi Borobudur dibangun pada tahun 800
Masehi.
Perkiraan waktu pembangunan candi didasarkan pada perbandingan antara jenis aksara
yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara yang umumnya
digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. Candi borobudur dibangun pada
masa kerajaan dinasti Syailendra di Jawa Tengah yang bertepatan antara kurun waktu 760
sampai 830 Masehi.
Proses pembangunan candi Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu 75  sampai 100
tahun lebih. Candi Borobudur baru benar-benar rampung 100% pada masa pemerintahan
raja Samaratungga pada tahun 825 Masehi.
KERATON YOGYAKARTA

Keraton Yogyakarta (Jogja) atau sering disebut dengan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat


terletak di jantung provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY), Indonesia. Karena tempatnya
berada di tengah-tengah Jogja, dimana ketika di ambil garis lurus antara Gunung Merapi
dan Laut Kidul, maka Keraton menjadi pusat dari keduanya. Keraton atau Kraton Jogja
merupakan kerajaan terakhir dari semua kerajaan yang pernah berjaya di tanah jawa. Ketika
kerajaan hindu-budha berakhir kemudian di teruskan dengan kerajaan islam pertama di
Demak, lalu berdiri kerajaan yang lain seperti Mataram islam yang di dirikan oleh Sultan
Agung lalu berjalan dan muncul Keraton Jogja yang didirikan oleh Sultan Hamengku
Bowono I. Hingga sekarang, keraton Jogja masih menyimpan kebudayaan yang sangat
mengagumkan.
Dalam perkembangannya, Keraton Jogja banyak mengalami masa pasang surut
kepemimpinan dan terjadi perpecahan. Yang paling terkenal adalah perjanjian Giyanti pada
tahun 1755, dimana kerajaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu wilayah timur yang sekarang
menjadi keraton surakarta (solo – petualangan selanjutnya ) dan wilayah barat yang disebut
dengan Keraton Jogjakarta. Namun, Keraton Jogja juga banyak menyimpan sejarah yang
tak bisa dilupakan begitu saja oleh bangsa Indonesia, termasuk dalam perjuangan merebut
dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Cukup banyak untuk di kaji dan ditulis.
Selain itu, Keraton Jogja sangat kental dengan warisan budaya etnik jawa yang sangat
menajubkan yang masih bisa di temukan di sekitar dan dalam keraton sendiri. Ketika
Petualang ke Keraton Jogja maka, itulah gambaran sederhana tentang budaya dan
keindahan tanah jawa. Semua hampir terwakilkan dalam satu tempat yang menarik dan
sangat memukau. Bagaimana tidak, di Keraton masih banyak menyimpan tentang berbagai
kesenian, hasil budaya, ragam pakaian adat dan bentuk rumah ala jawa yang indah. Tidak
berhenti disitu saja, di Keraton Jogja juga mempertunjukkan bagaimana supelnya orang
jawa dalam berkomunikasi dan bersapa dengan semua orang yang datang disana. Sangat
eksotis dan menarik.
BENTENG VREDEBURG

Benteng vredeburg pertama kali dibangun pada tahun 1760 atas perintah dari Sri Sultan
Hamengku Buwono I dan permintaan pihak pemerintah Belanda yang saat itu dipimpin oleh
Nicholaas Harting yang menjabat sebagai Gubernur Direktur Pantai Utara Jawa. Adapun
dalih awal tujuan pembangunan benteng ini adalah untuk menjaga kemananan keratin. Akan
tetapi, maksud sebenarnya dari keberadaan benteng ini adalah untuk memudahkan
pengawasan pihak Belanda terhadap segala kegiatan yang dilakukan pihak keraton
Yogyakarta. Pembangunan benteng pertama kali hanya mewujudkan bentuk sederhana,
yaitu temboknya yang ahnya berbahankan tanah, ditunjang dengan tiang-tiang yang terbuat
dari kayu pohon kelapa dan aren, dengan atap ilalang. Bangunan tersebut dibangun dengan
bentuk bujur sangkar yang di keempat ujungnya dibangun seleka atau bastion. Oleh Sri
Sultan HB IV, keempat sudut itu diberi nama Jaya Wisesa (sudut barat laut), Jaya Purusa
(sudut timur laut), Jaya Prakosaningprang (sudut barat daya), dan Jaya Prayitna (sudut
tenggara).
Kemudian pada masa selanjutnya, gubernur Belanda yang bernama W.H. Van Ossenberg
mengusulkan agar benteng ini dibangun lebih permanen dengan maksud kemanan yang
lebih terjamin. Kemudian pada tahun 1767, pembangunan benteng mulai dilakukan di
bawah pengawasan seorang arsitek Belanda bernama Ir. Frans Haak dan pembangunannya
selesai pada tahun 1787. Setelah pembangunan selesai, benteng ini diberi nama
“Rustenburg” yang berarti benteng peristirahatan. Pada tahun 1867, terjadi gempa hebat di
Yogyakarta dan mengakibatkan banyak bangunan yang runtuh, termasuk Rustenburg.
Kemudian, segera setelahnya diadakan pembangunan kembali benteng Rustenburg ini yang
kemudian namanya diganti menjadi “Vredeburg” yang berarti benteng perdamaian. Hal ini
sebagai wujud simbolis manifestasi perdamaian antara pihak Belanda dan Keraton.
MALIBORO
Jalan Malioboro didirikan bertepatan dengan pendirian Kraton Yogyakarta. Dalam bahasa
Sansekerta, kata "malioboro" bermakna karangan bunga. Hal itu mungkin ada hubungannya
dengan masa lalu ketika Kraton mengadakan acara besar maka Jalan Malioboro akan
dipenuhi dengan bunga. Kata malioboro juga berasal dari nama seorang kolonial Inggris
yang bernama Marlborough yang pernah tinggal disana pada tahun 1811-1816 M.

Perkembangan pada masa itu didominasi oleh Belanda dalam membangun fasilitas untuk
meningkatkan perekonomian dan kekuatan mereka, Seperti pembangunan Stasiun Tugu
oleh Staat Spoorweg (1887) di Jalan Malioboro, yang secara fisik berhasil membagi jalan
menjadi dua bagian. Sementara itu, jalan Malioboro memiliki peranan penting di era
kemerdekaan (pasca-1945), sebagai orang-orang Indonesia berjuang untuk membela
kemerdekaan mereka dalam pertempuran yang terjadi utara-selatan sepanjang jalan.
Keberadaan Jalan Malioboro tidak terlepas dari konsep kota Yogyakarta yang ditata
membujur dengan arah utara - selatan, dengan jalan-jalan yang mengarah ke penjuru mata
angin serta berpotongan tegak lurus. Pola itu diperkuat dengan adanya "poros imajiner"
yang membentang dari arah utara menuju ke selatan, dengan kraton sebagai titik
tengahnya.
"Poros" tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu Tugu (Pal Putih) di utara, ke
selatan berupa jalan Margatama (Mangkubumi) dan Margamulya (Malioboro), Kraton
Yogyakarta, Jl. DI. Panjaitan, berakhir di panggung Krapyak. Jika titik awal (Tugu)
diteruskan ke utara akan sampai ke Gunung Merapi, sedang jika titik akhir (Panggung
Krapyak) diteruskan akan sampai ke Samudera Hindia. 
Di era kolonial (1790-1945) pola perkotaan itu terganggu oleh Belanda yang membangun
benteng Vredeburg (1790) di ujung selatan jalan Malioboro. Selain membangun benteng
belanda juga membangun Societeit Der Vereneging Djogdjakarta (1822), The Dutch
Governor's Residence (1830), Javasche Bank dan kantor Pos untuk mempertahankan
dominasi mereka di Yogyakarta. Komunitas Belanda di Yogyakarta berkembang pesat sejak
masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwana VII ( 1877 - 1921).
Hal tersebut berkaitan erat dengan tumbuh dan berkembangnya perkebunan tebu, berbagai
jenis pabrik, perbankan, asuransi, perhotelan, dan pendidikan. Perkembangan pesat juga
terjadi pada masa itu yang disebabkan oleh perdaganagan antara orang Belanda dengan
orang Tionghoa. Dan juga disebabkan adanya pembagian tanah di sub-segmen Jalan
Malioboro oleh Sultan kepada masyarakat Tionghoa dan kemudian dikenal sebagai Distrik
Cina (Kawasan Pecinan).

Anda mungkin juga menyukai