Anda di halaman 1dari 18

Sumbu Filosofi

1. Tugu Pal Putih


- Jika dilihat dari sumbu filosofis, Tugu Golong-Gilig membentuk garis
lurus dari Laut Selatan hingga Gunung Merapi.
- Terletak di sebelah utara kraton.
- Berdiri di tengah perempatan antara Jl. Marga Utama (selatan), Jl.
Jenderal Soedirman (timur), Jl. A.M. Sangaji (utara) , Jl. Diponegoro
(barat).
- Dibangun pada masa Sri Sultan HB I pada 1755.
- Awal berdirinya, tugu ini disebut Tugu Golong-Gilig, karena bentuk
bangunan puncaknya berbentuk golong (bulat) dan tiangnya berbentuk
gilig (silinder). Golong-gilig juga melambangkan bersatunya rakyat-raja
dan manusia-Sang Pencipta.
- Tinggi tugu ini awalnya 25 meter.
- Fungsi dari tugu ini di masa lalu adalah untuk tetenger/penanda kota
dan barometer arah ketika Sri Sultan HB I melakukan meditasi, di
Bangsal Maguntur Tangkil.
- Tugu ini runtuh ketika gempa bumi pada 10 Juni 1867 dan 1889
direnovasi oleh pemerintah kolonial Belanda dengan bentuk dan tinggi
yang berbeda. Tugu dibuat dengan bentuk persegi dengan tiap sisi
dihiasi prasasti yang menunjukkan pihak-pihak yang terlibat dalam
revonasi itu. Bagian puncaknya berbentuk kerucut spiral yang
meruncing. Selain itu, terdapat simbol pada bangunan ini, yaitu bintang
enam sudut, titik emas, sudut meruncing, serta daun loto. Sejak saat
itulah ia mendapat sebutan Tugu Pal Putih, dalam bahasa Belanda
disebut De Witte Paal.
- Makna filosofis Tugu Pal Putih adalah langkah pertama menuju alam
keabadian. Bentuknya menyimbolkan Manunggaling Kawula Gusti
(bersatu bersama menuju Sang Pencipta), semangat persatuan rakyat
dan penguasa untuk melawan penjajah. Secara simbolik, Tugu Pal Putih
merupakan bagin penting dari konsep Sangkan Paraning Dumadi, tiga
susunan sumbu filosofi (Panggung Krapyak-Kraton-Tugu). Tugu Pal
Putih melambangkan lingga (alat kelamin laki-laki). Lingga adalah asal
mula sperma, benih kehidupan, yang digambarkan dalam bangunan ini.
- Saat ini Tugu Yogyakarta masih berdiri dengan kokoh dan terawat
dengan baik. Banyak aktivitas pariwisata yang terdapat di sekitar Tugu
Pal Putih ini, yang telah tersohor sebagai salah satu ikon pariwisata Kota
Yogyakarta. Di sebelah tenggara sudah dibuat outdoor diorama beserta
miniatur tugu golong-gilig yang dulu roboh karena gempa.
- Saat ini, Tugu Jogja tingginya 15 meter, lebih rendah 10 meter sejak
dibangun pertama kali pada 1755.
2. Hotel Tugu

- Dulu bernama Namloose Venootschape Grand Hotel de Djogja.


Kemudian diubah menjadi Namloose Venootschape Narba.

- Pada masa Agresi Militer II pernah digunakan sebagai markas tentara


Belanda. Menurut catatan sejarah, ketika terjadi Serangan Umum 1
Maret 1949, hotel ini menjadi salah satu sasaran penyerangan yang
dipimpin oleh Sudarno.

- Hotel tugu didirikan pada awal abad 20, bersamaan dengan


berkembangnya pertokoan yang ada di sepanjang jalan poros Tugu Pal
Putih – titik nol kilometer. Hotel Tugu merupakan hotel terbaik pada
masanya, yakni sekitar tahun 1920-an. Tahun 1930 Hotel Tugu juga
difungsikan sebagai restoran yang melayani orang-orang asing yang
ada di Kota Yogyakarta, serta pelanggan pribumi dari kalangan keluarga
Keraton Yogyakarta.

- Pada saat Tentara Pendudukan Jepang berada di Kota Yogyakarta yaitu


tahun 1942 -1945, Hotel Tugu difungsikan sebagai markas militer Jepang.

- Pada masa Agresi Militer Belanda II digunakan sebagai pusat markas


perwira-perwira tentara Belanda di bawah pimpinan Letnan Kolonel
D.B.A van Langen. Oleh karena itu, pada saat Serangan Umum 1 Maret
1949, Hotel Tugu menjadi salah satu sasaran strategis yang diserbu
Tentara Nasional Indonesia (TNI).

- Pascakemerdekaan Hotel Tugu beberapa kali mengalami perubahan


fungsi. Pada tahun 1949, pernah menjadi Hotel Tentara. Kemudian juga
pernah digunakan menjadi kantor bank dan Kedaung Plaza. Sekarang
kompleks Hotel Tugu tidak dimanfaatkan untuk fasilitas apapun.
3. Hotel Garuda

- Merupakan bangunan kolonial Belanda.


- Dibangun pada tahun 1908 dan beroperasional pada tahun 1911 dengan nama
”Grand Hotel de Djogja”. Pada masa pendudukan Jepang tahun 1942, diganti
dengan nama Asahi Hotel (Matahari Terbit). Hotel ini merupakan hotel pertama
di Yogyakarta dengan pemilik pertama C.V Marbak.
- Pada masa kemerdekaan menjadi markas Jenderal Sudirman sehingga pada
tahun 1946 berubah nama menjadi “Hotel Merdeka”.
- Tahun 1960 dihibahkan kepada Pemerintah Indonesia dengan nama “Hotel
Garuda” sebagai manifestasi lambang negara RI.
- Kemudian pada tahun 1975 sesuai dengan peraturan pemerintah No. 25 Tahun
1975, hotel Garuda menjadi BUMN yang bekerja sama dengan PT Natour,
sehingga berganti nama menjadi Natour Garuda.
- Bangunan hotel mengalami renovasi pertama kali pada tanggal 29 Juni 1985
dan pengoperasiannya diresmikan oleh Sultan HB IX.

4. Apotek Kimia Farma 1


Petualangan menyusuri bangunan cagar budaya kita lanjutkan dengan
menyeberangi jalan di depan Hotel Garuda. Dari tepi jalan kita dapat
melihat beberapa bangunan cagar budaya yaitu Apotek Kimia Farma.
Apotek Kimia Farma I yang berada di seberang Hotel Garuda saat ini
sudah berubah menjadi Toko Indomaret. Dulunya merupakan Apotek
Juliana yang dibangun tahun 1865. Pada bagian depan apotek ini
terdapat tulisan “ANNO 1865 Chemists Druggists, Apotheek J. Van
Gorkom & Co”.

5. Gedung DPRD DIY


- Terletak di Jl. Malioboro No. 54 dibangun pada tahun 1878 oleh
perkumpulan orang Belanda (Vrijmetselarij) di Yogyakarta.
- Disebut juga Loge/Loji Mataram/Loji Mason/Gedung Setan/Huis Van
Overdenking/Omah Pewangsitan.
- Pada 2 September 1948, terdapat peristiwa sejarah di gedung tersebut
yakni pencentusan politik luar negeri bebas aktif oleh Bung Hatta. Pada
saat itu, Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia.
- Setelah ibu kota kembali ke Jakarta pada 1949, maka pada tahun 1951,
pihak Kasultanan menyerahkan pemakaian gedung kepada pemerintah
daerah untuk dijadikan Gedung DPRD DIY dan hingga saat ini masih
digunakan sebagai ruang rapat paripurna.
- dikenal dengan nama Gedung Setan. Pada tahun 1948-1950, bangunan
yang juga disebut dengan nama Loge Mataram ini digunakan untuk
kegiatan BPKNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat).
Peristiwa bersejarah yang pernah terjadi di gedung ini yaitu pencetusan
politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif oleh Kabinet/Wakil
Presiden Drs. Moh. Hatta pada tanggal 2 September 1948 di depan
sidang BPKNIP. Pada tahun 1951 oleh pihak Kasultanan, pemakaiannya
diserahkan kepada Pemda untuk Gedung DPRD DIY.

6. Kepatihan
- Kompleks Kepatihan merupakan satu dari sekian banyak cagar budaya
yang ada di Yogyakarta. Kompleks Kepatihan didirikan pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).
- Pada awal berdirinya, bangunan yang secara administratif berada
Kampung Suryatmajan, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta ini
berfungsi sebagai kantor sekaligus tempat tinggal Pepatih Dalem.
- Jabatan Pepatih Dalem tersebut ada karena Kasultanan Yogyakarta
meneruskan gaya pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Jabatan ini
setingkat perdana menteri dan pejabatnya bergelar Danureja. Selain
menjadi pejabat Kasultanan, Pepatih Dalem juga menjalankan fungsi
sebagai penghubung kasultanan dengan pihak pemerintah kolonial.

Gedhing Wilis, bangunan tertua di Kompleks Kepatihan Yogyakarta.


(Foto: KratonJogja)
- Bangunan atau ruang tertua yang ada di Kompleks Kepatihan adalah
Gedhong Wilis. Saat ini, Gedhong Wilis digunakan sebagai ruang kerja dan
tempat menerima tamu Gubernur Daerah Istimewa. Dahulu, Gedhong Wilis
merupakan tempat tinggal Pepatih Dalem beserta keluarganya. Bangunan ini
ada di sisi barat laut Bangsal Kepatihan.

- Sebagaimana arsitektur tradisional Jawa, terdapat Dalem Ageng yang saat


ini berfungsi sebagai ruang rapat Gubernur DIY. Sedangkan Ruang Gadri atau
serambi belakang yang berfungsi sebagai area bersantap. Saat ini Gadri
menjadi ruang rapat yang lebih kecil.

- Pendapa atau bangunan inti Bangsal Kepatihan sejak dulu hingga sekarang
digunakan sebagai tempat perayaan pernikahan putra-putri Sultan setelah
menjalani upacara panggih di keraton. Selain itu, berbagai acara resmi dan
perjamuan oleh Gubernur DIY maupun Wakil Gubernur DIY juga digelar di
tempat ini. (KratonJogja)

7. Ketandan

- di barat laut keraton, utara pasar beringharjo


- akulturasi antara budaya Tionghoa, Keraton dan warga Yogya
- di Jalan ahmad yani, suryatmajan, suryotomo, jalan los pasar beringharjo
- sejak 200 tahun lalu sebagai kawasan pecinan kota jogja
- Dulu pusat pemukiman org cina jaman Belanda
- Sbgian besar berprofesi sbg pedagang emas dan permata, toko
kelontong, toko herbal, kuliner, penyedia kebutuhan bahan pokok
- 1950 90% beralih jd toko emas
- sejak 2006 setiap inlek ada Pekan Budaya Tionghoa

8. Benteng Vredeburg
- Terletak di Jl. Margo Mulyo No. 6 Yogyakarta.
- Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diizinkan membangun
sebuah benteng di dekat kraton dengan dalih agar Belanda dapat
menjaga keamanan kraton dan sekitarnya, tetapi dibalik dalih tresebut,
Belanda mempunyai maksud tersendiri yaitu untuk memudahkan
Belanda dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam
kraton. Dengan kata lain bahwa berdirinya benteng tersebut
dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan
berbalik menyerang Belanda dan berubah memusuhi Belanda.
- Berkat izin Sri Sultan Hamengku Buwono I, pembangunan benteng
selesai pada tahun 1787 dan dibawah pimpinan Gubernur Johannes
Sioeberg diresmikan menjadi benteng kompeni dengan nama
Rustenburgh yaang artinya “tempat istirahat”. Pada tahun 1867 di
Yogyakarta mengalami gempa bumi sehingga beneng memerlukan
perbaikan. Setelah pemugaran selesai oleh Daendels nama benteng
Rustenburgh diubah menjadi benteng Vredeburg yang artinya
“perdamaian”.
- Pada masa penguasaan Inggris 1811-1816, benteng ini dikuasai oleh
pemerintah Inggris di bawah penguasaan John Crawfurd atas perintah
Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles. Pada masa penguasaan
Inggris, terjadi peristiwa penting di tempat ini yaitu terjadinya
penyerangan Inggris dan kekuatan-kekuatan pribumi ke kraton
Yogyakarta pada tanggal 18 sampai 20 Juni 1812 yang dikenal dengan
peristiwa Geger Sepoy.
- Pada 5 Maret 1942 ketika Jepang menguasai Kota Yogyakarta, benteng
ini diambil alih oleh tentara Jepang. Beberapa bangunan di Benteng
Vredeburg digunakan sebagai tempat tawanan orang Belanda dan
orang Indonesia yang melawan Jepang. Benteng Vredeburg digunakan
pula sebagai markas Kempetei dan juga sebagai gudang senjata serta
amunisi tentara Jepang.
- Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Benteng
Vredeburg diambialih oleh instansi militer Republik Indonesia.
- Ketika terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948,
benteng ini dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1948 sampai
1949. Pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan TNI
menjadikan benteng ini sebagai salah satu sasaran serangan untuk
dapat menaklukan pasukan Belanda. Pada 29 Juni 1949, setelah
mundurnya pasukan Belanda dari Yoyakarta, maka pengelolaan
Benteng Vredeburg dipegang oleh APRI (Angkatan Perang Republik
Indonesia).
- Pada 9 Agustus 1980, pemerintah melalui Mendikbud dan atas
persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, menetapkan Benteng
Vredeburg sebagai pusat informasi dan pengembangan budaya
nusantara. Kemudian pada 16 April 1985, bangunan benteng ini dipugar
untuk dijadikan museum. Setelah pemugarannya selesai pada 1987,
museum mulai dibuka untuk umum. Selanjutnya, pada 1992 bangunan
museum secara resmi ditetapkan sebagai Museum Khusus Perjuangan
Nasional dengan nama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Uniknya, Museum Benteng Vredeburg memiliki koleksi unggulan
berupa minirama Kongres Boedi Oetomo, diorama pelantikan
Soedirman sebagai Panglima Besar TNI, mesin ketik Surjopranoto,
kendil yang digunakan oleh Soedirman, Dokumen Soetomo, dan bangku
militer akademi.

9. Loji Kecil

Selama ratusan tahun mendiami Indonesia, termasuk Yogyakarta, Belanda


meninggalkan sejumlah bangunan bersejarah. Bangunan-bangunan itu oleh
warga Yogyakarta sering disebut loji karena ukurannya yang besar dengan
halaman yang luas. Beberapa loji peninggalan itu kini bisa dinikmati
keindahannya dengan sedikit biaya, hanya perlu menyusuri kawasan pusat
kota Yogyakarta, bermula dari perempatan Kantor Pos Besar atau kilometer 0.

Kawasan loji kecil adalah pusat kawasan hunian orang Belanda pertama di
Yogyakarta. Loji lainnya yaitu Gereja Protestansche Kerk yang berdiri tahun
1857. Saat ini gereja tersebut dikenal sebagai Gereja Kristen Marga Mulya,
terletak di sebelah utara Gedung Agung. Loji lainnya yaitu Gereja Fransiskus
Xaverius Kudul Loji, yang berdiri tahun 1870.

Terdapat kawasan loji kecil di sebelah timur Benteng Vredeburg, yaitu mulai
dari bangunan pasar buku Shopping hingga perempatan Gondomanan. Loji
kecil yang lain adalah loji yang berada di komplek Taman Pintar. Kemudian
Gedung Societet Militair yang dahulu digunakan sebagai tempat para serdadu
militer Belanda bersantai.

Loji Setan, adalah kawasan loji lain yang juga menarik. Nama Loji Setan ini
diambil berdasarkan keangkerannya.Loji setan pada awalnya disebut Loji
Marlborough yang berfungsi sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia (1925-
1949), kemudian sebagai Kantor Dewan Pertahanan Negara dan
Penyelenggaraan Sidang Kabinet (1948).

Menurut penuturan warga, di ruang-ruang tertentu gedung ini sering


terdengar suara orang meminta tolong dan juga suara musik. Gedung ini dulu
sering digunakan untuk tempat bermeditasi dan sebagai ruang pameran oleh
Luch Bescherming Dienst pada tahun 1940. Saat ini gedung tersebut menjadi
Gedung DPRD.

10. Gedung Agung

- di ujung selatan jalan jenderal ahmad yani/jalan margomulyo


Sejarah pada masa Hindia Belanda
- Gedung utama mulai dibangun mei 1824 diprakarsai oleh Anthony
Smissaerat
- Arsitek : A Payen
- Tertunda karena adanya Perang Jawa
- Selesai dibangun pada 1832
- Sebagai kediaman residen Belanda
- 1869 selesai dibangun kembali gedung utama komplek istana
kepresidenan yogyakarta
Masa kota republik
- Istana menjadi istana kepresidenan dan tempat tinggal Ir Soekarno
- Agresi Militer Belanda II
- Sejak 28 Desember 1949 yaitu berpindahnya presiden ke jkt, istana tdk
lagi menjadi tmpt tinggal sehari hari
Saat ini
- Sebagai kantor dan kediaman presiden, menerima dan menginap tamu
tamu negara.
- Sejak 1991 digunakan utk memperingati detik detik proklamasi

11. Pasar Beringharjo

- di Jalan Jenderal Ahmad Yani nomor 16, Yogyakarta


- Dibangun sebagai sarana prasarana ekonomi Yogya
- Di sebelah utara keraton
- Bermakna simbolis dalam Paraning Dumadi/tujuan akhir hidup manusia,
sebagai godaan duniawi seperti kekayaan, harta, dan Wanita. Manusia harus
mampu mengalahkan godaan duniawi tersebut agar layak memasuki
kehidupan abadi
- Beringharjo memiliki makna harafiah hutan pohon beringin yang diharapkan
memberikan kesejahteraan bagi warga Yogyakarta
- Pasar tertua di Yogyakarta
- Nama Beringharjo diberikan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
bertakhta
- Dari kata Bering, karena dulunya tempat hutan pohon beringin
- Bangunan perpaduan antara Kolonial dan jawa

12. Stasiun Tugu

Stasiun Kereta Api Tugu terletak di sisi sebelah barat jalan poros Keraton-Tugu
Pal Putih atau berada di sebelah barat Stasiun Lempuyangan. Sampai skarang
Stasiun Tugu menjadi stasiun utama di Kota Yogyakarta. Stasiun Tugu sudah
berumur ratusan tahun karena bangunan stasiun ini sudah didirikan sejak
zaman penjajahan kolonial Belanda..

Stasiun Tugu dibangun oleh SS dan mulai dibuka pada tahun 12 Mei 1887.
Tujuan awal dibangunnya stasiun Tugu adalah untuk kebutuhan
pengangkutan hasil bumi dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya yang
menghubungkan kota-kota Yogyakarta — Solo — Semarang.

Pada awalnya stasiun Tugu difungsikan sebagai rute persinggahan


pengangkutan barang. Kemudian, pada 1905, Stasiun Tugu mulai melayani
kereta penumpang. Pada masa penjajahan kolonial Belanda digunakan oleh
para pembesar Belanda sebagai perantara persinggahan dari perjalanan
kereta api ke perjalanan darat. Sedangkan pada masa perjuangan
kemerdekaan dan perang melawan penjajah stasiun Tugu memiliki peran
sebagai tempat pemberangkatan dan kedatangan pasukan pejuang
kemerdekaan. Stasiun ini juga menyimpan memori tentang momentum
perpindahan Ibukota Republik Indonesia ke Kota Yogyakarta dan juga
peristiwa Yogya Kembali.
Pada awalnya stasiun Tugu dibangun dengan model arsitektur klasik.
Kemudian pada 1927 hall stasiun diperluas dan fasad direnovasi menjadi
bergaya Art Deco dengan bentuk-bentuk geometris dan garis-garis lurus yang
memberikan kesan modern dan mewah. Stasiun Tugu saat ini sudah menjadi
stasiun besar dengan enam jalur kereta yang melayani kereta kelas bisnis dan
eksekutif untuk berbagai kota tujuan di Pulau Jawa.
13. Malioboro
- Jalan Malioboro dianggap sebagai sumbu filosofis yang
menghubungkan Tugu dengan Keraton Yogyakarta. Secara simbolis,
garis filosofis tersebut terwujud dalam simpul-simpul berupa Panggung
Krapyak — Keraton Yogyakarta —- Tugu Golong-Gilig. Ketiganya
melambangkan konsep 'sangkan paraning dumad? yang bermakna asal
dan tujuan dari adanya “hidup”. Filosofi dari Panggung Krapyak menuju
Keraton Yogyakarta menggambarkan perjalanan manusia sejak di
dalam kandungan, lahir, beranjak dewasa, menikah hingga memiliki
anak (sangkaning dumadi). Sebaliknya, filosofi dari Tugu Golong-Gilig ke
arah selatan menggambarkan perjalanan manusia ketika hendak
menghadap Sang Pencipta (paraning dumadi), meninggalkan alam
dunia yang fana menuju alam akhirat yang baka.
- Jalan Malioboro merupakan salah satu ikon Kota Yogyakarta. Di area
Malioboro terdapat Kawasan Pecinan Ketandan, Gedung Agung atau
Istana Kepredisenan Yogyakarta,hingga Museum Benteng Vredeburg.
Jalan Malioboro yang membelah kota diperkirakan telah ada sebelum
Keraton Yogyakarta didirikan. Dahulu, rombongan Kerajaan Mataram
Islam dari Keraton Kartasura sering melalui jalan itu. Rombongan
tersebut membawa jenazah keluarga kerajaan yang akan
disemayamkan menuju Imogiri. Sebelum tiba di Imogiri, rombongan
singgah lebih dulu di Pesanggrahan Gerjitawati atau Ayogya, yang kini
menjadi lokasi berdirinya Keraton Yogyakarta. Jalan ini beralih fungsi
pada masa pendudukan Belanda. Menurut Peter Carey, jalan Malioboro
berperan sebagai jalan kerajaan atau jalan raya seremonial. Jalan
tersebut digunakan sebagai jalan masuknya tamu kehormatan Keraton.
Misalnya, gubernur jenderal dan pejabat tinggi sipil dan militer Eropa.
Peter Carey dalam bukunya berjudul “Asal Usul Nama Yogyakarta-
Malioboro” mengutip penyataan bahwa — penamaan diperkirakan —
memiliki dengan bahasa Sansekerta, malya yang bermakna “untaian
bunga”. Sedangkan milyabhara artinya “dihiasi untaian bunga”.
- Menurut "Buku Profil Yogyakarta City of Philosophy' terbitan Dinas
Kebudayaan Istimewa Yogyakarta, Malioboro berasal dari dua kata.
Malia dimaknai sebagai wali. Sedangkan Bara diartikan sebagai
ngumbara atau mengembara.
- Jika dimaknai secara keseluruhan, maka Maliabara bermakna “jadilah
wali yang mengembara setelah memilih jalan keutamaan”. Selain itu,
dapat juga — diartikan “hendaknya mengikuti ajaran wali
- Antara Tugu dan Keraton dihubungkan empat jalan, yakni jalan
Margoutomo, Malioboro, Margomulyo dan Pangurakan. Margoutomo
berarti jalan utama, Malioboro berarti obor wali,
- Margomulyo bermakna jalan mulia atau kebaikan, dan Pangurakan
bermakna pelepasan.
- Di sepanjang Jalan Malioboro terdapat toko-toko yang dibangun mulai
akhir abad ke-19. Pembangunan pertokoan semakin ramai hingga tahun
1900-1930-an. Pertokoan yang dibangun awal abad ke-20 antara lain
toko sepeda, toko musik, toko buku, toko onderdil mobil, apotek, salon,
hingga kantor asuransi. Pertokoan di Malioboro berjejer di sisi timur
Sekitar dua abad sebelumnya, Malioboro belum menjadi kawasan
pertokoan. Semua bermula pada tahun 1758 ketika dibangun Pasar
Gedhe sebagai pusat perekonomian.Tempat jual beli tersebut
ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Para pedagang semakin
banyak, hingga mendirikan payon-payon sebagai lapak berjualan.

14. Titik 0 Kilometer

Setelah itu sampailah perjalanan kita di kilometer 0 Yogyakarta yaitu di


perempatan yang dulu dikenal dengan nama perempatan Kantor Pos Besar.
Ketika dulu Belanda membangun jaringan jalan di Pulau Jawa, maka banyak
titik Kilometer 0 di kota-kota di Pulau Jawa berada di depan Kantor Pos. Kantor
Pos Besar Yogyakarta bernama Post en telegraaf kantoor. Sampai saat ini
bangunan tersebut masih berfungsi sebagai kantor pos dengan nama Kantor
Pos Besar Yogyakarta.

15. Alun-Alun Utara

Akhirnya perjalanan kita sampai di alun-alun utara Yogyakarta. Di sebelah


utara dari Alun-Alun Utara ini ada dua alternatif jalan yang bisa kita lalui.
Alternatif pertama kita bisa belok ke kiri, kemudian belok ke kanan melewati
Plengkung Wijilan/Plengkung Tarunasura. Alternatif kedua adalah belok ke
kanan melewati sisi barat alun-alun dan terus ke arah Jalan Rotowijayan.
Alternatif yang penulis ambil pertama adalah melewati Plengkung
Wijilan/Plengkung Tarunasura. Plengkung Tarunasura merupakan salah satu
dari 2 plengkung (gerbang berbentuk lorong beratap lengkung di benteng
Kraton Yogyakarta) yang masih memiliki bentuk asli. Awalnya benteng Kraton
Yogyakarta memiliki 5 plengkung, namun 3 plengkung yang lain kini sudah
tidak berbentuk plengkung lagi, yaitu Plengkung Jagasura di Ngasem,
Plengkung Jagabaya di Tamansari, dan Plengkung Madyasura di
Suryomentaram.

16. Masjid Gedhe

- Kagungan Dalem Masjid Gedhe


- Menegaskan keberadaan Yogyakarta sebagai kerajaan islam
- dibangun di barat Alun Alun utara dan barat daya beringharjo
- Sebagai pusat agama
- Didirikan pada Ahad Wage 29 Mei 1773 M/6 Rabiul akhir 1187 Hijriah
- Di prakarsai Sri Sultan Hamengku Buwono I dan Kiai Fakih Ibrahim
Diponingrat
- Dibangun atas rancangan Kyai Wiryokusumo
- Mewarisi gaya arsitek demak : empat pilar utama (soko guru), atap tajug
lambang teplok bersusun 3 dimaknai sebagai iman, islam, ikhsan.
- Terdapat 48 pilar dari bangunan ini, 16 sisi tiga tingkat. terdiri dari mi’rab,
liwan, serambi, dan tempat wudhu.
- Terdapat ruangan khusus bagi raja ketika hadir di masjid (maksura)
- Sebagai ciri masjid ini milik Sultan, dipasang hiasan mahkota berbentuk
bunga (mustaka : bentuk gada, daun kluwih, bunga gambir)
- Bagian Pagongan sebagai tempat dua gamelan pusaka, Kiai Gunturmadu dan
Kiai Nagawilaga.
- Pada masa awal kesultanan ngayogyakarta, digunakan untuk menyelesaikan
masalah tang berkaitan dengan hukum islam.
- 1840 dibangun regol atau pintu gerbang masjid.
- Pimpinan pengurus masjid adalah penghulu keraton yg ad di dlm struktur
abdi dalem pamethakan. (salah satunya KH Ahmad Dahlan)
- 1867 terjadi gempa besar memporak poranda kan yogya, regol dan serambi
runtuh menimpa kiai penghulu.
- Bangunan pajagan digunakan sbg markas asykar perang sabil yg membantu
TNI dalam melawan agresi militer belanda

17. Museum Sonobudoyo

Alternatif berikutnya yang penulis ambil adalah belok kanan dari utara Alun-
Alun Utara. Di kanan jalan kita akan menemui Museum Sonobudoyo. Museum
Sonobudoyo didirikan pada tahun 1934 dan diresmikan pada tanggal 6
November 1935 oleh Sultan Hamengku Buwana VIII. Banyak koleksi yang dapat
dilihat di sini.
Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam
bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di
Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres
tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta.
Pada tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura,
Bali dan Lombok. Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun
1931 dengan anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg.

Bangunan museum menggunakan tanah bekas “Shouten” tanah hadiah dari


Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan ditandai dengan sengkalan
candrasengkala “Buta ngrasa estining lata” yaitu tahun 1865 Jawa atau tahun
1934 Masehi. Sedangkan peresmian dilakukan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana VIII pada hari Rabu wage pada tanggal 9 Ruwah 1866 Jawa
dengan ditandai candra sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha” yang
berarti tahun Jawa atau tepatnya tanggal 6 Nopember 1935 tahun Masehi.
Pada masa pendudukan Jepang Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati
Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran). Di jaman
Kemerdekaan kemudian dikelola oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito
yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.

Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke


Pemerintah Pusat / Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan secara
langsung bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal dengan berlakunya
Undang-undang No. 22 tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan
kewenangan Propinsi sebagai Otonomi Daerah. Museum Sonobudoyo mulai
Januari 2001 bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi DIY
diusulkan menjadi UPTD Perda No. 7 / Th. 2002 Tgl. 3 Agustus 2002 tentang
pembentukan dan organisasi UPTD pada Dinas Daerah dilingkungan
Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan SK Gubernur No. 161 /
Th. 2002 Tgl. 4 Nopember tentang TU – Poksi.

Museum Negeri Sonobudoyo ini tersimpan 10 Jenis Koleksi :


Jenis Koleksi Geologika
Jenis Koleksi Biologika
Jenis Koleksi Ethnografika
Jenis Koeksi Arkeologi
Jenis Koleksi Numismatika/ Heraldika
Jenis Koleksi Historika
Jenis Koleksi Filologika
Jenis Koeksi Keramologika
Jenis Koleksi Senirupa
Jenis Koleksi Teknologika

Museum Negeri Sonobudoyo merupakan Unit Pelaksana Teknis Daerah pada


Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mempunyai fungsi
pengelolaan benda museum yang memiliki nilai budaya ilmiah, meliputi
koleksi pengembangan dan bimbingan edukatif kultural. Sedangkan tugasnya
adalah mengumpulkan, merawat, pengawetan, melaksanakan penelitian,
pelayanan pustaka, bimbingan edukatif kultural serta penyajian benda koleksi
Museum Negeri Sonobudoyo.

Museum Sonobudoyo yang berlokasi di pusat kota berada dalam lokasi yang
strategis, berada dalam lingkungan Pusat Budaya Yogyakarta yang banyak
mendapatkan perhatian dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar
negeri.
Bangunan Museum Sonobudoyo merupakan rumah joglo dengan arsitektur
masjid keraton kesepuhan Cirebon. Didesain oleh Ir. Th. Karsten.

Keberadaan museum erat hubungannya dengan sebuah yayasan masa


Kolonial Java Institut dibidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok
sebagai pencetus berdirinya Museum Sonobudoyo, yang diresmikan pada
tanggal 6 November 1935, oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan
ditandai Candrasengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha”.

Museum Sonobudoyo sebagai museum provinsi kedepannya diharapkan akan


menjadi gambaran dari fungsi museum dalam hal pelayanan dan optimalisasi
fungsi, dengan melihat potensi yang dimiliki, sehingga akan mempunyai
prospek dan peluang untuk lebih dikembangkan dan ditingkatkan, dalam
rangka menghadapi persaingan baik pada level Nasional maupun
Internasional.

Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit. Museum Sonobudoyo Unit I terletak
di Jalan Trikora No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di Ndalem
Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.

18. Kauman

- Sebuah kampung di kelurahan Ngupasan di Gondomanan, Yogyakarta


- Di selatan malioboro dan di utara kraton Yogya
- Sebelah utara dibatasi Jalan KH Ahmad Dahlan
- Selatan dibatasi tembok benteng kraton Yogya
- Timur dibatasi Jalan Pekapalan dan Jalan Pangurakan
- Barat dibatasi Jalan Nyai Ahmad Dahlan (dl jalan Gerjen)
- Ada Masjid Gedhe Kauman
- Lapangan masjid Gede utk grebeg
- Dahulu sbg tempat tinggal abdi dalem pamethakan/penghulu keraton
yang mengurusi bidang keagamaan islam di lingkungan KNH
- Muhammadiyah didirikan disini oleh KH Ahmad Dahlan
- Komunitas terbesar bagi keturunan arab di DIY

19. Monumen Serangan Umum 01 Maret

Monumen 1 Maret berada di jalan Panembahan Senopati, di sebelah


Benteng Vredeburg dan didirikan untuk memperingati Serangan
Oemoem 1 Maret yang terjadi pada tanggal 1 Maret 1949, ketika para
pejuang gerilya Indonesia berhasil menguasai Yogyakarta selama 6 jam,
dengan merebutnya dari kekuasaan penjajah Belanda.

Ketika itu Negara Indonesia telah dianggap lumpuh dan tidak ada oleh
Belanda. Untuk membuktikan bahwa Negara Indonesia masih ada maka
dilakukan serangan besar-besaran. Serangan ini dilakukan oleh Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto,
Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III.

Dalam peperangan itu Kota Yogyakarta saat itu berhasil diduduki oleh TNI
selama 6 jam sampai dengan pukul 12.00, sesuai dengan apa yang telah
direncanakan sebelumnya. Dengan berhasilnya Serangan Umum 1 Maret ini
maka moril TNI semakin meningkat dan mampu mematahkan propaganda
yang dilakukan Belanda.

Saat ini Monumen Serangan Umum 1 Maret ini merupakan salah satu landmark
dan cagar budaya provinsi DIY sebagai bangunan yang mengingatkan tentang
sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada masa lalu.

Pada saat-saat tertentu terutama pada waktu hari besar Nasional misalnya hari
Kemerdekaan atau hari Pahlawan, monumen ini sering digunakan sebagai
tempat acara untuk memperingati hari besar tersebut.

20. Hantu Maut


Pasukan Hantu Maut bukanlah makhluk halus dari alam lain yang
membuat bulu kuduk merinding. Pasukan Hantu Maut adalah pasukan
gerilyawan Republik Indonesia yang berasal dari pemuda kampung
Pujokusuman, Brontokusuman, Prawirotaman dan Karang Kajen
Yogyakarta. Pasukan ini ditugaskan untuk melawan pasukan NICA
Belanda di Yogyakarta pada waktu Clash II (Agresi Militer Belanda
kedua).

Berawal dari semangat juang 30 orang pemuda Pujokusuman yang


bersepakat dan berikrar, jika sampai Belanda masuk dan menduduki
kota Yogyakarta mereka bersama-sama akan keluar kampung
Pujokusuman untuk membentuk pasukan guna melawan dan mangusir
penjajah Belanda. GBPH Poedjokoesoemo yang merupakan putra Sri
Sultan Hamengku Buwono VIII, akhirnya membentuk Pasukan Hantu
Maut.

Pasukan Hantu Maut ini dibentuk setelah Tentara Nasional Indonesia


(TNI) mengadakan serangan ke kota Yogyakarta yang kedua pada
tanggal 9 Januari 1949. Hantu Maut sendiri berarti pasukan perlawanan
sebagai hantu yang akan memberi dan menyebarkan maut bagi tentara
pendudukan Belanda.

Pasukan Hantu Maut ini awalnya bernamakan pasukan gerilya Samber


Gelap dengan modal tujuh pucuk senjata yang merupakan hasil
rampasan ketika rakyat Yogyakarta melucuti senjata pasukan Jepang
pada tanggal 7 Oktober 1945 di Kota Baru.

Akhirnya pemuda-pemuda dari kampung Brontokusuman,


Prawirotaman, dan Karang Kajen mulai menggabungkan diri pada
pasukan Samber Gelap. Dengan bergabungnya pemuda-pemuda
tersebut, maka dibuatlah kesepakatan untuk mengganti nama menjadi
Pasukan Hantu Maut.

Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk
menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api
(stasiun Tugu) sampai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan
kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang
dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke
instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan
sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah
ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada
masyarakat dengan surat penghargaan.

Perang sudah berakhir. Indonesia sudah mulai membangun dirinya lagi.


Kini, para mantan anggota pasukan Hantu Maut bersama pejuang-
pejuang lainnya mendirikan organisasi dengan nama Kerukunan
Keluarga Pejuang Eks SWK 101 WK III Yogyakarta. Organisasi ini
bertujuan untuk mempererat persaudaraan dan kekeluargaan untuk
gotong royong, memikirkan para anggotanya yang masih memerlukan
bantuan.

21. Panggung Krapyak

- Bagian awal dari susunan sumbu filosofi Sangkan Paraning Dumadi, sebagai
sumbu Sangkaning Dumadi
- Perwujudan awal dari proses kelahiran manusia
- Sebagai lauhul mahfudz
- Menggambarkan Yoni/alat kelamin Wanita, pertemuan wiji (panggung
krapyak) dan tugu pal putih melahirkna manusia (keraton)
- 2 km ke selatan kraton yogykarta.
- Berbentuk kastil dengan batu setinggi 10 meter
- Dulu sebagai tempat sultan dan kerabat berburu menjangan dan berpesiar
(digunakan oleh Raja-raja Mataram sebagai tempat pengintaian untuk
berburu binatang), sekarang sebagai objek pariwisata
- Ada desa menjangan di sebelah selatan panggung krapyak
- Dulu ada segaran/laut buatan di timur selatan Panggung krapyak, sekarang
kampung padat penduduk
- Makna harfiah dari Krapyak : cagar perburuan berpagar
- Merujuk kepada alam arham. Alam tempat bersemayam jiwa setelah berpisah
dengan essensi illahiyah tetapi sebelum turun ke embrio.
- Sultan memelihara rusa di Kawasan tertutup = Allah menahan jiwa jiwa yang
belum diciptakan hingga saatnya nanti tepat untuk mereka turun ke dunia
- dibangun sekitar tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I

22. Gaok

Di sudut utara Pasar Beringharjo, di pinggir Jalan Malioboro, menjulang


menara yang terbuat dari rangka besi setinggi 20 meter di atas gedung
bergaya kolonial. Tampak corong besar menyerupai terompet, bertengger di
puncaknya.
Sekilas memang menara ini seperti menara-menara yang lain. Orang awam
pun memandangnya seperti tower biasa. Tetapi, usut punya cerita, ternyata
menara ini merupakan salah satu bangunan cagar budaya, peninggalan dari
zaman belanda berabad-abad yang lalu.
Menara itu berdiri tegak di atas gedung bergaya kolonial seluas sekitar 200
meter persegi, memanjang di pinggir Jalan Pabringan, utara Pasar Beringharjo
yang kini berubah fungsi menjadi TPA (Taman Pendidikan Anak-anak)
Beringharjo.

Masyarakat sekitar menyebut menara tersebut dengan nama menara gaok.


Setiap acara khusus, atau peringatan hari tertentu, Menara Gaok
mengeluarkan bunyi nyaring khas terompet zaman dahulu, Gauuuk, sehingga
masyarakat menyebutnya Menara Gaok.
Praktisi Sejarah dan Urban Design Perkotaan Yogya, Cahyo Bandhono,
menuturkan, menara gaok diperkirakan didirikan pada zaman agresi militer I
pada tahun 1947, dan agresi militer II tahun 1949 di Yogyakarta.
Dulu, menara sirine ini difungsikan oleh militer belanda untuk tanda
peringatan, apabila ada serangan militer dari pejuang Indonesia.
Menara Gaok dibangun setinggi kurang lebih 20 meter, terbuat dari besi baja
dengan empat kaki pencakar. Sirine yang terpasang di puncak menara,
berbentuk seperti corong panjang kurang lebih satu meter. Untuk
membunyikan sirine ini, satu orang khusus memanjat lalu memutar sirine
secara manual.

23. Tugu Ngejaman

Tugu Ngejaman atau stadsklok merupakan penanda waktu bagi masyarakat


Kota Yogyakarta. Tugu jam ini terdiri dari dua bagian yaitu alas berbentuk
persegi dan sebuah jam berbentuk bulat yang berada di atasnya. Jam tersebut
didirikan pada tahun 1916.

Tugu Ngejaman berada di lokasi strategis yaitu di sisi Jalan Margamulya atau
tepat berada di depan Gereja GPIB Margamulya. Tugu jam tersebut didirikan
masyarakat Belanda untuk memperingati satu abad kembalinya
Pemerintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang pernah
berkuasa di Jawa pada awal abad 19 (1811 – 1816).

Tinggi alas jam ini sekitar 1,5 meter, diukur dari permukaan jalan. Diameter jam
berukuran 45 cm. Dahulu jam ini bergerak dengan sistem pegas yang harus
diputar setiap waktu tertentu. Warga sekitar Ngejaman secara bergantian
memutar pegas jam tersebut, agar jam tetap hidup dan bermanfaat bagi
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai