Candi Borobudur
Dalam pembangunannya belum ditemukan bukti tertulis yang menjelaskan siapakah yang
membangun Borobudur dan apa kegunaannya. Waktu pembangunannya diperkirakan berdasarkan
perbandingan antara jenis aksara yang tertulis di kaki tertutup Karmawibhangga dengan jenis aksara
yang lazim digunakan pada prasasti kerajaan abad ke-8 dan ke-9. maka Borobudur diperkirakan
dibangun sekitar tahun 800 masehi. Kurun waktu ini sesuai dengan kurun antara 760 dan 830 M,
yang merupakan masa puncak kejayaan wangsa Syailendra di Jawa Tengah, dimana masa itu
dipengaruhi Kemaharajaan Sriwijaya. Pembangunan Borobudur diperkirakan menghabiskan waktu
75 samapai 100 tahun dan benar-benar dirampungkan pada masa pemerintahan raja Samaratungga
pada tahun 825.
Hal yang unik dari candi borobudur adalah balok yang digunakan sebagai bahan utama konstruksi
bangunan terbuat dari abu vulkanik Gunung Merapi yang dibekukan. Balok-balok ini kemudian
disusun membentuk lebih dari 500 buah arca tanpa menggunakan semen sama sekali. Luar biasa
bukan, Tak hanya itu, candi ini juga penuh dengan pahatan relief yang menceritakan perjalanan
hidup Sang Buddha.
Candi Prambanan
Prambanan merupakan candi Hindu terbesar dan termegah yang pernah dibangun di Jawa kuno,
pembangunan candi Hindu kerajaan ini diawali oleh Rakai Pikatan sebagai tandingan candi Buddha
Borobudur dan juga candi Sewu yang terletak tak jauh dari Prambanan. Beberapa sejarawan lama
menduga bahwa pembangunan candi agung Hindu ini untuk menandai kembali berkuasanya
keluarga Sanjaya atas Jawa, hal ini terkait teori wangsa kembar berbeda keyakinan yang saling
bersaing. yaitu wangsa Sailendra penganut Buddha dan wangsa Sanjaya penganut Hindu. Pastinya,
dengan dibangunnya candi ini menandai bahwa Hinduisme aliran Siwa kembali mendapat
dukungan keluarga kerajaan, setelah sebelumnya wangsa Sailendra cenderung lebih mendukung
Buddha aliran Mahayana. Hal ini menandai bahwa kerajaan Medang beralih fokus dukungan
keagamaanya, dari Buddha Mahayana ke pemujaan terhadap Siwa.
Candi Prambanan sendiri pertama kali dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh Rakai
Pikatan dan secara berkelanjutan disempurnakan dan diperluas oleh Raja Lokapala dan raja
Balitung Maha Sambu. Berdasarkan prasasti Siwagrha berangka tahun 856 M, Dalam prasasti
Siwagrha tertulis bahwa saat pembangunan candi Siwagrha berlangsung, dilakukan juga pekerjaan
umum perubahan tata air untuk memindahkan aliran sungai di dekat candi ini. Sungai yang
dimaksud adalah sungai Opak yang mengalir dari utara ke selatan sepanjang sisi barat kompleks
candi Prambanan. Sejarawan menduga bahwa aslinya aliran sungai ini berbelok melengkung ke
arah timur, dan dianggap terlalu dekat dengan candi sehingga erosi sungai bisa mengancam
konstruksi candi. Proyek tata air ini dilakukan dengan membuat sodetan sungai baru yang
memotong lengkung sungai dengan poros utara-selatan sepanjang dinding barat di luar kompleks
candi.
Candi Prambanan juga memiliki cerita rakyat yang melekat erat dengannya yaitu cerita Roro
Jonggrang. Dikisahkan bahwa candi induk yang ada merupakan wujud Roro Jonggrang yang
dikutuk oleh Bandung Bondowoso karena berusaha menggagalkan upaya Bondowoso membangun
seribu candi untuknya.
Lawang Sewu
Lawang Sewu dibangun pada 27 Februari 1904 dengan nama Het hoofdkantor van de
Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (yang digunakan untuk Kantor Pusat NIS). pada
mulanya kegiatan administrasi perkantoran dilakukan di Stasiun Semarang Gudang (Samarang
NIS), namun dengan berkembangnya jalur jaringan kereta yang begitu pesat, mengakibatkan
bertambahnya kebutuhan personil teknis dan tenaga administrasi yang besar.
Pada akibatnya kantor NIS di stasiun Samarang NIS tidak lagi memadai. Berbagai solusi dilakukan
NIS antara lain menyewa beberapa bangunan milik perseorangan sebagai solusi sementara. Apalagi
letak stasiun Samarang NIS berada di dekat rawa sehingga urusan sanitasi dan kesehatan pun
menjadi pertimbangan penting. Maka, diusulkanlah alternatif lain: yaitu membangun kantor
administrasi di lokasi baru. kemudian dibangunlah Lawang Sewu di ujung Bodjongweg Semarang
(sekarang Jalan Pemuda).
Benteng Rotterdam
Biasanya masyarakat Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang
merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. dalam sejarahnya Kerajaan Gowa-Tallo
menandatangani perjanjian Bungayya yang salah satu pasalnya menuntut Kerajaan Gowa untuk
menyerahkan benteng ini kepada Belanda. Pada saat Belanda menempati benteng ini, nama
Benteng Ujung Pandang kamudian diganti menjadi Fort Rotterdam. Cornelis Speelman sengaja
memilih nama Fort Rotterdam untuk mengenang daerah kelahirannya di Belanda. Benteng ini
kemudian digunakan oleh Belanda sebagai pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian
timur.
Saat ini, Benteng Rotterdam menjadi tempat wisata sejarah andalan kota Makassar. Di dalamnya
terdapat museum La Galigo yang berisi koleksi benda-benda peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo.
Menariknya lagi, di sini terdapat sebuah ruangan yang dipercaya sebagai tempat pengasingan
Pangeran Diponegoro di masa perjuangan dahulu.
Benteng Vredeburg
Melihat kemajuan yang sangat pesat terhadap kraton yang didirikan oleh Sultan Hamengku
Buwono I, rasa kekhawatiran pihak Belanda mulai muncul. Pihak Belanda mengusulkan kepada
sultan agar diizinkan membangun sebuah benteng di dekat kraton. Belanda dalih agar mereka dapat
menjaga keamanan kraton dan sekitarnya. Akan tetapi dibalik dalih tersebut niatan Belanda yang
sesungguhnya adalah untuk memudahkan dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di
dalam kraton. Letak benteng yang hanya satu jarak tembak meriam dari kraton dan lokasinya yang
menghadap ke jalan utama menuju kraton menjadi indikasi bahwa fungsi benteng dapat
dimanfaatkan sebagai benteng strategi, penyerangan, intimidasi serta blokade terhadap kraton.
Dapat disimpulkan bahwa berdirinya benteng tersebut dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila
sewaktu-waktu Sultan memiliki keinginan untuk menentang Belanda.
Besarnya kekuatan yang tersembunyi dibalik kontrak politik yang dilahirkan dalam setiap
perjanjian dengan pihak Belanda seakan-akan menjadi kekuatan yang sulit dilawan oleh setiap
pemimpin pribumi pada masa kolonial Belanda. Dalam hal ini termasuk pula Sri Sultan Hamengku
Buwono I. Oleh karena itu permohonan izin Belanda untuk membangun benteng
dikabulkan. Sebelum dibangun benteng pada lokasinya yang sekarang (Museum Benteng
Vredeburg Yogyakarta), ditempat tersebut sebenarnya Sultan HB I telah membangun sebuah
benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Di keempat sudutnya dibuat tempat
penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Oleh sultan keempat sudut tersebut diberi nama
Jayapurusa (sudut timur laut), Jayawisesa (sudut barat laut), Jayaprayitna (sudut tenggara)
dan Jayaprakosaningprang (sudut barat daya).
Taman Sari
Konon, Taman Sari dibangun di bekas keraton lama, Pesanggrahan Garjitawati, yang didirikan oleh
Susuhunan Paku Buwono II sebagai tempat istirahat kereta kuda yang akan menuju Imogiri.
Sebagai pimpinan proyek pembangunan Taman Sari dipilih Tumenggung Mangundipuro. Seluruh
biaya pembangunan ditanggung oleh Tumenggung Prawirosentiko beserta seluruh rakyatnya. Di
tengah pembangunan pimpinan proyek diambil alih oleh Pangeran Notokusumo, setelah
Mangundipuro mengundurkan diri. Walaupun secara resmi sebagai kebun kerajaan, namun bebrapa
bangunan yang ada mengindikasikan Taman Sari juga berperan sebagai benteng pertahanan terakhir
jika istana diserang oleh musuh.
Istana Maimun
Di istana ini juga terdapat meriam buntung yang memiliki legenda tersendiri. Orang Medan
menyebut meriam ini dengan sebutan Meriam Puntung. Kisah meriam puntung ini memiliki kaitan
dengan Putri Hijau. Diceritakan, di Kerajaan Timur Raya, hiduplah seorang putri yang cantik jelita,
bernama Putri Hijau. Ia disebut demikian, karena tubuhnya memancarkan warna hijau. sang putri
mempunyai dua orang saudara laki-laki, yaitu Mambang Khayali dan Mambang Yasid. Suatu
ketika, datanglah Raja Aceh meminang Putri Hijau, namun, pinangan ini ditolak oleh kedua
saudaranya.
Raja Aceh menjadi marah, lalu menyerang Kerajaan Timur Raya. Raja Aceh berhasil mengalahkan
Mambang Yasid. Saat tentara Aceh hendak masuk istana menculik Putri Hijau, mendadak terjadi
keajaiban, Mambang Khayali tiba-tiba berubah menjadi meriam dan menembak membabi-buta
tanpa henti. Karena terus-menerus menembakkan peluru ke arah pasukan Aceh, maka meriam ini
terpecah dua. Bagian belakang terlempar ke Labuhan Deli sementara Bagian depannya ditemukan
di daerah Surbakti, di dataran tinggi Karo, dekat Kabanjahe, kemudian dipindahkan ke halaman
Istana Maimun.
Istana Maimun menjadi tujuan wisata bukan hanya karena usianya yang tua, namun juga desain
interiornya yang unik, memadukan unsur-unsur warisan kebudayaan Melayu, dengan gaya Islam,
Spanyol, India dan Italia. Namun sayang, tempat wisata ini tidak bebas dari kawasan Pedagang kaki
lima.