6. Kepatihan
- Kompleks Kepatihan merupakan satu dari sekian banyak cagar budaya
yang ada di Yogyakarta. Kompleks Kepatihan didirikan pada masa
pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792).
- Pada awal berdirinya, bangunan yang secara administratif berada
Kampung Suryatmajan, Kemantren Danurejan, Kota Yogyakarta ini
berfungsi sebagai kantor sekaligus tempat tinggal Pepatih Dalem.
- Jabatan Pepatih Dalem tersebut ada karena Kasultanan Yogyakarta
meneruskan gaya pemerintahan Kerajaan Mataram Islam. Jabatan ini
setingkat perdana menteri dan pejabatnya bergelar Danureja. Selain
menjadi pejabat Kasultanan, Pepatih Dalem juga menjalankan fungsi
sebagai penghubung kasultanan dengan pihak pemerintah kolonial.
- Pendapa atau bangunan inti Bangsal Kepatihan sejak dulu hingga sekarang
digunakan sebagai tempat perayaan pernikahan putra-putri Sultan setelah
menjalani upacara panggih di keraton. Selain itu, berbagai acara resmi dan
perjamuan oleh Gubernur DIY maupun Wakil Gubernur DIY juga digelar di
tempat ini. (KratonJogja)
7. Ketandan
8. Benteng Vredeburg
- Terletak di Jl. Margo Mulyo No. 6 Yogyakarta.
- Belanda mengusulkan kepada Sultan agar diizinkan membangun
sebuah benteng di dekat kraton dengan dalih agar Belanda dapat
menjaga keamanan kraton dan sekitarnya, tetapi dibalik dalih tresebut,
Belanda mempunyai maksud tersendiri yaitu untuk memudahkan
Belanda dalam mengontrol segala perkembangan yang terjadi di dalam
kraton. Dengan kata lain bahwa berdirinya benteng tersebut
dimaksudkan untuk berjaga-jaga apabila sewaktu-waktu Sultan
berbalik menyerang Belanda dan berubah memusuhi Belanda.
- Berkat izin Sri Sultan Hamengku Buwono I, pembangunan benteng
selesai pada tahun 1787 dan dibawah pimpinan Gubernur Johannes
Sioeberg diresmikan menjadi benteng kompeni dengan nama
Rustenburgh yaang artinya “tempat istirahat”. Pada tahun 1867 di
Yogyakarta mengalami gempa bumi sehingga beneng memerlukan
perbaikan. Setelah pemugaran selesai oleh Daendels nama benteng
Rustenburgh diubah menjadi benteng Vredeburg yang artinya
“perdamaian”.
- Pada masa penguasaan Inggris 1811-1816, benteng ini dikuasai oleh
pemerintah Inggris di bawah penguasaan John Crawfurd atas perintah
Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles. Pada masa penguasaan
Inggris, terjadi peristiwa penting di tempat ini yaitu terjadinya
penyerangan Inggris dan kekuatan-kekuatan pribumi ke kraton
Yogyakarta pada tanggal 18 sampai 20 Juni 1812 yang dikenal dengan
peristiwa Geger Sepoy.
- Pada 5 Maret 1942 ketika Jepang menguasai Kota Yogyakarta, benteng
ini diambil alih oleh tentara Jepang. Beberapa bangunan di Benteng
Vredeburg digunakan sebagai tempat tawanan orang Belanda dan
orang Indonesia yang melawan Jepang. Benteng Vredeburg digunakan
pula sebagai markas Kempetei dan juga sebagai gudang senjata serta
amunisi tentara Jepang.
- Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, Benteng
Vredeburg diambialih oleh instansi militer Republik Indonesia.
- Ketika terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948,
benteng ini dikuasai oleh pasukan Belanda pada tahun 1948 sampai
1949. Pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, pasukan TNI
menjadikan benteng ini sebagai salah satu sasaran serangan untuk
dapat menaklukan pasukan Belanda. Pada 29 Juni 1949, setelah
mundurnya pasukan Belanda dari Yoyakarta, maka pengelolaan
Benteng Vredeburg dipegang oleh APRI (Angkatan Perang Republik
Indonesia).
- Pada 9 Agustus 1980, pemerintah melalui Mendikbud dan atas
persetujuan Sri Sultan Hamengku Buwono IX, menetapkan Benteng
Vredeburg sebagai pusat informasi dan pengembangan budaya
nusantara. Kemudian pada 16 April 1985, bangunan benteng ini dipugar
untuk dijadikan museum. Setelah pemugarannya selesai pada 1987,
museum mulai dibuka untuk umum. Selanjutnya, pada 1992 bangunan
museum secara resmi ditetapkan sebagai Museum Khusus Perjuangan
Nasional dengan nama Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.
Uniknya, Museum Benteng Vredeburg memiliki koleksi unggulan
berupa minirama Kongres Boedi Oetomo, diorama pelantikan
Soedirman sebagai Panglima Besar TNI, mesin ketik Surjopranoto,
kendil yang digunakan oleh Soedirman, Dokumen Soetomo, dan bangku
militer akademi.
9. Loji Kecil
Kawasan loji kecil adalah pusat kawasan hunian orang Belanda pertama di
Yogyakarta. Loji lainnya yaitu Gereja Protestansche Kerk yang berdiri tahun
1857. Saat ini gereja tersebut dikenal sebagai Gereja Kristen Marga Mulya,
terletak di sebelah utara Gedung Agung. Loji lainnya yaitu Gereja Fransiskus
Xaverius Kudul Loji, yang berdiri tahun 1870.
Terdapat kawasan loji kecil di sebelah timur Benteng Vredeburg, yaitu mulai
dari bangunan pasar buku Shopping hingga perempatan Gondomanan. Loji
kecil yang lain adalah loji yang berada di komplek Taman Pintar. Kemudian
Gedung Societet Militair yang dahulu digunakan sebagai tempat para serdadu
militer Belanda bersantai.
Loji Setan, adalah kawasan loji lain yang juga menarik. Nama Loji Setan ini
diambil berdasarkan keangkerannya.Loji setan pada awalnya disebut Loji
Marlborough yang berfungsi sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia (1925-
1949), kemudian sebagai Kantor Dewan Pertahanan Negara dan
Penyelenggaraan Sidang Kabinet (1948).
Stasiun Kereta Api Tugu terletak di sisi sebelah barat jalan poros Keraton-Tugu
Pal Putih atau berada di sebelah barat Stasiun Lempuyangan. Sampai skarang
Stasiun Tugu menjadi stasiun utama di Kota Yogyakarta. Stasiun Tugu sudah
berumur ratusan tahun karena bangunan stasiun ini sudah didirikan sejak
zaman penjajahan kolonial Belanda..
Stasiun Tugu dibangun oleh SS dan mulai dibuka pada tahun 12 Mei 1887.
Tujuan awal dibangunnya stasiun Tugu adalah untuk kebutuhan
pengangkutan hasil bumi dari daerah Jawa Tengah dan sekitarnya yang
menghubungkan kota-kota Yogyakarta — Solo — Semarang.
Alternatif berikutnya yang penulis ambil adalah belok kanan dari utara Alun-
Alun Utara. Di kanan jalan kita akan menemui Museum Sonobudoyo. Museum
Sonobudoyo didirikan pada tahun 1934 dan diresmikan pada tanggal 6
November 1935 oleh Sultan Hamengku Buwana VIII. Banyak koleksi yang dapat
dilihat di sini.
Museum Sonobudoyo dulu adalah sebuah yayasan yang bergerak dalam
bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali dan Lombok. Yayasan ini berdiri di
Surakarta pada tahun 1919 bernama Java Instituut. Dalam keputusan Konggres
tahun 1924 Java Instituut akan mendirikan sebuah museum di Yogyakarta.
Pada tahun 1929 pengumpulan data kebudayaan dari daerah Jawa, Madura,
Bali dan Lombok. Panitia Perencana Pendirian Museum dibentuk pada tahun
1931 dengan anggota antara lain: Ir.Th. Karsten P.H.W. Sitsen, Koeperberg.
Museum Sonobudoyo yang berlokasi di pusat kota berada dalam lokasi yang
strategis, berada dalam lingkungan Pusat Budaya Yogyakarta yang banyak
mendapatkan perhatian dari berbagai pihak baik dari dalam maupun luar
negeri.
Bangunan Museum Sonobudoyo merupakan rumah joglo dengan arsitektur
masjid keraton kesepuhan Cirebon. Didesain oleh Ir. Th. Karsten.
Museum Sonobudoyo terdiri dari dua unit. Museum Sonobudoyo Unit I terletak
di Jalan Trikora No. 6 Yogyakarta, sedangkan Unit II terdapat di Ndalem
Condrokiranan, Wijilan, di sebelah timur Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta.
18. Kauman
Ketika itu Negara Indonesia telah dianggap lumpuh dan tidak ada oleh
Belanda. Untuk membuktikan bahwa Negara Indonesia masih ada maka
dilakukan serangan besar-besaran. Serangan ini dilakukan oleh Tentara
Nasional Indonesia (TNI) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto,
Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III.
Dalam peperangan itu Kota Yogyakarta saat itu berhasil diduduki oleh TNI
selama 6 jam sampai dengan pukul 12.00, sesuai dengan apa yang telah
direncanakan sebelumnya. Dengan berhasilnya Serangan Umum 1 Maret ini
maka moril TNI semakin meningkat dan mampu mematahkan propaganda
yang dilakukan Belanda.
Saat ini Monumen Serangan Umum 1 Maret ini merupakan salah satu landmark
dan cagar budaya provinsi DIY sebagai bangunan yang mengingatkan tentang
sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah pada masa lalu.
Pada saat-saat tertentu terutama pada waktu hari besar Nasional misalnya hari
Kemerdekaan atau hari Pahlawan, monumen ini sering digunakan sebagai
tempat acara untuk memperingati hari besar tersebut.
Pada tanggal 29 Juni 1949, Pasukan Hantu Maut mendapat tugas untuk
menjaga keamanan dan ketertiban di sebelah utara rel kereta api
(stasiun Tugu) sampai batas kota sebelah utara. Setelah pemerintahan
kembali pada pemerintahan sipil, maka pasukan Hantu Maut yang
dulunya yang telah dimiliterisasi diberi kesempatan untuk kembali ke
instansi, sekolah atau bagi yang meneruskan ke pendidikan militer dan
sudah lulus tes maka akan ditempatkan di Batalion yang sudah
ditentukan dan bagi yang tidak lolos tes akan dikembalikan kepada
masyarakat dengan surat penghargaan.
- Bagian awal dari susunan sumbu filosofi Sangkan Paraning Dumadi, sebagai
sumbu Sangkaning Dumadi
- Perwujudan awal dari proses kelahiran manusia
- Sebagai lauhul mahfudz
- Menggambarkan Yoni/alat kelamin Wanita, pertemuan wiji (panggung
krapyak) dan tugu pal putih melahirkna manusia (keraton)
- 2 km ke selatan kraton yogykarta.
- Berbentuk kastil dengan batu setinggi 10 meter
- Dulu sebagai tempat sultan dan kerabat berburu menjangan dan berpesiar
(digunakan oleh Raja-raja Mataram sebagai tempat pengintaian untuk
berburu binatang), sekarang sebagai objek pariwisata
- Ada desa menjangan di sebelah selatan panggung krapyak
- Dulu ada segaran/laut buatan di timur selatan Panggung krapyak, sekarang
kampung padat penduduk
- Makna harfiah dari Krapyak : cagar perburuan berpagar
- Merujuk kepada alam arham. Alam tempat bersemayam jiwa setelah berpisah
dengan essensi illahiyah tetapi sebelum turun ke embrio.
- Sultan memelihara rusa di Kawasan tertutup = Allah menahan jiwa jiwa yang
belum diciptakan hingga saatnya nanti tepat untuk mereka turun ke dunia
- dibangun sekitar tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I
22. Gaok
Tugu Ngejaman berada di lokasi strategis yaitu di sisi Jalan Margamulya atau
tepat berada di depan Gereja GPIB Margamulya. Tugu jam tersebut didirikan
masyarakat Belanda untuk memperingati satu abad kembalinya
Pemerintahan Kolonial Belanda dari Pemerintahan Inggris yang pernah
berkuasa di Jawa pada awal abad 19 (1811 – 1816).
Tinggi alas jam ini sekitar 1,5 meter, diukur dari permukaan jalan. Diameter jam
berukuran 45 cm. Dahulu jam ini bergerak dengan sistem pegas yang harus
diputar setiap waktu tertentu. Warga sekitar Ngejaman secara bergantian
memutar pegas jam tersebut, agar jam tetap hidup dan bermanfaat bagi
masyarakat.